Kamis, 30 September 2010

NTB Syariah dan Peran Warga Muhammadiyah NTB dalam Percepatan Konversinya

Pendahuluan

Setelah terjadinya krisis ekonomi, konsep bank Islam semakin menjadi perhatian. Kondisi perbankan pasca krisis telah menimbulkan inspirasi untuk berfikir bahwa sistem bunga ternyata dirasakan merugikan bank sendiri dan nasabahnya serta membuat bank harus membayar kewajiban yang besar terhadap nasabahnya sekalipun secara riel tidak terdapat pemasukan keuntungan. Hal ini juga berdampak pada nasabah pengguna dana yang dihimpit kewajiban membayar kepada bank meskipun tidak memperoleh pendapatan apapun. Situasi ini akhirnya mendorong banker Indonesia memutuskan mendirikan cabang syariah pada bank-bank mereka seperti yang banyak dipraktekkan akibat adanya kebijakan dual banking sistem.

Secara umum konsep bank syariah (bank Islam) tidak hanya menunjuk kepada pengertian suatu bank bebas bunga, suatu bank yang menghindari jasa-jasa pembiayaan yang dilarang Islam. Para ahli yang telah ikut mendiskusikan bank syariah sebagian besar menyepakati bahwa agar suatu bank dapat disebut sebagai bank Islam harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kriteria yakni: diselenggarakan dengan tidak melanggar aturan-aturan syariah dan membantu mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan berpedoman pada tuntutan agama. Bahkan lebih dari itu, bank syariah diharapkan untuk berfungsi tidak semata-mata dalam aspek ekonomi, namun lebih penting lagi sebagai media memelihara nilai-nilai spiritual, pusat pencerahan dalam berekonomi, tempat pendidikan etis dan suatu metode praktis menuju kehormatan umat.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi maraknya aspirasi yang berkembang diseputar konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah, selanjutnya akan dilihat bagaimana peran warga muhammadiyah di Propinsi NTB dalam percepatan konversinya. Namun sebelumnya akan dilihat bagaimana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menanggapi awal lahir dan berkembangnya perbankan syariah ini.

Tanggapan Muhammadiyah Terhadap Perbankan Bebas Bunga

Di Indonesia perbincangan mengenai masalah perbankan dari segi hukum syariah dan upaya untuk mencari suatu bentuk penyelenggaraan usaha bank yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam telah cukup lama. Diskusi-diskusi mengenai perbankan dilihat dari aspek syariah sudah berkembang di Indonesia sejak tahun tigapuluhan. Ketua HB (Hoefdbestuur) Muhammadiyah tahun 1937 pernah menulis sebuah artikel berjudul “Kedudukan Bank di Dalam Islam” yang dimuat dalam majalah Siaran (No. 1/1 Maret 1937). Di dalam tulisan itu Ia menguraikan bank dengan sistem bunga secara panjang lebar yang intinya Ia menilai tidak sejalan dengan ketentuan syariah (Syamsul Anwar, 1999; 5). Oleh karena itu, Ia menyarankan agar para cendikiawan dan ulama mencari pemecahan bagaimana menyelenggarakan bank yang tidak bertentangan dengan syariah. Sementara menantikan bank syariah hadir, maka bank konvensional dapat diterima dengan alasan darurat.

Pada tahun 1968 dilingkungan Muhammadiyah juga dilahirkan keputusan tarjih mengenai bunga bank yang intinya bunga bank adalah sama dengan riba yang diharamkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dan menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya lembaga keuangan yang sesuai dengan kaidah Islam (Himpunan PutusanTarjih Muhammadiyah, tt; 308-309). Kemudian pada tahun 1972 di Wiradesa, Pekalongan Mukhtamar Tarjih menegaskan hal serupa. Muhammadiyah memang sejak tahun 1968 telah mengusulkan untuk diadakannya konsepsi ekonomi dan khususnya perbankan Islam, belum dapat merealisir gagasan besar tersebut. Namun meskipun agar terlambat, konsep tersebut akhirnya dapat terwujud dengan dioperasionalkannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992.

Di lingkungan NU, masalah bank dikaji dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-12 tanggal 25 Maret 1937 di Malang. Keputusannya menyatakan bahwa “Adapun hukumnya bank dan sebunganya itu sama dengan hukumnya gadai yang telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar ke-2 No.28” Maksudnya disini adalah gadai dimana penerima gadai memanfaatkan barang gadaian selama dalam masa pergadaian. Keputusan Muktamar no. 28 itu menyatakan bahwa “Adapun Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama (haram)” Maksudnya gadai dengan ketentuan bahwa penerima gadai memanfaatkan barang yang digadaikan tidak dibenarkan. Karena hukum bunga bank disamakan dengan hukum gadai dengan hak memanfaatkan barang gadaian, maka dengan demikian Muktamar NU menyatakan bahwa bunga bank adalah haram hukumnya.

Peran Warga Muhammadiyah Propinsi NTB Dalam Percepatan Konversi PT. Bank NTB Menjadi Bank Syariah

Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat muslim di Propinsi NTB belum sepenuhnya memahami dan mengapresiasi konsep perbankan syariah, sehingga masih banyak juga yang bersikap skeptis atau paling tidak bersikap “wait and see”. Bagi warga Muhammadiyah, tak terkecuali di Propinsi NTB tuntutannya sudah jelas arahnya seperti tertuang dalam putusan tarjih yakni “mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai kaidah Islam”. Kini dalam ukuran relatif, konsepsi itu telah terwujud, tinggal bagaimana warga Muhammadiyah meningkatkan pemahaman dan apresiasinya terhadap perbankan syariah, serta berpartisipasi dalam memberdayakan lembaga keuangan syariah. KH. Ahmad Basyir MA (Alm.) pernah menegaskan bahwa kita harus mendukung setiap upaya yang mencoba mengimplementasikan tuntunan agama Islam ke dalam kehidupan kontemporer termasuk kegiatan ekonomi dan keuangan.

Namun harus diakui memang bahwa permasalahan perbankan syariah bukan hanya terkait dengan semangat keagamaan yang menggebu-gebu. Bank adalah sebuah lembaga kepercayaan. Untuk mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat bank syariah harus menunjukkan performance yang meyakinkan, manajemen yang handal dan terpercaya, maka masyarakat akan merasa aman untuk menitipkan dananya pada bank yang demikian, dan lebih dari itu dapat memberikan pelayanan berkualitas dan memberi kepuasan kepada para nasabahnya, disamping yang paling penting yakni bagaimana bank syariah benar-benar menunjukkan komitmen syariah dalam operasionalnya.

Dengan adanya perpaduan antara semangat umat dalam berpartisipasi mendukung pengembangan dan konversi PT. Bank NTB menjadi Bank syariah sebagai tatbiq asy-syari’ah ‘ala mustawa al-hayah al-amaliyah khususan fi al-majal al-iqtisadi di satu pihak dan adanya penampilan yang lebih meyakinkan dengan adanya konversi ditambah jika terpercaya dan amanah dengan manajemen yang handal, maka saya yakin PT. Bank NTB Syariah akan mengalami perkembangan yang signifikan dimasa mendatang. Setidaknya demikianlah yang menjadi harapan kita warga Propinsi NTB.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id