Suksesi bakal calon bupati Kabupaten Lombok Tengah tidak terasa meninggalkan waktu tak seberapa jauh, dalam analisis kepemimpinan kita tentu menyadari dan mampu menilai berbagai kinerja yang telah dilakukan bupati sebelumnya, baik itu berkenan, memuaskan atau sebaliknya kurang berkenan, tidak berkenan dan tidak memuaskan, hal itu bagaimanapun harus kita terima, evaluasi dan memutuskan walaupun disadari dalam taraf selaku manusia ia tidak bekerja sendiri, dan tak luput pula dari dinamika insaninya.
Dilatarbelakangi rentang waktu yang tidak terlalu lama tersebut, dimana jarak antara figur pemimpin dan masyarakat yang dipimpin menjadi makin menipis, pendekatan politis atau evaluasi yang sekiranya menjadi jawaban atas adanya rentang waktu yang tidak panjang itu yang menyebabkan adanya psikologi tertentu dari sebagian kalangan, baik itu bakal calon, tim suksesi atau masyarakat, merasa teralienasi ketika berada di luar sistem, merasa mendapat kesempatan yang luas dan besar ketika telah berada di dalam sistem yang tentunya tak lepas dari konsekuwensi-konsekuwensi yang dapat ditimbulkannya, bagi yang merasa dikucilkan dan teralienasi bagaimana menumbuhkan kesadaran bahwa ia selaku calon yang membawa nama perubahan, dan kehadirannya merasa dibutuhkan masyarakat, bagi yang telah berada di dalam konsekuwensinya bagaimana program-program yang mungkin lebih diutamakan adalah hal-hal yang lebih bersifat pragmatis, berjangka pendek yaitu bagaimana menyusun strategi dan posisi untuk tetap eksis, karenanya program-program jangka panjang yang lebih 'ideal' menjadi sedikit terkorbankan.
Berpijak dari kenyataan di atas, dalam kajian kali ini penulis mencoba mengetengahkan diantara beberapa syarat khusus yang setidaknya dimiliki oleh seorang pemimpin daerah (Bupati) yakni misalnya kemampuannya dalam berfikir, dan bertindak secara terarah, mengolah dan memanaj lingkungan secara efektif agar hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kesuksesannya selaku pemimpin, selain hal tersebut di atas reaksi (respon) terhadap suatu perangsang yang menyebabkan suatu perubahan-perubahan fisiologis dan fisikologis menjadi hal yang akan sangat ditekankan yang tentunya disertai dengan kecerdasan dalam menjalankan keyakinan dan prinsif hidup (spiritualitas) selaku pemimpin akan cukup kuat menjadi lirikan dalam budaya masyarakat yang kental akan dimensi religiusitas dan primordial, dengan tidak mengesampingkan 'restu' sang guru.
Dan diantara prasyarat lainnya, tentu seorang pemimpin tidak hanya sekedar hanya menunggu saja, kira-kira begitu, tetapi ia harus memiliki ide-ide cemerlang dan kreatif. Menurut kriteria Wanhankamnas (Dewan Pertahanan Keamanan Nasional) seorang pemimpin juga harus siap 'membuka diri' agar dengan itu masyarakat dapat mengetahui sampai sejauh mana pola pemikiran, diri, strategi serta program yang akan ditelurkannya dalam memajukan daerahnya bagaimana ia menghormati kondisi alamiah demokrasi serta budaya daerahnya.
Dalam melihat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang bupati tersebut di atas, kini akan makin jelas bahwa untuk menjadi seorang pemimpin ternyata tidak gampang, karena ibarat seorang buruh ia harus bekerja dengan sekuat tenaga baik dengan potensi fisik dan fsikisnya untuk mengangkat beban yang akan ditanggungnya, ia harus siap 24 jam untuk melayani rakyatnya karena bagaimanapun hal itu merupakan harga pasti yang tidak bisa ditawar lagi, hal ini akan sejalan dengan pernyataan khalifah Ali Bin Abi Thalib pada saat menyampaikan pesannya kepada Muhammad Bin Abu Bakar (putra Abu Bakar) ketika mengangkatnya sebagai Gubernur di wilayah Mesir yang menyatakan agar sebagai pemimpin tidak membedakan perlakuan terhadap rakyatnya, walau hanya dalam lirikan dan pandangan mata atau dengan memisahkan antara berbagai kepentingan "pusat" atau "daerah" orang penting atau orang biasa. (Mutiara Nahjul Balaghah : Wacana dan Surat-Surat Imam Ali R.A., 2001).
Disamping itu sederet persyaratan lainnya seperti kearifan dan kenegarawanan, inovatif dan kredibel tak lepas dari padanya yang hal ini tak akan terwujud tanpa dibekali dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
Persyaratan tersebut di atas penting untuk diketahui karena hal ini akan cukup membantu dalam upaya mewujudkan tujuan demokrasi karena seperti kita sadari selama ini, diakui atau tidak modal pemilihan pemimpin, baik itu Presiden, Gubernur, Bupati atau Camat lebih menjurus ke arah model kepemimpinan 'Dinasti', era politik seperti yang dipraktekkan oleh sebagian Negara Asia Selatan seperti India, Pakistan dan Bangladesh, yang memiliki ciri khusus yakni dinasti-dinasti politik memainkan peran utama dalam permainan politik tingkat atas, sementara rakyat pemilih hanya bermain dipinggiran. (Memastikan Arah Baru Demokrasi, 2000). Hal ini diperkuat oleh adanya tanda-tanda 'melanggengkan' kekuasaan melalui nepotisme dalam pengertian menempatkan sanak kerabat atau 'yang sealiran darah' dalam posisi strategis dalam tiap posisi dan jabatan, hal ini dilatarbelakangi karena adanya 'utang warisan' sebelum menjadi pejabat dengan janji-janji untuk memprioritaskan dinasti terlebih dahulu, baru selanjutnya untuk kepentingan masyarakat.
Disamping itu dengan adanya rinci renik tentang syarat sebagai seorang pemimpin daerah tentunya, kemampuan kita dalam menempatkan duduk persoalan secara rasional dan proporsional tentu akan terlihat jelas, karena selama ini kita menyadari bahwa pemilihan lebih bersifat emosional, senang dan tidak senang, suka atau tidak suka.
Hanya saja permasalahannya sekarang yakni kemampuan kita untuk mengambil dan menerapkan syarat dan prasyarat yang ada, tanpa membuang logika dan adanya emosi dan logika secara harmonis sulit diaplikasikan. Walaupun kita telah membuat kriteria untuk calon pemimpin daerah (bupati) sedemikian rinci, namun dalam masyarakat demokratis kita juga menyadari bahwa mustahil untuk menentukan kriteria calon bupati secara rinci, apalagi dilembagakan secara permanen, namun dengan itu setidaknya calon yang 'mendekati' dan 'ideal' bagi kita yang dapat diterima menjadi salah satu ujung tombak dalam hal ini.
0 Comments:
Post a Comment