Senin, 06 April 2009

Membaca Fenomena Khilafah Islamiyah di Indonesia

Pendahuluan
Negara yang kaya dan makmur, itulah identitas Indonesia, terletak didaerah tropis yang memiliki dua musim yaitu kemarau dan penghujan, tanahnya subur dan kekayaan alam yang melimpah. Dari letak geografis Indonesia ini seharusnya rakyatnya dapat hidup sejahtera. Namun yang terjadi justru sebaliknya, rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, perpecahan dan disintegrasi yang mengancam. Dimana letak kesalahan dan kekurangan ini? Apakah dari SDM, SDA, system pemerintahannya atau dari sisi yang mana?
Melihat fenomena dan permasalahan kesejahteraan yang terjadi sekarang ini banyak pihak yang ingin mengubah kondisi Indonesia, baik dari segi SDMnya melalui pendidikan, perbaikan system ekonomi melalui perbankan syariah, dan juga dengan perbaikan system pemerintahannya. Tetapi apakah perbaikan yang mereka lakukan merupakan solusi atau bahkan menjadi masalah baru?
Terjadinya konflik horizontal dalam masa krisis multidimensi beberapa waktu lalu membuat pemerintah semakin kalang kabut. Pasalnya, konsep tatanan hidup masyarakat yang damai dan tentram secara factual ternyata jauh dari apa yang diharapkan. Keadaan ini dapat kita amati dengan adanya pertikaian antar etnis, gerakan pemisahan dari kedaulatan NKRI, ataupun gerakan-gerakan yang menuntut agar diterapkannya hokum islam di suatu propinsi tertentu. Hingga fenomena semacam ini menimbulkan pro dan kontra ditingkat elit politik nasional tentang solusi terbaik pemecahannya.
Dalam pembacaan ini saya akan menekankan kepada permasalahan system pemerintahan Indonesia. Seperti yang sudah diterangkan di atas ada beberapa pihak ingin mengubah system pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan islam (khilafah islamiyah) bahkan ada yang menyebutnya lebih ekstrim lagi dengan sebutan mendirikan Negara islam. Apakah dengan mengubah pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan islam atau mendirikan Negara islam, Indonesia bisa mengatasi masalah dan mensejahterakan rakyatnya? Disinilah terjadi pro dan kontra pada permasalahan khilafah islamiyah.
Pembacaan fenomena khilafah islamiyah sebagai solusi untuk mensejahterakan masyarakat menurut sebagian pihak akan kita bahas dan akan kit baca dari beberapa persfektif.

Khilafah Islamiyah
Dalam Kamus al-Minawwir kata khalifah berasal dari kata khalafa-yakhlufu/yakhlifu-khalfan (wa khilafatan) yang berarti menggantikan, menempati, penggantian dan juga bisa diartikan kekhalifahan (pemerintahan yang dipimpin seorang khalifah).1 Khalifah sering juga disebut amir al-mukmin atau “pemimpin orang yang beriman” atau “pemimpin umat muslim” yang terkadang disingkat menjadi “amir”.
Penggunaan kata amir biasa dipahami dalam makna setingkat dibawah khalifah atau imam, amir merupakan penguasa wilayah. Pemikiran politik empat golongan menyebutkan makna khilafah secara berbeda. Sunni memahami khilafah sebagai perwakilan Nabi walaupun dengan status yang kurang kharismatik.2
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) kekhalifahan dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan Bani Usmaniyah dan beberapa khalifah kecil berhasil meluaskan kekuasannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara dan Mesir. Jabatan dan pemerintahan khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1942 yang ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.

Sejarah Kekahalifahan Islam
Para akademisi kebanyakan menyetujui bahwa Nabi saw tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan islam setelah Beliau wafat. Setelah Nabi saw wafat permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah : siapa yang akan menggantikan Nabi saw dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?3
Saat itu bangsa Arab memiliki kebiasaan mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam bahasa Arab) atau suku untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin salah satu diantara mereka. Tidak ada prosedur sfesifik dalam shura atau musyawarah ini. Biasanya para kandidat adalah mereka yang memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Muslim Sunni berpendapat bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang sah dan terpilih berdasarkan musyawarah yang sah dari komunitas islam. Setelahnya adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa sebaiknya pemimpin islam dipilih berdasarkan musyawarah atau pemungutan suara diantara umat muslim, walaupun pada akhirnya kekuasaan kekhalifahan didapatkan melalui pemberontakan dan pengambilalihan kekuasaan secara paksa.
Namun Muslim Syi’ah tidak menyetujui hal tersebut. Mereka percaya bahwa Nabi saw telah memberikan banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib, keponakan sekaligus menantunya sebagai pengganti Nabi saw. Mereka mengatakan bahwa Abu Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan. Semua khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama. Ali dan keturunannya dianggap sebagai satu-satunya pemimpin yang sah, atau imam dalam sudut pandang syi’ah.
Sementara cabang ketiga dari islam, Muslim Ibadi, mempercayai bahwa khalifah adalah orang yang terbaik diantara umat islam, tanpa memandang keturunannya. Kaum Ibadi saat ini merupakan sekte paling kecil yang kebanyakan berada di Oman.4
Keruntuhan kekhalifahan terakhir yakni kekhalifahan Turki Usmaniyah terjadi akibat adanya perseteruan diantara kaum Nasionalis dan Agamis dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Pada tahun 1920-an “gerakan khilafat” sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekhalifahan menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas islam. Pada 1926 sebuah pertemuan diadakan di Kairo untuk mendiskusikan pendirian kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar Negara mayoritas muslim tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplementasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar amir al-mukmin dipakai oleh raja Maroko dan Mullah Mohammad Omar, pemimpin rezim Taliban di Afghanistan kebanyakan muslim diluar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati sebuah bentuk kekhalifahan saat ini yakni Organisasi Konfrensi Islam (OKI), sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan Negara-negara mayoritas muslim.5

Fenomena Khilafah di Indonesia
Di akui atau tidak, terdapat beberapa pihak yang ingin mengubah system pemerintahan Indonesia menjadi system kekhalifahan. Beberapa kelompok tersebut merupakan wujud organisasi masyarakat islam. Mereka bersikeras untuk membangun sistem khilafah islamiyah di Indonesia. Mereka meyakini bahwa baik di dalam Al Qur’an maupun sunnah nabi diwajibkan khilafah adanya system kekhilafahan. Diantara dalil-dalil yang diajukan tentang khilafah yakni.6 Q.S. Al-Maiidah (5) ayat 48 dan ayat 49. Imam Muslim meriwayatkan dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari nabi saw, beliau bersabda yang artinya “seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang dibelakangnya dan menjadikannya pelindung” (HR. Muslim).
Sedangkan kewajiban menegakkan khilafah sebagai metode menerapkan syariat islam secara formal merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslim. Syeikh an-nabhani misalnya menyatakan “menegakkan khilafah islamiyah merupakan fardhu kifayah atas kaum muslim diseluruh dunia islam. Menegakkan khilafah tak ubahnya dengan kewajiban-kewajiaban lain yang difardhukan oleh allah swt. Mengabaikan kewajiban ini adalah kemaksiatan terbesar yang akan diganjar dengan azab yang sangat pedih”.7
Langkah menegakkan khilafah. Menurut sebagian kelompok ini yakni ada tiga tahap perjuangan dalam dakwah yang ditempuh Rasulullah saw bersama para sahabatnya yakni. Pertama tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif), tahap ini dimulai sejak Beliau saw di utus menjadi Rasul. Pada tahap ini rasulullah saw melakukan pembinaan para kader dan membuat kerangka tubuh gerakan. Kedua, tahap interaksi dan perjuangan (marhalah tafaul wal kifah) dimana Nabi saw menerangkan perintah allah swt secara terang-terangan. Beliau berdakwah secara terang-terangan kepada seluruh masyarakat, sekalipun masih ada sebagian kaum muslimin yang menyembunyikan keislamannya bahkan sampai penaklukan kota Makkah (fathu Makkah). Ketiga, tahap penerimaan kekuasaan (marhalal istilamul hukm) untuk menerapkan islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarkan risalah islam keseluruh penjuru dunia.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah khilafah islamiyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya kerajaan? Rasulullah saw bersabda “setelah aku, khilafah yang ada pada ummatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzy dan Abu Ya’la dengan isnad hasan). “khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12” (HR. Ibnu Hibban).
“Sesungguhnya awal dari agama ini adalah Nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan ditengah-tengah ummat. Mereka telah menghalalkan sutra, khamer dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebut, mereka juga mendapatkan rejeki selama-lamanya, sampai menghadap kepada allah swt” (HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan)
Dalam pemahaman beberapa kelompok tentang hadis di atas bahwa hadis yang pertama difahami sebagai yang dimaksud khilafah nubuwwah disini adalah empat Khulafaur Rasyidin. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Usmaniyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai Amirul Mukminin atau khalifah.
Sedangkan untuk hadis yang kedua dan ketiga. Kata “al-muluuk” (raja-raja) dalam hadis di atas bermakna adalah “sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadis di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti Abbasiyah, Umayyah dan Usmaniyah tidak pernah berusaha menghancurkan system kekhalifahan, atau menggantinya dengan system kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan system kekhalifahan meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.8
Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti Abbasiyah, Ummayyah dan Usmaniyah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya yang masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim, bukan dengan putra mahkota.
Untuk mengkaji system kekhalifahan ini, baiklah pada pembacaan kali ini kita akan melihat bagaimana persfektif sejarahwan muslim tentang kekhalifahan ini, karena dirasa akan sangat signifikan untuk memberi respon dan tanggapan atas pembacaan kita tentang khilafah islamiyah. Disini akan diangkat tentang bagaimana persfektif Ibnu Khaldun tentang khilafah islamiyah. Melalui buku Muqaddimah terlihat Ibnu Khaldun memiliki perhatian yang besar terhadap peradaban manusia yang ketika itu bukan merupakan perhatian utama dikalangan para ahli, apalagi pemikir muslim yang kebanyakan sibuk dengan kajian teologi, filsafat, tasawwuf dan sains dalam jumlah terbatas.
Menurut Abdurrahman9 teori yang menjelaskan fenomena pemikiran politik Ibnu Khaldun secara longgar dapat dikembangkan pada dua jenis yaitu : teori yang mencoba melihat fenomena gerakan ini sebagai sebuah kesinambungan sekaligus perubahan dalam sejarah islam dan sebagai sebuah teori yang berusaha menjelaskan fenomena politik islam sebagai sebuah reaksi terhadap berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi kaum muslim era modern.
Meskipun mengakui adanya perubahan, teori Ibnu Khaldun adalah sebuah teori kesinambungan dan perubahan yang terstruktur dalam masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun, islam sebagai agama yang hidup ditengah masyarakat selalu menunjukkan dua model islam. Dua model tersebut yaitu model islam yang tinggi atau tradisi tinggi dan tradisi rendah. Tradisi tinggi adalah islam resmi atau islam yang dianggap lebih dekat kepada kitab suci dan memiliki sejarah langsung dengan mereka yang berhubungan dengan “sanad” perjuangan langsung kepada Nabi saw.
Sedangkan islam rendah adalah islam rakyat yang bercampur baur dengan tradisi local dan umumnya berkembang di pedesaan. Dalam sejarah islam, menurut Ibnu Khaldun kedua jenis islam ini selalu ada bahkan di zaman Nabi saw sekalipun.
Bagi Ibnu Khaldun institusi khilafah atau imamah adalah lembaga politik yang memerintah rakyat sesuai syariah agama untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirnya adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman pada syariah. Secara jelas Ibnu Khaldun mengatakan bahwa keberadaan kepala Negara tidak lebih tinggi daripada khalifah berdasarkan tugas dan tujuan yang hendak dicapai oleh institusi tersebut. Khilafah merupakan akibat logis dari system islam. Kelembagaan ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan umum dalam rangka menegakkan hukum ilahi dan kepaduan ummat dalam ekspansinya.
Menurut Ibnu Khaldun agama tidak bersifat kodrati dan tidak mutlak diperlukan bagi organisasi politik suatu Negara. Terdapat banyak masyarakat di dunia yang tidak menganut agama dan yang dapat hidup teratur dengan baik. Mereka bahkan mendiami banyak Negara dan memiliki peninggalan peradaban yang mengagumkan. Meskipun demikian sebagai seorang ulama, pemikir dan praktisi kenegaraan, Ibnu Khaldun memandang agama sebagai suatu hal yang utama dan juga dapat menjadi salah satu unsur dalam menciptakan kesejahteraan bersama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jika berdasarkan manfaat dan tujuan yang hendak dicapai dari keberadaan agama dan Negara tersebut, Ibnu Khaldun menginginkan pemerintahan yang berlandaskan agama (siyasah diniyah). Namun bukan berarti bahwa Negara yang berdasarkan agama itu mutlak keberadaannya dalam praktik pemerintahan, karena hal ini masih sangat tergantung pada penguasa dan pengelolanya. Bagi Ibnu Khaldun yang penting adalah terlaksananya syariah islam sehingga dapat dikatakan bahwa Ibnu khaldun bukan sekedar menginginkan atribut islam bagi suatu Negara.10

Membaca Fenomena Khilafah Islamiyah di Indonesia
Permasalahan khilafah islamiyah mengundang banyak respon dari masyarakat. Bagi mereka yang ingin mendirikan khilafah islamiyah beranggapan bahwa khilafah adalah solusi bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan. Namun bagi sebagian kelompok yang menolak paparan beberapa kelomkpok ini mengenai urgensi mendirikan khilafah tidak cukup meyakinkan bahkan mudah dipatahkan, justru dengan argument-argumen yang sederhana. Dan menurut yang lainnya lagi khilafah islamiyah bukan hanya sekedar tidak realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. Alasan-alasan berikut dapat dipaparkan terkait dengan pandangan tersebut yakni hal tersebut beberapa alasan.11
Pertama, tidak mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat islam yang menyebar diseluruh kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung kelompok yang menginginkan ditegakkannya khilafah islamiyah adalah merupakan salah satu rumusan Taqiyuddin al-Nabhani, yang belum tentu disetujui oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia, agak sulit dibayangkan bagaimana umat islam dapat satu kata untuk menerima satu konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau yang lainnya?
Kedua, jika khilafah merupakan wadah untuk memformulasikan syariat islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat islam yang mana? Syariat dalam tafsir siapa? Bukankah syariat itu sangat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa al-syari’atu mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat islam yang lain. Alasan ini yang kiranya yang menyadarkan seorang tokoh sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan al-Muwaththa’ salah satu karyanya, menjadi konstitusi Negara (daulah).
Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah. Betapa dari empat Khulafaur Rasyidin, tiga diantaranya (Umar, Utsman dan Ali) meninggal terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Perang onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali (menantu sekaligus sepupu Nabi saw) dan Siti Aisyah (istri Nabi saw) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal, ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.
Menurut hasil Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama di Lirboyo bahwa Negara Indonesia tidak harus berazaskan islam, yang terpenting tidak bertentangan dengan syariat islam. Ini berdasarkan surat dan ayat yang sama seperti yang digunakan kelompok yang menghendaki ditegakkannya khilafah yakni tentang kewajiban khilafah. Jika ada salah satu propinsi atau daerah yang ingin menerapkan hukum islam wajib didukung apabila inisiatif penerapan hukum islam tersebut tidak sampai keluar pada batas NKRI (Q.S. Al Ma’idah ayat 2). Seandainya propinsi tersebut sudah menerapkan hukum ialam tidak diperbolehkan bahkan haram mengangkat imam al-a’dzam (pemerintah baru).12
Mencermati beberapa alasan di atas dan tanpa menegasikan bahwa Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan aliran kepercayaan akan sulit untuk menerapkan khilafah islamiyah. Islam agama rahmatan lil alamin, cinta perdamaian. Konsep khilafah islamiyah bagi sebagian masyarakat yang ditawarkan oleh beberapa kelompok juga masih belum jelas. Diantara beberapa pendapat yang berkembang yakni Pertama, konsep kepemimpinan yang sangat rancu. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hal semisal pada masa kenabian, Nabi saw tidak mempersiapkan penggantinya atau paling tidak metode suksesi. Menurut pendapat ini adalah hal ini mustahil seorang nabi suci yang membawa ajaran yang kaffah tapi meluputkan pembahasan tentang kepemimpinan. Pada masa khulafaur rasyidin, tiga dari empat khalifah (amirul mukminin) meninggal dengan cara mengenaskan ditangan umat islam sendiri. Apakah ini bukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban? Belum lagi pertempuran antara sahabat yang sama-sama bertitel radiallahu anhu. Selanjutnya pada masa kerajaan, pasca masa khulafaur rasyidin, berdiri kerajaan Umayyah dan kerajaan Abbasiyyah. Dimana pertumpahan darah adalah jalan berdirinya sebuah kerajaan. Namun sayang, terkadang sebagian masyarakat muslim terbuai dengan slogan “Masa Kejayaan Islam” padahal kerajaan itu berdiri di atas genangan darah umat muslim yang saling berbantai. Akhirnya memasuki masa modern, Arab masih mempertahankan system kerajaan. Beberapa diantaranya menjadikan salah satu mazhab menjadi mazhab resmi. Sementara dinegara lain, umat islam justru membangun Negara sekuler.
Kedua, pemahaman akan syariat yang rumit. Hal ini bertitik tolak dari pandangan Al-din wahid wa al-syari’atu mukhtalifah di atas. Jika penerapan syariat islam menjadi syarat pencerahan, maka pertanyaan yang membutuhkan jawaban adalah penafsiran tentang syariat yang bagaimana yang dapat mengantarkan kepada pencerahan, apakah sebagaimana Imam Syafi’i atau Imam Maliki atau Imam Hanafi atau Imam Hambali? Selanjutnya sekiranya sebuah Negara menganut salah satu mazhab fiqh, maka bagaimana dengan yang tidak menganut mazhab standarnya Negara? Apakah masih ada kebebasan memilih mazhab fiqh? Atau malah sebagaimana dukungan Syaltut dengan Islam tanpa mazhab? Berikutnya jika syariat islam diterapkan, siapa yang berhak menjadi dewan ahli? Wilayatul Faqih? Yang bagaimana? Apakah tergantung suara terbanyak melalui pemilu? Atau kemampuan menyusun intrik politik?
Belum lagi jika kita menengok tentang kecemasan yang terkait dengan fenomena tersebut berarti semakin menguatnya kontes dan pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memperebutkan kekuasaan dan pemaknaan Islam. Sedangkan bagi kalangan non-Muslim dan sekuler, penguatan Islam politik berarti semakin menguatnya tuntutan untuk perubahan Indonesia menjadi “negara Islam” yang mereka nyakini hanya akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka (Azyumardi Azra, 2006)13
Menurut Azra (2006 fenomena-fenomena penguatan Islam politik itu misalnya adalah dengan munculnya parpol-parpol Islam yang menggunakan Islam sebagai asas untuk menggantikan Pancasila. Kedua, meningkatnya aspirasi di kalangan Muslim di provinsi dan kabupaten/kotamadya tertentu untuk penerapan hukum Islam (syari’ah). Sementara Bupati dan Walikota dengan persetujuan DPRD mengeluarkan perda-perda berbau ‘syari’ah’ Ketiga, munculnya kelompok-kelompok garis keras dan radikal, “seperti Lasykar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Jamaah Ikhwanul Muslimin (JAMI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan semacamnya,” contoh Azra. Keempat, meningkatnya penggunaan simbolisme dan praksis Islam seperti jihad dalam konflik komunal di Ambon, Poso, dan lainnya. Kelima, maraknya penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep fiqh siyasah seperti bughat dan jihad dikalangan kiyai NU untuk mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid sebelum dilengserkan pada SI MPR 23 Juli 2001 dan keenam, terungkapnya jaringan orang-orang atau kelompok radikal -seperti Amrozi, Imam Samudra dan lain-lain- yang menggunakan idiom-idiom dan konsep-konsep Islam untuk menjustifikasi tindakan teror yang mereka lakukan di Bali pada 12 Oktober 2002, Marriot Hotel pada 2003 di Jakarta, dan bom Kedubes Australia di Jakarta di tengah suasana Pemilu 2004; berikutnya bom Bali II, Oktober 2005.14
Semua ini, menurut Azra, merupakan indikator tentang semakin meningkatnya use and abuse simbolisme dan konsep Islam dalam politik. “Seberapa jauh efektifitas penggunaan simbolisme, konsep dan praksis Islam dalam politik masih harus dikaji lebih jauh”, lanjut Azra.
Dari pembacaan di atas dan dengan melihat beberapa pertimbangan pemikiran para ulama dan kondisi Indonesia saat ini kita juga tidak menutup mata tentang pendapat sebagian yang lain yang berpendapat bahwa sebaiknya tetap mempertahankan pemerintahan sekarang, dan dengan demikian tetap ada keselarasan perjuangan dalam islam cultural dan islam structural dalam arti yang hendak diwujudkan juga adalah islam dalam makna substantifnya, dalam konteks islam keindonesiaan, kekinian dan ke-posmodern-an dan dengan tetap memperjuangkan bahwa yang perlu dibenahi adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat islam mesti ada tindak lanjutnya. Wallahua’lam.


Daftar Pustaka
Ahmad warsun Al-Munawwir, Kamus Al Munawwir, Yogyakarta. 1984
Syaifudin, Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun, Yogyakarta. Gema Media. 2007
Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhsiyyah al-Islamiyah juz II, Dar al-Umah, Beirut.
MHM Lirboyo, Fiqh Fawaid, Lirboyo, Team Karya Ilmiah dan Bahtsul Masail. 2001
www.icrp-online.org
www.wikipedia.org
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=275
http://www.hizbut-tahrir.or.id/index.php/2007/11/19/dalil-yang-tegas-tentang-kewajiban-khilafah/nd-me
http://www.hizbut-tahrir.or.id/index.php/2007/11/19/apakah-khilafah-islamiyah-hanya-berumur-30-tahun-dan-selebihnya-kerajaan?/nd-me


0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id