Menurut istilah krisis berarti
genting, gawat atau berbahaya. Sedangkan krisis ekonomi dapat diartikan suatu
kondisi perekonomian dimana tidak baiknya atau buruknya suatu kondisi perekonomian
suatu Negara.
Krisis ekonomi disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu faktor ekonomi makro, faktor institusi keuangan, dan
faktor nilai tukar. Faktor ekonomi makro misalnya cadangan devisa yang menipis,
inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Tidak stabilnya
kondisi finansial suatu negara seperti melemahnya perdangangan saham, krisis
sektor perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) yang berdampak pada terus
melemahnya ekonomi suatu Negara. Namun ada
juga ahli yang mencoba melihat penyebab krisis ekonomi dari sudut ilmu-ilmu
sosial lainnya dan ada pula yang melihat dari tinjauan agama. Tulisan ini akan
melengkapi uraian tentang krisis ini dari hasil refleksi ramadhan kali ini.
Akumulasi Kezaliman
Dapat dipastikan
bahwa kata-kata zalim sudah tidak
asing bagi kaum Muslim karena ia sering kali didengar dalam khotbah, ceramah
dan dijumpai dalam buku-buku agama
Islam. Tetapi justru karena seringnya dijumpai itulah agaknya “utility”
kata-kata ini menjadi berkurang (meminjam istilah marginal utility dalam teori
permintaan) yang direfleksikan dalam kenyataan sosial bahwa ia kurang
mendapatkan perhatian serius atau malah cenderung diremehkan. Padahal ia
merupakan kata-kata kunci untuk mengalisis jatuh bangunnya suatu peradaban dan
bangsa.
Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzhur (630-711 H)
mengartikan kata-kata “zulm” sebagai “meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya”. Ini merupakan arti dasar dari kata-kata tersebut. Sepintas
kalimat ini agaknya sepele, tetapi bila konteks pembicaraan itu suatu subjek
yang paling sakral, maka artinya menjadi sangat signifikan. Itulah sebabnya
al-Qur’an mengatakan bahwa syirik adalah kezaliman yang paling besar (al-Qur’an
Luqman : 13). Dalam al-Qur’an 18:59 dinyatakan “Dan negeri-negeri itu Kami
hancurkan lantaran mereka berlaku zalim dan Kami jadikan masa kehacuran meraka
suatu ketetapan (waktu).” Ayat ini seolah menjadi penutup bagi ayat-ayat
sebelumnya yang menjelaskan perilaku bangsa-bangsa yang mendustakan kebenaran dari
Allah SWT dan akhir perjalanan mereka menemui kehancuran karena kezaliman yang
mereka lakukan. Ayat ini seolah berkata: “Begitulah perjalanan akhir dari
tiap-tiap bangsa yang menolak kebenaran dariKu, mendustakan utusanKu dan lebih
memilih jalan hidup yang didasarkan bukan pada ajaran-ajaranKu.” Mereka
menganiaya dirinya sendiri dengan menempatkan kebatilan sebagai haluan
kehidupan dengan mengabaikan dan mengenyampingkan wahyu. Oleh sebab itu mereka
menemui kehancuran lantaran keseimbangan dalam kehidupan tidak lagi dapat
dipertahankan.
Dalam ayat lain
(al-Qur’an 17:16) Allah mengatakan : “Dan jika Kami hendak menghancurkan
suatu negeri, Kami ilhamkan orang-orang yang hidup mewah di dalamnya, maka
mereka berbuat kedurhakaan di dalamnya, lalu terwujudlah ketetapan
(kehancurannya) maka Kami hancurkan sehancur-hancurnya.” Mutrof (orang-orang yang hidupnya
berlebih-lebihan karena memiliki kekayaan yang banyak) adalah segolongan kecil
dalam suatu komunitas tetapi karena kekayaannya, mereka dapat mendominasi
aspek-aspek kehidupan masyarakat dan berbuat yang melanggar aturan tetapi tidak
terjangkau oleh undang-undang yang berlaku. Para mutrofin ini adalah motor kedurhakaan, kejahatan, kemaksiatan dan
kenistaan dalam masyarakat. Mereka memiliki sumber daya baik itu manusia maupun
modal dan memiliki akses yang banyak sehingga dapat memasuki semua jaringan
kehidupan ekonomi, politik, sosial, pertahanan dan sebagainya. Bahkan dengan
sumber kekuatan dan akses yang ada di tangannya mereka dapat mempengaruhi
kebijakan pemerintah di hampir semua sisi kehidupan.
Mereka adalah
orang-orang yang berada di garis paling depan menentang kebenaran yang dibawa
oleh setiap Rasul. Dalam banyak kesempatan al-Qur’an menyebutnya dengan mala’ seperti dalam al-Qur’an 2: 246;
7:60, 66, 75, 88 dan lain-lain. Jika mutrof
lebih memperlihatkan aspek kekayaan yang dinikmati oleh orang-orang kaya secara
berlebih-lebihan, maka mala’ memiliki
dimensi kepemimpinan, kepemukaan dan kewibawaan yang terjadi timbul karena
sifat-sifat kepemimpinan. Karena itu mereka adalah para pemuka, pembesar dan
orang-orang yang terpandang di kalangan suatu kaum. Mereka adalah rujukan bagi
setiap persoalan yang timbul di kalangan para anggota warganya.
Dalam ayat lain
(al-Qur’an 6:123) menyebutkan akaabir
mujrim yang artinya pembesar-pembesar penjahat dengan segala gerak-geriknya
yang mengandung berbagai tipu daya dan makar untuk menegakkan dan memenangkan
kebatilan. Sebaliknya mereka menentang
dan menolak kebenaran yang datang dari Rasul.
Baik mutrof, mala’ maupun akaabir mujrim
memiliki sifat yang sama yaitu menentang ajaran kebenaran yang dibawa oleh para
Nabi dan Rasul. Dalam konteks masa kini agaknya ketiga golongan tersebut dapat
diwakili oleh konglomerat, politisi dan petinggi militer atau pejabat tinggi
negara. Ketiga golongan ini bila telah bersekutu dalam kefasikan, kejahatan,
makar dan monopoli dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan negara dapat
dibayangkan apa yang terjadi pada suatu negara. Kebijakan pemerintah tidak lagi
mencerminkan prioritas sosial yang sesungguhnya melainkan hanya menjadi tameng
dari kepentingan sekelompok orang. Kebijakan demikian senantiasa menguntungan
mereka dan merugikan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya semua
ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
itu untuk mensucikan mereka (al-Qur’an 62:2), mengangkat beban dan
belenggu yang di kalungkan pada mereka (al-Qur’an 7:157). Dengan implementasi
ajaran-ajaran agama yang dibawa oleh
para Nabi itu, maka keseimbangan sosial
yang merupakan salah satu bentuk keseimbangan yang berlaku di dunia (lihat
al-Qur’an 55: 7-8) dapat diwujudkan. Tanpa keseimbangan, yang berarti juga
tanpa keadilan, maka neraca alam semesta ini akan timpang dan akan menimbulkan
kehancuran.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa suatu bangsa yang akan
mengalami kehancuran terlebih dahulu mengidap faktor-faktor yang akan
menyebabkan kehancurannya. Di antara faktor-faktor kehancuran itu adalah
munculnya mutrofin yaitu orang-orang
kaya yang hidupnya berlebih-lebihan dan bergelimang dengan harta dan
kesenangan. Mereka mengumbar nafsu syahwatnya tanpa sedikitpun mengindahkan
norma-norma agama dan kebenaran. Mereka melakukan segala bentuk kemaksiatan dan
bahkan kemaksiatan itu sendiri kadang-kadang merupakan lahan bisnisnya yang
sangat luxratif.
Dengan dukungan
sumber daya modalnya yang begitu besar maka bisnis kemaksiatan dalam masyarakat
menjadi berakar kuat sehingga menjadi salah satu lapangan pekerjaan yang besar
bagi sebagian penduduk. Ketika jaringan bisnis kemaksiatan ini sudah kuat, maka
sukar sekali pemerintah akan menghambat geraknya atau menghapuskannya sama
sekali. Dalam keadaan seperti ini, terjalinlah sinerji antara pihak penguasa
(pejabat pemerintah), pihak keamanan (para oknum) dan pengusaha yang memiliki
usaha maksiat ini. Pihak pemerintah melindungi aktifitas bisnis ini dengan
mengeluarkan serangkaian peraturan yang menjadi dasar hukum dibolehkannya
kegiatan ini dengan imbalan pemasukan lewat pajak. Sementara itu pihak keamanan
akan menjaga dan mengamankan dari serbuan kelompok-kelompok yang tidak menyukai
kegiatan bisnis dosa ini dengan imbalan uang keamanan. Akan halnya dengan
pengusaha, mereka tidak segan-segan merogoh koceknya asalkan keuntungan
didapatkan.
Dalam situasi
perekonomian yang mengabaikan norma-norma agama ini sudah dapat diduga bahwa
berbagai macam dan warna kezaliman akan terjadi. Pelaksanaan agenda pembangunan
ekonomi dalam semua sektornya senantiasa dibarengi dengan pemaksaan-pemaksaan,
intimidasi bahkan dengan perampasan hak milik wong cilik. Di atas kertas
pembebasan tanah mencerminkan secuil keadilan, tetapi dalam pelaksanaanya
seringkali keadilan itu sudah menguap terlebih dahulu sebelum sampai ke tangan
yang berhak. Praktek-praktek mark up proyek juga sangat luas dilakukan
sehingga mayoritas beaya proyek sama sekali tidak mencerminkan ongkos riil yang
sebenarnya ditambah lagi kualitas bangunan proyek yang sub standar sehingga
hancur sebelum manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Dengan bekal
informasi yang lebih baik dari pada pekerja dan kaum buruh, para majikan
kapitalis dapat dengan mudah mengeksploitasi karyawan mereka dengan memberikan
gaji yang tidak memadai. Mereka menginginkan karyawannya melaksanakan pekerjaan
habis-habisan tetapi dengan memberikan upah di bawah standar. Para karyawan itu
tidak sepenuhnya dapat meraih hak-hak formalnya atau dipersulit mendapatkan hak-haknya
bahkan seringkali mereka mendapatkan perlakuan yang tidak hormat sehingga
di-phk begitu saja tanpa konpensasi yang memadai. Dalam pikiran majikan,
perlakuan ini tidak menjadi soal sebab ia berkeyakinan akan dengan mudah
mendapatkan penggantinya karena di Indonesia labor supply tidak terbatas sehingga sangat mudah merekrut karyawan
baru. Pengetahuan mereka tentang kondisi perburuhan di Indonesia ini sangat
mendukung posisi bargaining mereka vis-a-vis para buruh. Sebaliknya kaum
buruh tidak memiliki bargaining position
yang menguntungkan karena di satu sisi dukungan perangkat undang-undang sangat
lemah dan di sisi lain pasokan tenaga kerja melimpah ruah. Pada umumnya nasib kaum buruh di Indonesia,
sebagaimana di dunia ketiga yang padat penduduknya, hanyalah sebagai sapi
perahan para majikan kapitalis belaka.
Aspek
pelaksanaan hukum barang kali juga menjadi daftar tambahan kezaliman yang tidak
kalah beratnya ditimpakan ke pundak rakyat. Praktek suap menyuap (riswah)
sudah menjadi fenomena biasa. Mulai dari sekolah, layanan publik, penentuan
kebijakan, hingga menjadi PNS. Fenomena ini diperburuk lagi ketika penjahat
ekonomi, yang jaringan bisnisnya kelewat besar sehingga menjangkau dan
melibatkan institusi dan aparat pemerintah, beroperasi dengan merampok uang dan
tanah rakyat, menguras sumber-sumber daya alam seperti pertambangan, kehutanan,
kelautan dan lain-lain. Para penjahat kelas nasional ini juga menggotong uang
rakyat ke luar negeri ketika mereka tahu bahwa perekonomian Indonesia akan
terkena badai krisis.
Ini semua
ditambah dengan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang berujung pada
pengambilan hak orang lain secara batil makin menambah akumulasi kezaliman
dalam masyarakat. Praktek demikian berjalan aman tanpa ada yang berani mengusik
karena dikemas dengan baju yang indah dan menawan hati. Hanya Tuhanlah yang
tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Karena itu
krisis yang menimpa Indonesia ini harus dilihat dari kesadaran keimanan. Bahwa
apa yang telah dan tengah berlangsung di bawah payung kedamaian semu
sesungguhnya hanyalah tumpukan dan onggokan ketidakadilan dan kezaliman yang
sudah menjomplangkan keseimbangan sehingga menuangkan badai krisis
multidimensional berikutnya. Penanggulangannya tidak bisa hanya dengan
menggunakan pendekatan ilmiah bebas nilai. Pendekatan demikian sangat tidak
memadai. Diperlukan pendekatan yang lain yaitu dengan mendekatkan diri kepada
Allah dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Tanpa dibarengi
dengan ini, keberhasilan yang akan dicapai akan bersifat sementara dan akan
mendatangkan musibah yang boleh jadi lebih besar di belakang hari.
Gambaran di atas
hanyalah ilustrasi betapa ketidakadilan dan kezaliman telah mendominasi
segi-segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sendi-sendi kehidupan tidak bisa
berjalan secara normal karena terhalang oleh kuatnya arus yang menghambat.
Dalam konsep Islam amar makruf dan nahi
munkar harus ditegakkan jika
perjalanan kehidupan bangsa hendak dilanjutkan. Untuk amar makruf barang kali memiliki tingkat resiko yang kecil relatif
terhadap nahi munkar. Karena itu
banyak kalangan, termasuk mereka yang bergelimang dalam kemaksiatan,
menyuarakan amar makruf. Tidak
demikian halnya dengan nahi munkar.
Ia memiliki tingkat resiko yang tinggi dan berbahaya sehingga tidak semua orang
berani menyuarakannya. Barangkali karena faktor inilah maka al-Qur’an
menyebutkan salah satu faktor kenapa Bani Israil dikutuk lewat lisan Dawud dan
Isa disebabkan karena mereka tidak saling melakukan nahi munkar, ingat
bukan amar makruf.
Dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, konsep amar
makruf dan nahi munkar harus
dijalankan jika masyarakat ingin berjalan dengan seimbang. Jika tidak, maka
keseimbangan sosial tidak terwujud dan masyarakat itu meluncur kepada
kehancuran. Dalam konteks kehidupan di Indonesia dapat dirasakan bahwa nahi munkar tidak mendapatkan dukungan
dari pihak yang berwajib. Kebanyakan yang melaksanakannya adalah pemuka
masyarakat dan agama yang sudah terlanjur putus harapan terhadap pihak
keamaanan. Ini terjadi karena kekuatan kebaikan dalam masyarakat sudah tidak
dapat mentolerir merebaknya kemaksiatan di
lingkungananya. Jika kemaksiatan dibiarkan berjalan tanpa ada nahi munkar, maka seluruh warga akan
terkena hukuman langit termasuk para pemuka agama dan masyarakat tersebut.
Menurut Islam terdapat hubungan yang erat antara
keramahan alam dan perilaku manusia. Banyak ayat suci al-Qur’an yang
menjelaskan hakekat demikian, (lihat al-Qur’an 71:10-12). Dalam ayat-ayat
tersebut dijelaskan bahwa keimanan dan ketakwaan para penduduk negeri akan
berdampak positif kepada keramahan alam sekitarnya. Mereka akan mendapatkan
rizki yang banyak karena potensi alam keluar dengan berkah-berkahnya. Takwa dan
keimanan dengan segala manifestasinya akan menghapuskan ketidakadilan dan
kezaliman dalam masyarakat. Takwa dan keimanan secara inheren mengandung makna
anti ketidakadilan dan kezaliman. Karena itu, dalam refleksi Ramadan kali ini,
bagi insan yang beriman tidak ada jalan keluar dari berbagai krisis ini
melainkan hanya kembali kepada Allah, kembali ke jalanNya yang lurus. Marilah
kita kerjakan perintahNya dan kita tinggalkan segala laranganNya. Hanya itulah
satu-satunya pilihan. Semoga orang-orang yang berakal itu mendapatkan petunjuk
yang benar. Amin.
0 Comments:
Post a Comment