Mengatakan bahwa Islam adalah agama universal hamper sama kedengarannya dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Hal itu benar, terutama untuk masa akhir-akhir ini, ketika ide tersebut yang dikemukakan orang baik sebagai suatu sekedar bagian dari apologi maupun untuk pembahasan yang lebih sungguh-sungguh. Hokum islam itu dalam kenyataan sebenarnya adalah produk pemikiran hokum islam yang merupakan hasil interaksi antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin senantiasa dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia yang universal, sehingga islam tidak pernah kehilangan relevansinya baik dengan waktu maupun tempat sebagai8mana yang pesimis kepadanya, sehingga islam dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya mampu menjadi manhaj manusia dalam berprilaku dan berhubungan dengan lingkungan zaman dan alam, dan juga mampu membentuk tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Selanjutnya konsep maslahah merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam merumuskan yurisprudensi islam dalam suatu studi islam kontemporer. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi sangat penting manakala persoalan-persoalan yang timbul dalam era kontemporer tidak lagi dapat diakomodir oleh fikih klasik. Berbagai persoalan kontemporerpun sangat terbatas bahkan tidak lagi memiliki rujukan dalam kitab-kitab fiqh klasik, yang dengan demikian bentuk perumusan baru dalam penetapan-penetapan hukum tidak dapat lagi diabaikan. Namun demikian bacaan-bacaan kontemporer tidak lantas diambil dan diterima begitu saja, namun tetap membutuhkan pemikiran kritis, bedah metodologi, melihat akar persfektif pemikiran dan pergulatan dalam wacana kajian ilmiah layak tidaknya suatu bacaan kontemporer tersebut dijadikan landasan dalam menetapkan hukum terhadap suatu permasalahan yang timbul dalam konteks kekinian dan kedisinian. Contoh untuk hal ini misalnya dalam lapangan Ushul Fiqh yang dipandang oleh sebagian kalangan ahli hukum sudah tidak lagi mampu memberi pemecahan yang memadai dalam konteks kontemporer. Yang dengannya upaya-upaya untuk melakukan rekonstruksi ulang atau setidaknya menyempurnakan pada bagian-bagian yang sudah “lapuk” dirasa sangat mendesak untuk dilakukan.
Ortodoksi klasik (Mashadir al-syariah) yang terdiri dari Al Qur’an, Hadis, Ijmaq, Qiyas dan seterusnya dirasa oleh sebagian ahli hukum dalam konteks kontemporer saat ini tidak lagi “membumi” dalam penerapan dan pembinaan hukum islam. Masalahnya terletak bukan pada urutan item-item ortodoksi, namun lebih pada keberadaan beberapa landasan yang harus dilihat dan dikaji dalam persfektif yang berbeda dan disesuaikan dengan konteks kekinian. Akhirnya hal ini berdampak pada penggalian dan mempertanyakan kembali landasan-landasan yang menjadi item-item ortodoksi hukum islam tersebut, tak terkecuali Al Qur’an, meskipun dalam pemaknaannya saja. (Misalnya seperti pembacaan Abu Zayd dengan pendekatan Linguistik Historis yang bermuara pada teks al Qur’an dalam konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz’i) dan realitas Sosial Historis) Fazlurrahman, Arkoun, ‘Abid al-Jabiry (misalnya Rahman memperkenalkan teori Double Movement, Ideal Moral dan Legal Sfesifik sebagai konsekuensi dari Hermeneutika Al Qur’an. Arkoun dengan Formasi Nalar Arab, bahwa teks al Qur’an adalah wahyu allah yang direkam atas teks budaya arab. Lihat juga Arkoun dalam Islam Kontemporer) ‘Abid al-Jabiry juga menggagas hal yang sama dengan Kritik Akal Arab (lihat misalnya M. Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, 2001) masing-masing dengan pembacaan teks yang terkait dengan konteks kontemporer tak ketinggalan pula penggunaan hermeneutika dalam mengkaji al Qur’an. Tidak ketinggalan juga Muhammad Syahrur dengan penolakan terhadap sinonimitas bahasa Arab yang dengannya teks-teks al Qur’an benar-benar bebas dari konteksnya, merupakan bentuk-bentuk “inovasi baru” dalam wilayah inti ortodoksi islam.
Permasalahan diseputar ortodoksi klasik hukum islam sebenarnya dapat dirunut semenjak awal kelahirannya. Miswalnya Al-Qiyas, telah dipertentangkan sejak awal yakni menyangkut keikutsertaannya dalam deretan ortodoksi, namun demikian Imam syafi’I -yang memperkenalkan metode qiyas sebagai sumber hukum- tetap mempertahankannya. Al Ghazali misalnya dalam al-Mustafa tidak menyebutkan qiyas sebagai mashadir syar’iyah utama. Selain itu at-Tufi menawarkan bahwa ortodoksi klasik itu terdiri dari nash, ijmak dan maslahah. Tiga konsep inilah yang dapat menjadi instrument dalam menggali hukum yang sah, apabila nash bertentangan dengan maslahah maka dahulukan maslahah (al-Aslu Kully). Sementara apabila paradox antara nash dan ijmak berlaku takhsis auw tabyyin. Dalam hal ini lagi-lagi yang paling dekat dengan maslahah itulah yang didahulukan. (Yusdani, 2004)
Selain beberapa tokoh di atas, tokoh lain yang berorientasi pada maslahat adalah al-Syatibi. Misalnya dalam bukunya Hamka Haq, al-Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah swt menetapkan hukum adalah untuk terwujudnya maslahah hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum. (Hamka Haq. 2007). Senada dengan itu, Zainuddin abd Salam, juga telah mengelaborasi konsep maslahah secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadah dan menarik manfaat. Sedangkan Mahmud Syaltut menegaskan bahwa maslahat itu berada dalam wilayah mu’amalah. Sementara sumber hukum bagi orang yang melakukan ijtihad adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ra’yu.
Dari pembahasan di atas, terdapat beberapa konsekuensi yang ditimbulkan yakni tinjauan tentang istilah qath’I yang selama ini kita kenal dalam ushul fikih harus ditinjau kembali. Qath’I selama ini kita definisikan sebagai sesuatu yang pasti, tidak dapat diubah-ubah oleh ijtihat, sementara dzanni sesuatu yang pasti karenanya dapat dijamah oleh ijtihat. Sebab itu selama ini, fikih menyimpulkan bahwa yang qath’I adalah hukum yang sarih dan meyakinkan ditunjuk oleh nash (Al Qur’an dan Hadist). Sedangkan dzanni adalah hukum yang karinah nashnya kurang sahih, ambigu dan mengandung pengertian yang berbeda-beda. Sesungguhnya yang qat’I, tidak berubah-ubah dan bersifat pasti adalah nilai-nilai matriknya (maslahah dan keadilan) itu sendiri.
Pertanyaan selanjutnya yakni bagaimana kita memaknai kemaslahatan itu? Jumhur ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa kemaslahatan itu dibingkai dalam Maqashid al-Syar’iyah atau Maqasid al-Khamsah. Al-Syatibi (w.790/1388) dan yang lainnya menguraikannya menjadi hifz ad-din, hifz nafs, hifz ‘aql, hifz nashb, hifz maal. Penjabaran selanjutnya oleh ulama ushul fikih tidak terkecuali al Ghazali mencerminkan skala prioritas pada masing-masingnya. (M. Umer Chapra. 2001) Skala prioritas dimaksud adalah pertama Dharuriyyat. Kedua, al-Hajjat. Ketiga, Thahshiniyyah. Imam Haramaen (Mazhab Syafi’iyyah) dan Juwaini -guru Imam al-Ghazali- mengistilahkan dengan, pertama, Dharuriyah. Kedua, al-Hajjah, ketiga, Makramah.
Dengan demikian semangat kemaslahatan sebagai tujuan hukum harus tetap ada. walaupun prioritas dan wilayah yang kadang-kadang berbeda satu sama lain. Tidak terkecuali Syahrur juga berangkat dari konsep maslahat. Asumsi-asumsi dasar ketika ia coba membangun teorinya penuh dengan premis-premis universal. Melalui karyannya Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer beberapa pertanyaan mendasar dapat kita kemukakan yakni bahwa “Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada abad kedua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad saw baru saja wafat dan menyampaikannya sendiri kepada kita. Karena itu pembacaan terhadap al kitab harus dalam persfektif nalar zaman abad kedua puluh sekarang” dalam komentar ini jelas sekali mengandung muatan maslahat.
Syahrur juga menyatakan “Jika ada seorang bertanya kepada saya : tidakkah anda berpuas diri dengan apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam memahami al Kitab dan al Qur’an? Dengan penuh keyakinan dan keberanian saya akan menjawab : tidak sama sekali, saya tidak akan pernah merasa puas atas capaian pemahaman mereka, karena dasar-dasar dan latar belakang keilmuan saya berbeda dari mereka. Metode ilmiah yang saya gunakan juga berbeda. Saya juga hidup pada masa yang sama sekali berbeda dari mereka. Demikian pula, tantangan permasalahan yang saya hadapi berbeda dari tantangan yang mereka hadapi. Saat ini saya bergelut dengan berbagai aliran filsafat yang sangat kuat mempengaruhi model berfikir saya, saya juga hidup dalam suasana perkembangan ilmu pengetahuan yang ikut menentukan setiap keputusan dan kecendrungan yang saya ambil dalam hidup saya. Oleh karena itu, saya merasa tidak puas jika saya katakana bahwa saya menerima begitu saja apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam pemahaman mereka terhadap al Qur’an dan hadis.”
Hal lain yang mendasar dalam kajian Syahrur adalah dimensi filsafat humaniora menurut Syahrur, pemikiran arab kontemporer, termasuk didalamnya pemikiran islam, memiliki masalah-masalah mendasar sebagai berikut. Pertama, tidak adanya metode ilmiah obyektif. Selama ini pengkajian terhadap agama dan keagamaan selalu bersifat normative. (Selain Syahrur lihat juga Atha’ Mudhar, 2007.) Kedua, adanya prakonsepsi terhadap sebuah masalah sebelum dilakukan penelitian. Sebagai contoh, apabila bicara masalah posisi perempuan dalam islam. Para peneliti islam berkesimpulan terlebih dahulu, mereka menyimpulkan bahwa perempuan sudah proporsional dalam islam dan islam agama yang paling adil terhadap perempuan. Model seperti ini dapat dinamakan sebagai pendekatan apologetic (Apologetic Aproach). Ketiga, pemikiran islam tidak memanfaatkan konsep-konsep dalam filsafat humaniora dan tidak berinteraksi dengan dasar-dasar teorinya. Keempat, tidak adanya teori islam kontemporer dalam ilmu humaniora yang disimpulkan secara langsung dari Al Qur’an. (Di Indonesia konsep ini digagas oleh Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Ilmu; Epistimologi, Metodologi dan Etika, 2005) Kelima, kenyataan bahwa kaum muslimin sedang menghadapi krisis ilmu fikih. (Lihat Fazlur Rahman. Membuka Pintu Ijtihad. 1995)
Dalam kajian kali ini kita akan membahas tentang ijtihad serta keterkaitannya dengan upaya mewujudkan konsep islam sebagai agama universal, justifikasi ini sering digunakan baik sebagai pembenar, sebagai evoria apatah lagi sebagai klaim dalam menunjang berbagai argumen, namun demikian dasar apa yang akan dijadikan sebagai bahan analisa dalam mewujudkan justifikasi tersebut, salah satu jawaban yang paling dapat diakui kebenarannya setelah dasar hukum dalam agama islam setelah Al Qur’an dan Hadist adalah Ijtihad. Benarkan ijtihad dapat mengemban amanah tersebut, lalu perangkat-perangkat apa saja yang perlu kita ketahui perihal ijtihat tersebut. Tulisan ini akan mencoba menelaah kesiapan ijtihad dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun demikian hal ini dimaksud sebagai pengantar untuk mendiskusikan tentang keabsahan pandangan tersebut.
Selanjutnya ada beberapa hal yang akan dikaji terkait dengan ijtihat yakni: pengertian ijtihad, perkembangan ijtihad, dasar hukum melakukan ijtihad, macam-macam ijtihad, syarat dan tingkatan mujtahid, objek kajian ijtihad dan hukum melakukan ijtihad, tertutup dan terbukanya pintu ijtihad dan mewujudkan islam universal dengan ijtihad. Berikut potret dari beberapa poin yang akan dibahas tersebut.
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai pemikiran keagamaan pada masa kejayaan Islam dalam masa-masa kejayaan Islam, bahkan hingga saat ini. Di dalam sunah Nabi dasar hukum ijtihad di antaranya, ketika hendak mengutus Muâdz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan soal apa yang jadi landasan Muâdz nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muâdz mengatakan akan menggunakan Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah. Jika tidak ada, maka menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi sendiri mengatakan bahwa seorang yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya ijtihad itu.
Selanjutnya akan kita lihat pengertian ijtihat sebagai berikut. Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd, al-juhd, dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa).
Sabda Nabi Saw yang artinya ‘Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’a’ Ijtihad adalah masdar dari Ijtihad Penambahan huruf alif dan ta, berarti “usaha itu lebih sunguh-sungguh”. Oleh sebab itu ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya untuk mendapatkan sesuatu. Sebaliknya, usaha yang tidak dilakukan secara maksimal (tidak mengunakan daya yang keras), tidak disebut sebagai ijtihad Ijtihad menurut istilah yaitu suatu aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (isthimbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.
Sedangkan menurut terminologi Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama) Kenyataan menunjukkan bahwa ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup aqidah, muamalah dan falsafat.
Perkembangan Ijtihad
Ijtihad telah berkembang sejak masa Rasul. Sepanjang fiqih mengandung pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, maka ijtihad akan terus berkembang. Sumber hukum Islam di masa Nabi hanya 2, yaitu Al-Quran dan Sunnah Jika muncul suatu kasus, Rasul menunggu wahyu diturunkan,Jika wahyu tidak turun, maka beliau berijtihad. Hasil Ijtihad ini disebut dengan hadits (Sunnah). Hasil Ijtihad Nabi juga disebut Wahyu (Q.S. An_Najm ayat 4).
Di masa Nabi, seringkali para sahabat dilatih untuk berijtihad dalam berbagai kasus, seperti :
a) Kasus Shalat Ashar di Bani Quraizah,
b) Kasus tawanan perang, dan
c) Kasus Tayamum Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khaththab.
Ijtihad tersebut ada yang ditaqrir (diakui) Nabi (Kasus a), ada yang turun ayat tentangnya (Kasus b) ada yang dibenarkan Nabi (Kasus c). Selain menggunakan nash, ijtihad juga dapat dilakukan dengan ra’yu, hal ini disebabkan tidak semua masalah ada nash-nya. Ijtihad dengan ra’yu pemikiran telah diizinkan Rasulullah Saw, yang memberi izin kepada Mu’az untuk berijtihad pada saat Mu’az diutus ke Yaman.
Umar bin Khattab juga dikenal sering berijtihad dengan menggunakan ra’yu apabila tidak menemukan ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada jaman Imam syafi’I, cara penggunaan ra’yu disitematiskan sehingga ada kerangka acuan yang jelas, seperti yang dikenal dengan metode qiyas. Qiyas dijadikan sebagai alat penggalian hukum yang shahih. Para tabi’in juga melakukan hal yang sama sehingga muncul ahli ra’yu dan ahli hadits Ahli ra’yi lebih banyak menggunakan ra’y (rasio) dibanding ahli hadits dalam mengistimbath hukum. Sedangkan ahli hadits dalam menyelesaikan berbagai kasus berusaha mencari illat hukum, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukuman kasus yang dihadapi dengan kasus yang ada nash-nya. Mereka juga sering mencari rahasia dan maqashid suatu dalil syara, seperti benda zakat yang bisa diganti dengan uang. Kebutuhan akan Ijtihad ini terus berkembang, hal ini dikarenakan :
a) Setelah Rasul wafat, beliau meninggalkan Al-Quran dan Sunnah. Nash Al-quran dan Sunnah tersebut jelas tidak akan bertambah, sementara persoalan dan masalah yang dihadapi kaum muslimin dari zaman ke zaman terus berkembang, karena itu kebutuhan akan ijtihad menjadi sebuah yang niscaya.
b) Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ke Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara bahkan sampai ke spanyol, Turki dan India, permasalahan yang dihadapi ulama semakin kompeks,maka ijtihad semakin berperan dalam mengistimbath hukum.
Dasar Hukum Ijtihad
Seperti yang telah disebutkan secara sepintas lalu di atas, kasus ijtihat sahabat Mu’adz adalah salah satu dasar hukum ditetapkannya ijtihat sebagai salah satu sumber dan penggalian hukum. Berikutnya kita akan mencoba menggali dasar hukum ijtihat, yang diantaranya yakni:
a. An-Nisaa ayat 105 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu secara hak, agar kamu dapat menghukumi di antara manusia, dengan rasio yang diberikan Allah kepadamu”
Disamping itu ayat yang artinya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”
Dalam ayat-ayat tersebut kita menemukan penetapan ijtihad berdasarkan qiyas
b. Hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Umar ra.
Yang artinya:
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala”
c. Hadits Nabi SAW. Kepada Muadz ibnu Jabal untuk menjadi hakim di Yaman.
Rasulullah Saw bertanya, “Dengan apa kamu menghukum?” ia menjawab, “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah Swt. Rasulullah bertanya lagi, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?” Dia menjawab, “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan oleh Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapat dalam ketetapan Rasulullah?” berkata Muadz,” Aku berijtihad dengan pendapatku.”Rasulullah bersabda,” Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.
Dari hadis sahabat Muadz tersebut, secara tersurat, kita dapat menemukan bahwa hirarki hadist yang melegitimasi Ijtihad Mu’az yakni terdiri dari:
1) Al-Quran
2) Sunnah
3) Ijtihad
Macam-macam Ijtihad
Berikutnya kita akan mengkaji tentang macam-macam ijtihad yang digolongkan oleh para ulama, diantaranya yakni:
a. Menurut Imam syafi’i:
Ijtihad menurut Imam Syfi’i adalah dengan menyamakan ijtihad dengan qiyas. Beliau tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan dan maslahah mursalah. Sedangkan ulama lain, ijtihad mencakup ra’yu, qiyas, dan akal, sehingga termasuk istihsan dan maslahah.
b. Menurut Dr. Dawallibi dan Asy-Syatibi
Dr. Dawallibi dan Asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat membagi ijtihad kepada tiga bagian:
1. Ijtihad al-Batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash
2. Ijhad al-Qiyasi yaitu, ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas
3. Ijtihad al-Istishlah yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
c. Menurut Taqyuddin Al-Hakim
Menurut Taqyuddin Al-Hakim ijtihad terbagi atas:
1. Ijtihad al-Aqli Yaitu ijtihad yang hujjahnya Didasarkan pada akal,Tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid bebas menggunakan berfikir dengan kaedah. Misalnya, menjaga kemudratan, hukuman itu jelek jika tidak disertai dengan penjelasan ,dll
2. Ijtihad Syar’iy Yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini, ijma’ qiyas, istihsan, Istislah, ‘uruf, istishab
Syarat-syarat Mujtahid dan Tingkatan Mujtahid
Diantara beberapa syarat mujtahid yang dapat diintisarikan dari berbagai pemikiran para ulama dan pakar hukum islam yakni:
1) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum al-Qur’an secara bahasa dan syari’ah
2) Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun syari’at
3) Mengetahui nasakh dan mansukh ayat al-Qur’an dan Sunnah
4) Mengetahui hal atau kasus yang telah ijma ulama
5) Mengetahui metode qiyas
6) Menguasai bahasa Arab dan ilmu bahasa.
7) Mengetahui ilmu ushul fiqh.
8) Mengetahui masalah (kasus) yang diijtihadi.
9) Mampu mengetahui kaidah-kaidah maqasidus-syariah.
Maqashi Syari’ah adalah, mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudratan yang berada dalam koridor syari’ah. Maqashid Syari’ah merupakan upaya memelihara 5 macam kebutuhan dasar manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (tujuan maqsith syaria’ah). Dalam hal ini kita sebagai manusia harus menjaga Maqasith Syariah yakni agama, akal jiwa, keturunan dan harta kita tetap berada dalam koridor syariah (hukum Islam) guna kemaslahatan dunia dan akhirat dan terhindar dari kemudharatan.
Terkait dengan tingkatan mujtahid, maka mujtahid memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
a. Mujtahid mustaqil yaitu orang yang bebas membuat kaidahnya sendiri, menyusun fiqihnya sendiri, dan ber beda dengan madzhab lain.
b. Mujtahid muthlaq ghairu mustaqil yaitu orang yang mempunyai kriteria mujtahid mustaqil tetapi mengikuti salah satu mazhab.
c. Mujtahid muqayyad/takhrij yaitu orang yang diberi kebebasan untuk menentukan landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang dipakai imamnya.
d. Mujtahid tarjih yaitu sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, bisa mengetahui cara mencari dalil yang kuat, dll.
e. Mujtahid fatwa yaitu orang yang hafal dan paham kaidah-kaidah imam mazhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun masih lemah menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut imam Nawawi kriteria ini masih sangat bergantung pada fatwa yang telah disusun imam mazhab.
Dalam konteks kontemporer, menurut Syahrur (2004) maka diantara prasayarat yang mutlak dibutuhkan oleh seorang mujtahid yakni menguasai objek kajian yang menjadi bidangnya, mengetahui permasalahan-permasalahan kontemporer, mampu melakukan penelitian ilmiah dengan metode-metode ilmiah.
Objek Kajian Ijtihad dan Hukum Melakukan Ijtihad
Objek kajian ijtihad adalah hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’iy. Dengan demikian, syaria’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi atas:
a. Hal-hal yang boleh dijadikan sebagai objek kajian ijtihad adalah hukum yang didasarkan pada dalil zhanni, baik petunjuknya, (dilalahnya) maupun tsubut-nya Serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan belum ada ijma’ ulama tentangnya.
b. Sedangkan hal-hal yang tidak boleh dijadikan objek kajian ijtihad, ialah hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, berdasarkan pada dalil-dalil qath’i. Seperti melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, haramnya berzinah, mencuri, dll.
Berikut ini adalah objek kajian ijtihad: Muamalat, Filsafat, Hukum yang dasarnya dalil zhanniy, Ijtihad Bidang politik, aqidah, tasawuf, filsafat (Menurut Harun Nasution)
Sedangkan hukum melakukan ijtihad menurutn mayoritas Ulama fiqih dan ushul, diperkuat oleh at-Taftazani dan ar-Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qath’iyat dan masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu Taimiyah dan Al-Hummam) membolehkan adanya ijtihad dalam akidah.
Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:
a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
b. Fardu ‘ain juga menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Fardhu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
e. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’I karena bertentangan dengan syara’.
Tertutup Dan Terbukanya Pintu Ijtihad
Pada abad 4 hijriyah ada anggapan bahwa pintu berijtihad telah tertutup karena umat islam terpecah pada ketaatan dan pengagungan pada masing-masing madzhabnya. Dan adanya perasaan mereka bahwa mereka tidak akan mampu untuk menandingi para imam madzhab pada waktu itu.
Jumhur ulama, para imam madzhab, sunni dan syi’ah, telah sepakat bahwa pintu ijtihad tidak akan pernah tertutup dan akan selalu terbuka. Pendapat yang sebenarnya adalah pintu ijtiahad tetap terbuka dan tidak pernah tertutup dalam sejarah. Untuk menjawab berbagai problematika kontemporer, termasuk didalamnya sistem ekonomi Islam, pintu ijtihad senantiasa terbuka.(Lihat misalnya Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad, 1995)
Islam Universal
Menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (1991), memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang baru, serta segar bagi realisasi dirinya. Dan ternyata, ia senantiasa menemukan bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan pada tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial untuk selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan.
Karenanya kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum, maka sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keaadaan, serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan.
Menurut Ibnu al-Qayyim, seperti dikutip oleh Husain Hamid Hasan dalam Nadzriyyatul Maslahah fil Fiqhil Islâmî (1971), syariat dasar dan landasannya adalah hikmah dan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara menyeluruh. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan ke tirani, dari rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat ke kesia-siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syariat, dengan interpretasi bagaimana pun juga.
Harun Nasution dalam Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam (1985), diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Alquran menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Oleh sebab itu, Islam seyogyanya ditafsirkan secara lebih fleksibel agar bisa diterima oleh setiap manusia di muka bumi secara alamiah.
Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja dan tradisionalistis. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam dituntut untuk dapat menghadapinya. Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman inilah yang selalu dipertanyakan oleh para pemikir muslim kontemporer.
Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat di dalam Alquran dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Dengan ijtihad, Islam mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya. Sebaliknya, ketika ijtihad sirna dari kalangan umat Islam, mereka mengalami kemunduran. Ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya (Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyyah, 1995).
0 Comments:
Post a Comment