Selasa, 16 Juli 2013

Mewaspadai Krisis Ekonomi Jilid Berikutnya: Sebuah Reflesi Ramadhan

Menurut istilah krisis berarti genting, gawat atau berbahaya. Sedangkan krisis ekonomi dapat diartikan suatu kondisi perekonomian dimana tidak baiknya atau buruknya suatu kondisi perekonomian suatu Negara.
Krisis ekonomi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi makro, faktor institusi keuangan, dan faktor nilai tukar. Faktor ekonomi makro misalnya cadangan devisa yang menipis, inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Tidak stabilnya kondisi finansial suatu negara seperti melemahnya perdangangan saham, krisis sektor perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) yang berdampak pada terus melemahnya ekonomi suatu Negara. Namun ada juga ahli yang mencoba melihat penyebab krisis ekonomi dari sudut ilmu-ilmu sosial lainnya dan ada pula yang melihat dari tinjauan agama. Tulisan ini akan melengkapi uraian tentang krisis ini dari hasil refleksi ramadhan kali ini.

Akumulasi Kezaliman    

Dapat dipastikan bahwa kata-kata zalim sudah tidak asing bagi kaum Muslim karena ia sering kali didengar dalam khotbah, ceramah dan  dijumpai dalam buku-buku agama Islam. Tetapi justru karena seringnya dijumpai itulah agaknya “utility” kata-kata ini menjadi berkurang (meminjam istilah marginal utility dalam teori permintaan) yang direfleksikan dalam kenyataan sosial bahwa ia kurang mendapatkan perhatian serius atau malah cenderung diremehkan. Padahal ia merupakan kata-kata kunci untuk mengalisis jatuh bangunnya suatu peradaban dan bangsa.
Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzhur (630-711 H) mengartikan kata-kata “zulm” sebagai “meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Ini merupakan arti dasar dari kata-kata tersebut. Sepintas kalimat ini agaknya sepele, tetapi bila konteks pembicaraan itu suatu subjek yang paling sakral, maka artinya menjadi sangat signifikan. Itulah sebabnya al-Qur’an mengatakan bahwa syirik adalah kezaliman yang paling besar (al-Qur’an Luqman : 13). Dalam al-Qur’an 18:59 dinyatakan “Dan negeri-negeri itu Kami hancurkan lantaran mereka berlaku zalim dan Kami jadikan masa kehacuran meraka suatu ketetapan (waktu).” Ayat ini seolah menjadi penutup bagi ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan perilaku bangsa-bangsa yang mendustakan kebenaran dari Allah SWT dan akhir perjalanan mereka menemui kehancuran karena kezaliman yang mereka lakukan. Ayat ini seolah berkata: “Begitulah perjalanan akhir dari tiap-tiap bangsa yang menolak kebenaran dariKu, mendustakan utusanKu dan lebih memilih jalan hidup yang didasarkan bukan pada ajaran-ajaranKu.” Mereka menganiaya dirinya sendiri dengan menempatkan kebatilan sebagai haluan kehidupan dengan mengabaikan dan mengenyampingkan wahyu. Oleh sebab itu mereka menemui kehancuran lantaran keseimbangan dalam kehidupan tidak lagi dapat dipertahankan.
Dalam ayat lain (al-Qur’an 17:16) Allah mengatakan : “Dan jika Kami hendak menghancurkan suatu negeri, Kami ilhamkan orang-orang yang hidup mewah di dalamnya, maka mereka berbuat kedurhakaan di dalamnya, lalu terwujudlah ketetapan (kehancurannya) maka Kami hancurkan sehancur-hancurnya.Mutrof (orang-orang yang hidupnya berlebih-lebihan karena memiliki kekayaan yang banyak) adalah segolongan kecil dalam suatu komunitas tetapi karena kekayaannya, mereka dapat mendominasi aspek-aspek kehidupan masyarakat dan berbuat yang melanggar aturan tetapi tidak terjangkau oleh undang-undang yang berlaku. Para mutrofin ini adalah motor kedurhakaan, kejahatan, kemaksiatan dan kenistaan dalam masyarakat. Mereka memiliki sumber daya baik itu manusia maupun modal dan memiliki akses yang banyak sehingga dapat memasuki semua jaringan kehidupan ekonomi, politik, sosial, pertahanan dan sebagainya. Bahkan dengan sumber kekuatan dan akses yang ada di tangannya mereka dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah di hampir semua sisi kehidupan.
Mereka adalah orang-orang yang berada di garis paling depan menentang kebenaran yang dibawa oleh setiap Rasul. Dalam banyak kesempatan al-Qur’an menyebutnya dengan mala’ seperti dalam al-Qur’an 2: 246; 7:60, 66, 75, 88 dan lain-lain. Jika mutrof lebih memperlihatkan aspek kekayaan yang dinikmati oleh orang-orang kaya secara berlebih-lebihan, maka mala’ memiliki dimensi kepemimpinan, kepemukaan dan kewibawaan yang terjadi timbul karena sifat-sifat kepemimpinan. Karena itu mereka adalah para pemuka, pembesar dan orang-orang yang terpandang di kalangan suatu kaum. Mereka adalah rujukan bagi setiap persoalan yang timbul di kalangan para anggota warganya.
Dalam ayat lain (al-Qur’an 6:123) menyebutkan akaabir mujrim yang artinya pembesar-pembesar penjahat dengan segala gerak-geriknya yang mengandung berbagai tipu daya dan makar untuk menegakkan dan memenangkan kebatilan.  Sebaliknya mereka menentang dan menolak kebenaran yang datang dari Rasul.
Baik mutrof, mala’ maupun akaabir mujrim memiliki sifat yang sama yaitu menentang ajaran kebenaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Dalam konteks masa kini agaknya ketiga golongan tersebut dapat diwakili oleh konglomerat, politisi dan petinggi militer atau pejabat tinggi negara. Ketiga golongan ini bila telah bersekutu dalam kefasikan, kejahatan, makar dan monopoli dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan negara dapat dibayangkan apa yang terjadi pada suatu negara. Kebijakan pemerintah tidak lagi mencerminkan prioritas sosial yang sesungguhnya melainkan hanya menjadi tameng dari kepentingan sekelompok orang. Kebijakan demikian senantiasa menguntungan mereka dan merugikan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya semua ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul  itu untuk mensucikan mereka (al-Qur’an 62:2), mengangkat beban dan belenggu yang di kalungkan pada mereka (al-Qur’an 7:157). Dengan implementasi ajaran-ajaran agama  yang dibawa oleh para Nabi itu, maka  keseimbangan sosial yang merupakan salah satu bentuk keseimbangan yang berlaku di dunia (lihat al-Qur’an 55: 7-8) dapat diwujudkan. Tanpa keseimbangan, yang berarti juga tanpa keadilan, maka neraca alam semesta ini akan timpang dan akan menimbulkan kehancuran.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa suatu bangsa yang akan mengalami kehancuran terlebih dahulu mengidap faktor-faktor yang akan menyebabkan kehancurannya. Di antara faktor-faktor kehancuran itu adalah munculnya mutrofin yaitu orang-orang kaya yang hidupnya berlebih-lebihan dan bergelimang dengan harta dan kesenangan. Mereka mengumbar nafsu syahwatnya tanpa sedikitpun mengindahkan norma-norma agama dan kebenaran. Mereka melakukan segala bentuk kemaksiatan dan bahkan kemaksiatan itu sendiri kadang-kadang merupakan lahan bisnisnya yang sangat luxratif.
Dengan dukungan sumber daya modalnya yang begitu besar maka bisnis kemaksiatan dalam masyarakat menjadi berakar kuat sehingga menjadi salah satu lapangan pekerjaan yang besar bagi sebagian penduduk. Ketika jaringan bisnis kemaksiatan ini sudah kuat, maka sukar sekali pemerintah akan menghambat geraknya atau menghapuskannya sama sekali. Dalam keadaan seperti ini, terjalinlah sinerji antara pihak penguasa (pejabat pemerintah), pihak keamanan (para oknum) dan pengusaha yang memiliki usaha maksiat ini. Pihak pemerintah melindungi aktifitas bisnis ini dengan mengeluarkan serangkaian peraturan yang menjadi dasar hukum dibolehkannya kegiatan ini dengan imbalan pemasukan lewat pajak. Sementara itu pihak keamanan akan menjaga dan mengamankan dari serbuan kelompok-kelompok yang tidak menyukai kegiatan bisnis dosa ini dengan imbalan uang keamanan. Akan halnya dengan pengusaha, mereka tidak segan-segan merogoh koceknya asalkan keuntungan didapatkan.
Dalam situasi perekonomian yang mengabaikan norma-norma agama ini sudah dapat diduga bahwa berbagai macam dan warna kezaliman akan terjadi. Pelaksanaan agenda pembangunan ekonomi dalam semua sektornya senantiasa dibarengi dengan pemaksaan-pemaksaan, intimidasi bahkan dengan perampasan hak milik wong cilik.  Di atas kertas pembebasan tanah mencerminkan secuil keadilan, tetapi dalam pelaksanaanya seringkali keadilan itu sudah menguap terlebih dahulu sebelum sampai ke tangan yang berhak. Praktek-praktek mark up proyek juga sangat luas dilakukan sehingga mayoritas beaya proyek sama sekali tidak mencerminkan ongkos riil yang sebenarnya ditambah lagi kualitas bangunan proyek yang sub standar sehingga hancur sebelum manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Dengan bekal informasi yang lebih baik dari pada pekerja dan kaum buruh, para majikan kapitalis dapat dengan mudah mengeksploitasi karyawan mereka dengan memberikan gaji yang tidak memadai. Mereka menginginkan karyawannya melaksanakan pekerjaan habis-habisan tetapi dengan memberikan upah di bawah standar. Para karyawan itu tidak sepenuhnya dapat meraih hak-hak formalnya atau dipersulit mendapatkan hak-haknya bahkan seringkali mereka mendapatkan perlakuan yang tidak hormat sehingga di-phk begitu saja tanpa konpensasi yang memadai. Dalam pikiran majikan, perlakuan ini tidak menjadi soal sebab ia berkeyakinan akan dengan mudah mendapatkan penggantinya karena di Indonesia labor supply tidak terbatas sehingga sangat mudah merekrut karyawan baru. Pengetahuan mereka tentang kondisi perburuhan di Indonesia ini sangat mendukung posisi bargaining mereka vis-a-vis para buruh. Sebaliknya kaum buruh tidak memiliki bargaining position yang menguntungkan karena di satu sisi dukungan perangkat undang-undang sangat lemah dan di sisi lain pasokan tenaga kerja melimpah ruah.  Pada umumnya nasib kaum buruh di Indonesia, sebagaimana di dunia ketiga yang padat penduduknya, hanyalah sebagai sapi perahan para majikan kapitalis belaka.
Aspek pelaksanaan hukum barang kali juga menjadi daftar tambahan kezaliman yang tidak kalah beratnya ditimpakan ke pundak rakyat. Praktek suap menyuap (riswah) sudah menjadi fenomena biasa. Mulai dari sekolah, layanan publik, penentuan kebijakan, hingga menjadi PNS. Fenomena ini diperburuk lagi ketika penjahat ekonomi, yang jaringan bisnisnya kelewat besar sehingga menjangkau dan melibatkan institusi dan aparat pemerintah, beroperasi dengan merampok uang dan tanah rakyat, menguras sumber-sumber daya alam seperti pertambangan, kehutanan, kelautan dan lain-lain. Para penjahat kelas nasional ini juga menggotong uang rakyat ke luar negeri ketika mereka tahu bahwa perekonomian Indonesia akan terkena badai krisis. 
Ini semua ditambah dengan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang berujung pada pengambilan hak orang lain secara batil makin menambah akumulasi kezaliman dalam masyarakat. Praktek demikian berjalan aman tanpa ada yang berani mengusik karena dikemas dengan baju yang indah dan menawan hati. Hanya Tuhanlah yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Karena itu krisis yang menimpa Indonesia ini harus dilihat dari kesadaran keimanan. Bahwa apa yang telah dan tengah berlangsung di bawah payung kedamaian semu sesungguhnya hanyalah tumpukan dan onggokan ketidakadilan dan kezaliman yang sudah menjomplangkan keseimbangan sehingga menuangkan badai krisis multidimensional berikutnya. Penanggulangannya tidak bisa hanya dengan menggunakan pendekatan ilmiah bebas nilai. Pendekatan demikian sangat tidak memadai. Diperlukan pendekatan yang lain yaitu dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Tanpa dibarengi dengan ini, keberhasilan yang akan dicapai akan bersifat sementara dan akan mendatangkan musibah yang boleh jadi lebih besar di belakang hari.
Gambaran di atas hanyalah ilustrasi betapa ketidakadilan dan kezaliman telah mendominasi segi-segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sendi-sendi kehidupan tidak bisa berjalan secara normal karena terhalang oleh kuatnya arus yang menghambat. Dalam konsep Islam amar makruf dan  nahi munkar  harus ditegakkan jika perjalanan kehidupan bangsa hendak dilanjutkan. Untuk amar makruf barang kali memiliki tingkat resiko yang kecil relatif terhadap nahi munkar. Karena itu banyak kalangan, termasuk mereka yang bergelimang dalam kemaksiatan, menyuarakan amar makruf. Tidak demikian halnya dengan nahi munkar. Ia memiliki tingkat resiko yang tinggi dan berbahaya sehingga tidak semua orang berani menyuarakannya. Barangkali karena faktor inilah maka al-Qur’an menyebutkan salah satu faktor kenapa Bani Israil dikutuk lewat lisan Dawud dan Isa disebabkan karena mereka tidak saling melakukan nahi munkar, ingat bukan amar makruf.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, konsep amar makruf dan nahi munkar harus dijalankan jika masyarakat ingin berjalan dengan seimbang. Jika tidak, maka keseimbangan sosial tidak terwujud dan masyarakat itu meluncur kepada kehancuran. Dalam konteks kehidupan di Indonesia dapat dirasakan bahwa nahi munkar tidak mendapatkan dukungan dari pihak yang berwajib. Kebanyakan yang melaksanakannya adalah pemuka masyarakat dan agama yang sudah terlanjur putus harapan terhadap pihak keamaanan. Ini terjadi karena kekuatan kebaikan dalam masyarakat sudah tidak dapat mentolerir merebaknya kemaksiatan di  lingkungananya. Jika kemaksiatan dibiarkan berjalan tanpa ada nahi munkar, maka seluruh warga akan terkena hukuman langit termasuk para pemuka agama dan masyarakat tersebut. 
Menurut Islam terdapat hubungan yang erat antara keramahan alam dan perilaku manusia. Banyak ayat suci al-Qur’an yang menjelaskan hakekat demikian, (lihat al-Qur’an 71:10-12). Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa keimanan dan ketakwaan para penduduk negeri akan berdampak positif kepada keramahan alam sekitarnya. Mereka akan mendapatkan rizki yang banyak karena potensi alam keluar dengan berkah-berkahnya. Takwa dan keimanan dengan segala manifestasinya akan menghapuskan ketidakadilan dan kezaliman dalam masyarakat. Takwa dan keimanan secara inheren mengandung makna anti ketidakadilan dan kezaliman. Karena itu, dalam refleksi Ramadan kali ini, bagi insan yang beriman tidak ada jalan keluar dari berbagai krisis ini melainkan hanya kembali kepada Allah, kembali ke jalanNya yang lurus. Marilah kita kerjakan perintahNya dan kita tinggalkan segala laranganNya. Hanya itulah satu-satunya pilihan. Semoga orang-orang yang berakal itu mendapatkan petunjuk yang benar. Amin.

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id