Jumat, 22 Januari 2010

Islam, Economics, and Society

Syed Nawab Haider Naqvi (1994)

Islam, Economics, and Society. London & New York: Kegan Paul International.


  1. Pendahuluan

Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.

Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat liberal hingga radikal.

Disisi lain, Max Weber dalam karyanya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.1 Demikian halnya dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya. Namun yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan etika, politik dengan etika, perang dengan etika dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan etika. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi etika manusia. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme, perilaku ekonomi kaum telah terasingkan dari karakter etik dan nilai-nilai yang dianggap benar. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.

Kenyataannya etik (moral) memang bersifat universal. Pembeli akan merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.2 Tidak ada lagi tempat, bahwa kebahagian individu harus mencakup aspek kebahagiaan diri sendiri sekaligus kesejahteraan orang lain, khususnya orang miskin dan anak terlantar, yang memiliki hak atas sebagian harta orang kaya.

Meskipun Max Weber menyangsikan eksistensi ekonomi Islam, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini tidak terbukti benar dan kesimpulan Max Weber ini terbantahkan oleh Chapra, dengan menyatakan bahwa “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”.3

Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statement menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut.4 Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi

Dan pada book review kali ini, kita akan melihat bagaimana Naqvi mengelaborasi lebih jauh perihal Islam, ekonomi dan masyarakat yang erat terkait dengan gagasan membangun perekonomian Islam. Berikut uraiannya.


  1. Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian dan beberapa studi yang menyangkut Islam, Economic and Society telah banyak dilakukan oleh para ahli, diantaranya adalah seperi yang telah disebutkan di atas yakni oleh Max Weber (1965) dengan karyanya The Sociology of Religion, Economy and Society yang diterbitkan pada 1978 dan General Economic History yang diterbitkan pada 1961,5 Thomas Ulen (1983) dengan artikelnya Review of Nelson and Winkers, An Evolutionary Theory of Economic Change in Business History Review,6 ada juga Amitai Etzioni (1988) dengan Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru,7 Peter F. Drucker (1989) dengan The New Realities.8 Juga Adiwarman Azwar Karim (2004) dengan Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam),9 M. Umer Chapra (2001) The Future of Economics: An Islamic Perspective,10 Afzalur Rahman (1995) dengan Doktrin Ekonomi Islam,11 Syed Nawab Haider (1981) dengan Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, Nelson H. Robert (2001) dengan Economics as Religion, juga Rodney Wilson (1997) dengan Economics, Ethics, and Religion12 Abdul Mannan (1993) dengan Teori dan Praktek ekonomi Islam,13 dan masih banyak yang lainnya.


  1. Sense of Academic Crisis

Isi buku merupakan jawaban atas kegelisahan penulisnya mencari format rancang bangun ekonomi Islam dalam Islam, perekonomian dan masyarakat dan dari beberapa diskusi dengan ilmuwan dan profesor dalam bidang ekonomi Islam.14 Buku ini ditulis beranjak dari keinginan untuk menguraikan tentang bangunan ilmu ekonomi dalam Islam. Seperti apa yang ditulis Naqvi bahwa tulisan ini menyajikan bagaimana ajaran Islam tentang ekonomi juga terkait dengan etika universal15 dan bagaimana ekonomi Islam menjelaskan sejumlah pernyataan yang bersifat feasible menyangkut perilaku orang-orang Islam refresentatif dalam sebuah masyarakat Muslim riil hidup berkenaan dengan nilai-nilai ideal yang tertanam dalam suatupersonalitas yang jelas. 16

Sebenarnya, tantangan yang dihadapi menyangkut bagian inti paradigma ekonomi, seperti yang handak diuraikan Naqvi dalam buku ini, beranjak dari penolakan dimensi moral dalam paradigma ekonomi neo-klasik, dan kegelisahan ini bergerak menuju upaya menemukan “peran kunci nilai moral” untuk mencari “apa yang benar dan apa yang menyenangkan”. Dan dalam konteks pencarian paradigma inilah krisisi akademik ini berawal serta bagaimana menawarkan suatu frama work bagi upaya reorganisasi ekonomi Negara-negara Muslim


  1. Topik-Topik Pemikiran

Diawali dengan penjelasan menyangkut ekonomi Islam yang membahas tentang perilaku orang-orang Islam dalam suatu masyarakat Muslim yang khas, Naqvi mendefinisikan ekonomi Islam adalah merupakan kebiasaan baru yang radikal dalam praktek ekonomi hal ini didasarkan pada postulat bahwa praktek ekonomi Islam bersentuhan dengan realitas masyarakat Islam dan pentingnya mengkaji perilaku masyarakat Muslim serta menghubungkan perilaku para pelaku ekonomi dengan masyarakat Muslim, hal ini dibutuhkan karena desakan untuk memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etik yang didasarkan pada agama dalam suatu frame work analisis yang terpadu.17

Dalam karyanya ini Naqvi menjelaskan bahwa ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-ajaran etik social Al Qur’an dan Sunnah.18 Dengan jelas Naqvi mengungkapkan hubungan etika religious tersebut, dan menjelaskan bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan oleh sejauh mana nilai-nilai etika religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil.

Etika dalam perilaku ekonomi sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh)19

Dengan kerangka dasar nilai-nilai etik tersebut, Naqvi mengembangkan suatu frame work yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi. Pendekatan axiologis ini, diawali dengan filsafat etika melalui logika-matematik guna merumuskan garis-garis besar system ekonomi Islam. Disini Naqvi berangkat dari empat aksioma dalam fondasi system ekonomi Islam, dengan prasyarat: pertama, perangkat itu harus merupakan refresentasi pandangan yang memadai dan legitimate menyangkut etika Islam, kedua, kumpulan aksioma tersebut harus berupa suatu bentuk dasar. Ketiga, yakni memiliki keterkaitan dan independensi dan keempat, harus konsisten satu dengan yang lain.20 Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam adalah khas dan dapat mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive21 secara simultan, sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan social.22

Selanjutnya Naqvi menjelaskan perilaku ekonomi Muslim ‘teladan’ dalam sebuah khidupan nyata dan khas masyarakat Muslim yakni dengan membandingkan Islam dengan system ekonomi sosialisme, kapitalisme dan doktrin Negara kesejahteraan.23 Hal ini dimaksudkan untuk menetapkan superioritas system ekonomi Islam diantara system ekonomi yang lain dari sudut pandang Muslim representative dan menjadikannya sebagai suatu ilustrasi dengan membandingkannya.

Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. "Kecelakaanlah bagi setiap . yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung" (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, "jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu" (59:7). Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak
demikian, karena etika
Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter

Manusia sebagai wakil (kalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Dari sini, selanjutnya Naqvi merumuskan lima sasaran kebijakan yang ia tarik dari postulat-postulat etika dasar Islam yakni menyangkut kebebasan indiviudu, keadilan distributive, pertumbuhan ekonomi, pendidikan universal (untuk umum) dan peluang kerja maksimum24 disinilah Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam dapat mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive secara simultan sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan social.25

Menurut Naqvi, menyangkut instrument-instrumen kebijakan ekonomi dalam Islam adalah memnuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan solusi yang memuaskan adalah suatu solusi dimana keadilan distibutif dijamin dalam semua keadaan ekonomi,baik secara tetap ataupun tidak tetap. Menyoroti masalah kebijakan pertumbuhan ekonomi yang dijadikan patokan, Naqvi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu mewujudkan kesejajaran, jika ketimpangan yang lebar terjadi dalam struktur dasar kepemilikan pribadi, khususnya kepemilikan laham atau tanah. Dengan demikian maka system jaminan social harus dilirik guna mengurangi kesulitan akibat pertumbuhan. Dan Negara harus secara aktif melengkapi, bukan mengganti,kekuatan pasar untuk menjamin bahwa inisiatif individu tidak jatuh kedalam ketamakan pribadi atas perolehan-perolehan yang tidak produktif26

Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur'an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Dengan kata lain, menemukan solusi Islam berarti sadar betul akan konsekuensi-konsekuensi ekonominya., sebagaimana juga menurunkan tingkat eksploitasi ekonomi secara keseluruhan.27

Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang berpihak kepada semua pelaku ekonomi, bahkan kepada semua orang dan tidak hanya orang Muslim saja. Di samping itu, sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada mekanisme pasar, tapi tetap memberikan peran pada pemerintah, kekuatan sosial dan hukum untuk melakukan intervensi dan koreksi demi terjaminnya pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat banyak. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang menjamin kekuatan ekonomi tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha, disamping mampu melakukan pemberdayaan ekonomi rakyat banyak, serta memberikan kesejahteraan lahir batin secara hakiki. Disinilah Naqvi menguraikan peran yang dimainkan oleh system PLS (Profit and Loss Sharing) tidak saja direkomendasikan sebagai pengganti system ribawi, namun ia juga member manfaat dalam aktivitas-aktivitas pemberian pinjaman-pinjaman di perbankan dan untuk pengembangan usaha skala kecil.28

Keyakinan akan mampunya sistem ekonomi Islam untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda dunia ketiga ini terpancar dari prinsip-prinsip dan adanya beberapa konsep yang memang sangat humanis dan erat dengan nilai-nilai religious etis. Namun pada kenyataannya masyarakat Muslim masa kini belum sepenuhnya memiliki sebuah masyarakat tersendiri, dan mereka masih berada dalam bayang-bayang system Barat, karenanya, sangat diragukan sejauh mana etos Islami ini dapat dipresentasikan dalam prilaku masyarakat. Karena itulah, menurut Naqvi,peringatan harus selalu disampaikan.29


  1. Pendekatan dan Metodologi

Menurut Naqvi30 Untuk mendiskusikan model atau sistem ekonomi Islam, kita harus melakukan dua hal: Pertama, kita harus mampu menguraikan karakteristik dasar ekonomi Islam -yang kemudian harus berfungsi sebagai patokan untuk membuat pernyataan tentang keberlakuan ekonomi ini. Dalam kerangka pemikiran ini tidak ada tempat bagi aspek yang dilarang (amoral) dalam ekonomi, menurut Naqvi hanya pernyataan positif dapat mengklaim validitas objektif. Sebaliknya, di sini kita harus memperhitungkan dengan kombinasi penilaian positif dan penilaian normative. Semacam kombinasi ekonomi dengan membuat kalkulus lebih kaya dalam isi, dan analitis yang lebih memadai, untuk memahami sifat masyarakat manusia. Kedua, kita harus menunjukkan bahwa praktek yang dilakukan masyarakat Muslim, secara khusus berbeda dengan apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya dipraktekkan oleh masyarakat Muslim. Tidak ada yang aneh dalam persfektip ini, sebagaimana saat ini dipahami secara luas, hukum ekonomi bukan kumpulan kebenaran mutlak, bahkan, relatif terhadap keadaan masyarakat.

Naqvi juga menolak pandangan positivistic bahwa ilmu ekonomi tidak bisa disentuh etika. Dan menyatakan bahwa ilmu ekonomi bebas yang menggunakan nilai sebagai dasar pernyataan ilmiah yang diakui memiliki validitas obyektif dan melangkah lebih jauh dengan mengakui agama sebagi sumber etika. Dari sini maka Naqvi menggunakan pendekatan multi disiplin melalui logika matematika, filsafat untuk mengungkap karakteristik ilmu ekonomi Islam yang khas. Terkait dengan ilmu ekonomi Barat, Naqvi mengambil sikap eklektif, dan terhadap segi-segi khusus masyarakat Muslim, Naqvi mengambil sikap relatifistik. Tujuannya ialah guna menciptakan pengetahuan baru, dan bukan hanya sekedar hasil adaptasi dari hasil karya-karya sebelumnya.31


  1. Kesimpulan

Perbincangan mengenai ekonomi Islam adalah erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang telah dibangun sebelumnya. Adanya ungkapan bahwa sistem ekonomi Islam adalah hasil adopsi dari rancang bangun sistem ekonomi sebelumnya. Sistem ekonomi konvensional selanjutnya disebut dengan sistem ekonomi sosialis dan kapitalis mungkin mempunyai andil besar dalam membagun sistem perekonomian di dunia, tetapi dengan tidak mengenyampingkan peran ekonomi Islam.

Dalam system ekonomi Islam, etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakanekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).

Konsep etika religious ini menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial yang tinggi. Ini adalah sebuah alasan mengapa prinsip-prinsip etik merupakan nilai fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam -yakni diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi, konsumsi dan sebagainya. Inilah mungkin yang perlu dicatat bahwa sistem ekonomi Islam akan lebih disukai orang-orang Islam dari pada sosialisme dan kapitalisme, tidak berarti dalam dunia nyata, preferensi demikian itu akan benar-benar terlaksana, untuk bisa terjadi, sistem ekonomi Islam yang real, manakala itu diterapkan, akan berhadapan dengan tantangan dari sistem-sistem ekonomi yang ada (kapitalisme dan sosialisme).

Untuk memastikan bahwa orang-orang Islam benar-benar melaksanakan preferensi tersebut, sistem ekonomi Islam harus bertindak lebih baik daripada sistem-sistem lain dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dengan keadilan distributif, dengan mengakui secara eksplisit kebutuhan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini tidak akan terjadi hanya dengan menunjukkan sifat ilahiyah sistem ekonomi Islam tetapi dengan keberhasilannya mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah di dunia modern. Tetapi untuk melakukan ini, tujuan-tujuan dan target-target ekonomi Islam perlu dijabarkan dengan jelas, dan instrumen-instrumen kebijakan yang dirancang untuk mencapainya harus dipilih secara hati-hati, dengan membuka ruang yang luas bagi munculnya inovasi dan fleksibilitas dalam memilih baik tujuan maupun sarana


  1. Kontribusi Untuk Ilmu Pengetahuan

Buku ini mempunyai nilai dan kontribusi yang luar biasa bagi para ekonom Muslim dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentunya, khususnya bagi kalangan mahasiswa yang menekuni dan ingin mengembangkan ilmu ekonomi Islam, buku ini membuka jalan bagi munculnya suatu paradigm alternative guna merumuskan formulasi yang jelas tentang makna dan hakikat ekonomi islam. Ajaran Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis makin mendesak penerapannya bukan saja karena system ekonomi Islam berpeluang sebagai system alternative dan solusi, namun karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam etika (moral) jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi saat ini, dan pada sisi ini pula karya Naqvi ini menemukan momentumnya

Disamping itu, kontribusi buku ini juga terletak pada kontribusi yang orisinil terhadap perdebatan menyangkut elemen-elemen kunci ekonomi Islam. Kontribusi lainnya yakni membuat sistematisasi yang lebih besar dalam pemikiran ekonomi Islam dan dalam pengembangan metodologi yang telah menancapkan fondasi bagi terciptanya dialog yang bermanfaat antara para ekonom Muslim dan ekonom dari tradisi-tradisi lain32


  1. Kritik Buku

Harapan besar mungkin bisa saja disandarkan kepada sistem ekonomi Islam, yang banyak disebut-sebut, bahwa dengan sistem ini lebih mengutamakan dan meprioritaskan masyarakat kelas bawah pada setiap aspeknya. Keberpihakan ekonomi Islam kepada masyarakat Muslim dan pembangunan ekonomi Islam cukup untuk membanggakan dengan tidak meninggalkan sama sekali kepentingan yang lainya selain Islam. Buku ini sekaligus cukup memberi warna bagi kemajuan dan perkembangan khazanah intelektual ilmu ekonomi Islam. Dengan menggembar gemborkan kelebihan, keistimewaan dan perbandingan yang signifikan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional, semestinya tidak terlalu berlebihan, karena dalam tataran praktis dan realita dilapangan mungkin yang hanya bisa diandalkan dari sistem ekonomi Islam sekarang ini hanyalah melalui perbankan dan system moneternya saja. Inilah mungkin yang harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan ekonomi Islam selanjutnya dan tidak hanya sebatas pada dunia perbankan dan moneter saja. Sehingga mungkin harapan besar yang ditumpukan kepada sistem ekonomi Islam dapat dicapai.

Disisi lain, penerapan pendekatan metodologi yang dilakukan Naqvi setidaknya menjadi satu awal berpijak dalam mengelaborasi lebih lanjut apa, dan bagaimana system ekonomi Islam, khusunya dalam konteks Indonesia yang multikulturalisme. Secara etik nilai kebenaran ilmiah suatu aksioma etik, akan berbeda dalam konteks ruang dan dimensi waktunya meskipun ia berpijak pada dasar keagamaan, namun interpretasi terhadap kebenaran etik tetap membutuhkan pemahaman dan interpretasi lebih lanjut dalam berhadapan dengan kontekstualisasi masyarakat ekonomi yang multicultural, dan Naqvi sendiri belum bergerak ke arah itu, yakni pemahaman terhadap kebenaran suatu aksioma etik dengan melihat akulturasi perekonomian dan kebudayaan masyarakat secara kontekstual.


  1. Daftar Pustaka

Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.

Afzalur Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf

M. Abdul Mannan. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.

M. Umer Chapra 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Jakarta: SEBI.

Amitai Etzioni. 1992. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

Adiwarman A Karim. 2004. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). Yogyakarta: Magistra Insania Press.

Khurshid Ahmad, Kata Pengantar untuk buku Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. v

Rodney Wilson. 1988. Bismis Menurut Islam Teori dan Praktek. (Terj. J.T. Salim). Jakarta: PT. Intermasa.

Syed Nawab Haider Naqvi. 1994. Islam, Economics and Society. London and New York: Kegan Paul International

Syed Nawab Haider Naqvi. 2003. Menggagas ilmu Ekonomi Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syed Nawab Haider Naqvi. The Dimension of an Islamic Economic Model dalam Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 2, May 1997 pada http://www.irti.org/irj/go/km/docs/documents/IDBDevelopments/Internet/English/IRTI/CM/downloads/IES_Articles/Vol%204-2..Nawab%20H%20Naqvi..DIMENSIONS%20OF%20AN%20ISL.%20ECON%20MODEL.pdf. Diakses pada 22 Desember 2009



1 Mubyarto. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

2 Lihat juga Sonny Keraf. Etika Bisnis. (Yogyakarta: Kanisius, 1998)

3 Lihat Adiwarman A Karim. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)

4 Lihat juga pada M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)

5 Mubyarto. Etika, Agama dan….

6 Khurshid Ahmad, Kata Pengantar untuk buku Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. v

7 Lihat Amitai Etzioni. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992)

8 Khurshid Ahmad, Kata Pengantar…hal. vi

9 Lihat Adiwarman Azwar Karim. Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan (Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam). (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)

10 Lihat M. Umer Chapra The Future of Economics: An Islamic Perspective. (Jakarta: SEBI, 2001)

11 Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995)

12 Lihat Rodney Wilson. Bismis Menurut Islam Teori dan Praktek. Terj. J.T. Salim (Jakarta: PT. Intermasa, 1988)

13 Lihat M. Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993)

14 Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas ilmu Ekonomi Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. xviii

15 Ibid. hal. xii

16 Ibid. hal. xv

17 Ibid. hal. 19

18 Ibid. hal. 20

19 Ibid. hal. 37-46

20 Ibid. hal 59-61

21 Ibid. hal 88

22 Ibid. hal 92

23 Ibid. hal. 103-115

24 Ibid. hal 126

25 Ibid. hal 138-139

26 Ibid. hal 156

27 Ibid. hal 169

28 Ibid. hal 197

29 Ibid. hal 236

30 Lihat Syed Nawab Haider Naqvi. The Dimension of an Islamic Economic Model dalam Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 2, May 1997 pada http://www.irti.org/irj/go/km/docs/documents/IDBDevelopments/Internet/English/IRTI/CM/downloads/IES_Articles/Vol%204-2..Nawab%20H%20Naqvi..DIMENSIONS%20OF%20AN%20ISL.%20ECON%20MODEL.pdf. Diakses pada 22 Desember 2009

31 Syed Nawab Haider Naqvi. Menggagas….hal. xx

32 Khurshid Ahmad, Kata Pengantar…hal. vi

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id