Jumat, 22 Januari 2010

Islam, Economics, and Society

Syed Nawab Haider Naqvi (1994)

Islam, Economics, and Society. London & New York: Kegan Paul International.


  1. Pendahuluan

Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.

Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat liberal hingga radikal.

Disisi lain, Max Weber dalam karyanya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.1 Demikian halnya dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya. Namun yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan etika, politik dengan etika, perang dengan etika dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan etika. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi etika manusia. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme, perilaku ekonomi kaum telah terasingkan dari karakter etik dan nilai-nilai yang dianggap benar. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.

Kenyataannya etik (moral) memang bersifat universal. Pembeli akan merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.2 Tidak ada lagi tempat, bahwa kebahagian individu harus mencakup aspek kebahagiaan diri sendiri sekaligus kesejahteraan orang lain, khususnya orang miskin dan anak terlantar, yang memiliki hak atas sebagian harta orang kaya.

Meskipun Max Weber menyangsikan eksistensi ekonomi Islam, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini tidak terbukti benar dan kesimpulan Max Weber ini terbantahkan oleh Chapra, dengan menyatakan bahwa “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”.3

Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statement menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut.4 Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi

Dan pada book review kali ini, kita akan melihat bagaimana Naqvi mengelaborasi lebih jauh perihal Islam, ekonomi dan masyarakat yang erat terkait dengan gagasan membangun perekonomian Islam. Berikut uraiannya.


  1. Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian dan beberapa studi yang menyangkut Islam, Economic and Society telah banyak dilakukan oleh para ahli, diantaranya adalah seperi yang telah disebutkan di atas yakni oleh Max Weber (1965) dengan karyanya The Sociology of Religion, Economy and Society yang diterbitkan pada 1978 dan General Economic History yang diterbitkan pada 1961,5 Thomas Ulen (1983) dengan artikelnya Review of Nelson and Winkers, An Evolutionary Theory of Economic Change in Business History Review,6 ada juga Amitai Etzioni (1988) dengan Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru,7 Peter F. Drucker (1989) dengan The New Realities.8 Juga Adiwarman Azwar Karim (2004) dengan Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam),9 M. Umer Chapra (2001) The Future of Economics: An Islamic Perspective,10 Afzalur Rahman (1995) dengan Doktrin Ekonomi Islam,11 Syed Nawab Haider (1981) dengan Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, Nelson H. Robert (2001) dengan Economics as Religion, juga Rodney Wilson (1997) dengan Economics, Ethics, and Religion12 Abdul Mannan (1993) dengan Teori dan Praktek ekonomi Islam,13 dan masih banyak yang lainnya.


  1. Sense of Academic Crisis

Isi buku merupakan jawaban atas kegelisahan penulisnya mencari format rancang bangun ekonomi Islam dalam Islam, perekonomian dan masyarakat dan dari beberapa diskusi dengan ilmuwan dan profesor dalam bidang ekonomi Islam.14 Buku ini ditulis beranjak dari keinginan untuk menguraikan tentang bangunan ilmu ekonomi dalam Islam. Seperti apa yang ditulis Naqvi bahwa tulisan ini menyajikan bagaimana ajaran Islam tentang ekonomi juga terkait dengan etika universal15 dan bagaimana ekonomi Islam menjelaskan sejumlah pernyataan yang bersifat feasible menyangkut perilaku orang-orang Islam refresentatif dalam sebuah masyarakat Muslim riil hidup berkenaan dengan nilai-nilai ideal yang tertanam dalam suatupersonalitas yang jelas. 16

Sebenarnya, tantangan yang dihadapi menyangkut bagian inti paradigma ekonomi, seperti yang handak diuraikan Naqvi dalam buku ini, beranjak dari penolakan dimensi moral dalam paradigma ekonomi neo-klasik, dan kegelisahan ini bergerak menuju upaya menemukan “peran kunci nilai moral” untuk mencari “apa yang benar dan apa yang menyenangkan”. Dan dalam konteks pencarian paradigma inilah krisisi akademik ini berawal serta bagaimana menawarkan suatu frama work bagi upaya reorganisasi ekonomi Negara-negara Muslim


  1. Topik-Topik Pemikiran

Diawali dengan penjelasan menyangkut ekonomi Islam yang membahas tentang perilaku orang-orang Islam dalam suatu masyarakat Muslim yang khas, Naqvi mendefinisikan ekonomi Islam adalah merupakan kebiasaan baru yang radikal dalam praktek ekonomi hal ini didasarkan pada postulat bahwa praktek ekonomi Islam bersentuhan dengan realitas masyarakat Islam dan pentingnya mengkaji perilaku masyarakat Muslim serta menghubungkan perilaku para pelaku ekonomi dengan masyarakat Muslim, hal ini dibutuhkan karena desakan untuk memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etik yang didasarkan pada agama dalam suatu frame work analisis yang terpadu.17

Dalam karyanya ini Naqvi menjelaskan bahwa ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-ajaran etik social Al Qur’an dan Sunnah.18 Dengan jelas Naqvi mengungkapkan hubungan etika religious tersebut, dan menjelaskan bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan oleh sejauh mana nilai-nilai etika religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil.

Etika dalam perilaku ekonomi sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh)19

Dengan kerangka dasar nilai-nilai etik tersebut, Naqvi mengembangkan suatu frame work yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi. Pendekatan axiologis ini, diawali dengan filsafat etika melalui logika-matematik guna merumuskan garis-garis besar system ekonomi Islam. Disini Naqvi berangkat dari empat aksioma dalam fondasi system ekonomi Islam, dengan prasyarat: pertama, perangkat itu harus merupakan refresentasi pandangan yang memadai dan legitimate menyangkut etika Islam, kedua, kumpulan aksioma tersebut harus berupa suatu bentuk dasar. Ketiga, yakni memiliki keterkaitan dan independensi dan keempat, harus konsisten satu dengan yang lain.20 Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam adalah khas dan dapat mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive21 secara simultan, sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan social.22

Selanjutnya Naqvi menjelaskan perilaku ekonomi Muslim ‘teladan’ dalam sebuah khidupan nyata dan khas masyarakat Muslim yakni dengan membandingkan Islam dengan system ekonomi sosialisme, kapitalisme dan doktrin Negara kesejahteraan.23 Hal ini dimaksudkan untuk menetapkan superioritas system ekonomi Islam diantara system ekonomi yang lain dari sudut pandang Muslim representative dan menjadikannya sebagai suatu ilustrasi dengan membandingkannya.

Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. "Kecelakaanlah bagi setiap . yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung" (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, "jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu" (59:7). Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak
demikian, karena etika
Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter

Manusia sebagai wakil (kalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Dari sini, selanjutnya Naqvi merumuskan lima sasaran kebijakan yang ia tarik dari postulat-postulat etika dasar Islam yakni menyangkut kebebasan indiviudu, keadilan distributive, pertumbuhan ekonomi, pendidikan universal (untuk umum) dan peluang kerja maksimum24 disinilah Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam dapat mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive secara simultan sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan social.25

Menurut Naqvi, menyangkut instrument-instrumen kebijakan ekonomi dalam Islam adalah memnuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan solusi yang memuaskan adalah suatu solusi dimana keadilan distibutif dijamin dalam semua keadaan ekonomi,baik secara tetap ataupun tidak tetap. Menyoroti masalah kebijakan pertumbuhan ekonomi yang dijadikan patokan, Naqvi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu mewujudkan kesejajaran, jika ketimpangan yang lebar terjadi dalam struktur dasar kepemilikan pribadi, khususnya kepemilikan laham atau tanah. Dengan demikian maka system jaminan social harus dilirik guna mengurangi kesulitan akibat pertumbuhan. Dan Negara harus secara aktif melengkapi, bukan mengganti,kekuatan pasar untuk menjamin bahwa inisiatif individu tidak jatuh kedalam ketamakan pribadi atas perolehan-perolehan yang tidak produktif26

Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur'an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Dengan kata lain, menemukan solusi Islam berarti sadar betul akan konsekuensi-konsekuensi ekonominya., sebagaimana juga menurunkan tingkat eksploitasi ekonomi secara keseluruhan.27

Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang berpihak kepada semua pelaku ekonomi, bahkan kepada semua orang dan tidak hanya orang Muslim saja. Di samping itu, sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada mekanisme pasar, tapi tetap memberikan peran pada pemerintah, kekuatan sosial dan hukum untuk melakukan intervensi dan koreksi demi terjaminnya pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat banyak. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang menjamin kekuatan ekonomi tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha, disamping mampu melakukan pemberdayaan ekonomi rakyat banyak, serta memberikan kesejahteraan lahir batin secara hakiki. Disinilah Naqvi menguraikan peran yang dimainkan oleh system PLS (Profit and Loss Sharing) tidak saja direkomendasikan sebagai pengganti system ribawi, namun ia juga member manfaat dalam aktivitas-aktivitas pemberian pinjaman-pinjaman di perbankan dan untuk pengembangan usaha skala kecil.28

Keyakinan akan mampunya sistem ekonomi Islam untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda dunia ketiga ini terpancar dari prinsip-prinsip dan adanya beberapa konsep yang memang sangat humanis dan erat dengan nilai-nilai religious etis. Namun pada kenyataannya masyarakat Muslim masa kini belum sepenuhnya memiliki sebuah masyarakat tersendiri, dan mereka masih berada dalam bayang-bayang system Barat, karenanya, sangat diragukan sejauh mana etos Islami ini dapat dipresentasikan dalam prilaku masyarakat. Karena itulah, menurut Naqvi,peringatan harus selalu disampaikan.29


  1. Pendekatan dan Metodologi

Menurut Naqvi30 Untuk mendiskusikan model atau sistem ekonomi Islam, kita harus melakukan dua hal: Pertama, kita harus mampu menguraikan karakteristik dasar ekonomi Islam -yang kemudian harus berfungsi sebagai patokan untuk membuat pernyataan tentang keberlakuan ekonomi ini. Dalam kerangka pemikiran ini tidak ada tempat bagi aspek yang dilarang (amoral) dalam ekonomi, menurut Naqvi hanya pernyataan positif dapat mengklaim validitas objektif. Sebaliknya, di sini kita harus memperhitungkan dengan kombinasi penilaian positif dan penilaian normative. Semacam kombinasi ekonomi dengan membuat kalkulus lebih kaya dalam isi, dan analitis yang lebih memadai, untuk memahami sifat masyarakat manusia. Kedua, kita harus menunjukkan bahwa praktek yang dilakukan masyarakat Muslim, secara khusus berbeda dengan apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya dipraktekkan oleh masyarakat Muslim. Tidak ada yang aneh dalam persfektip ini, sebagaimana saat ini dipahami secara luas, hukum ekonomi bukan kumpulan kebenaran mutlak, bahkan, relatif terhadap keadaan masyarakat.

Naqvi juga menolak pandangan positivistic bahwa ilmu ekonomi tidak bisa disentuh etika. Dan menyatakan bahwa ilmu ekonomi bebas yang menggunakan nilai sebagai dasar pernyataan ilmiah yang diakui memiliki validitas obyektif dan melangkah lebih jauh dengan mengakui agama sebagi sumber etika. Dari sini maka Naqvi menggunakan pendekatan multi disiplin melalui logika matematika, filsafat untuk mengungkap karakteristik ilmu ekonomi Islam yang khas. Terkait dengan ilmu ekonomi Barat, Naqvi mengambil sikap eklektif, dan terhadap segi-segi khusus masyarakat Muslim, Naqvi mengambil sikap relatifistik. Tujuannya ialah guna menciptakan pengetahuan baru, dan bukan hanya sekedar hasil adaptasi dari hasil karya-karya sebelumnya.31


  1. Kesimpulan

Perbincangan mengenai ekonomi Islam adalah erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang telah dibangun sebelumnya. Adanya ungkapan bahwa sistem ekonomi Islam adalah hasil adopsi dari rancang bangun sistem ekonomi sebelumnya. Sistem ekonomi konvensional selanjutnya disebut dengan sistem ekonomi sosialis dan kapitalis mungkin mempunyai andil besar dalam membagun sistem perekonomian di dunia, tetapi dengan tidak mengenyampingkan peran ekonomi Islam.

Dalam system ekonomi Islam, etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakanekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).

Konsep etika religious ini menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial yang tinggi. Ini adalah sebuah alasan mengapa prinsip-prinsip etik merupakan nilai fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam -yakni diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi, konsumsi dan sebagainya. Inilah mungkin yang perlu dicatat bahwa sistem ekonomi Islam akan lebih disukai orang-orang Islam dari pada sosialisme dan kapitalisme, tidak berarti dalam dunia nyata, preferensi demikian itu akan benar-benar terlaksana, untuk bisa terjadi, sistem ekonomi Islam yang real, manakala itu diterapkan, akan berhadapan dengan tantangan dari sistem-sistem ekonomi yang ada (kapitalisme dan sosialisme).

Untuk memastikan bahwa orang-orang Islam benar-benar melaksanakan preferensi tersebut, sistem ekonomi Islam harus bertindak lebih baik daripada sistem-sistem lain dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dengan keadilan distributif, dengan mengakui secara eksplisit kebutuhan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini tidak akan terjadi hanya dengan menunjukkan sifat ilahiyah sistem ekonomi Islam tetapi dengan keberhasilannya mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah di dunia modern. Tetapi untuk melakukan ini, tujuan-tujuan dan target-target ekonomi Islam perlu dijabarkan dengan jelas, dan instrumen-instrumen kebijakan yang dirancang untuk mencapainya harus dipilih secara hati-hati, dengan membuka ruang yang luas bagi munculnya inovasi dan fleksibilitas dalam memilih baik tujuan maupun sarana


  1. Kontribusi Untuk Ilmu Pengetahuan

Buku ini mempunyai nilai dan kontribusi yang luar biasa bagi para ekonom Muslim dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentunya, khususnya bagi kalangan mahasiswa yang menekuni dan ingin mengembangkan ilmu ekonomi Islam, buku ini membuka jalan bagi munculnya suatu paradigm alternative guna merumuskan formulasi yang jelas tentang makna dan hakikat ekonomi islam. Ajaran Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis makin mendesak penerapannya bukan saja karena system ekonomi Islam berpeluang sebagai system alternative dan solusi, namun karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam etika (moral) jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi saat ini, dan pada sisi ini pula karya Naqvi ini menemukan momentumnya

Disamping itu, kontribusi buku ini juga terletak pada kontribusi yang orisinil terhadap perdebatan menyangkut elemen-elemen kunci ekonomi Islam. Kontribusi lainnya yakni membuat sistematisasi yang lebih besar dalam pemikiran ekonomi Islam dan dalam pengembangan metodologi yang telah menancapkan fondasi bagi terciptanya dialog yang bermanfaat antara para ekonom Muslim dan ekonom dari tradisi-tradisi lain32


  1. Kritik Buku

Harapan besar mungkin bisa saja disandarkan kepada sistem ekonomi Islam, yang banyak disebut-sebut, bahwa dengan sistem ini lebih mengutamakan dan meprioritaskan masyarakat kelas bawah pada setiap aspeknya. Keberpihakan ekonomi Islam kepada masyarakat Muslim dan pembangunan ekonomi Islam cukup untuk membanggakan dengan tidak meninggalkan sama sekali kepentingan yang lainya selain Islam. Buku ini sekaligus cukup memberi warna bagi kemajuan dan perkembangan khazanah intelektual ilmu ekonomi Islam. Dengan menggembar gemborkan kelebihan, keistimewaan dan perbandingan yang signifikan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional, semestinya tidak terlalu berlebihan, karena dalam tataran praktis dan realita dilapangan mungkin yang hanya bisa diandalkan dari sistem ekonomi Islam sekarang ini hanyalah melalui perbankan dan system moneternya saja. Inilah mungkin yang harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan ekonomi Islam selanjutnya dan tidak hanya sebatas pada dunia perbankan dan moneter saja. Sehingga mungkin harapan besar yang ditumpukan kepada sistem ekonomi Islam dapat dicapai.

Disisi lain, penerapan pendekatan metodologi yang dilakukan Naqvi setidaknya menjadi satu awal berpijak dalam mengelaborasi lebih lanjut apa, dan bagaimana system ekonomi Islam, khusunya dalam konteks Indonesia yang multikulturalisme. Secara etik nilai kebenaran ilmiah suatu aksioma etik, akan berbeda dalam konteks ruang dan dimensi waktunya meskipun ia berpijak pada dasar keagamaan, namun interpretasi terhadap kebenaran etik tetap membutuhkan pemahaman dan interpretasi lebih lanjut dalam berhadapan dengan kontekstualisasi masyarakat ekonomi yang multicultural, dan Naqvi sendiri belum bergerak ke arah itu, yakni pemahaman terhadap kebenaran suatu aksioma etik dengan melihat akulturasi perekonomian dan kebudayaan masyarakat secara kontekstual.


  1. Daftar Pustaka

Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.

Afzalur Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf

M. Abdul Mannan. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.

M. Umer Chapra 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Jakarta: SEBI.

Amitai Etzioni. 1992. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

Adiwarman A Karim. 2004. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). Yogyakarta: Magistra Insania Press.

Khurshid Ahmad, Kata Pengantar untuk buku Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. v

Rodney Wilson. 1988. Bismis Menurut Islam Teori dan Praktek. (Terj. J.T. Salim). Jakarta: PT. Intermasa.

Syed Nawab Haider Naqvi. 1994. Islam, Economics and Society. London and New York: Kegan Paul International

Syed Nawab Haider Naqvi. 2003. Menggagas ilmu Ekonomi Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syed Nawab Haider Naqvi. The Dimension of an Islamic Economic Model dalam Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 2, May 1997 pada http://www.irti.org/irj/go/km/docs/documents/IDBDevelopments/Internet/English/IRTI/CM/downloads/IES_Articles/Vol%204-2..Nawab%20H%20Naqvi..DIMENSIONS%20OF%20AN%20ISL.%20ECON%20MODEL.pdf. Diakses pada 22 Desember 2009



1 Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

2 Lihat juga Sonny Keraf. Etika Bisnis. (Yogyakarta: Kanisius, 1998)

3 Lihat Adiwarman A Karim. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)

4 Lihat juga pada M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)

5 Mubyarto. Etika, Agama dan….

6 Khurshid Ahmad, Kata Pengantar untuk buku Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. v

7 Lihat Amitai Etzioni. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992)

8 Khurshid Ahmad, Kata Pengantar…hal. vi

9 Lihat Adiwarman Azwar Karim. Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)

10 Lihat M. Umer Chapra The Future of Economics: An Islamic Perspective. (Jakarta: SEBI, 2001)

11 Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995)

12 Lihat Rodney Wilson. Bismis Menurut Islam Teori dan Praktek. Terj. J.T. Salim (Jakarta: PT. Intermasa, 1988)

13 Lihat M. Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993)

14 Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas ilmu Ekonomi Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. xviii

15 Ibid. hal. xii

16 Ibid. hal. xv

17 Ibid. hal. 19

18 Ibid. hal. 20

19 Ibid. hal. 37-46

20 Ibid. hal 59-61

21 Ibid. hal 88

22 Ibid. hal 92

23 Ibid. hal. 103-115

24 Ibid. hal 126

25 Ibid. hal 138-139

26 Ibid. hal 156

27 Ibid. hal 169

28 Ibid. hal 197

29 Ibid. hal 236

30 Lihat Syed Nawab Haider Naqvi. The Dimension of an Islamic Economic Model dalam Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 2, May 1997 pada http://www.irti.org/irj/go/km/docs/documents/IDBDevelopments/Internet/English/IRTI/CM/downloads/IES_Articles/Vol%204-2..Nawab%20H%20Naqvi..DIMENSIONS%20OF%20AN%20ISL.%20ECON%20MODEL.pdf. Diakses pada 22 Desember 2009

31 Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas….hal. xx

32 Khurshid Ahmad, Kata Pengantar…hal. vi

Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam

(Telaah Singkat Terhadap Sistem Ekonomi Kapitalisme-Sosialisme-Mix Economix)



  1. Pendahuluan

Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.

Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat liberal hingga radikal.

Disisi lain, Max Weber dalam karyanya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.1 Demikian halnya dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya. Namun yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan etika, politik dengan etika, perang dengan etika dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan etika. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah swt melalui Rasulullah untuk membenahi etika manusia. Nabi saw bersabda yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme, perilaku ekonomi kaum telah terasingkan dari karakter etik dan nilai-nilai yang dianggap benar. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.

Kenyataannya etik (moral) memang bersifat universal. Pembeli akan merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.2 Tidak ada lagi tempat, bahwa kebahagian individu harus mencakup aspek kebahagiaan diri sendiri sekaligus kesejahteraan orang lain, khususnya orang miskin dan anak terlantar, yang memiliki hak atas sebagian harta orang kaya.

Meskipun Max Weber menyangsikan eksistensi ekonomi Islam, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini tidak terbukti benar dan kesimpulan Max Weber ini terbantahkan oleh Chapra, dengan menyatakan bahwa “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”.3

Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statemen menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut.4 Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi.

Dan kajian menyangkut masalah keadilan distributif dalam tiga dekade belakangan ini menunjukan peningkatan dan perkembangan yang luar biasa. Masalah keadilan distributif menjadi penting karena dalam kesehariannya masyarakat lebih banyak dihadapkan pada persoalan ketidakadilan. Di pihak lain keadilan distributif juga merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan di samping tolok ukur lainnya seperti kelestarian lingkungan, kualitas kehidupan, pemerataan dan produk domestik bruto.5

Keadilan distribusi menempati posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem ekonomi Islam maupun Kapitalis, Sosialisme dan Marxisme karena pembahasan menyangkut keadilan distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan aliran pemikiran system ekonomi lainnya hingga saat ini.

Saat ini realita menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana. Menanggapi kenyataan tersebut Islam dalam system ekonominya dan diyakini memiliki klaim universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus dapat menjadi sistem perekonomian dalam suatu negara. Dalam paper ini fokus pembahasan pada bagaimana keadilan distributif (distribusi pendapatan dan kekayaan) dalam ekonomi Islam (sebagai sebuah kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis, sosialisme dan marxisme). Dengan mempergunakan pendekatan filsafat ekonomi Islam agar mendapat gambaran yang jelas tentang keunggulan sistem ekonomi Islam, dibandingkan dengan ketiga sistem yang menjadi sasaran kritik.


  1. Pembahasan


  1. Keadilan Distributif

Beberapa ahli memberikan definisi keadilan distribusi secara berbeda-beda sesuai dengan bidangnya. Filosof Aristoteles berpendapat bahwa keadilan distributif berkaitan dengan distribusi berdasarkan peran dan fungsi masing-masing dalam masyarakat.6 Deustch mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan atas apa yang telah diterima sebagai hasil dari suatu keputusan atau ketetapan pembagian.7

Sedangkan Adam Smith lebih menekankan pada kerangka teori pertukaran untuk mengevaluasi keadilan. Menurutnya, orang tidak melulu hanya melihat besarnya hasil yang diterima tetapi lebih menekankan pada apakah yang diterima tersebut sudah dirasakan adil. Cara untuk menentukannya adalah dengan membandingkan antara kontribusi atau input yang telah diberikan dengan hasil atau output yang diterimanya dan kemudian dibandingkan dengan kontribusi dan hasil yang diterima orang lain Pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Messicck dan Sentis (1983), bahwa suatu hasil dikatakan adil dan memuaskan ketika hasil tersebut sama dengan yang diterima oleh orang lain.8

Pentingnya perbandingan dengan orang lain dan proporsi input atau output dalam keadilan distribusi tercermin pula dalam definisi yang disampaikan oleh Bartol yang menyatakan bahwa keadilan distribusi adalah penilaian keadilan pada proporsi antara hasil (outcomes) yang diterima oleh individu dengan input yang diberikan dibandingkan dengan proporsi input dan hasil yang diterima orang lain. Definisi tersebut mengindikasikan pada sistem proporsional (equity) yang memang sangat populer di negara–negara barat dan yang menjadi konsep awal dari keadilan distribusi.9

Dari beberapa definisi tersebut di atas, yang menarik adalah apa yang diungkapkan dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Walaupun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Dan inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.10

Lebih lanjut, Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.11

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.12

Sedangkan John Rawls menyatakan bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.13

Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.14

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.15

Dengan demikian prinsip keadilan distributif merupakan prinsip normatif yang di desain untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya yang relatif terbatas terhadap permintaan atau tuntutan. Prinsip ini bervariasi dalam berbagai hal diantaranya adalah tergantung barang apa yang akan didistribusikan seperti pendapatan, kesejahteraan atau kesempatan. Juga berdasar pada sifat dari subjek distribusi seperti individu atau kelompok serta yang terakhir berdasar pada tata cara pendistribusian, misalnya dengan apakah menggunakan prinsip persamaan (equality), proporsionalitas (equity), kebutuhan (need) atau berdasar karakter individunya. Deutcsh menambahkan bahwa keadilan dan ketidakadilan distributif dapat dilihat pada tingkatan, yaitu nilai-nilai, peraturan dan impelementasi peraturan.16

Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan distribusi adalah persepsi keadilan terhadap besarnya hasil pembagian, pemberian dan pertukaran sumber daya yang diterima oleh individu dari orang lain atau kelompoknya. Dan prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

Sedangkan Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu` tazilah dan asy` ariyah.

Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat­ayat al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah ilahiah di muka bumi. Di satu pihak, al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat-ayat yang dapat mendukung pandangan Asy` ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.17

Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia11, dan membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. Nampak bahwa al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan.18

Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam al-Quran. Ayat-ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al­Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik”19

Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan dalam masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi.


  1. Keadilan Sosial Ekonomi

Beberapa ahli (semisal Miceli, M.P., Jung, I., Near, J.P. & Greenberg, D.B) mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu outcome, prosedur, dan sistem. Penilaian keadilan tidak hanya tergantung pada besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada cara menentukannya dan sistem atau kebijakan di balik itu. Keadilan yang berkaitan dengan outcome inilah yang sering disebut sebagai keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati, pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran. Karenanya, para ahli ekonomi menilainya sebagai keadilan pertukaran (komutatif). Bahkan, ekonom terkenal Adam Smith menyatakan bahwa hakikat keadilan adalah keadilan komutatif.20

Antara keadilan distributif dan keadilan komutatif terdapat perbedaan dan persamaan. Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang. Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara. Permasalahannya, bila masukan kedua pihak berbeda sangat jauh, kesetaraan antara kedua pihak itu juga akan sulit tercapai. Meskipun demikian perbedaan yang besar itu masih dapat dilihat persamaan prinsipnya bila pada keadilan komutatif menekankan aturan no harm dan no intervention.21 Artinya, pertukaran akan mirip distribusi karena pihak yang kuat (input besar) tidak berusaha mempengaruhi, merusak, maupun mencaplok pihak yang lemah.

Pada dasarnya, ada tiga hal yang dapat mempengaruhi sistem ekonomi:22 (1) Peraturan pelaksanaan dan permintaan sosial, yang berfungsi untuk menyediakan alat dimana individu dapat meneyelesaikan masalah yang dimunculkan dari keengganan atas fakta-fakta tertentu yang harus ada untuk menentukan keadilan umum dalam permintaan sosial. (2) Mekanisme penguatan. Karakteristik penguatan adalah setiap individu diharapkan bertanggung jawab untuk tahu teori-teori bagi diri mereka sendiri dan juga memastikan bahwa orang lain juga mengetahuinya. Dan mekanisme pengutana menjelma dalam seluruh aspek sosial. (3) Kontrak dan Ideologi, ini tidak hanya individual sebagai anggota masyarakat, melakukan pilihan atas diri mereka sendiri, tetapi mereka juga berinteraksi dengan anggota lain dari masyarakat melalui transaksi yang difasilitasi oleh kontrak eksplisit dan implisit.

Dengan ini, persoalan sosio-ekonomi tentunya tidak terlepas dari refleksi etika atau moral, karena individu akan terkait dengan individu yang lain. Menurut Keraf, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika…. dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.23

Menurut Keraf, prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan.24

Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika ekonomi sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan distributif. Menurut Bertens, berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”.25

Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam filasafat ekonomi Islam adalah konsep maqasid at-tasyri' atau maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa kesejahteraan dalam ekonomi Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah." Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.26

Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan kesejahteraan dalam pembangunan ekonomi dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari'ah.

Konsep maslahah dalam bingkai terwujudnya tujuan maqashid al-syariah27 merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam menilai kinerja pembangunan. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi sangat penting manakala pengukuran kinerja pembangunan manusia hanya dilihat pada aspek material belaka.

Sebagai sumber utama agama Islam, al-Qur’an dan Sunnah mengandung berbagi ajaran. Namun demikian al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar dan prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Dari titik inilah, Rasulullas saw menjelasakan dari berbagai hadistnya, bahwa kedua sumber inilah (al-Qur’an dan Hadis) yang dijadikan pijakan utama dalam pengembangan hukum Islam, terutama dalam hal muamalah28 dalam kerangka inilah para ulama mengemukakan konsep maqashid al-Syar’iyah.

Dengan demikian, prinsip-prinsip dan kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-Syar’iyah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Kemaslahatan, dalam hal ini diartiakan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektual dalam pengertian yang mutlak.

Imam al Haramain al Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perin­tah perintah dan larangan larangan Nya.29

Kemudian al Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al hajat al ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya al Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah).30

Pemikiran al Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridn­ya, al Gazali. Al Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan al munasabat al maslahiyat dalam qiyas yang dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkan dalam tema istislah. Maslahat menurut al Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.31

Selanjutnya, barulah pembahasan tentang maqasid al syari'ah secara lebih khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al Syatibi32 dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al syari'ah. Sudah tentu, pembahasan ten­tang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum hukum Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut. Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, ketur­unan dan harta.


  1. Telaah Perbandingan

Terdapat tiga sistem ekonomi yang saat ini berkembang yakni Kapitalis, Sosialis dan Mix Economic. Sistem ekonomi tersebut merupakan sistem ekonomi yang berkembang berdasarkan pemikiran barat. Selain itu, tidak ada diantara sistem ekonomi yang ada secara penuh berhasil diterapkan dalam perekonomian di banyak negara. Sistem ekonomi sosialis atau komando hancur dengan bubarnya Uni Soviet. Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.33

Di antara perbedaan yang mendasar menyangkut paradigma, dasar dan filosofi ke tiga sistem ekonomi tersebut. Dalam ekonomi sosialis, paradigma yang digunakan adalah Marxis yang tidak mengakui pemilikan secara individual. Semua kegiatan, baik produksi maupun yang lainnya ditentukan oleh negara dan didistribusikan secara merata menurut kepentingan negara. Dasar yang digunakan dalam ekonomi sosialis yaitu bahwa, pemilikan faktor produksi pribadi tidak diakui. Sedangkan filosofinya semua anggota masyarakat merupakan satu kesatuan yang mempunyai kesamaan hak, kesamaan tanggungjawab dan kesamaan lainnya, maka semua orang harus sama tidak boleh ada perbedaan.

Sosialisme berpandangan bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan kesemuanya berasal dari materi. Tidak ada satu Dzat pun yang menciptakan-Nya. Demikian pula pandangannya terhadap kehidupan manusia di dunia. Manusia dibaratkan seperti jeruji yang berputar mengikuti roda. Artinya kehidupan manusia berkembang sejalan dengan perkembangan materi. Selanjutnya akan melahirkan nilai-nilai dan aturan semisal aturan saat era pertanian akan berganti ketika manusia memasuki era industrialisasi dan terus berganti dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, setelah manusia mati akan kembali menjadi materi.

Dengan demikian falsafah sosialisme berdiri di atas bangunan meteri (benda) dan dialektika materialisme tentulah tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta. Materi tidaklah azali (tidak berawal dan tidak berakhir) dan tidak mungkin pula berevolusi untuk menghasilkan aturan yang tertentu. Sosialisme juga termasuk ideologi yang mengekang fitrah manusia. Naluri beragama tidak diakui bahkan agama dianggap sebagai candu. Padahal, tidak ada seorang manusia pun yang mampu membunuh naluri beragama.34

Sedangkan sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi memiliki paradigma bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Dasar pemikiran yang digunakan bahwa semua orang merupakan makhluk ekonomi yang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan tidak terbatas dan terus menerus dilakukan sesuai kemampuannya. Maka lahirlah filosofi individualisme, sehingga beranggapan bahwa semua orang berhak untuk memenuhi kebutuhannya sebanyakbanyaknya dan berhak atas kekayaan yang dimilikinya secara penuh. Faktor-faktor produksi dapat dikuasai secara individu dan digunakan oleh yang bersangkutan sesuai dengan keinginannya tanpa dibatasi sepanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Pada dasarnya isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).35

Landasan atau sistem nilai (value based) yang membentuk kapitalisme adalah sekulerisme dan materialisme, yang mana sekulerisme berusaha untuk memisakan ilmu pengetahuan dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi normatif atau moral yang berdampak kepada hilangnya kesakralan koektif (yang diperankan oleh agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan ekonomi social. Sedangkan paham materialisme cendrung mendorong orang untuk memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap materi adalah segalahnya baginya.36

Kapitalisme juga berpandangan bahwa kehidupannya manusia di dunia adalah untuk mengejar kebahagiaan duniawi, yakni mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa di tengah-tengah mereka berkembang paham hedonisme, pragmatisme, dan utilitarianisme. Dan semua sarana pemuasan tersebut dianggap tidak perlu diperoleh berdasarkan aturan agama. Cukup diperoleh dengan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bahkan untuk kehidupan umum mereka bersikeras harus steril dari pengaruh aturan agama. Setelah kehidupannya, manusia akan dibangkitkan lagi pada hari kiamat, hanya saja kapitalisme tidak mengakui adanya perhitungan amal.

Kapitalisme tidak akan memuaskan akal karena bersifat kompromistis dengan mencampurkan nilai yang haq (agama) dan batil. Adalah tidak mungkin Tuhan sebagai Dzat yang mencipta dan mengatur manusia tidak diberikan kekuasaan untuk itu. Kapitalisme juga tidak sesuai dengan fitrah manusia. Tabiat manusia yang lemah dan terbatas seakan dipaksakan untuk membuat aturan sendiri. Oleh karenanya tidaklah mungkin manusia mampu menciptakan aturan yang benar, dan ini tampak dari sifat aturan kapitalisme yang tambal sulam.

Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah) ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).

Berkaitan dengan masalah distribusi, system kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi.37

Dengan demikian ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara membertikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan memberikan kekayaannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat), oleh karena itu hal yang wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan.38


  1. Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam

Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis dan sosialis, sistem ekonomi syariah memiliki paradigma syariah, yang berarti tidak lagi berorientasi kepada Marxis dan pasar, melainkan berorientasi syariah (hukum) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Kemudian dilihat dari dasar dan filosofinya, tidak lagi sekedar memperbincangkan antara kebersamaan dan individu, melainkan bersifat menyeluruh, bahkan berorientasi kepentingan dunia dan akhirat, karena filosofi Tauhid akan menaungi seluruh aktivitas hidup, bukan hanya sebatas ektivitas ekonomi melainkan akan terintegrasi kepada semua aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan tataran spiritual sekalipun.39

Disamping itu ilmu ekonomi syariah juga merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi syariah sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.40 Jadi sangat jelas bahwa ekonomi syariah terkait dan mempunya hubungan yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.

Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun41 dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.42

Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme dan sosialisme yakni merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi non materi.

Dalam ekonomi yang berbasis Islam kedua dimensi tersebut (material dan non material) tercakup didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab.43 Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari Islam yang dalam perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.44

Etika dalam perilaku ekonomi sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).45

Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. "Kecelakaanlah bagi setiap . yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung" (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, "jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu" (59:7). Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak
demikian, karena etika
Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.

Manusia sebagai wakil (kalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Dari sini, selanjutnya Naqvi merumuskan lima sasaran kebijakan yang ia tarik dari postulat-postulat etika dasar Islam yakni menyangkut kebebasan indiviudu, keadilan distributive, pertumbuhan ekonomi, pendidikan universal (untuk umum) dan peluang kerja maksimum46 disinilah Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam dapat mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive secara simultan sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan sosial.47

Terkait dengan teori distribusi, dalam ekonomi kapitalis dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan factor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi sebagian saja.48 Teori yang diterapkan oleh system kapitalis ini adalah salah dan dalam pandangan ekonomi Islam adalah dzalim sebab apabila teori tersebut diterapkan maka berimplikasi pada penumpukan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan di pihak yang lain.

Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan.49 Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.

Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan. Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam.50

Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.51

Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.


  1. Penutup

Perbincangan mengenai ekonomi Islam adalah erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang telah dibangun sebelumnya. Adanya ungkapan bahwa sistem ekonomi Islam adalah hasil adopsi dari rancang bangun sistem ekonomi sebelumnya. Sistem ekonomi konvensional selanjutnya disebut dengan sistem ekonomi sosialis dan kapitalis mungkin mempunyai andil besar dalam membagun sistem perekonomian di dunia, tetapi dengan tidak mengenyampingkan peran ekonomi Islam.

Dalam sistem ekonomi Islam, etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakanekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).

Konsep etika religious ini menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial yang tinggi. Ini adalah sebuah alasan mengapa prinsip-prinsip etik merupakan nilai fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam -yakni diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi, konsumsi dan sebagainya. Inilah mungkin yang perlu dicatat bahwa sistem ekonomi Islam akan lebih disukai orang-orang Islam dari pada sosialisme dan kapitalisme, tidak berarti dalam dunia nyata, preferensi demikian itu akan benar-benar terlaksana, untuk bisa terjadi, sistem ekonomi Islam yang real, manakala itu diterapkan, akan berhadapan dengan tantangan dari sistem-sistem ekonomi yang ada (kapitalisme dan sosialisme).

Untuk memastikan bahwa orang-orang Islam benar-benar melaksanakan preferensi tersebut, sistem ekonomi Islam harus bertindak lebih baik daripada sistem-sistem lain dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dengan keadilan distributif, dengan mengakui secara eksplisit kebutuhan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini tidak akan terjadi hanya dengan menunjukkan sifat ilahiyah sistem ekonomi Islam tetapi dengan keberhasilannya mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah di dunia modern. Tetapi untuk melakukan ini, tujuan-tujuan dan target-target ekonomi Islam perlu dijabarkan dengan jelas, dan instrumen-instrumen kebijakan yang dirancang untuk mencapainya harus dipilih secara hati-hati, dengan membuka ruang yang luas bagi munculnya inovasi dan fleksibilitas dalam memilih baik tujuan maupun sarana.

Sistem yang berkeadilan dalam pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan system ekonomi Islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan.


  1. Pustaka

Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius

K. Bertens. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius

Fazlurrahman. 1984. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka

Muhammad Husain Abdullah. 2003. Mafahim Islamiyah. (Terj. M. Romli). Jawa Timur: Al-Izzah.

Arief Budiman. 1996. Teori Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Carl Joachim Friedrich 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia

Ahmad Zaenal Fanani. Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Makalah

Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. 2006. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amri Amir. Sistem Ekonomi Syariah. Makalah disampaikan pada September 2008.

M. Umar Chafra. 2001. The Future of Economic an Islamic Perspectif. Jakarta: SEBI.

M.B. Hendrie Anto. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia.

M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Ibnu Khaldun. 2000. Muqaddimah. Cet.2. (Terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus

Sonny Keraf. 1996. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius.

Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

Adiwarman Azwar Karim. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers

___________________. 2004. Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.

Joko Kuncoro. Keterkaitan Antara Nilai Dengan Penilaian Keadilan. Tesis Tidak diterbitkan. Program Studi Psikologi Bidang Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta. Univeristas Gadjah Mada. 2006

Erich Fromm. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. (Terj. Agung Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Adam Smith. 1776. An Inquiry Into The Nature And Causes Of The Wealth Of Nation. New York: The Modern Library.

Abdullah Abdul Husain At-Tariqi. 2004. Ekonomi Islam: Prinsif, Dasar dan Tujuan. (Terj. M. Irfan Syofwani). Yogyakarta: Magistra Insania Press.

Syed Nawab Haider Naqvi. 1981. Ethics and Economics An Islamic Synthesis. London: The Islamic Foundation.

_______________________. 2003. Menggagas ilmu Ekonomi Islam (Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yusuf Qardhawi. 2001. Norma dan Etika Ekonomi Islam. (Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin). Jakarta: Gema Insani Press.

Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995

Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, Makalah disampaikan pada acara bedah metodologi kitab kuning seri ushul fikih humanis, UII selasa 7 September 2004

Hamka Haq. 2007. Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga.


Internet

Muhammad Sofyan. Distribusi Dalam Ekonomi Islam. Pada http://www.msi-uii.net di akses pada 22 Desember 2009

Metz Muntsani. Keadilan. Dalam http://bismirindu.wordpress.com/2009/07/23/keadilan-4 di akses pada 22 Desember 2009




1 Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

2 Lihat juga Sonny Keraf. Etika Bisnis. (Yogyakarta: Kanisius, 1998)

3 Lihat Adiwarman A Karim. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)

4 Lihat juga pada M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)

5 Lihat Arief Budiman. Teori Pembangunan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996).

6 Lihat Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hal 239

7 Joko Kuncoro. Keterkaitan Antara Nilai Dengan Penilaian Keadilan. Tesis Tidak diterbitkan. Program Studi Psikologi Bidang Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta. Univeristas Gadjah Mada. 2006, hal. 54

8 Ibid

9 Ibid. hal. 55

10 Carl Joachim Friedrich, Filsafat…hal. 24

11 Ibid

12 Ibid. hal. 25

13Lihat Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Teori Keadilan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

14 Ahmad Zaenal Fanani. Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Makalah, hal. 5

15 Ibid

16 Joko Kuncoro. Keterkaitan…hal. 56

17 Ahmad Zaenal Fanani. Teori Keadilan…hal.8

18 Ibid

19 Ibid. hal. 9

20 Lihat Metz Muntsani. Keadilan. Dalam http://bismirindu.wordpress.com/2009/07/23/keadilan-4 di akses pada 22 Desember 2009

21 Lihat Sony Keraf. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, (Yogyakarta: Kanisius Yogyakarta 1996)

22 Metz Muntsani. Keadilan….

23 Menurut Keraf, ada tiga norma umum. Pertama, norma sopan santun, atau yang juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, bicara, berpakaian, dll. Kedua, norma hukum, yakni norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, norma moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia yang baik dan adil. Norma moral ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya atau adil tidaknya suatu sikap atau tindakan manusia di dalam suatu masyarakat. Lihat Sonny Keraf. Etika Bisnis…. hal. 15.

24 Ibid. hal. 142

25 Lihat K. Bertens. Pengantar Etika Bisnis. (Yogyakarta: Kanisius, 2000)

26 Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995. hal. 97

27 Maqashid al-Syar’iyah terdiri dari dua kata, yakni Maqashid dan al-Syar’iyah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-Syar’iyah berarti jalan menuju sumber air, yang menurut Fazlurrahman, dapat juga dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Lihat Fazlurrahman, Islam (Bandung, Penerbit Pustaka, 1984), hal. 140. Lihat juga Adiwarman A. Karim. Sejarah, hal. 381. Lihat juga Muhammad Husain Abdullah. Mafahim Islamiyah. Terj. M. Romli. (Jawa Timur, Al-Izzah. 2003), hal. 192-201.

28 Ibid

29 Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, Makalah disampaikan pada acara bedah metodologi kitab kuning seri ushul fikih humanis, UII selasa 7 September 2004

30 Ibid

31 Ibid. lihat juga M. Umar Chafra. The Future of Economic an Islamic Perspectif. (Jakarta: SEBI, 2001), hal. 124

32 Lihat Hamka Haq. Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. (Jakarta: Erlangga, 2007

33 Amri Amir. Sistem Ekonomi Syariah. Makalah disampaikan pada September 2008, hal. 1

34 Penjelasan menyangkut hal ini juga bisa dibaca pada Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Marx. Terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

35 Lihat Adam Smith. An Inquiry Into The Nature And Causes Of The Wealth Of Nation. (New York: The Modern Library. 1776).

36 Lihat juga M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hal. 34

37 Muhammad Sofyan. Distribusi Dalam Ekonomi Islam. Pada http://www.msi-uii.net di akses pada 22 Desember 2009

38 Ibid

39 Amri Amir. Sistem Ekonomi… hal. 4

40 Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsif, Dasar dan Tujuan. Terj. M. Irfan Syofwani. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hal. 14

41 Lihat misalnya Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Cet.2. Terj. Ahmadie Thoha.(Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000). Lihat juga pada

42 Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. vi

43 Syed Nawab Haider Naqvi. Ethics and Economics An Islamic Synthesis. (London: The Islamic Foundation, 1981), hal. 21

44 M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika… hal. 34

45 Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas ilmu Ekonomi Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 37-46

46 Ibid. hal 126

47 Ibid. hal 138-139

48 Muhammad Sofyan. Distribusi……

49 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam. Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

50 Muhammad Sofyan. Distribusi……

51 Ibid

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id