Dibeberapa
daerah Kabupaten/Kota di Provinsi NTB saat ini kita lihat berbagai macam upaya
pemerintah daerah dalam pembangunan infrastruktur dan menata kehidupan
masyarakat, misalnya apa yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten Lombok
Tengah, khususnya daerah perkotaan, Kota Praya yang menjadi pusat administrasi
dan ibu kota kabupaten/kota, namun demikian pertanyaannya adalah adakah semua
itu sudah berada sesuai dalam jalurnya? Dan adakah dampak (baik positif maupun
negatif) yang akan ditimbulkan dimasa yang akan datang? Tulisan ini akan
mencoba mencermatinya.
Pembangunan
ekologis kota ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memiliki
tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Pembangunan
berkelanjutan dengan demikian merupakan kebijakan pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara
harmonis. Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik
wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh
perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi
dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat.
Selama tiga dasa warsa terakhir ini, kota-kota di Indonesia
mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa. RTH perkotaan
kita berkurang dari rata-rata 35% menjadi kurang dari 10%, lahan-lahan
produktif dan persawahan teknis kita mengalami alih fungsi menjadi
pabrik-pabrik maupun rumah-rumah hunian dengan laju di atas 50.000 hektar per
tahun. Kawasan kumuh yang menempati ruang-ruang yang bersifat lindung seperti
bantaran sungai, di bawah SUTET, kolong jembatan dan kawasan resapan, serta
ruang-ruang lainnya yang tidak kita alokasikan sebagai ruang hunian, makin
berkembang tak terkendali. Di sisi lain desakan pemilik modal juga memaksakan
pengembangan kawasan-kawasan hunian pada lokasi-lokasi yang seharusnya kita
lindungi seperti sempadan pantai, kawasan rawa, dan kawasan genangan (retention basin).
Beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan jalur hijau yang ada, banyak yang
dimanfaatkan untuk keperluan lain yang tidak semestinya seperti SPBU, kios-kios
PKL, maupun aktivitas hunian illegal (squatters). Akibat “penganiayaan” yang di luar batas tersebut, sekarang
kita mulai merasakan akibatnya, yaitu banjir, longsor, kekeringan, land-subsidence dan
ruang kota yang centang perenang dan carut marut.
Sebenarnya dalam upaya implementasi rencana tata ruang harus
disertai dengan perangkat peraturan zonasi (zoning
code), yang mengatur secara tegas kegiatan apa
yang boleh, apa yang bersyarat dan apa yang dilarang pada setiap jenis zona
peruntukan. Pelanggaran terhadap peraturan pemanfaatan tersebut akan diancam
dengan sanksi. Tanpa peraturan semacam ini, rencana tata ruang hanya akan
menjadi macan kertas. Sehingga benar apabila dikatakan: better regulation without planning, than planning without
regulation. Peraturan zonasi ini tentu juga harus
bersifat pro-lingkungan, terutama terkait dengan upaya perlindungan dan
pemulihan terhadap kawasan-kawasan yang berpotensi menurunkan daya dukung
kawasan, seperti pengaturan tentang persyaratan RTH di lahan-lahan privat dan
kawasan hunian, ketentuan tentang sempadan sungai, dan pantai serta
lokasi-lokasi yang diperuntukkan sebagai daerah resapan dan genangan sementara
(retention basin). Artinya pengembangan kawasan perkotaan harus mendahulukan
kawasan mana yang tidak boleh dibangun, bukan sebaliknya.
Pertanyaannya adalah kearah mana sebetulnya kebijakan pengembangan
perkotaan kita? Di negara-negara maju seperti Amerika sekarang ini terdapat dua
kubu cara pandang dalam menata ruang kota, yaitu smart growth dan libertarian. Dittmar, Hank dan Ohland, 2004). Kubu pertama
adalah kelompok yang sangat mempercayai kekuatan perencanaan dan regulasi (regulatory) dalam
mengarahkan dan mengendalikan pembangunan kawasan. Namun pendekatan ini dinilai
mengabaikan kekuatan-kekuatan pasar (baca: korporasi) dan trend yang berkembang di masyarakat, yang pada
kenyataannya juga banyak mempengaruhi pembentukan ruang-ruang yang ada.
Sebaliknya, kelompok kedua lebih mengedepankan pentingnya kekuatan
pasar, dan menafikan upaya-upaya perencanaan terhadap pengembangan ruang.
Menurut mereka, pasarlah yang paling berhak memutuskan apakah suatu
pengembangan kawasan perlu dilakukan atau tidak. Sehingga kebijakan
pengembangan ruang cukup dilakukan secara discretionary, karena menurut mereka rencana yang tidak memihak pasar tidak
akan cukup seksi untuk dijual. Belakangan memang muncul konsep-konsep
pengembangan kawasan yang cenderung mengambil jalan tengah, seperti konsep Transit Oriented Development
yang cenderung mengembangkan kawasan-kawasan terpadu yang kompak, dengan
peruntukan yang beragam namun sangat handy
dan ramah lingkungan. Karena itulah semua
pihak harus menyadari fungsi dan perannya masing-masing, pemerintah, swasta dan
masyarakat harus bahu membahu.
Untuk itu, harus dibuat rencana-rencana tata ruang yang lebih peka
dan pelibatan masyarakat, baik orang-perseorangan maupun swasta sebagai
pemangku kepentingan yang memiliki saham dalam pembentukan ruang-ruang kita di
perkotaan. Pada akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan ruang yang
aman, nyaman dan layak huni bukanlah sesuatu yang “murah”. Tapi itulah nilai
tambah yang selama ini dijual oleh para perencana (baca: pengembang) sehingga
masyarakat bersedia membayar lebih mahal untuk dapat tinggal di lingkungan
hunian yang lebih nyaman. Jadi persoalannya adalah bahwa ternyata bagi sebagian
besar masyarakat kita, tata ruang masih merupakan “barang mewah”. Pemerintah daerah
sendiri tentu tidak akan sanggup untuk membiayai seluruh pembangunan kawasan.
Yang penting adalah bagaimana kita secara bersama-sama dapat menata ruang
secara cermat, memanfaatkan secara tepat dan mengendalikan secara ketat.
Di daerah-daerah perkotaan masalah-masalah
yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup meliputi aspek fisik seperti
kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan perumahan seperti kekumuhan,
kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta kualitas dan keselamatan
bangunannya; ketersediaan sarana dan prasarana serta pelayanan kota lainnya;
aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi
antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk
menyalurkan kebutuhan‐kebutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi serta
mengapresiasikan aspirasi‐aspirasi sosial budaya; serta jaminan perlindungan
hukum dan keamanan dalam melaksanakan kehidupan. Kekumuhan kota disebabkan
karena sumberdaya yang ada di kota tidak mampu melayani kebutuhan penduduk
kota. Kekumuhan kota bersumber dari kemiskinan kota, yang disebabkan karena
kemiskinan warganya dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam memberikan
pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan
karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup
layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas.
Peranan perkotaan, khususnya kota-kota besar dan
metropolitan, sangat signifikan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional
atau dikatakan sebagai engine of
growth perekonomian nasional. Kota-kota metropolitan
mampu menyumbangkan 23,19 persen dari total PDRB Nasional tahun 2007 saja,
demikian pula kota-kota besar yang mampu menyumbangkan 8,83 persen. Sementara
itu, kota-kota menengah yang merupakan jenis kota terbanyak di Indonesia hanya
mampu menyumbangkan 7,63 persen. Peran kota-kota besar sebagai engine of growth tidak
dapat lepas dari keberadaan sektor-sektor perdagangan besar (formal) dan
sektor-sektor informal yang ada di kota-kota besar dan metropolitan. Kota
menengah yang merupakan kelompok kota terbanyak di Indonesia bersama dengan
kota-kota kecil memiliki keterbatasan sumber pendanaan pemerintah daerah dalam
pembangunan kota sehingga belum berkembang secara optimal baik dari segi fisik,
ekonomi, maupun sosial dan belum dapat menjadi pusat pemasaran bagi produksi
kawasan perdesaan. Hal ini pulalah yang semakin memperluas kesenjangan
kesejahteraan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Di lain pihak, tingginya perpindahan penduduk
dari desa ke kota menyebabkan pemadatan penduduk dan kegiatan di kota serta
meluasnya kawasan pinggiran kota (urban
sprawl). Perkembangan perkotaan yang ekstensif juga
menyebabkan besarnya persentase perubahan lahan sawah menjadi nonsawah dan perumahan
dari tahun 2005 hingga tahun 2007. Di Pulau Jawa, sebesar 58,7% lahan sawah berubah
menjadi perumahan dan 21,8% berubah menjadi lahan nonsawah, sedangkan di luar
Pulau Jawa, sebesar 16,1% lahan sawah berubah jadi perumahan dan 48,6% berubah
menjadi lahan nonsawah (Kementerian PU, 2008).
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, telah diatur penataan ruang kawasan perkotaan yang terdiri atas
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan
kerja sama penataan ruang di kawasan perkotaan. Sementara itu, pada PP No. 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah diatur rencana
struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang
terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana utama.
Kebijakan untuk menata kembali pembangunan
perkotaan telah dimulai melalui beberapa peraturan seperti Permendagri No. 1
Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan serta Peraturan
Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan
Perkotaan. Bahkan, upaya menata infrastruktur telah dilakukan, baik melalui
penyusunan Rancangan Permendagri tentang Standar Pelayanan Perkotaan (SPP),
maupun yang secara teknis telah diatur, antara lain Permendagri No. 9 tahun
2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Perumahan
dan Permukiman di Daerah, Permen PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, serta Permendagri
No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
0 Comments:
Post a Comment