Kamis, 30 April 2009

Bacaan Kontemporer

Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer.
Dr. Ir. Muhammad Syahrur. eLSAQ Press. Yogyakarta. 2004
Pendahuluan
Konsep maslahah merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam merumuskan yurisprudensi islam dalam suatu studi islam kontemporer. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi sangat penting manakala persoalan-persoalan yang timbul dalam era kontemporer tidak lagi dapat diakomodir oleh fikih klasik. Berbagai persoalan kontemporerpun sangat terbatas bahkan tidak lagi memiliki rujukan dalam kitab-kitab fiqh klasik, yang dengan demikian bentuk perumusan baru dalam penetapan-penetapan hukum tidak dapat lagi diabaikan. Namun demikian bacaan-bacaan kontemporer tidak lantas diambil dan diterima begitu saja, namun tetap membutuhkan pemikiran kritis, bedah metodologi, melihat akar persfektif pemikiran dan pergulatan dalam wacana kajian ilmiah layak tidaknya suatu bacaan kontemporer tersebut dijadikan landasan dalam menetapkan hukum terhadap suatu permasalahan yang timbul dalam konteks kekinian dan kedisinian. Contoh untuk hal ini misalnya dalam lapangan Ushul Fiqh yang dipandang oleh sebagian kalangan ahli hukum sudah tidak lagi mampu memberi pemecahan yang memadai dalam konteks kontemporer. Yang dengannya upaya-upaya untuk melakukan rekonstruksi ulang atau setidaknya menyempurnakan pada bagian-bagian yang sudah “lapuk” dirasa sangat mendesak untuk dilakukan.
Ortodoksi klasik (Mashadir al-syariah) yang terdiri dari Al Qur’an, Hadis, Ijmaq, Qiyas dan seterusnya dirasa oleh sebagian ahli hukum dalam konteks kontemporer saat ini tidak lagi “membumi” dalam penerapan dan pembinaan hukum islam. Masalahnya terletak bukan pada urutan item-item ortodoksi, namun lebih pada keberadaan beberapa landasan yang harus dilihat dan dikaji dalam persfektif yang berbeda dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Akhirnya hal ini berdampak pada penggalian dan mempertanyakan kembali landasan-landasan yang menjadi item-item ortodoksi hukum islam tersebut, tak terkecuali Al Qur’an, meskipun dalam pemaknaannya saja.1 Fazlurrahman, Arkoun, ‘Abid al-Jabiry2 masing-masing dengan pembacaan teks yang terkait dengan konteks kontemporer tak ketinggalan pula penggunaan hermeneutika dalam mengkaji al Qur’an. Tidak ketinggalam juga Muhammad Syahrur dengan penolakan terhadap sinonimitas bahasa Arab yang dengannya teks-teks al Qur’an benar-benar bebas dari konteksnya,3 merupakan bentuk-bentuk “inovasi baru” dalam wilayah inti ortodoksi islam.
Permasalahan diseputar ortodoksi klasik hukum islam sebenarnya dapat dirunut semenjak awal kelahirannya. Miswalnya Al-Qiyas, telah dipertentangkan sejak awal yakni menyangkut keikutsertaannya dalam deretan ortodoksi, namun demikian Imam syafi’I -yang memperkenalkan metode qiyas sebagai sumber hukum- tetap mempertahankannya. Al Ghazali misalnya dalam al-Mustafa tidak menyebutkan qiyas sebagai mashadir syar’iyah utama.4. Selain itu at-Tufi menawarkan bahwa ortodoksi klasik itu terdiri dari nash, ijmak dan maslahah. Tiga konsep inilah yang dapat menjadi instrument dalam menggali hukum yang sah, apabila nash bertentangan dengan maslahah maka dahulukan maslahah (al-Aslu Kully). Sementara apabila paradox antara nash dan ijmak berlaku takhsis auw tabyyin. Dalam hal ini lagi-lagi yang paling dekat dengan maslahah itulah yang didahulukan.5
Selain beberapa tokoh di atas, tokoh lain yang berorientasi pada maslahat adalah al-Syatibi. Misalnya dalam bukunya Hamka Haq, al-Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah swt menetapkan hukum adalah untuk terwujudnya maslahah hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum.6 Senada dengan itu, Zainuddin abd Salam, juga telah mengelaborasi konsep maslahah secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadah dan menarik manfaat. Sedangkan Mahmud Syaltut menegaskan bahwa maslahat itu berada dalam wilayah mu’amalah. Sementara sumber hukum bagi orang yang melakukan ijtihad adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ra’yu.7
Dari pembahasan di atas, terdapat beberapa konsekuensi yang ditimbulkan yakni tinjauan tentang istilah qath’I yang selama ini kita kenal dalam ushul fikih harus ditinjau kembali. Qath’I selama ini kita definisikan sebagai sesuatu yang pasti, tidak dapat diubah-ubah oleh ijtihat, sementara dzanni sesuatu yang pasti karenanya dapat dijamah oleh ijtihat.8 Sebab itu selama ini, fikih menyimpulkan bahwa yang qath’I adalah hukum yang sarih dan meyakinkan ditunjuk oleh nash (Al Qur’an dan Hadist). Sedangkan dzanni adalah hukum yang karinah nashnya kurang sahih, ambigu dan mengandung pengertian yang berbeda-beda. Sesungguhnya yang qat’I, tidak berubah-ubah dan bersifat pasti adalah nilai-nilai matriknya (maslahah dan keadilan) itu sendiri.
Pertanyaan selanjutnya yakni bagaimana kita memaknai kemaslahatan itu? Jumhur ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa kemaslahatan itu dibingkai dalam Maqashid al-Syar’iyah atau Maqasid al-Khamsah. Al-Syatibi (w.790/1388) dan yang lainnya menguraikannya menjadi hifz ad-din, hifz nafs, hifz ‘aql, hifz nashb, hifz maal. Penjabaran selanjutnya oleh ulama ushul fikih tidak terkecuali al Ghazali mencerminkan skala prioritas pada masing-masingnya.9 Skala prioritas dimaksud adalah pertama Dharuriyyat. Kedua, al-Hajjat. Ketiga, Thahshiniyyah. Imam Haramaen (Mazhab Syafi’iyyah) dan Juwaini -guru Imam al-Ghazali- mengistilahkan dengan, pertama, Dharuriyah. Kedua, al-Hajjah, ketiga, Makramah.10
Dengan demikian semangat kemaslahatan sebagai tujuan hukum harus tetap ada. walaupun prioritas dan wilayah yang kadang-kadang berbeda satu sama lain. Tidak terkecuali Syahrur juga berangkat dari konsep maslahat. Asumsi-asumsi dasar ketika ia coba membangun teorinya penuh dengan premis-premis maslahah. Melalui karyannya Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer beberapa pertanyaan mendasar dapat kita kemukakan yakni bahwa “Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada abad kedua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad saw baru saja wafat dan menyampaikannya sendiri kepada kita. Karena itu pembacaan terhadap al kitab harus dalam persfektif nalar zaman abad kedua puluh sekarang”11 dalam komentar ini jelas sekali mengandung muatan maslahat.
Syahrur juga menyatakan “Jika ada seorang bertanya kepada saya : tidakkah anda berpuas diri dengan apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam memahami al Kitab dan al Qur’an? Dengan penuh keyakinan dan keberanian saya akan menjawab : tidak sama sekali, saya tidak akan pernah merasa puas atas capaian pemahaman mereka, karena dasar-dasar dan latar belakang keilmuan saya berbeda dari mereka. Metode ilmiah yang saya gunakan juga berbeda. Saya juga hidup pada masa yang sama sekali berbeda dari mereka. Demikian pula, tantangan permasalahan yang saya hadapi berbeda dari tantangan yang mereka hadapi. Saat ini saya bergelut dengan berbagai aliran filsafat yang sangat kuat mempengaruhi model berfikir saya, saya juga hidup dalam suasana perkembangan ilmu pengetahuan yang ikut menentukan setiap keputusan dan kecendrungan yang saya ambil dalam hidup saya. Oleh karena itu, saya merasa tidak puas jika saya katakan bahwa saya menerima begitu saja apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam pemahaman mereka terhadap al Qur’an dan hadis.”12
Hal lain yang mendasar dalam kajian Syahrur adalah dimensi filsafat humaniora13 menurut Syahrur, pemikiran arab kontemporer, termasuk didalamnya pemikiran islam, memiliki masalah-masalah mendasar sebagai berikut. Pertama, tidak adanya metode ilmiah obyektif. Selama ini pengkajian terhadap agama dan keagamaan selalu bersifat normative.14 Kedua, adanya prakonsepsi terhadap sebuah masalah sebelum dilakukan penelitian. Sebagai contoh, apabila bicara masalah posisi perempuan dalam islam. Para peneliti islam berkesimpulan terlebih dahulu, mereka menyimpulkan bahwa perempuan sudah proporsional dalam islam dan islam agama yang paling adil terhadap perempuan. Model seperti ini dapat dinamakan sebagai pendekatan apologetic (Apologetic Aproach). Ketiga, pemikiran islam tidak memanfaatkan konsep-konsep dalam filsafat humaniora dan tidak berinteraksi dengan dasar-dasar teorinya. Keempat, tidak adanya teori islam kontemporer dalam ilmu humaniora yang disimpulkan secara langsung dari Al Qur’an.15 Kelima, kenyataan bahwa kaum muslimin sedang menghadapi krisis ilmu fikih.16
Selain itu dalam menafsirkan kitab suci Al Qur’an, Syahrur bersandar pada metode semantik Abu Ali Al-Farisi yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinni dan ‘Abd Al-Qadir Al-Jurjani, disamping itu Syahrur juga menggunakan ilmu linguistik modern dengan premisnya bahwa semua lisan kemanusiaan –termasuk lisan kearaban- tidak mempunyai satu katapun yang sinonim, sehingga sebuah makna kata bisa tereduksi oleh proses evolusi sejarah atau –lebih dari itu- bisa juga membawa tambahan arti lebih dari kata lain yang serupa, tetapi tak sama. Karena itu Syahrur memilih kamus Maqayis Al-Lughah karya Ibn Faris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.17
Setelah kita pelajari tentang bagaimana konsep maslahat turut ambil bagian dalam menetapkan hukum islam kontemporer, selanjutnya konsep maslahah ini akan kita tapaki hingga penjelasan yang lebih sfesifik tentang masalah-masalah kontemporer. Melalui pendekatan maslahah, sebenarnya terdapat banyak hal yang secara umum dapat dijelaskan, namun dalam kerangka operasionalnya tetap membutuhkan wilayah yang lebih spesifik dan membandingkannya dengan teori dan pendapat yang lain untuk membandingkannya. Karenanya terasa akan sangat tidak mungkin kita akan menemukan maslahah jikalau kita tidak menganalisanya dengan teori dan metode yang sesuai.
Karena itu dalam book review kali ini kita akan mengkaji tentang bagaimana Muhammad Syahrur membaca realitas kontemporer dengan bacaan kontemporernya. Artinya kita akan bersama-sama dengan Syahrul mendekati ushul fiqh dengan interpretasi terhadap bacaan kontemporernya Syahrur dalam persfektif teori batasnya. Book review kali ini sebenarnya dimaksudkan untuk memotret -meski dengan hasil yang terbatas- pemikiran Syahrur dalam karyanya yang berjudul al-Kitab wa al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah yang telah diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri kedalam edisi berbahasa indonesia dalam dua jilid buku dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer dan Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Namun pada bagian buku yang kedua, hanay sebagian dari penjelasan Syahrur yang akan kita ambil, hal ini terkait dengan penjelasan Syahrur atas bukunya yang pertama yakni Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer.
Sekali lagi yang hendak ditekankan adalah bahwa Syahrur mendasarkan tema besar dalam kajiannya berdasarkan konsep maslahah, sebagaimana yang secara sepintas telah kita singgung di atas. Namun demikian konsep ini tidak lagi akan kita temukan dalam bacaan Syahrur karena memang Syahrur memiliki kerangka operasional sendiri yang diperlukan untuk membaca teks Al Qur’an. Penekanan pada kerangka operasional ini semata-mata untuk menjaga sestematis dan keberurutan pembahasan. Sebab dengan kerangka itu kita dapat memahami konsep Syahrur hingga bagaimana Syahrur sampai pada teori limitnya.
Sense of Academic Crisis
Krisis pemikiran yang dialami Syahrur bersasar pada Al Qur’an yakni (Q.S. Al-Hijr ayat 9) “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an (al-Zikr) dan Kamilah yang benar-benar menjaganya”, Syahrur menyatakan bahwa Al Qur’an yang selalu dijaga oleh kekuatan Ilahi (Tuhan) adalah suatu “kekayaan” yang telah dimiliki oleh generasi paling awal hingga generasi sekarang. Karena masing-masing generasi menafsirkan Al Qur’an berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad 20 ini juga berhak menafsirkan Al Qur’an berdasarkan “semangat zaman” yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang.18 Dalam pengertian ini dibanding generasi sebelumnya, kaum muslim pada masa modern lebih memenuhi syarat untuk memahami Al Qur’an yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, penafsiran tradisional tidak selalu mengikat masyarakat muslim modern.19
Lebih jauh Syahrur menyatakan bahwa karena peradaban mereka yang jauh lebih maju, kaum muslim modern memiliki perangkat analisa yang lebih lengkap dan lebih baik untuk memahami makna wahyu daripada para pendahulunya. Al Qur’an menyatakan bahwa orang-orang Baduwi itu, disamping jauh lebih kufur dan munafik daripada orang-orang Arab lainnya yang memiliki kebudayaan dan peradaban lebih tinggi, juga lebih buta terhadap batas-batas hukum-hukum yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya (Q.S. At-Taubah ayat 9). Dengan demikian standar Al Qur’an atas kesempurnaan pemahaman atas ayat yang diturunkan adalah pada level kebudayaan yang tidak dimiliki oleh orang Baduwi. Maka ketika umat islam pada abad dua puluh memiliki kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari pada pendahulunya, mereka lebih siap dan memiliki perangkat pemahaman yang lebih baik daripada para pendahulunya.20
Setelah menempatkan generasinya sebagai pihak yang paling memenuhi syarat untuk menafsirkan “Al-Zikr” Syahrur selanjutnya menyatakan bahwa kekeliruan terbesar kita adalah ketika kita menginginkan memahami islam, kita memaksakan diri untuk menundukkan cara berfikir kita di abad dua puluh ini seperti cara berfikir generasi abad ketujuh. Dengan kata lain, kita ingin berfikir sebagaimana cara sahabat berfikir. Ini menurut Syahrur adalah hal yang mustahil, selanjutnya dari sini kita harus beralih dari abad ketujuh menuju abad dua puluh untuk menyajikan islam abad ketujuh dalam abad dua puluh. Dalam aksi ini menurut Syahrur terdapat pencampuradukan yang sempurna antara sejarah, perkembangan, dimensi waktu dan ruang. Hasilnya adalah islam angan-angan yang hidup dalam kekosongan diluar sejarah, agama yang sama sekali tidak terkait dengan kehidupan, bahkan berada diluarnya. Menurut Syahrur jika kita tidak memperbaiki aksi ini maka harapan bagi terwujudnya generasi muslim yang maju dan menemukan jalan keluar dari masalahnya yang akut sangat mustahil.21
Disamping itu sense of academic crisis yang dialami Syahrur juga -sebagaimana para pemikir kontemporer yang lain- dilatar belakangi oleh adanya fenomena stagnasi pemikiran dunia Arab Islam yakni berupa stagnasi peradaban dan keagamaan memasuki millinium baru dalam arus globalisasi informasi dan teknologi. Masalah inti yang menjadi poros perdebatan para pemikir kontemporer sejak era kebangkitan pada tahun 1967 hingga era kontemporer tahun 1990 hingga saat ini yakni berpusat pada: i) sikap terhadap turats (warisan tradisi), ii) sikap terhadap Barat dan iii) sikap terhadap modernitas22
Syahrur juga menyatakan “Jika ada seorang bertanya kepada saya : tidakkah anda berpuas diri dengan apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam memahami al Kitab dan al Qur’an? Dengan penuh keyakinan dan keberanian saya akan menjawab : tidak sama sekali, saya tidak akan pernah merasa puas atas capaian pemahaman mereka, karena dasar-dasar dan latar belakang keilmuan saya berbeda dari mereka. Metode ilmiah yang saya gunakan juga berbeda. Saya juga hidup pada masa yang sama sekali berbeda dari mereka. Demikian pula, tantangan permasalahan yang saya hadapi berbeda dari tantangan yang mereka hadapi. Saat ini saya bergelut dengan berbagai aliran filsafat yang sangat kuat mempengaruhi model berfikir saya, saya juga hidup dalam suasana perkembangan ilmu pengetahuan yang ikut menentukan setiap keputusan dan kecendrungan yang saya ambil dalam hidup saya. Oleh karena itu, saya merasa tidak puas jika saya katakan bahwa saya menerima begitu saja apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam pemahaman mereka terhadap al Qur’an dan hadis.”23
The Importance of Topic
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Syahrur tidak menganut sinonimisis dalam bahasa Arab. Menurutnya setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independent. Tidak ada kontekstualisasi bagi teks, penerimaannya maupun penyusunannya.24 Dengan kata lain Al Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Bagi Syahrur konteks terpenting dalam memahami Al Qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup ummat.25
Selanjutnya Syahrur menjelaskan bahwa nabi hanya sebagai penerima dan ia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan. Peranannya hanya sebatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan, sebagai contoh pertama (the fast mirror) dari beragam variasi perwujudan al Qur’an.26 Karena itu, dilihat dari pendekatan linguistiknyan dengan rumusan independensi teks ini terdapat perbedaan-perbedaan mendasar antara beberapa ungkapan kunci dalam diskursusnya seperti pembedaan antara al Qur’an dan Ummul Kitab, kenabian dan kerasulan serta al Inzal dan al Tanzil. Sedangkan konsep Istiqamah dan Hanifiyah sebagai wilayah pemberlakuan (elastisitas) hukum. Selain itu pimikiran Syahrur juga dipengaruhi filsafat alamiah, dasar-dasar ilmu alam dan humaniora selain pendekatan linguistic.27 Konsep istiqamah dan hanifiyah ini yang nantinya akan melahirkan theory batas.
Selanjutnya kita akan membahas rumusan independensi teks yang digunakan oleh Syahrur dan beberapa ungkapan kunci di dalam diskursusnya. Berikut uraiannya.
Al-Kitab dan Al Qur’an, Kenabian (Nubuwwah) dan Kerasulan (al-Risalah)
Sekali lagi, setelah menempatkan generasinya sebagai pihak yang paling memenuhi syarat untuk menafsirkan “Al-Zikr” Syahrur membedakan apa yang disebutnya sebagai “Al Kitab” dan “Al-Qur’an” sebagaimana judul kunci dalam bukunya (Al-Kitab wa Al Qur’an) sebagaimana konsep kata ini oleh sebagaian ulama sering disamakan, selanjutnya pembedaan yang dilakukan oleh Syahrur ini menuntut pembedaan konsep kunci lainnya. Yakni antara Muhammad sebagai Rasul dan Muhammad sebagai Nabi. Sebagai Nabi, Muhammad menerima informasi yang diperoleh dalam kapasitas kenabiannya. Beliau menerima sebuah kitab yang berisi ajaran hukum (legal instruction). Fungsi Muhammad sebagai Nabi bersifat keagamaan, sementara fungsi Muhammad sebagai rasul lebih bersifat legal, yakni terkait dengan masalah hukum.
Sedangkan Informasi kenabian berupa teks-teks yang “ambigu” dalam pengertian dapat ditafsirkan dari bermacam-macam persfektif. Bagian inilah yang dalam istilah Syahrur disebut sebagai Al Qur’an. Pada sisi yang lain, meskipun kandungan yang satunya berisi materi hukum, namun bagian ini menerima proses ijtihad. Dalam hal inilah Al Qur’an disebut sebagai Al Kitab. Bagi syahrur perbedaan ini harus jelas. Terkait dengan hal ini, Syahrur membedakan secara jelas antara ijtihad dan penafsiran. Penafsiran meliputi perubahan makna dari teks ambigu, sehingga bisa memunculkan dua persepsi atau lebih dari satu kata yang sama. Sementara ijtihad dalam pengertian kebahasaannya yang ketat, tidak berkaitan dengan konsep penafsiran. Ijtihad adalah proses dimana bahasa hukum digunakan untuk menghasilkan hukum tertentu yang sesuai dengan waktu dan tempat tertentu pula, dan mungkin akan menghasilkan hukum lain ditempat lain dalam waktu yang lain.28
Syahrur berpendapat bahwa al Qur’an tidak mencakup keseluruhan al kitab, tetapi hanya mencakup dimensi kenabian (Nubuwwah). Syariah (Hukum Islam) adalah termasuk dimensi kerisalahan, yang disebut sebagai umm al kitab (Induk al Kitab). Ayat-ayat umm al kitab mencakup tema-tema tentang batas-batas hukum Tuhan (Hudud), ibadah ritual, pilar-pilar moral berupa wasiat-wasiat, ajaran-ajaran (ta’limat) dan ayat-ayat bersifat local temporal29. Al Qur’an dan umm al kitab, kenabian dan kerisalahan tercakup dalam istilah al kitab ini.
Mengenai kandungan al kitab terhadap dua model ayat : mutasyabihat/kenabian/Al Qur’an yang bersifat figurative yang berbicara tentang kebangkitan, surga, neraka, kenabian dan mukjizat. Ayat-ayat ini tidak dapat berubah dan tidak terpengaruh oleh tindakan manusia. Syahrur mengatakan ayat-ayat ini mengambil porsi terbesar dalam al-Kitab. Bagian kedua yakni ayat-ayat yang muhkamat/kerisalahan/umm al kitab sebagai ayat-ayat ketetapan hukum dan berisi perintah-perintah seperti perceraian, waris, hukuman, shadaqah dan ritual ibadah. Dan hanya mencakup porsi yang sedikit dalam al kitab.
Perbedaan antara al kitab dan al Qur’an sejajar dengan perbedaan konsep nubuwwah (kenabian) dan al Risalah. Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi aturan hukum dan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat obyektif dan independent sedangkan yang kedua bersifat subyektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.30
Pemilahan Syahrur terhadap ayat-ayat muhkan dan mutasyabih ini juga sama seperti kebanyakan ulama tradisional, perbedaannya lebih pada pembacaan terhadap peran kenabian yang bersifat obyektif dan tidak dapat dielakkan, pada satu sisi, dan kerisalahan tentang bagaimana seseorang hidup dengan kehidupan yang bermoral, dalam hubungannya dengan pemaknaan terhadap kebebasan berkehendak yang dimilikinya.
Terkait dengan hal ini, Syahrur mengatakan “Disini saya ingin mengatakan satu poin yang sangat penting yaitu bahwa al Qur’an adalah kitab tentang realitas empiris dan historis, oleh karenanya ia tidak mengandung tema-tema akhlak, ketaqwaan, kepatutan ataupun kelayakan. Ia tidak dapat ditetapkan dengan ungkapan “demikianlah para ahli fiqh telah bersepakat” atau “demikianlah yang dikatakan oleh mayoritas ulama (jumhur)”. Kami berpendapat bahwa al Qur’an dan al-sab’u al matsni sama sekali tidak terikat dengan pendapat generasi salaf (benar-benar independent). Pemahaman kami hanya terikat oleh prinsip-prinsip metode ilmiah, pemikiran objektif dan kaidah penalaran yang sesuai dengan latar belakang keilmuan pada zaman sekarang. Al Qur’an adalah realitas obyektif yang bersifat material dan historis sama sekali tidak tunduk pada kesepakatan mayoritas ilmuan, meskipun semuanya terdiri dari ahli taqwa. Al Qur’an hanya tunduk dibawah kaidah penelitian ilmiah, meskipun para peneliti bukan terdiri dari orang-orang yang bertaqwa. Hendaknya kita menjebol benteng dugaan (mitos) yang menetapkan aksioma ‘ini adalah pendapat yang disepakati oleh mayoritas’ atau ‘pendapat ini telah disetujui oleh mayoritas ahli fiqh’ oleh karenanya, allah menyatakan al kitab sebagai “hudan lil muttaqien” yakni “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q.S. Al Baqarah ayat 2) dan menyatakan al-Qur’an sebagai “hudan linnas” (Al Baqarah ayat 185)”31 yakni “…..bulan (Ramadhan) yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)…..”
Pesan-pesan yang terkandung dalam misi kenabian (nubuwwah) adalah pesan-pesan moral, keadilan, agaliter, kemerdekaan dan sebagainya (kuliyyah) sementara dalam misi kerasulan (al Risalah) mengandung model penerapan pada kali pertama tentang hukum-hukum allah pada masyarakat Arab. Penerapan pesan-pesan juz’I ini merupakan variasi kali pertama yang dicontohkan Rasul.
Lagi, penafsiran dan ijtihad merupakan hal yang berbeda bagi Syahrur. Penafsiran meliputi perubahan makna dan teks ambigu hingga bisa menimbulkan dua persepsi atau lebih dari satu kata yang sama. Sementara ijtihad adalah proses dimana bahasa hukum dipergunakan untuk menghasilkan hukum tertentu yang sesuai dengan hukum tertentu dan waktu dan tempat tertentu pula32.
Selain itu, Syahrur juga memunculkan type ayat yang disebutnya sebagai Tafshil al-Kitab (Penjelasan tentang al-kitab). Ayat-ayat tafshil tidak diterima sebagai fakta atau pemecahan hukum, namun ia disediakan oleh Allah agar kita dapat memahami bagaimana cara menafsirkan al-kitab. Menurut Syahrur, ayat-ayat ini berjumlah sedikit dan dapat mudah diketahui melalui perujukannya yang secara langsung kepada al-kitab33. Selanjutnya Syahrur menyatakan bahwa ayat-ayat tafshil ini, semisal yang terdapat dalam Q.S. Yunus ayat 37 yang artinya “Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam” dan dalam surat Yusuf ayat 111 yang artinya “Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” dan dalam Q.S. Al-An’am ayat 114 yang artinya “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” berbicara tentang perincian kandungan al-kitab. 34
Menurut Syahrur tafshil disini mengandung dua sisi arti yakni yang berarti uraian penjelasan (syarh) misalnya seperti yang terdapat di akhir Q.S. Yusuf ayat 111 yang artinya “Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” Dan sisi kedua mengandung pemisahan sesuatu secara materil, baik pada aspek waktu maupun lokasi, seperti halnya sebuah peristiwa yang terjadi secara periodik yang datang bergantian dan terpisah antara yang satu dengan lainnya. Hal ini misalnya terdapat dalam Q.S. al-A’raf ayat 133 yang artinya “Maka Kami kirimkan kepada mereka tofan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa” selain itu juga dalam Q.S. al-An’am ayat 114 yang artinya “Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu”35
Selanjutnya dari ayat-ayat tafshil ini menimbulkan sebuah pertanyaan yang terkait dengan, apakah ayat-ayat tafshil al-kitab ini seperti dalam Q.S. Ali Imran ayat 7 yang artinya “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.” Dan Q.S. Yunus ayat 37 yang artinya “Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam” termasuk kedalam bagian Nubuwah atau Risalah? Menurut Syahrur ayat-ayat ini termasuk dalam katagori tafshil al-kitab dan bukan termasuk katagori al-risalah karena ayat-ayat tersebut tidak memuat tema-tema hukum, perintah, larangan, nasihat atau wasiat.36
Dengan demikian, tersisa dua alternatif: pertama, ayat-ayat tafshil al-kitab termasuk Nubuwah karena seluruh isinya bersifat pengajaran informasi (ikhbariyah ta’limiyah), oleh karena itu ia termasuk katagori al-Nubuwah, karena ia adalah ayat-ayat pengajaran yang menjelaskan kandungan al-kitab, hanya saja ia tidak berkarakter mutasyabih. Kedua, ayat-ayat tafshil al-kitab bukan termasuk katagori al Nubuwah maupun al Risalah. Menurut Syahrur dia menjauhi alternatif ini, karena al-kitab yang diwahyukan kepada Muhammad saw mencakup al Nubuwah dan al-Risalah bersamaan. Muhammad adalah seorang nabi sekaligus Rasul, Beliau hanya memiliki dua peran tersebut, yakni maqam Nubuwah dan maqam Risalah, dan tidak ada maqam ketiga yang menurut Syahrur yang dapat disandarkan kepada Nabi agar pendifinisian ayat-ayat tafshil al-kitab ini dapat tercapai. Menurut Syahrur kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa ayat-ayat tafshil al-kitab termasuk katagori Nubuwah namun ia tidak mutasyabih. Ayat ini tidak terkait dengan lauh mahfudz atau imam mubin, melainkan ia diwahyukan secara langsung dari Allah.37
Al-Inzal dan Al-Tanzil
Penjelasan tentang perbedaan al Inzal dan al Tanzil sangat penting dalam usaha pemahaman terhadap al kitab secara keseluruhan. Proses ini sangat berkaitan dengan pemahaman konsep Nubuwwah dan al Risalah sebagai bagian masing-masing yang memiliki misi berbeda.
Firman Allah swt dalam Q.S. al Hadid ayat 25, yakni “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” Dalam firman ini Allah swt menginformasikan kepada kita bahwa proses al Inzal “besi” dan “pakaian” kepada manusia sudah telah berlangsung sempurna.
Selain itu Allah juga berfirman tentang al Inzal al Qur’an dalam Q.S. Yusuf ayat 2. Yakni “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” Dalam ayat-ayat yang lain Allah juga berfirman, misalnya dalam Q.S. Yusuf ayat 2 dan Al-Qadr ayat 1 yakni “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan” yang serlanjutnya pertanyaannya adalah bagaimana cara memahami Inzal besi dan al Qur’an?38
Terkait dengan konsep al Tanzil Allah swt berfirman dalam Q.S. al Insan ayat 23 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur” dan Q.S. al Jasiyah ayat 2 “Kitab (ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Dalam Q.S. al Fusilat ayat 2 yang artinya “Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” kita mendapatkan redaksi “Tanzil min al rahmah al rahim” redaksi yang serupa juga kita temukan dalam Q.S. al Waki’ah ayat 80 “Diturunkan dari Tuhan semesta alam”. Selain itu Rasul saw telah menjelaskan dalam hadisnya tentang proses turunnya al Qur’an. Beliau saw bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (unzila qur’ana jumlatan wahidatan ila al sama’I al dunya fii lailah al qadr tsumma nazala ba’da dzalika fii isyrina sanatan) artinya ‘Al Qur’an’ diturunkan (al-inzal) sekaligus kelangit dunia pada lailaatul al-qadr. Setelah itu ia diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu 23 tahun’. Menurut Syahrur hadis ini termasuk dalam hadis metafisikan, tentang keghaiban karenanya tidak boleh dipahami secara literjik, melainkan harus memahaminya dengan rasional dan sesuai dengan akal dan realita39. Jika dipahami secara literjik maka kita akan dihadapkan kepada pertanyaan selanjutnya. Seandainya al Qur’an diturunkan kelangit dunia dan apakah proses al Inzal besi dan pakaian itu juga diturunkan sama dengan proses al Qur’an?
Menurut Syahrur, ketika allah hendak memberikan al Qur’an kepada manusia, maka tahapan pertamanya adalah pengubahan wujud primordial al Qur’an ini pada bentuk yang dapat dicerap pengetahuan manusia secara relatif, dengan kata lain al Qur’an mengalami perubahan struktur eksistensi (taghyir fi al-shairurah). Proses perubahan struktur eksistensi ini dalam linguistik Arab disebut dengan istilah al-Ja’l (transformasi wujud). Allah berfirman dalam Q.S. al Zuhruf ayat 3 “inna ja’alnahu qur’anan ‘arabiyyan la’allakum ta’qilun”. Yang artinya “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya)”. Pengertiannya bahwa al Qur’an memiliki wujud primordial sebelum ia berbentuk bahasa Arab kemudian ditransformasikan menjadi bahasa Arab, dengan kata lain “struktur eksistensi al Qur’an diubah sedemikian rupa (dari bentuk yang tidak dapat diketahui menjadi bentuk yang dapat diketahui) inilah yang dimaksud dengan kata al-Ja’l”40
Al Inzal adalah perpindahan obyek dari wilayah yang tidak diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui. Al Qur’an, pada awalnya berada pada wilayah yang tidak dapat diketahui ‘tidak ditampakkan (al Tanzil sebelum proses al Inzal) saat itu al Qur’an berwujud primordial objektif yang berada diluar kesadaran manusia. Kemudian dipindahkan menuju wilayah yang dapat diketahui yaitu ke dalam bahasa Arab dari Allah (al Tanzil). Proses Ja’l dan al Inzal kedalam bahasa Arab yang dapat dipahami berlangsung sekaligus secara keseluruhan dalam satu kesempatan. Peristiwa itu terjadi pada malam al Qadar. Proses al Tanzil selanjutnya (kedua) setelah al Inzal sekaligus pada lailah al qadr adalah oleh Jibril kepada Muhammad. Proses al Tanzil ini juga terjadi diluar kesadaran manusia. Setelah pesan-pesan itu berbentuk dalam lafadz-lafadz Arab dengan lidah Muhammad saw lah baru dipahami.
Di dalam al Qur’an terjadi proses al-Ja’l dan al inzal sekaligus, dengan kata lain ia diubah dan dipindahkan menjadi bahasa Arab. Menurut Syahrur al Qur’an yang ada dihadapan kita bukan wujud al Qur’an yang tersimpan dalam lauh mahfuzh dan imam mubin, dan struktur al Qur’an yang ada tidak identik dengan struktur al Qur’an yang ada dalam keduanya. Al Qur’an yang ada sekarang adalah produk akhir proses al inzal yang berada dalam wilayah pengetahuan manusia. Proses al Ja’l al Qur’an sehingga berbentuk bahasa Arab yang dapat diketahui sudah usai dan telah disampaikan kepada nabi Muhammad saw secara material melalui mekanisme pewahyuan al-tanzil. Kemudian nabi menyampaikannya kepada manusia.41
Sedangkan al-Tanzil menurut Syahrur adalah perpindahan objek secara meterial berlangsung diluar kesadaran manusia, seperti transmisi gelombang. Untuk konteks al Qur’an proses al-tanzil-nya melalui Jibril yang disampaikan kepada Muhammad saw dan berlangsung dalam rentang waktu 23 tahun. Al Qur’an mengalami proses Ja’l dan al-inzal sekaligus (keseluruhan dalam satu kesempatan). Sedangkan al Tanzil berlangsung secara terpisah dalam rentang waktu 23 tahun. Oleh karenanya, setelah penjelasan al Ja’l dan al inzal, Allah swt berfirman dalam Q.S. Abasa ayat 13-16 “fi shuhufin mukarramah marfu’atin muthahharah bi aidi safarah kiramin bararah”42 yang artinya [80.13] di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, [80.14] yang ditinggikan lagi disucikan, [80.15] di tangan para penulis (malaikat), [80.16] yang mulia lagi berbakti.43
Mengingat bahwa al Qur’an memiliki wujud primordial pra-al-tanzil dan al-tanzil berlangsung berangsur-angsur maka muncul sebuah pertanyaan: mengapa proses al-tanzil bagi al Qur’an, setelah ia mengalami Ja’l dan al-inzal tidak berlangsung secara keseluruhan dalam satu waktu? Menurut Syahrur jawabannya adalah “wa qala al-ladzina kafaru laula nuzzila ‘alaihi al-Qur’anu jumlatan wahidatan….(Q.S. Al-Furqan ayat 32)” yang artinya (25.32) Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”.
Karena itu menurut Syahrur al Qur’an tidak terkait dengan sejarah saat diturunkan kepada Muhammad. Turunnya al qur’an tidak terikat dengan asbab al-nuzul meskipun tidak ada asbab tetap saja al Qur’an (al Inzal) itu diturunkan, diminta atau tidak.44
Berikut akan digambarkan proses inzal dan tanzil pada al kitab yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw45
Proses Inzal dan Tanzil pada Al Kitab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw
Keterangan:
Al-dzikr adalah bentuk redaksional linguistik pada al kitab secara keseluruhan yang memuat nilai ibadah. Al dzikr ini mengalami proses inzal dan tanzil sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt dalam Q.S. An Nahl ayat 44 “waanzalna alaika al-dzikra litubayyina li al-nas ma nuzzila ilaihim” yang artinya “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan…”
Proses al Tanzil dijelaskan dalam firman Allah swt dalam Q.S. al Hijr ayat 9 “inna nahnu nazzalna al-dzikra wainna lahu lahafizun” yang artinya “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Al-Kitab adalah himpunan berbagai tema yang tercantum dalam mushaf, dari aspek lafalnya saja ia terdiri dari al-dzikr. Proses inzalnya telah disebutkan dalam Q.S. Al Kahfi ayat 1 yakni “al-hamdulillahi alladzi ‘ala ‘abdihi al-kitaba…” yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya”
Proses tanzilnya tercakup dalam firman-Nya dalam Q.S. Ghafir ayat 2 yakni “tanzil al kitabi minallahi al-‘aziz al-hakim”
Disini misalnya Syahrur mencontohkan peristiwa inzal tanpa tanzil dalam kisah jatuhnya apel Newton46
Selanjutnya akan digambarkan bagan operasional Inzal dan Tanzil47
Kondisi Pertama
Pada kondisi ini kita mendapati urutan proses sebagai berikut:
Pertandingan sepak bola Transformasi wujud (Ja’l) Tanzil Inzal
Kondisi Kedua
Dua Konsep Yang Bertentangan (Mustaqim dan Hanifiah)
Agar mengetahui pesan hukum dalam persfektif Syahrur perlu digambarkan perbedaan mendasar antara dua konsep yang bertentangan tetapi saling melengkapi. Hubungan dialektis kedua konsep itu dapat dijumpai dalam kitab yaitu dengan ungkapan “istiqamah” dan “hanifiyah”. Setelah diperhatikan penggunaan kata-kata tersebut dalam al Qur’an Syahrur menyimpulkan bahwa arti hanifiyah adalah “penyimpangan” dari jalan yang lurus atau dari kelurusan. Lawan dari hanifiyah adalah istiqamah yang menjadi sifat dari ‘kelurusan’ mengikuti jalan yang lurus.48
Dengan menggunakan metode linguistik, Syahrûr kemudian membangun teori batas, yang didasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Menurut Syahrûr, kata al-hanîf berasal dari kata hanafa yang dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa) atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqâmah, berasal dari kata qaum yang memiliki dua arti pertama diartikan sebagai berdiri tegak (al-intishâb) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-intishâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al-inhirâf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaannya).49
Analisa-analisa linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam Q.S. Al An’am ayat 161, yang memaparkan tiga term pokok: al-dân al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, yang nampak sekilas bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiktif.50
Setelah menganalisa Q.S. Al An’an ayat 79, Syahrûr memperoleh pemahaman bahwa al-hunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.51 Langit, bumi, dan bahkan elektron yang terkecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dalam garis lengkung. Tidak ada dari tata alam itu yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-dîn al-hanîf, dengan demikian, adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanîf merupakan pembawaan yang bersifat fitriah. Manusia, sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat pembawaan fitriah ini yakni lengkung atau bengkok.
Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga, sadar atau tidak hal itu terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial, kebiasaan, atau adat. Oleh karena itu, al-shirât al-mustaqîm, adalah sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah kenapa dalam al-Qur’ân tidak akan pernah ditemui ihdinâ ila al-hanafiyyah melainkan ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm, karena memang al-hanafiyyah adalah merupakan fitrah. Dengan demikian, al-shirât al-mustaqîm menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.
Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrûr kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi, yaitu teori batas (nazhariyyah al-hudûd). Syahrûr menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah, bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah swt. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptable terhadap konteks ruang dan waktu. Syahrûr kemudian mengenalkan apa yang disebutnya sebagai teori batas. Ia mengatakan bahwa Allah telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang minimum, al-istiqâmah (straightness), dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut, al-hanafiyyah (curvature).52
Istilah ini paling tidak untuk menggambarkan pola hubungan yang saling melengkapi dalam al Risalah. Kelengkungan (hanifiyah) merupakan sifat dasar alam. Benda-benda di alam ini tidak ada yang bergerak yang mengikuti pola lurus akan tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa electron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti garis lengkung. Mikro kosmos adalah miniature makro yang lebih besar. Manusia dan alam. Galaksi dan bima sakti. Pada sisi lain Syahrur menunjukkan bahwa tidak ada satupun ayat al Qur’an yang berisi permohonan manusia untuk ditunjukkan hanafiyyah karena hal itu merupakan sifat dasar alam yang telah ditetapkan sebelum alam itu ada53
Karena sifat dasar alam bersifat lengkung (hanif) maka kelurusan (istiqamah) menjadi sangat penting demi mengontrol dan mengendalikan perubahan ini untuk menegakkan aturan hukum. Karena itu istiqamah bukanlah bagian dari hukum alam akan tetapi ia lebih sebagai ketentuan allah. Karenanya hanifah dan istiqamah sama-sama berfungsi untuk mengatur manusia. Manusia selalu membutuhkan istiqamah (Q.S. Al Fatihah ayat 5).54 Karenanya kita tidak pernah mendapati satu ayat pun dalam al Qur’an tentang permohonan untuk ditunjuki jalan yang hanifiyah (bengkok).
Tentang apakah konsep istiqomah ini akan ‘memaksakan’ lengkungan itu secara kaku? Disinilah Syahrur menawarkan ruang elastisitas hukum dengan teori batas-batas hukum (hudud) atau “theory of limits”. Sekali lagi, hubungan keduanya sepenuhnya dialektis. Karena ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan keduanya terjalin dan berkelindan. Dialektis ini menunjukkan elastisitas ruang hukum dalam menghadapi kondisi, tempat dan waktu (shalih likully zaman wa makan). Akhirnya manusia bergerak dengan karakter kelengkungannya dalam batas-batas “keluwesan” itu.
Selanjutnya Syahrur menyatakan bahwa sebagian pihak mempertanyakan bagaimana mungkin kekuatan islam terletak dalam dua sifat yang saling tolak belakang ini? Syahrur menyatakan bahwa dua sifat yang beroposisi ini akan melahirkan jutaan kemungkinan dalam penetapan hukum dan perilaku manusia biasa yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia disetiap ruang dan waktu hingga datangnya hari kiamat55 pada bagian berikut ini kita akan melihat bagaimana penerapan teori batas Syahrur dalam praktek hukumnya.
Memahami Teori Batas
Dengan merujuk pada matematika, khususnya teori matematika Newton yang menerangkan tentang konsep analisis dan konsep persamaan fungsi. Syahrur selanjutnya menjelaskan bahwa matematika analisis sebagai ilmu yang menjelaskan hubungan antara variabel pengikut dengan variabel perubahnya. Jika diandaikan bahwa variabel pengikutnya adalah Y dan variabel perubahnya adalah X, maka persamaannya adalah Y=f(x). jika ada dua variabel perubah, maka persamaannya adalah Y=f(x,z). dalam konteks pembahasan ini Syahrur membaginya kedalam enam bentuk yakni56:
Persamaan fungsi berupa sebuah kurva yang hanya memiliki satu titik balik maksimum. Titik balik ini berposisi diantara dua ujung kurva. Secara matematis, persamaan fungsi ini dirumuskan dengan turunan pertama sama dengan nol. (lihat bagan 1)
Persamaan fungsi berupa sebuah kurva yang hanay memiliki satu titik balik minimum. (lihat bagan 2)
Persamaan fungsi berupa sebuah kurva yang memiliki satu titik balik maksimum dan satu titik balik minimum sebagai variabel-variabel kurva gelombang. Kurva ini memiliki dua titik, yaitu titik balik maksimum dan minimum. Turunan pertama sama dengan nol di kedua titik balik. Titik singgung merupakan titik yang mengawali perubahan dari titik balik maksimum menuju titik balik minimum. Di dalamnya terdapat turunan ke dua yang juga sama dengan nol (lihat bagan 3)
Persamaan fungsi berupa kurva lurus sejajar dengan sumbu X, tidak memiliki titik balik maksimum maupun minimum. Dengan kata lain seluruh titik yang terdapat pada kurva ini merupakan titik balik maksimum sekaligus minimum. (lihat bagan 4)
Persamaan fungsi berupa kurva yang memiliki titik balik maksimum dan minimum, tetapi bentuknya saling mendekat. Atau dengan kata lain, bentuk kurva lengkung yang cenderung lurus dan tidak ada persinggungan kecuali pada daerah tak terhingga (lihat bagan 5)
Persamaan fungsi berupa kurva yang memiliki batas maksimal di daerah positif dan batas minimal di daerah negatif (lihat bagan 6)
Selanjutnya, agar dapat dioperasionalkan maka Syahrur mendefinisikan koordinat matematis tersebut sebagai berikut: sumbu Y (garis ordinat) melambangkan perkembangan hukum dalam lingkup batasan yang telah ditetapkan, sedangkan sumbu X (garis absis) melambangkan waktu atau konteks sejarah. Adapun titik ordinat melambangkan awal diutusnya Nabi Muhammad saw, yakni waktu diturunkannya risalah Tuhan kepada Nabi saw atau “hijrah kenabian”57. Untuk lebij jelasnya akan digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan artikulasi teori batas yang dipaparkan Syahrur di atas, selanjutnya Syahrur memilih ayat-ayat yang memuat batasan-batasan hukum Allah, yang menjadi panduan utama bagi ayat-ayat hukumnya. Menurut Syahrur risalah yang dibawa Muhammad saw terdiri dari 1) batasan-batasan hukum, 2) batasan-batasan ibadah, 3) pilar-pilar moral (akhlak) (al-furqan) yang ketiganya membentuk Al-Sirat al-Mustaqim, 4) ajaran-ajatran yang tidak terkait dengan penetapan hukum, ibadah dan akhlak.
Selanjutnya ke enam persamaan fungsi tersebut akan digambarkan dengan menyertakan ayat-ayat hukumnya ke dalam bentuk bagan sebagai berikut58:
Bagan Perinsip-Prinsip Teori Hudud Dalam Bentuk Analisa Matematis Persamaan Fungsi Y= f (x)
Posisi 1 : Posisi Batas Minimal (hadlah al-had al-adna)
Y
Kurva Terbuka=Ruang Ijtihat
Titik Balik Minimum
X
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pernikahan yakni pelarangan dalam al Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada Q.S. An Nisa ayat 22. Dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad. Contoh batasan ini terdapat dalam Q.S. An Nisa ayat 23. Dalam kondisi apapun tidak seorangpun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini. Meskipun didasarkan pada ijtihat.
Contoh :
Ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah (hâlatu al-hadd al-adnâ). Ini misalnya berlaku pada ayat tentang perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi (Q.S 4: 22-23) yang artinya “[4.22] Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). [4.23] Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Berbagai jenis makanan yang diharamkan (Q.S. 5: 3) yang artinya “[5.3] Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam (Q.S. 6: 145-156) yang artinya “[6.145] Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [6.146] Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku; dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Utang-piutang (Q.S. 2: 283-284) yang artinya “[2.283] Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [2.284] Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dan tentang pakaian wanita (Q.S. 4: 31) yang artinya “[4.31] Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”.59
Posisi 2 : Posisi Batas Maksimal (halah al-had al-a’la)
Y
Kurva Tertutup = Ruang Ijtihad
Titik Balik Maksimum
X
Untuk kasus ini dapat kita lihat pada Q.S. Al Maidah ayat 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka ptong tangan merupakan hukuman bagi pencuri. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.
Lantas Syahrur mempersoalkan tentang bagaimana dalam kasus korupsi dalam jumlah besar? Ini digolongkan oleh Syahrur kedalam penghianatan terhadap Allah dan Rasul saw. Kesalahan itu sama juga dengan pembocoran rahasia Negara. Perampasan hak umum harta Negara yang mengancam banyak jiwa. Maka mereka dihukum dengan di bunuh, disalib dan rajam sebagaimana dalam Q.S. Al Maidah ayat 33.
Contoh:
Ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas (hâlatu al-hadd al-a’lâ). Ini berlaku pada tindak pidana pencurian (Q.S 5: 38) yang artinya “[5.38] Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” Dan pembunuhan (Q.S 17: 33) yang artinya “[17.33] Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”
Dalam (Q.S. 2: 178) yang artinya “[2.178] Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Dan dalam (Q.S 4: 92) yang artinya “[4.92] Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.60
Posisi 3 : Posisi Batas Maksimal dan Minimal Bersamaan (halah al-had al-a’la wa al-adna ma’an)
Y
Titik Balik Maksimum
Kurva terturtup dan terbuka
Titik Balik Minimum
X
Batasan ini berlaku pada pembagian harta warisan. Dalam Q.S. An Nisa ayat 11.
Contoh :
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan batas bawah sekaligus (hâlatu al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a’lâ m’an). Ini misalnya terjadi pada persoalan hukum waris (Q.S. 4: 11-14, 176) yang artinya “[4.11] Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Ayat [4.12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”
Ayat [4.13] (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” Dan ayat [4.14] Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”
Dan persoalan poligami (Q.S. 4: 3) yang artinya “[4.3] Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”61
Posisi 4 : Posisi Lurus atau Posisi Penetapan Hukum Partikular (Ainiyah)
Y
Nilai Y selalu tetap untuk setiap nilai X
X
Posisi batas minimum dan maksimum bersamaan pada titik atau posisi lurus pada penetapan hukum particular (‘ainiyah). Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al Qur’an pada Q.S. An Nur mengenai kasus perzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 X tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Contoh:
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus tapi dalam satu titik koordinat (hâlatu al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a’lâ m’an ‘alâ nuqthati wâhidah). Ini berarti tidak ada alternatif hukum lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari yang ditentukan. Ini berlaku pada hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (Q.S 24: 2). Yang artinya “[24.2] Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”62
Posisi 5 : Posisi Batas Maksimal Cenderung Mendekati Tanpa Bersentuhan
Y
X
Dalam kasus ini posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia yang berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat (pen).
Contoh;
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan (hâlatu al-hadd al-a’lâ bikhath maqârib al-mustaqîm). Ini berlaku pada hubungan pergaulan laki-laki dan perempuan yang dimulai dari saling tidak menyentuh sama sekali antara keduanya hingga hubungan yang hampir (mendekati) zina.63 Hal ini misalnya terdapat dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 32 yang artinya “[17.32] Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”
Dan dalam Q.S. al-An’am ayat 151 yang artinya “[6.151] Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya)”
Posisi 6 : Posisi Batas Maksimal Positif dan Posisi Batas Minimal Negatif
Y
Titik Balik Maksimum
Titik Balik Minimum
X
Garis hanifiyah ini bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif (+) dan batas minimum yang berada pada daerah negative (-). Teori batas keenam ini dipakai dalam transaksi keuangan. Batas tertinggi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan).
Contoh:
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas positif dan tidak boleh dilampaui dan batas bawah negatif yang boleh dilampaui (hâlatu al-hadd al-a’lâ mûjabun wa al-hadd al-adnâ sâlibun). Hal ini berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba sementara zakat sebagai batas bawahnya bernilai negatif boleh dilampaui.64
Keenam model teori batas yang dikemukakan Syahrûr, nampaknya sangat terkait dengan latar belakang pendidikannya di bidang sains. Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, pemikiran Syahrûr tersebut merupakan sesuatu yang baru dan nampaknya belum ada pendahulunya. Secara umum, bisa ditangkap bahwa dengan fleksibilitas hukum Islam berdasarkan model teori batas, Syahrûr bermaksud untuk menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân, senantiasa relevan pada setiap situasi dan kondisi, dan Islam merupakan agama terakhir dan bersifat universal yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Teori batas dapat dipahami sebagai perintah Allah yang diungkapkan dalam al Qur’an dan Sunnah mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al had al adna) dan batas tertinggi (al had al ‘ala) untuk seluruh perbuatan manusia. Dalam kasus hukum ketetapan terendah adalah batasan minimum dan tertinggi adalah batasan maksimum. Tidak ada bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. Hukum akan ditetapkan antara batas maksimum dan batas minimum tergantung dari kualitas kesalahan yang dilakukan.
Metodologi
Metodologi adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh agar pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Terkait dengan hal ini, metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat . perinsip metodologis dalam hal ini bukan dimaksud sekedar langkah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatar belakangi munculnya sebuah metode65
Jika kita lihat dari latar belakang keilmuawan Muhammad Syahrur, maka akan kita dapati, bahwa Syahrur adalah seorang yang ahli dalam bidang mekanika pertanahan dan fondasi, selain itu Syahrur juga mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang matematika pertanahan dan geologi. Selain itu, Syahrur kuga sangat menguasai bahasa Inggris, bahasa Rusia dan bahasa Arab. Disamping itu Syahrur juga menekuni bidang yang sangat menarik perhatiannya yakni filsafat humanisme dan pendalaman makna bahasa Arab. Tulisan-tulisan Syahrur banyak tersebar di Damaskus, khususnya dalam bidang spesialisasinya diantaranya yakni tentang teknik fondasi bangunan (dalam tiga volume) dan mekanika tanah 66
Adapun karya Syahrur “Bacaan Konntemporer” (Qira’ah Mu’ashirah) secara umum dapat dibagi kedalam dua kelompok yakni yang pertama dan merupakan bagaian yang paling penting adalah pemikiran-pemikiran dasar yang terdiri dari kaidah-kaidah metodologis yang menjadi landasan rentetan pemikirannya dalam interpretasi teks Qur’ani. Dan yang kedua adalah hasil (result) pemikiran dari metodologi dasar tersebut.
Syahrur, dengan demikian, setelah menekuni filsafat dan linguistik mencoba merambah wilayah studi al Qur’an yang menggunakan pendekatan linguistik modern67 disamping itu pula Syahrur juga sering menggunakan metafora dan analogi yang diambil dari ilmu teknik dan sains. Syahrur berpendapat bahwa al Qur’an -yang dalam pengertian Syahrur berarti bagian tertentu dari kitab suci yang bertemakan ilmu pengetahuan objektif- seharusnya dibaca dan dipahami bukan melalui prisma abad-abad yurisprudensi, melainkan seolah-olah “Rasulullah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut”. Syahrur berusaha melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi terhadap berbagai konsep, teori dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas umat islam.
Dengan bantuan analisis linguistik, Syahrur memahami aspek sastra al Qur’an dengan menggunakan pendekatan deskriptif-signifikatif yang oleh Roland Barthes diidentikkan dengan Semiosis yakni suatu proses yang memadukan penanda dan petanda sehingga menghasilkan tanda. Sedangkan aspek ilmiahnya harus dipahami dengan pendekatan historis ilmiah. Pendekatan pertama dilakukan dengan cara memadukan analisis sastra dengan analisis gramatika, yang selama ini kedua disiplin linguistik tersebut lebih sering dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua, menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas68 dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim69
Karena itu dalam menafsirkan kitab suci Al Qur’an, Syahrur bersandar pada metode semantik Abu Ali Al-Farisi yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinni dan ‘Abd Al-Qadir Al-Jurjani, disamping itu Syahrur juga menggunakan ilmu linguistik modern dengan premisnya bahwa semua lisan kemanusiaan –termasuk lisan kearaban- tidak mempunyai satu katapun yang sinonim, sehingga sebuah makna kata bisa tereduksi oleh proses evolusi sejarah atau –lebih dari itu- bisa juga membawa tambahan arti lebih dari kata lain yang serupa, tetapi tak sama. Karena itu Syahrur memilih kamus Maqayis Al-Lughah karya Ibn Faris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.70
Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Syahrur menggagas teori batas dengan bertitik tolak pada matematika, khususnya teori matematika Newton yang menerangkan tentang konsep analisis dan konsep persamaan fungsi sebagai dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metodologi yang dibangun Syahrur tidak tunduk pada konsep yang dipahami secara tekstual, namun ia memadukan analisis tekstual dan kontekstual untuk menempatkan sebuah hukum humanis yang memberikan panduan secara umum. Tegasnya, metodologi hukum Syahrur tidak mau didekte secara literal dan tekstual oleh “kehendak” wahyu71
The Result of Research/The Conclusion
Dari pemaparan di atas tentang pembahasan mengenai “Bacaan Kontemporer” persfektif Syahrur. Ternyata banyak hal yang masih harus kita kaji dalam mengejar ketertinggalan dalam berbagai hal dengan kemajuan dunia yang terus mengalami perubahan. Perubahan yang akan mewujudkan islam sebagai rahmatanlilalamin. Sepertinya kesungguhan dan keberanian sangat diperlukan untuk menggagas suatu konsep. Setidaknya hal inilah yang mestinya kita ambil sebagai suatu pelajaran yang bergharga setelah kita membaca karya Syahrur.
Membangun sebuah persfektif terkadang harus merekonstruksi dan mendekonstruksi sebuah pemahaman hingga keakar-akarnya. Syahrur salah satu dari beberapa yang telah mengajukan konsep orisinil dan brilian dalam persfektif yang berbeda. Syahrur telah membangun “tafsirnya” atas “remeaning” terhadap al Qur’an dan al Sunnah. Tidak pelak lagi mashadir syar’iyah yang selama ini diagung-agungkan sebagai “mesin” pencetak hukum diabaikan oleh Syahrur. Usaha Syahrur lebih tertuju pada reformulasi hukum islam dan pada usaha membangun kembali kesadaran islam universal yang masing-masing dilakukan dengan tidak memisahkan agama dari dunia politik (baik secdara hukum atau ideologis)
Syahrur telah menggugat kemapanan yang selama ini menghegemoni. Pemahaman Syahrur bahwa tidak ada kontekstualisasi bagi teks, penerimaannya maupun penyusunannya.72 Dengan kata lain Al Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Bagi Syahrur konteks terpenting dalam memahami Al Qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup ummat.73
Terkait dengan pemahamannya terhadap ayat-ayat muhkamat, konsep sunnah Nabi, ijma’ dan qiyas. Syahrur misalnya memaparkan keempat kosep tersebut dengan pemahaman baru yakni term muhkamat misalnya, tidak lagi dipahami sebagai ayat-ayat yang mengandung arti yang cukup jelas, sehingga tidak memerlukan penalaran panjang untuk memahaminya, melainkan ayat-ayat yang membicarakan dan berkaitan erat dengan perilaku manusia. Bagi Syahrur, ayat-ayat muhkamat memuat: ritual keagamaan, batasan-batasan hukum Allah, hukum temporal dan ajaran yang bukan merupakan penetapan hukum masing-masing ini dipaparkan secara panjang lebar. Istilah Sunnah pun tidak lagi diartikan sebagai segala hal yang diucapkan , dilakukan dan ditetapkan oleh nabi Muhammad saw, melainkan metode penerapan hukum Allah dan penafsiran-penafsiran informasi-informasi profetik sesuai dengan situasi dan kondisi masa nabi. Ijma’ juga tidak luput dari reinterpretasi. Ijma’ dipahami oleh Syahrur sebagai konsensus manusia di parlemen. Sementara qiyas adalah analogi ketetapan hukum dengan ketetapan hukum lain yang semasa dan mempunyai kemiripan. Kebaruan penafsiran ini tentunya tidak luput dari background keilmuan Syahrur
Terkait dengan usaha pembacaan Al Qur’an dan al Sunnah tersebut, Syahrur menyatakan bahwa mereka yang berpegang teguh pada pembacaan al Qur’an masa lalu beresiko menerjemahkan dan memahami teks secara keliru. Pembacaan Syahrur akan membuktikan bahwa relevansi islam terus berlanjut. Dan mereka yang sejak awal takut terhadap konsekuensi meninggalkan penafsiran tradisional islam, memiliki keimanan yang lebih sedikit dibanding mereka yang lebih yakin dalam kelangsungan hidup islam di dunia modern.74
The Contribution to Knowledge
“Bacaan Kontemporer” dapat dikatakan adalah sebuah karya monumental yang patut dan layak dihargai dalam bidang kajian Al Qur’an. Komitmen keislaman penulisnya yang sangat tinggi dengan wawasannya yang luas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, telah membuka cakrawala baru bagi diskursus pemikiran keislaman. Lebih dari itu harus diakui pula bahwa Syahrur telah memberikan kontribusinya dalam upaya melepas umat dari belenggu stagnasi pemikiran.
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikiran Syahrur, yang jelas Syahrur telah cukup berani dan kritis melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al Qur’an. Dismaping itu, jargon “Qira’ah Mu’ashirah” yang dilontarkan Syahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan perkembangan sejarah interaksi antargenerasi, sehingga dengan hal tersebut diharapkan akan kembali menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang berakselerasi dan terus berubah.
Menurut Wael B. Hallaq hingga saat ini, dari keseluruhan usaha untuk merumuskan kembali teori hukum, pandangan-pandangan Syahrur adalah yang paling meyakinkan. Puncak keberhasilan dari suatu metodologi hukum bergantung tidak hanya pada integritas intelektual dan tingkat kecanggihan dalam berteori akan tetapi bergantung juga pada kemungkinan pemberlakuan metodologi hukum itu dalam konteks sosial. Menurut Wael B. Hallaq lebih lanjut bahwa Syahrur telah menyusun metodologinya secara padu dan baik dan lebih sesuai untuk sistem pemikiran yang islami. Metodologi Syahrur tidak tunduk kepada konsep yang dipahami secara tekstual, namun lebih memadukan analisis tekstual dan kontekstual untuk menempatkan sebuah hukum humanis yang memberikan panduan secara umum.
Tegasnya -terlepas kita setuju atau tidak- metodologi hukum Syahrur tidak mau didete secara literal dan tekstual oleh “kehendak” wahyu. Syariah yang dikembangkan Syahrur adalah syariah yang didukung oleh keadaan politik yang plural dan demokratis yang mengakomodir kebebasan, kesetaraan dan hak azasi manusia yang diatur oleh etika, moral dan norma-norma islam.
The Book reviewer Critique toward the Book
Buku Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an dan Hukum Islam Kontemporer (Al Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah) dengan metodologi dan berbagai idenya memang telah memberikan nuansa dan warna “lain” dalam interpretasi teks Al Qur’an. Karena merupakan pemikiran yang sama sekali orisinil, maka kita tidak heran jikalau ia banyak menghadapi tantangan. Hingga saat ini telah banyak karya yang diterbitkan sebagai reaksi balik terhadapnya. Baik dari kelompok yang mendukung (seperti Jamal Al-Banna (tokoh gerakan buruh di Mesir dan adik kandung Hasan Al-Banna) yang menganggap karya Syahrur sebagai metode baru dalam interpretasi teks kitab suci Al Qur’an dan Hallah Al-Quri (seorang cendikiawan Palestina yang tinggal di Mesir) dengan karyanya Qira’ah ‘ala Kitab Al Kitab wa Al Qur’an) maupun kelompok yang banyak menemukan kejanggalan di dalamnya (seperti misalnya Khalid Al-Akk dengan karyanya Al Furqan wa Al Qur’an, Salim al-Jabi dengan karyanya Mujarrad Tanjim (3 Volume), Munir al=- Syawwaf dengan karyanya Tahafut Qira’ah Mu’ashirah (Kerancuan Bacaan Kontemporer) dan Ahmad ‘Omran dengan karyanya Al Qira’ah Al-Mua’ashirah li Al Qur’an fi Al Mizan)75
Diantara beberapa nada “kurang berkenan” yang diajukan dalam menanggapai pemikiran Syahrur yakni76 : Pertama, yang dapat dikatakan sebagai kesalahan utama Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer” adalah pelanggaran terhadap metodologi tafsir Al Qur’an yang secara ilmiah sudah dianggap baku. Dan menurut Salim Al Jabi, karena tidak mengikuti petunjuk yang sudah ada, pemisalan Syahrur adalah seperti orang yang meraba-raba apa yang akan terjadi di masa depan tanpa memiliki landasan apapun. Salim Al Jabi pun menuding Syahrur dengan sebuah postulat Arab “Kadz-dzaba al-munajjimun wa law shadaqu” (peramal bintang itu berdusta walaupun dia benar) dan firman Allah swt dalam Q.S. Al-Shaf (61) ayat 7 yang artinya “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama islam…”
Kedua, para pengkritisi Syahrur menganggap bahwa pemikiran Syahrur dilandasi oleh dialektika Marxisme, sebagaimana yang tersirat dalam judul bukunya ”Qira’ah Mu’ashirah”. Hal ini berarti –sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Al-Syawwaf- bahwa waktu adalah landasan pemahaman dan pemikiran anak manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya dan bahwa realitas material adalah sumber ilmu pengetahuan
Ketiga, terdapat sebagaian pakar tafsir semisal Ibrahim ‘Abd Al-Rahman Khalifah yang berpendapat bahwa “sebuah penafsiran makna ayat Al Qur’an yang menyimpang dari pengertian yang terbetik dalam pikiran (al-mutabadir fi al-fahm) bisa disinyalir sebagai penafsiran yang lebih dekat kepada kesalahan, apalagi kalau diikuti oleh kejanggalan-kejanggalan dari aspek yang lain.”
Keempat, metodologi semantik an sich (dengan berdasarkan kepada pengertian yang terdapat hanya dalam kamus) yang digunakan Syahrur dalam menafsirkan Al Qur’an akan menjurus kepada penafsiran yang “kering” dan jauh dari makna yang terpahami secara integral dalam susunan ayat Al Qur’an. Sebagai misal kejanggalan ini bisa dilihat dari penafsirannya terhadap Q.S. Al Baqarah ayat 223 jika kita hubungkan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 222. Dan kalau kita mengikuti pendapat Ibrahim ‘Abd Al-Rahman Khalifah, sulit kiranya untuk menerima penafsiran Syahrur. Karena banyak pengertian kosakatanya yang berbeda dengan pengertian yang biasa dikenal, ditambah lagi dengan adanya kejanggalan-kejanggalan yang membuat penafsiran Syahrur patut untuk dipertimbangkan kembali.77
Kelima, dan poin ini yang patut digarisbawahi adalah menurut metodologi tafsir yang baku, diantara yang membawa penafsir kepada pemahaman yang lebih mendekati kebenaran adalah merujuk kepada asbab al-nuzul (konteks peristiwa turunnya ayat tersebut). Karena, dari asbab al-nuzul itu dapat diketahui latar belakang turunnya ayat itu dalam kerangka zamannya. Ternyata penafsiran semantic murni ala Syahrur sama sekali tidak memperhatikan background semacam ini, sehingga terbawa oleh imajinasinya kepada tesis yang kurang bisa dibenarkan. Sebagai contoh penafsiran Syahrur terhadap Q.S. Al Baqarah ayat 223 yang sanagt kontradiktif dengan sabab al-nuzul yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim dari Ibn ‘Abbas r.a., bahwa Ibn Umar r.a., menceritakan keengganan beberapa perempuan Anshar untuk melayani suaminya (yang berasal dari kaum Muhajirin) dalam variasi seni bercinta, dengan berargumentasikan mitos yang menjadi kepercayaan orang Yahudi Madinah saat itu. Maka turunlah ayat tersebut sebagai jawabannya78 Sementara peneliti yang lain menyimpulkan bahwa pemikiran Syahrur merupakan bentuk kesalahpahaman (misunderstanding) dan kesalahtafsiran (misinterpretation) terhadap bacaan-bacaan al qur’an, hal ini misalnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Sa’id Ramadhan al-Buti dan Salim al-Jabi
Dan pada gilirannya, walaupun Syahrur menawarkan “Bacaan Kontemporer” dengan metodologi yang padu dan baik, namun sayangnya, karena kelemahan-kelemahannya yang -bagaimanapun- sangat manusiawi, Syahrur dapat dikatakan belum berhasil memberikan jawaban yang bisa diterima oleh semua pihak, terutama oleh para pakar tafsir Al Qur’an, yang notabene dianggap -atau menganggap dirinya- lebih berkompeten. Sehingga masalah kekinian, tetap harus dicarikan pemecahan legal yang lebih tuntas.
Syahrur Menjawab Kritik
Dari beragam keritik yang dilontarkan seputar kehadiran buku Syahrur “Bacaan Kontemporer” Syahrur menanggapi bahwa hal tersebut terlahir karena adanya penyakit aba’iyah (fanatisme terhadap nenek moyang) dari para pengkritiknya yang menyatakan bahwa referensi dan khazanah intelektual generasi klasik merupakan aksioma yang harus selalu dipegang.
Menurut Syahrur problem utama sekaligus faktor yang mempertemukan seluruh suara kritis yang ditujukan kepada karyanya adalah terletak pada masalah epistemologis. Menurut Syahrur persfektif yang digunakan oleh para pengkritisnya untuk mengkaji turats berangkat dari dasar kepercayaan fanatik dan dimotivasi oleh kepentingan menjaga keselamatan aqidah, bukan atas dasar study ilmiah atau penelitian yang objektif dan mendalam.
Akhirnya dalam kesimpulannya atas uraian jawaban atas kritik yang dilontarkan kepadanya, Syahrur menyatakan bahwa perbedaan mnetodologis antara syahrur dan para kritikus merupakan faktor utama timbulnya perbedaan hasil kajian, meski dalam tema yang sama. Masalahnya tidak terletak pada tingkat kecerdasan, ketaqwaan atau niat baik, namun lebih disebabkan karena perbedaan kerangka epistemologis yang diaplikasikan dalam pembacaan. Syahrur menyatakan bahwa, kurang tepat jikalau dikatakan bahwa dalam bacaannya (dalam karyanya) terdapat banyak kesalahan, disamping banyak mengandung kebenaran, karena menurut Syahrur penentuan kesalahan dan kebenaran membutuhkan kriteria tertentu. Tidak ada kesalahan atau kebenaran yang mutlak, dan hal itu lebih diakibatkan karena persfektif dan latar belakang keilmuan atau pengetahuan.
Syahrur menyatakan bahwa sesungguhnya setiap revolusi pemikiran bermula dengan pembebasan persfektif pemahaman dan doktrin lama menuju pada persfektif dan aksioma yang baru. Selanjutnya Syahrur menyatakan bahwa kita hendaknya hharus mampu melepaskan diri dari simbol masa lalu yang hanay menandai pengalaman dan pengetahuan yang telah menghilang dan menggantikannya dengan simbol-simbol baru untuk memadukan dan memperkayanya dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan baru. Tiada sebuah pemahaman, konsep ataupun pernyataan yang mengandung pengertian tetap dan tidak berubah sama sekali selamanya, suatu ketika ia pasti mengalami perubahan dan melahirkan makna-makna baru baik secara keseluruhan atau parsial. Perubahan itu, menurut Syahrur berproses seiring dengan dinamika sosial masyarakat yang melingkupinya dan sesuai dengan tingkat pengetahuan dan sistem pemikiran yang mereka kuasai. Lahirnya pembaruan terhadap konsep dan pemikiran selalu didahului oleh lahirnya pembaharuan terhadap berbagai problematika (isykaliyat) dan teori.79
The References
Arkoun. Islam Kontemporer. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005.
Amir Mu’allim dan Yusdani.2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
M. Umer Chapra. The Future Of Economic: An Islamic Perspective. SEBI. Jakarta. 2001.
Fazlur Rahman. Membuka Pintu Ijtihad. Penerbit Pustaka. Bandung. 1995
Depag RI. Al Qur’an dan Terjrmahannya. CV Penerbit Diponegoro. Bandung. 2003.
Henri Salahuddin, Al Qur’an Dihujat, al Qalam. Jakarta, 2007.
Hasbi Umar, Nalar Fikih Kontemporer. GP Press. Jakarta, 2007.
Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika. Teraju, Jakarta, 2005.
Hakim Taufik dan M. Aunul Abied Shah. Nashr Hamid Abu Zaid: Reinterpretasi Pemahaman Teks Al Qur’an., dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001
M. Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase. Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001
M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq. Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam “ Bacaan Kontemporer” dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001
Muhammad Syahrur Prinsip-prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin, Cet. Ke-Dua. eL-SAQ PRESS, Yogyakarta, 2007
Iskandar. Sistem Pendistribusian Modal Dalam Persfektif Teori Limit. Makalah disampaikan dalam mata kuliah pendekatan dan pengkajian islam. UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, makalah disampaikan pada acara bedah metodologi kitab kuning seri ushul fikih humanis, UII selasa 7 September 2004.
Hamka Haq. Al-Syatibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab Al Muaffaqah. Erlangga. Yogyakarta. 2007
Muhammad Sopwan, Dinamisasi Hukum Islam Mahmud Syaltut, makalah disampaikan dalam mata kuliah pendekatan dan pengkajian islam. UIN Sunan Kalijaga, 2007
Wael B. Hallaq., Membaca Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Pengantar Buku Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. eLSAQ. Yogyakarta. 2007.
Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2007.
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri dalam pengantar penerjemah untuk buku Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004.
Muhammad Syahrul, Prinsip-prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin, eL-SAQ PRESS, Yogyakarta, 2004.
Atha’ Mudhar, Pendekatan Studi Islam; Dalam Teori dan Praktek. Pustaka Pelajar, cet VIII. Yogyakarta, 2007.
1 Misalnya seperti pembacaan Abu Zayd dengan pendekatan Linguistik Historis yang bermuara pada teks al Qur’an dalam konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz’i) dan realitas Sosial Historis. Lihat misalnya Hakim Taufik dan M. Aunul Abied Shah. Nashr Hamid Abu Zaid: Reinterpretasi Pemahaman Teks Al Qur’an., dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001 hal. 277
2 Rahman memperkenalkan teori Double Movement, Ideal Moral dan Legal Sfesifik sebagai konsekuensi dari Hermeneutika Al Qur’an. Arkoun dengan Formasi Nalar Arab, bahwa teks al Qur’an adalah wahyu allah yang direkam atas teks budaya arab. Lihat juga Arkoun dalam Islam Kontemporer. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005. Hal. 3. ‘Abid al-Jabiry juga menggagas hal yang sama dengan Kritik Akal Arab lihat misalnya M. Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase. Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001 hal. 299 Lihat juga Amir Mu’allim dan Yusdani.2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
3 Muhammad Syahrur Prinsip-prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin, Cet. Ke-Dua. eL-SAQ PRESS, Yogyakarta, 2007. Hal.31
4 Iskandar. Sistem Pendistribusian Modal Dalam Persfektif Teori Limit. Makalah disampaikan dalam mata kuliah pendekatan dan pengkajian islam. UIN Sunan Kalijaga, 2007. Hal.2.
5 Yusdani, at-Tufi dan Teorinya tentang Maslahat, makalah disampaikan pada acara bedah metodologi kitab kuning seri ushul fikih humanis, UII selasa 7 September 2004. Hal.5
6 Lihat Hamka Haq. Al-Syatibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab Al Muaffaqah. Erlangga. Yogyakarta. 2007. Hal. 78
7 Muhammad Sopwan, Dinamisasi Hukum Islam Mahmud Syaltut, makalah disampaikan dalam mata kuliah pendekatan dan pengkajian islam. UIN Sunan Kalijaga, 2007. Hal.4.
8 Amir Mu’allim dan Yusdani.2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
9 Lebih lanjut lihat misalnya M. Umer Chapra. The Future Of Economic: An Islamic Perspective. SEBI. Jakarta. 2001. Hal. 124-145.
10 Yusdani. Hal.7
11 Muhammad Syahrur Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. Hal.57
12 Ibid. hal. 192-193
13 Ibid. Hal. 56.
14 Selain Syahrur lihat juga Atha’ Mudhar, Pendekatan Studi Islam; Dalam Teori dan Praktek. Pustaka Pelajar, cet VIII. Yogyakarta, 2007. Hal.34.
15 Di Indonesia konsep ini digagas oleh Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Ilmu; Epistimologi, Metodologi dan Etika. Teraju, Jakarta, 2005. Hal.11.
16 Lihat misalnya Fazlur Rahman. Membuka Pintu Ijtihad. Penerbit Pustaka. Bandung. 1995
17 M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq. Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam “ Bacaan Kontemporer” dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001 hal. 241-242.
18 Wael B. Hallaq., Membaca Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Pengantar Buku Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. eLSAQ. Yogyakarta. 2007. Hal. 3-4.
19 Ibid. hal 4
20 Ibid. hal. 4
21 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2007. Hal. 191-192
22Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri dalam pengantar penerjemah untuk buku Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. xviii
23 Ibid. Hal. 192-193
24 Lihat Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 201 dan lihat juga Nasr Abu Zaid Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer (Penjelasan Tentang Proyek Muhammad Syahrur) dalam kata pengantar. Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an. Hal. 11
25 Muhammad Syahrur Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. Hal.190 lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid dalam Kata Pengantar. Hal.11
26 Nasr Abu Zaid Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer… hal. 11
27 Keterlibatan dasar-dasar ilmu alam dan pengetahuan tekniknya sangat mempengaruhi pembacaan kembali Al Qur’an dan Sunnah, Syahrur sangat kentara memanfaatkan ilmu-ilmu alam khususnya matematika dan fisika. Lihat Wael B. Hallaq dalam Kata Pengantarnya. dalam Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2007. Hal. 3. Lihat juga kata pengantar Nasr Hamid Abu Zaid hal. 12
28 Ibid. hal 5
29 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 224.
30 Ibid. hal. 70
31 Ibid. hal 117
32 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2007. Hal.5.
33 Nasr Abu Zaid Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer… hal. 13
34 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 147
35 Ibid. hal. 147
36 Ibid. hal. 159
37 Ibid. hal. 159
38 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 192
39 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2007. Hal. 192.
40 Ibid. hal 199
41 Ibid. hal. 200.
42 Ibid hal. 201
43 Depag RI. Al Qur’an dan Terjrmahannya. CV Penerbit Diponegoro. Bandung. 2003. Hal. 476
44 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 201
45 Lihat halaman 316-318.
46 Lihat. Hal. 317
47 Lihat. Hal. 318
48 Wael B. Hallaq., Membaca Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Pengantar Buku Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. eLSAQ. Yogyakarta. 2007. Hal. 5
49Lihat hal. 22.
50Redaksi ayat 6: 161 itu selengkapnya berbunyi: Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus (shirât mustaqîm), (yaitu) agama yang benar (dînan qiyaman); agama Ibrahim yang lurus (millata Ibrâhîm hanîfan); dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik."
51Redaksi ayat 6: 79 berbunyi: "Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
52 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 26
53 ibid. Hal. 26
54 Ibid. hal. 27
55 Ibid. hal. 25-26
56 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 27-28
57 Ibid. hal. 30
58 Lihat lampiran hal. 307
59Lihat hal. 31-34.
60Ibid., hal. 34-37
61Ibid., hal. 38-42
62Ibid., hal. 43
63Ibid., hal. 45
64Ibid. hal 46-48
65 Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri dalam pengantar penerjemah untuk buku Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. xvi
66 M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq. Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam “ Bacaan Kontemporer” dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001 hal. 237
67 Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri dalam pengantar…. Hal. xx
68 Yang dimaksud sinonimitas disini adalah “dua kata atau lebih yang memiliki satu arti ketika dilihat akar kata-katanya” untuk penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada kata pengantar Dr. Ja’far Dikk al-Bab. Dalam Muhammad Syahrur. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. Hal. 21
69 Ibid. hal. 21
70 M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq. Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al Qur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam “ Bacaan Kontemporer” dalam Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung. Mizan. 2001 hal. 241-242.
71 Wael B. Hallaq., Membaca Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Pengantar Buku Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. eLSAQ. Yogyakarta. 2007. Hal. 16
72 Lihat Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 201 dan lihat juga Nasr Abu Zaid Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer (Penjelasan Tentang Proyek Muhammad Syahrur) dalam kata pengantar. Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an. Hal. 11
73 Muhammad Syahrur Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. Hal.190 lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid dalam Kata Pengantar. Hal.11
74 Nasr Abu Zaid Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer… hal. 19
75 Ibid. hal. 238 dan 250 hal. 250
76 Ibid. hal 250
77 Ibid. hal 254
78 Ibid. hal. 253
79 Muhammad Syahrul, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, eLSAQ. Yogyakarta, 2004. Hal. 306

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id