Pendahuluan
Menanggapi aspirasi yang akhir-akhir ini berkembang, yakni terkait dengan aspirasi konversi PT. Bank NTB menjadi bank syariah, ada baiknya disini saya turut sumbang saran. Hal ini perlu dilakukan, mengingat terdapat anggapan sebagian umat (muslim) dan umat beragama yang lain didaerah ini menyangkut Bank NTB syariah hanya diperuntukkan bagi nasabah muslim saja, bahkan bagi sebagian kalangan ada yang mengaitkannya dengan mayoritas penduduk muslim yang didaerah ini mencapai 96% dan sisanya penganut agama lain yang hanya 4% saja.
Tulisan ini akan mencoba melihat hal tersebut yakni tentang mayoritas dan minoritas dan selanjutnya akan ditanggapi tentang konversi PT. Bank NTB menjadi bank syariah.
Tentang Mayoritas dan Minoritas
Membahas persoalan mayoritas-minoritas, selama ini biasanya hanya terbatas soal populasi. Padahal, terdapat substansi yang lebih penting, yakni mayoritas-minoritas pengelolaan asset, pihak yang diberi peluang dan yang belum diperhatikan. Yang timpang disini adalah, mayoritas itu belum mendapat haknya. Itu terjadi karena penduduk disini tidak diperhatikan, sehingga riak-riak yang ada bisa jadi gelombang. Seharusnya tidak perlu demikian jika semuanya mendapat haknya.
Secara historis, sejak zaman Kolonial kita belajar bahwa terdapat tiga strata penduduk Indonesia. Paling tinggi Kolonial, kemudian Timur Asing (Arab dan Cina) dan terakhir Inlander. Kaum Arab telah terasimilasi secara natural dengan pribumi, yang belum atau masih dalam proses adalah kaum Cina. Mereka mendapat hak-hak khusus, termasuk dalam hak mengambil pajak dari masyarakat, hal inilah yang menjadikan mereka masuk lebih dahulu kejalur ekonomi sejak dini. Selanjutnya kita mengetahui bahwa setelah merdeka, dibawah Orde Baru yang selalu mencoba mengadakan proteksi berlapis secara sistemik.
Menyangkut perkembangan kaum Cina dalam perekonomian yang demikian hebatnya, dalam hal ini terdapat gabungan antara kemampuan individu, ketekunan, kerajinan dengan iklim yang kondusif. Sesungguhnya jika kita kaji, bangsa Indonesia ternyata juga memiliki daya juang bisnis yang sangat tinggi, hal ini misalnya diperlihatkan oleh orang Bugis, Minang, Tegal, Tasik dan lainnya. Banyak contoh para pengusaha, tidak terkecuali didaerah ini yang awalnya mereka berasal dari keluarga miskin yang pas-pasan kemudian berubah menjadi pengusaha sukses.
Mekanisme kebijakan Orde Baru saat itu adalah membesarkan kue pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Nah, saat itulah orang-orang Cina mendapat porsi yang luar biasa dengan berbagai fasilitas kemudahan, dan ketika mereka telah besar menjadi sulit untuk dihentikan. Disisi lain, pengaruh solidaritas Cina juga cukup besar hal ini misalnya ditunjukkan oleh pertemuan internasional Chinesse Overseas di Hongkong pada 1999, hal ini setidaknya merupakan bentuk penyatuan langkah diperantauan. Namun demikian tidak dapat dinegasikan juga bahwa orang Cina yang bernasib kurang baik juga masih banyak.
Karena itulah dalam hal ini dibutukah adanya pemberdayaan dan pelurusan terhadap konsep pemahaman akan muamalah, misalnya dalam Islam menyangkut pemahaman filosofis meski diluruskan pemahaman tentang ekonomi, sebagaimana yang diutarakan Syafi’i Antonio (1999) menyangkut doktrin kemiskinan, tentang fardhu kifayah. Bahwa menguasai capital market, industry garmen dan lainnya adalah juga fardhu kifayah. Konsep ini terkait dengan pemahaman akan akidah. Kedua, masalah teknis, seorang mukmin disamping harus memiliki sifat-sikap sebagaimana yang dimiliki Rasulullah SAW (yakni: siddiq, amanah, tablig dan fatonah) juga harus cerdas yang berarti professional. Ketiga, struktur ekonomi yang benar-benar berpihak dalam arti yang minoritas tidak lagi diberikan kail, namun harus ditunjukkan dimana kolamnya dan kolam itu harus dipagari. Ketiga aspek ini tentunya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.
Karena itulah terkait dengan hal ini, tugas utama terletak pada pemerintah, tidak terkecuali pemerintah daerah, hal ini dikarenakan masyarakat telah membayar pajak, restribusi dan lainnya yang tentunya hal ini harus dialokasikan untuk masyarakat. Dengan daerah yang kaya juga harus digunakan untuk kepentingan masyarakat. Selanjutnya disinilah peran swasta harus terlibat (kaum aghniya’) dalam hal social insurance (takaful ijtima’i).
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri juga, bahwa kesenjangan antara mayoritas yang minus dana dengan minoritas yang surplus dana makin hari makin terlihat melebar. Jika semuanya dibaiarkan berjalan apa adanya maka yang besar memiliki daya kapitalisasi yang sangat besar, sementara yang kecil sebaliknya makin termiskinkan. Karena itu, dalam konteks daerah saja, jika kita dapat meletakkan dasar-dasar berekonomi (juga berpolitik) yang baik, etis dan syar’i dampaknya akan terjadi proses kompetisi yang sehat. Disini kita tidak dapat menyalahkan Cina yang memang tekun dan rajin. Sementara saudara sesama muslim saja jika ingin menghalalkan segala cara juga meski ditolak.
Kedepan, jangan adalagi praktek curang dalam bisnis dan birokrat, disamping harus didukung pula dengan aturan persaingan usaha yang sehat dan juga hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Faktor-faktor ini tentu bisa ditegakkan jika ada uswah hasanah dari para pemimpin, baik dari tingkat nasional, propinsi hingga kabupaten kota dan lurah/kepala desa.
Tanggapan Atas Konversi PT. Bank NTB Menjadi Bank Syariah
Jika diatas kita telah uraikan tentang mayoritas-minoritas, maka dalam kesempatan ini pula, penulis hendak menyampaikan aspirasinya terkait dengan konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah.
Dalam konteks Propinsi NTB, hal ini sangat penting karena menyangkut mayoritas-minoritas tadi, selain itu mengingat bahwa non muslim di Propinsi NTB selain jumlahnya cukup signifikan juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Hal ini diperkuat dengan kenyataan pada beberapa wilayah di kabupaten/kota didaerah ini, penduduk non muslimlah yang memiliki akses ekonomi yang signifikan. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, terutama menggagas kemungkinan penerapan strategi pengembangan perbankan syariah melalui peningkatan fokus perhatian pada potensi nasabah non muslim. Argumen pokok dan dasar pemikiran yang ingin dikemukakan berlandaskan pada tiga alasan. Pertama, bahwa larangan pemungutan riba, yang merupakan ciri utama bank syariah, ternyata memiliki akar pada ajaran-ajaran non-Islam. Kedua, ternyata secara keseluruhan kinerja perbankan syariah lebih bagus dibandingkan dengan kinerja perbankan konvensional, demikian halnya yang ditunjukkan dengan kinerja UUS dan kantor cabang syariah PT. Bank NTB.
Dalam kaitannya dengan hal inilah perluasan cakupan pasar dengan juga memberikan perhatian pada pasar rasional dan non muslim menemukan relevansinya. Hal ini juga berarti tidak terdapat kekhawatiran yang signifikan atas aspirasi masyarakat yang menghendaki konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini pengembangan perbankan syariah tidak terkecuali sebagaimana disebutkan di atas, semata-mata masih terfokus pada pasar spiritual, yakni kelompok nasabah yang terutama mempertimbangkan kebersihan dan kemurnian transaksi keuangan, serta mengabaikan pasar non muslim. Padahal, bila menilik kondisi demografis masyarakat NTB akan terlihat persebaran yang kurang merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Penetrasi perbankan syariah pada pasar non muslim diharapkan juga akan lebih mudah bila melihat kinerja perbankan syariah yang dalam banyak kategori relatif lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Selama ini, kalangan perbankan syariah, juga kantor cabang syariah PT. Bank NTB umumnya masih membidikkan sasaran pada para loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah. Masih jarang bank syariah yang mencoba menangkap pasar mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan, konvensional atau syariah. Pasar ini bisa berpindah-pindah, tergantung sistem mana yang lebih menguntungkan.
Pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas perlu pula memberikan perhatian terhadap aspirasi ini, disamping bagaimana bank syariah PT. Bank NTB memperhatikan pangsa pasar non muslim. Penetrasi terhadap segmen pasar ini diperkirakan akan lebih mudah bila mengingat bahwa ajaran Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen pun juga memiliki akar yang kuat mengenai larangan pemungutan riba. Penggarapan pasar rasional dan non muslim, sambil tetap memberikan perhatian kepada umat muslim sebagai pasar spiritual yang utama, diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja dan dukungan atas konversi ini dan dalam memberikan pelayanan kepada para nasabahnya di daerah ini. Semoga.
2 Comments:
Artikel yang bagus.
Ada baiknya tulisan ini langsung di tujukan langsung kepada Gubernur NTB agar bisa di perhatikan dan di kaji dengan lebih serius.
pada dasarnya bank syariah tidak pernah membedakan nasabah baik itu muslim atau non muslim.. hanya saja yang ditekankan bank syariah adalah perubahan sistem perekonomian dari kapitalis menjadi yg lebih baik dan lebih aman. jadi jelas bahwa bank syariah bukan hanya milik umat muslim tapi milik semua umat manusia. untuk itu sudah seharusnya bank NTB mempersiapkan dirinya untuk berkembang menjadi bank syariah. tidak perlu lagi takut akan permasalahan minoritas dan mayoritas. di inggris saja yang merupakan mayoritas non muslim, aset perbankan syariah sudah mengalahkan aset perbankan di mesir, dubai, pakistan dsb. untuk itu seharusnya gubernur NTB mempertimbangkan hal itu. karena permasalahan minoritas dan mayoritas bukannlah hal yang menjadi masalah besar
Post a Comment