Secara etimologi, dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Secara umum dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu saad al-dzari’ah (sesuatu yang dilarang) dan fath dzariah (sesuatu yang dituntut dilaksanakan).
Saad Dzari’ah
Menurut imam Asy Syatibi adalah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Contohnya seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun belum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Jenis Saad Dzari’ah
1). Dzari’ah dari segi kemafsadatan
Menurut Imam Asy Syatibi, terbagi atas 4 jenis, yaitu:
a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lainpada waktu malam dan menyebabkan pemilik rumah tersebut jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. Misalnya menjual makanan yang tidak mengandung kemafsadatan
c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya menjual senjata kepada musuh.
d) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Seperti bay’ al ajal yaitu jual beli dengan harga lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan.
2). Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagiannya ada 2 jenis, yaitu:
a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan mafsadat
b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan haram, baik disengaja ataupun tidak. Seperti seorang lelaki menikahi wanita yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bias kembali pada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil)
Kehujjahan Saad Dzari’ah
Ulama Malikiyyah dan ulamaHanabilah menyatakan bahwa saad dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’, dengan alasan hal tersebut berdasarkan pada:
1). Surat Al-An’am 6:108
“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan”
2). Sabda Rasulullah SAW
“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat keduaorang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang ‘wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?’ Rasulullah menjawab, ‘seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicacimaki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicacimaki orang itu,” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Hadis ini menunjukkan bahwa saad dzari’ah termasuk salah satu alas an untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rasulullah tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu, Rasulullah melarangnya.
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima saad dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya pada kasus-kasus lain. Imam Syafi’I memperbolehkan seorang yang uzur, sakit, musafir untuk meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Orang yang uzur tidak puasa diperbolehkan, tetapi jangan makan didepan orang lain yang tidak megerti uzurnya,karena akan menimbulkan fitnah.
Ulama Hanafiah menggunakan saad dzari’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al syakk (akhir bulan sya’ban yang diragukan apakah telah masuk bulan ramadhan atau belum) sebaiknya dilakukan secara diam-diam, apalagi bila ia seorang mufti.
Fath Dzariah
Ibn Qayyim al-Jauzilah dan Imam al-Qafari mengatakan bahwa fath dzari’ah adalah suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan. Misalnya shalat jum’at itu hukumnya wajib, maka usahakanlah sampai ke mesjid dan meninggalkan aktifitas yang juga diwajibkan. Tapi menurut Wahbah al-Zuhaili, hal tersebut tidak termasuk dzari’ah, tetapi muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Jika hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Begitu pula dengan sesuatu yang haram.
Terhadap hokum muqaddimah tersebut para ulama sepakat menerimanya, tetapi tidak sepakat untuk hal tersebut dikategorikan dzari’ah. Ulama malikiyyah dan Hanabilah memasukkannya sebagai fath dzari’ah. Ulama hanafiyyah dan Syafi’iyyah serta sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagi hukum muqaddimah, bukan termasuk dzari’ah. Namun mereka sepakat untuk menjadikannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
‘Urf
Pengertian ‘urf
Secara etimologi, urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. Adat dan ‘Urf adalah dua kata yang sinonim (mutaradif) Namun bila digali asal katanya, keduanya berbeda. ‘adat berasal dari kata ‘ada-ya’udu artinya perulangan (berulang-ulang), ‘urf berasal dari ‘arafa – ya’rifu, sering diartikan dengan “sesuatu yang dikenal” (dan diakui orang banyak)
Tidak ada perbedaan yang prinsip antara adat dan ‘urf, karena pengertian keduanya sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi dikenal dan diakui orang banyak. Jadi meskipun asal kata keduanya berbeda,namun perbedaannya tidak berarti.(Amir Syarifuddin,II, hlm.364). Oleh karena kedua kata itu sama, maka 5 kaedah utama menggunakan kata ‘adat, bukan ‘urf. ‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang sudah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat sering disebut sebagai adat.
Perbedaan adat dengan ‘urf
Namun ada yang membedakan makna keduanya. Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk. Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”.
Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. A.Aziz Khayyath, Nazhayyah al-’Urf, Amman, Maktabah Al-Aqsha, hlm 24. Mustafa Ahmad Zarqa (Yordania), ‘urf bagian dari ‘adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan. ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi. Misalnya, harta bersama, konsinyasi, urbun, dll.
Jenis Urf:
a. Dari Segi Obyeknya (Materi)
‘Urf Qawli adalah kebiasaan pada lapaz/ucapan
Contoh : Lapaz daging dipahami di Padang hanya daging sapi. Bila sesorang mendatangi penjual daging, dan berkata “Saya beli daging 1 kg”, sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain dan ikan, ayam, bebek. Maka yang diamksud adalah daging sapi. Jika seorang Minang bersumpah tidak akan makan daging, tetapi setelah itu ia makan daging ikan. Maka ia tidak melanggar sumpah / tidak membayar kifarat, karena yang dimaksudkan dengan daging dalam sumpah tersebut adalah daging sapi. Walaupun menurut Al-quran, ikan termasuk daging. Ini berarti makna daging difahami sesuai dengan ‘urf di suatu daerah. Misalnya seorang bernazar, jika saya lulus S2, saya akan mewaqafkan kereta untuk Yayasan Anak Yatim X. Akibat hukum nazar seseorang tergantung adatnya (daerahnya), Di Malaysia hal itu diwujudkan dengan membeli mobil. Di Sumatera diwujudkan dengan membeli motor. Di Jawa diwujudkan dengan membeli kereta Api. Jadi setiap orang yang berakad, di dasarkan pada adat kebiasaan dalam ucapan dan bahasa yang ia ucapkan
‘Urf Fi’li adalah kebiasaan atau perbuatan
Contohnya:
a) Kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar, ke rumah pembeli seperti lemari, kursi, dan peralatan rumah tangga yang berat lainnya Tanpa dibebani biaya tambahan
b) Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan
c) Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah
b. Dari segi cakupannya
‘Urf ‘Am (Umum) adalah kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan daerah
a) Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan bank syariah. ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan dunia
b) Kebiasaan garansi pada pembelian barang elektronik. Ini juga berlaku dimana-mana.
c) Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah
d) Naik Bus Way, jauh dekat, ongkosnya sama
‘Urf Khas (Khusus) adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah tertentu
a) Kebiasaan pembeli dapat mengembalikan barang yang cacat kepada penjual tertentu, (tetapi tidak berlaku di supermarket).
b) Bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dinggap merendahkan, tetapi bagi masyarakat (Malaya / Asahan tanjung Balai), kata budak biasa digunakan untuk anak-anak.
c) Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu / matrilineal), di Minang Kabau dan melalui Bapak (parilineal) di suku Batak
c. Dari Segi baik-buruk (Keabsahan)
’Urf Shahih
Adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan syariah, sopan santun dan budaya yang luhur
Contohnya:
a) Acara halal bi halal (silaturrahmi) saat hari raya.
b) Adanya garansi dalam pembelian barang elektronik, dll.
c) Memproteksi setiap pembiayaan dengan asuransi syariáh
d) Mengasuransikan pendidikan anak, kenderaan, rumah, barang dagangan via lautan, secara syariáh
e) Menerapkan perencanaan keuangan (Financial Planning) dalam keuangan keluarga. Di sini juga ada maslahah
f) Kebiasaan Menabung di Bank Syariáh.
g) Kegiatan MTQ setiap tahun
’Urf Fasid
Adat yang berulang-ulang dilakukan tetapi bertentangan dengan syariah Islam
Contohnya:
a) Menyuap untuk lulus PNS/meraih jabatan
b) Menyuap DPR untuk mensahkan Undang-Undang
c) Menyuap partai politik untuk meluluskan calon gubernur atau bupati, dsb.
d) Memberi hadiah kepada pejabat
e) Spekulasi valas dan Hedging untuk spekulasi
f) Kredit dengan sistem bunga di bank riba
g) Future trading (forward transaction)
h) Spekulasi saham ?
i) Bursa berjangka pada indeks tertentu
j) Judi di pusat-pusat hiburan
k) Pacaran (pergaulan bebas)
l) MLM Konvensional dan kebiasaan-kebiasaan negatifnya.
m) Berasuransi secara konvensional (non syariah)
n) Call money dengan sistem bunga
o) REPO dalam Cek
p) Arisan uang berantai (sistem piramida)
Pandangan para ulama terhadap urf:
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa urf fasid harus dijauhkan dari pengambilan dan penetapan hukum.
a. Pandangan Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada amal ahli Madinah
b. Imam Syafii memiliki dua pendapat (qaul qadim dan qaul jadid). Qaul Qadim pendapatnya ketika di Bagdad, sedangkan qaul Jadid ketika di Mesir. Hal ini karena perbedaan úruf.
c. Hanafiyah juga banyak menerapkan úrf dalam menetapkan hukum Islam, seperti bay’ wafa. (Jual Beli Wafa’)
Banyak Qaidah Fiqh tentang keharusan urf dalam menetapkan hukum, anatara lain:
Adat itu bisa menjadi hukum syara’
Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan, sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan Syariat) Sesuatu yang ditetapkan oleh kebiasaan (adat), sama seperti sesuatu yang ditetapkan oleh hukum (lihat pasal 1499 Al-Majallah al-Ahkam). Sesuatu yang sudah dikenal baik dan menjadi tradisi para pedagang, maka ia dianggap sebagai kewajiban yang disepakati di antara mereka. Seperti Uang Panjar dalam Jual-Beli.
Syarat-Syarat ‘Urf diterima sbg dalil
a) ‘Urf tidak bertentangan dengan nash
b) ‘Urf itu mengandung maslahat
c) ‘Urf berlaku pada orang banyak
d) ‘Urf itu telah eksis pada masa itu,bukan yang muncul kemudian
e) ‘Urf tidak bertentangan dengan syarat yang dibuat dalam transaksi
Kehujjahan Urf
a) Urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan
b) ‘Urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, tetapi senantiasa terkait dengan dalil-dalil yang lain, seperti maslahah dan istihsan
c) Urf menunjang pembentukan/perumuan hukum Islam
Contoh ‘Urf:
Menurut adat di daerah tertentu, mahar tidak boleh dicicil, jadi harus dibayar sekaligus sebelum walimah. Si Ali melakukan akad nikah dengan Ani dengan sejumlah mahar, tanpa menjelaskan apakah dibayar secara sekaligus atau dicicil (dalam beberapa kali bayar). Adat yang berlaku saat itu, ialah mahar harus dibayar sekaligus. Beberapa waktu kemudian, istri meminta agar mahar dibayar lunas. Kemudian adat di tempat itu berubah dimana orang-orang mulai mempraktekan pembayaran mahar secara cicilan. Suami berpegang pada adat yang baru muncul, sementara si istri minta bayaran lunas. Maka berdasarkan ketentuan qaidah urf, suaimi harus membayar lunas, karena ia tidak boleh berpegang kpd adat yang baru muncul. Pembeli dan Penjual lemari es sepakat bahwa barang yang dibeli tersebut tidak menjadi tanggung jawab penjual untruk mengantarnya ke rumah pembeli,Itu kesepakatan mereka, walaupun adat yang berlaku berbeda. Maka disini ’urf tidak berlaku, karena berlawanan dengan syarat yang mereka sepakati.
Istishab
Pengertian istishab
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan Menurut Ushul Ulama istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dali yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah ditetapkan pada masa lampau sampai dengan terdapat dalaoi yang menunjukkan perubahannya (Syafe’i, 1999: 125)
Dalil Istishab
Al Baqarah : 29 “ Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu.” “Pangkal segala sesuatu adalah kebolehan”
Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama Hanafiah
Menurutnya Istishab merupakah Hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksudkan oleh mereka. Ini berarti Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai dengan ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya. (Syafe’i, 1999: 127)
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yng tidak tetap. Telah dijleaskan tenatang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut diteapkan tidak hilang dan ihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
Istishab lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolaknya dengan kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetqpkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishab aitu adalah hidup yng diasarkan pada pengakuan.
Mashab Shahabi
Pengertian Shahabi
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasul. Yang dimaksud para sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baikberupa fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hokum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut.
Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah par sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini disebabkan karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rausullah SAW. Dan telah memahami alQuran dan hokum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peritiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabit’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentaqwilan fatwa-fatwa mreka. Dianatara mereka ada yangmengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap umber-sumber pembentukan hokum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahn kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendpat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.
Kehujjahan Madzhab Shahaby
Pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsng dari rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Keterangan diatas tidaklah sah dijadikan lapangan Ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-bear dari rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirny merupakan ucapan sahabat. Kehujjahan Madzhab Shahaby adalah jika pendapat sahabat tidak bertenatangan dengan sahabat lain biasa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.
Pandangan para Ulama tentang Madzhab Shahaby
Pandangan Abu hanifah
Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah, sebab dia berkata tentang Madzhab Shahaby : “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Quran dan Sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya.” Ini berarti Abu Hanifah bias mengambil pendapat mereka yang dia kehendakki, namun dia tidak memperknankan untuk menentng pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya Qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh (menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.
Pandangan Imam Syafe’i
Menurut Imam Syafe’i pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbath pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dri orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari Dosa).
Menurut Imam Syafe’i, para sahabat dibolehkan menentang sahabt lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika imam syafe’i melarang menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atu menggunakan Qiyas, atau menggunakan qiyas pada sbagiannya.
Syar’u Man Qablana
Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Para ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelumIslam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umu oleh syari’at Islam. Mereka juga sepakat menyatakan bahwa pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam, seperti beriman kepa da Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishas dan hukuman bagi tindak pidana pencurian.
Hukum Syari’at Sebelum Islam
Jika Al-qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditujukan juga kepada kita, dengan kata lain wajib diikuti, seperti firman Allah dalam Surat Al-baqarah 183: “ Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu” Sebaliknya jika dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan pada kaum terdahulu, namun dihapuskan untuk kita, para ulama sepakat bahwa hokum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nab Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Da jika ada najis ditubuh kita, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan itu.
Pendapat Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita
Tentang syariat terdahulu telah jelas berupa penghapusan atau penetapan dan telah disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah 32: “oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.’
Jumhur ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hokum tersebut disyari’atkan juga kepada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak mendapatkan hokum yang menasakhnya. Alasannya,mereka menganggap bahwa hal tersebut termasuk diantara hokum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syari’at kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu,kecuali jika dalamsyari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.
0 Comments:
Post a Comment