Senin, 29 Juni 2009

Zakat dan Media Menunaikannya

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Setelah solat, zakat dipandang sebagai suatu bentuk kewajiban keagamaan terpenting yang ditekankan kepada ummat islam. Karenanya zakat dipandang sebagai bentuk ibadah yang tidak dapat digantikan oleh model sumber pembiayaan apapun, dimanapun. Pada masa awal Islam, zakat merupakan ’pungutan’ wajib yang ditarik dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu. Karena itulah khalifah pertama Abu Bakar Ash Siddiq memerangi suku-suku bangsa yang enggan untuk membayar zakat. Abu Bakar berkata “Demi allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan solat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban yang berkaitan dengan herta. Demi allah! Jika mereka menolak membayar zakat kepadaku berupa seekor kambing yang dulu pernah mereka bayarkan kepada Rasulullah saw niscaya aku akan memerangi mereka karena keengganan mereka membayar zakat tersebut” (HR. Bukhari).
Kewajiban zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev. 27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali disebutkan bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar zakat. Hanya saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi pada waktu turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang dikeluarkan berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Selain itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki institusi keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman, 1996). Zakat berpengaruh besar terhadap berbagai sifat dan cara pemilikan harta benda (atau kekayaan) misalnya terhadap kekayaan yang ditimbun, hasil pertanian, pajak atas modal (hewan) dan sebagainya.
Harta benda tersebut dikenakan zakat jika telah mencapai nilai minimum yang disebut nishab berdasarkan cara dan perhitungan yang berbeda, tergantung dari harta benda yang dizakati. “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak, orang yang berutang untuk jalan allah dan orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan allah; dan allah maha mengetahui lagi maha bijaksana” (Q.S. St Taubah ayat 60).
Secara ekonomik, pemungutan zakat semestinya dapat menghapus tingkat perbedaan kekayaan yang sangat mencolok. Sebaliknya dapat menciptakan redistribusi yang merata, disamping itu zakat dapat pula mengekang laju inflasi, selain perkembangan tidak tentu dari peredaran mata uanag dalam negeri, kekurangan barang dan kecepatan peredaran uang. Inflasi sendiri terjadi akibat kenaikan harga-harga dalam tingkat umum yang bisaanya karena bertambahnya suplai uang yang tidak disertai oleh suatu pertambahan permintaan yang sesuai. Sesungguhnya naiknya harga ini dapat mempengaruhi jalannya produksi dan distribusi kekayaan dengan berbagai cara dan hal tersebut sangat merugikan. Mengenai hal ini Rasulullah saw telah bersabda yang artinya “kekayaan (yaitu zakat) harus diambil dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin”.
Kata zakat sendiri berarti yang mensucikan dan yang menumpuk. Zakat juga meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat yang khas yang diberikan islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang dengan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan berbahaya ditangan para pemiliknya. “Dan janganlah orang-orang yang bakhil dengan apa yang diberikan allah kepadanya dari karunia-Nya mengira bahwa kebakhilan itu lebih baik bagi mereka. Tidak ! kebakhilan itu buruk bagi mereka. Segala apa yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan pada leher mereka kelak pada hari kiamat. Kekayaan di langit dan di bumi adalah milik allah. Dan allah benar-benar mengetahui apa yang kamu lakukan” (Q.S. Ali Imran ayat 180).
Potensi zakat yang apabila dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 Triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
Dalam aplikasinya zakat akan kehilangan maknanya jika tidak timbul dari hati yang taqwa dan perasaan bersih, tanpa mementingkan diri sendiri. Jika kita memperhatikan ketentuan dan peraturan mengenai zakat dengan seksama, setidaknya kita akan mendapatkan beberapa prinsip yang terkandung didalamnya yakni : Pertama, prinsip keyakinan dalam islam, karena membayar zakat adalah suatu ibadah dan dengan demikian hanya seseorang yang benar-benar berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti dan jiwa yang sesungguhnya. “….Dan dirikanlah solat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada allah, pinjaman yang baik…..” (Q.S. Al Muzammil ayat 20).
Kedua, prinsip keadilan tentang zakat terkandung dalam ucapan Rasulullah saw “Bagi (hasil) tanah yang diairi oleh hujan dan mata air, atau yang diairi air yang mengalir pada permukaan bumi ditentukan zakatnya sepersepuluh dari hasilnya, sedangkan bagi yang diairi sumur, seperduapuluh dari hasilnya” (HR. Bukhari). Prinsip ketiga, adalah produktivitas atau sampai batas waktunya. Ibnu Umar r.a. pernah berkata “Rasulullah saw pernah menyampaikan: “barang siapa yang memperoleh kekayaan setelah satu tahun, berlaku zakat atasnya” (HR. Tarmidzi dan Mishkat).
Selain subyek zakat yang berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada badan hukum (recht person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut diambil dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi, 1997).
Nishab berarti surplus minimum tahunan dari harta benda yang sama nilainya di atas pengeluaran yang diperlukan. Nishab berlaku pada zakat hanya jika telah sampai waktunya dan produktif, tapi nishab akan hilang pada tanggal penjualan selama setahun dan harus berlaku pada tahun pertama sebelum jumlah yang didapat terkena zakat. Berlalunya suatu periode satu tahun sangat penting, karena waktu sangat diperlukan untuk mewujudkan produktivitas. Zakat sendiri dihapuskan jika pemiliknya meninggal dunia dan murtad. Bila kematian atas pemilik harta benda terjadi selama masa satu tahun maka harus ditunggu satu tahun berikutnya barulah zakat dikenakan atasnya.
Keempat ialah perinsip nalar yakni orang yang diharuskan membayar zakat ialah seseorang yang berakal dan bertanggungjawab. Dari sinilah ada anggapan bahwa orang yang belum dewasa dan tidak waras, bebas dari zakat yang dalm hal ini adalah suatu ibadah, karena itu zakat hanya diwajibkan pada mereka yang mampumelaksanakan kebijaksanaan. Namun menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’I (terutama dalam hal ternak dan panen), orang yang belum dewasa dan tidak waras terkena zakat –dasar pendiriannya yakni- zakat adalah pajak atas harta benda, karena itu dapat dilaksanakan walaupun harta benda tersebut mungkin milik orang yang belum dewasa dan mereka yang tidak waras.
Karena itulah peran wali di sini sangat penting. Para wali inilah yang diharapkan dapat memanfaatkan harta benda mereka dengan cara yang paling masuk akal. Jika ada kemungkinan hilangnya harta benda orang yang belum dewasa karena kurang pemeliharaan, maka tidak dikenakan zakat. mengenai hal ini Rasulullah saw telah mengingatkan yang artinya “Barang siapa yang mengawasi harta benda anak yatim, berhati-hatilah. Jalankanlah harta benda itu dengan baik dan dengan membiarkannya tidak menghasilkan sehingga dapat dipungut zakat” (H.R. Tarmidzi).
Prinsip kelima, yakni kemudahan zakat diperoleh sebagian dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum islam tentang etika ekonomi. Prinsip keenam, yakni prinsip kemerdekaan. Yakni seseorang harus menjadi manusia bebassebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Saat ini, dimana perbudakan telah dihapuskan, orang yang dipenjara mungkin dapat ditempatkan dalam kelompok ini yang dianggap bukan orang bebas dan tanggungan mereka yang tidak berdaya dapat memperoleh penghasilan dari zakat.
Namun lain halnya dengan zakat fitrah yang diwajibkan untuk orang yang merdeka dan budak, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, dia berkata “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah kepada anak kecil dan orang dewasa, orang merdeka maupun budak, masing-masing satu sha’ gandum (makanan pokok) atau satu sha’ kurma” (HR. Bukhari).
Dalam konteks kekinian, saat ini dan disini. Tentunya semua prinsip yang mengatur pembayaran zakat ini, meskilah dikelola untuk kesejahteraan ummat, khususnya lagi bagi kaum mustadafhin. Karenanya, setelah ditetapkannya UU Zakat nomor 38 tahun 1999 maka badan pengelola zakat seperti panti asuhan, yayasan sosial, pondok-pondok pesantren dan lembaga pengelola zakat lainnya yang sejenis akan terikat dengan ketentuan tersebut. Pengelolaannya sendiri meskilah dilakukan secara professional dan bertanggung jawab (amanah). Berikut beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan panduan yakni. Pertama, taat konstitusi, legal. Badan pengelola zakat meski taat konstitusi, untuk itu meski berbadan hokum (akta notaris), memiliki tanda pengesahan (SK) dari pemerintahs sesuai dengan tingkatannya. Tanda legalitas yang lainnya yakni NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), surat pengesahan organisasi sosial dan bentuk legalitas lainnya. Perangkat tersebut dibutuhkan sebagain ukuran kejujuran pengelola zakat. Disamping jika sewaktu-waktu terjadi urusan yang terkait dengan hokum, dapat diselesaikan secara hokum.
Kedua, independensi, tidak berpolitik praktis. Sebagai institusi keagamaan. Badan pengelola zakat terikat dengan sendirinya kepada alqur’an dan al hadist yang mengatur bahwa harta zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) juga wakaf adalah dari dan untuk ummat islam, bukan hanya untuk golongan tertentu. Konsekuensinya dalam penyalurannya dana ZIS dan juga wakafharus independent, tidak memihak kelompok atau golongan tertentu. Bekerja melayani semua ummat islam, tidak pandang kelompok, golongan organisasi kemayarakatan maupun partai.
Dalam hal netralitas badan pengelola zakat mestilah tidak terlibat politik praktis atau bahkan menjadi aktivis partai politik tertentu, meskipun partai islam, jika hal tersebut terdapat maka dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan dana ZIS juga wakaf untuk kepentingan ambisi politik para pengelola. Kesakralan lembaga amil zakat dapat hancur dan hilang karena lembaga amil zakat dan kaum dhuafa hanya dijadikan batu loncatan karir politik oknum pengelola.
Ketiga, visi dan misi badan pengelola mestilah memiliki visi dan misi yang jelas dan tegas. Visi utama mestilah berfokus pada penerimaan, pengelolaan dan penyaluran yang amanah dan professional. Misi meski disesuaikan dengan visi dengan berusaha melayani kaum aghniya (kaum berpunya) sebagai muzakki (pembayar zakat) dan pemberdayaan terhadap kaum lemah (kaum dhuafa) dan golongan penerima zakat yang berhak (mustahik zakat). Keempat, transparansi (keterbukaan). Transparansi dalam penerimaan dan penyaluran sangat penting, ini merupakan salah satu standar kejujuran. Hal ini misalnya dapat ditempuh melalui pemberitaan melalui media massa atau dapat juga langsung dikirimkan kepada para muzakki dan ummat islam lainnya. Sebagai alat control atas kualitas kejujuran dan kualitas amanah ini, maka badan pengelola tidak menutup diri untuk diaudit oleh akuntan public sebagai wakil masyarakat. Hasil inilah yang nantinya akan diumumkan kepada ummat islam.
Kelima, program kontinuitas. Program yang disusun hendaknya dapat bersifat populis dan strategis. Populis misalnya penyantunan bencana alam, penyantunan kebutuhan pokok masyarakat, beasiswa pendidikan dan sebagainya. Program strategis misalnya mengelola dan mengubah para penerima zakat menjadi para pembayar zakat. Karenanya program pembinaan, pengarahan, pemberdayaan dan pembelaan kaum lemah. Program-program ini meski terencana dan berkesinambungan –tidak selayaknya badan pengelola tidak dapat membuat program strategis dan hanya mengandalkan program populis- hal ini karena program populis kurang dapat memberikan efek ganda dan berkelanjutan terhadap pemanfaatan amanah ZIS dan juga wakaf.
Keenam, memudahkan dalam pelayanan. Agar memudahkan ummat dalam melaksanakan ibadah pembayaran ZIS dan juga wakaf. Badan pengelola hendaklah dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan kemudahan-kemudahan kepada para muzakki. Misalnya dengan menyediakan rekening khusus pada setiap transaksi melalui perbankan, PO BOX dan fasilitas dan sarana pelayanan lainnya. Ketujuh, program penunjang, disamping program utama. Program penunjang juga meski dimiliki lembaga pengelola semisal pelatihan-pelatihan, jasa konsultasi dan lainnya.
Akhirnya, berikut akan disajikan tabel zakat untuk jenis harta, nishab, waktu mengeluarkan zakatnya beserta kadar yang mesti dikeluarkan dan selamat menunaikan zakat bagi yang wajib melaksanakannya.
Tabel 1. Jenis Harta, Nishab, Waktu dan Kadar Dalam Mengeluarkan Zakat
No.
Jenis Harta
Nishab
Waktu
kadar
Keterangan
1.
Zakat fitrah / makanan pokok
Kecukupan
Tiap akhir Ramadhan
2,5 Kg beras (2,5 liter)
Dikeluarkan pada Ramadhan saja
2.
Barang (uang simpanan / modal)
Senilai 85 gram emas murni
Berjalan 1 tahun (dimiliki)
2,5%
Dinilai saat mengeluarkan
3.
Perhiasan (bukan emas / intan, simpanan antara lain barang sekunder, tertier), mobil, TV dan lainnya
Tidak harus mencapai nishab
Tiap diperoleh / saat dimiliki
2,5%
Zakat dibayar sekali selama dimiliki
4.
Hasil usaha ekstraktif, mengambil langsung dari alam / hasil tambang hutan dan lainnya
Senilai 45 gram emas murni
Tiap panen
20%

5.
Hasil pertanian dan bumi
Senilai 1350 Kg gabah atau beras 750 Kg
Tiap panen
5-10%

6.
Penghasilan yang diperoleh dengan mudah tanpa pengorbanan yang berarti, hadiah, pemberian, barang temuan, keuntungan investasi, imbalan jasa dan lainnya
Tidak harus mencapai nishab
Saat diperoleh
20%

7.
Gaji, honor dan sebagainya
Senilai 85 gram emas murni
Tiap berjalan setahun
Minimal 2,5%


Sumber : Buletin Boulevard. Edisi 03/1 November 2001

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id