Selasa, 05 April 2011

Tuan Guru Tak Perlu di Bela


Membela pribadi, kelompok dan institusi berdasarkan identitas agama juga sangat berbahaya bagi prinsip dan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan. Betapapun mulia ajaran sebuah agama, belum tentu mulia perilaku umatnya, termasuk disini pribadi, kelompok dan institusi tersebut.

Tuan Guru Tak Perlu di Bela. Yang mesti diperjuangkan adalah tegaknya nilai-nilai Islam seperti persaudaraan, ukhuwah, keadilan, kesejahteraan atau kemaslahatan. Segala peristiwa yang tidak menyejukkan di negeri ini dan dalam taraf yang agak relatif di daerah kita acapkali dipicu oleh hasrat yang begitu kuat untuk melakukan pembelaan terhadap pribadi, kelompok atau institusi tertentu berdasarkan identitas yang dimilikinya. Disini, terkadang rpibadi-pribadi tersebut acapkali mengklaim dan menyatakan diri secara plural, kami atau kita dari pada personal yang tunggal, aku. Terkait dengan tema tersebut di atas saya akan menguraikan hal-hal berikut.

Pertama-tama bahwa masyarakat awam dipulau Lombok masih beranggapan bahwa pribadi dan institusi yang bernama Tuan Guru adalah identik dengan Islam itu sendiri karenanya mesti dipahami bahwa Islam dan Tuan Guru adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah serangkaian ajaran hidup (way of life). Sementara Tuan Guru adalah sebuah pribadi dan dalam kapasitas tertentu juga berlaku sebagai sebuah institusi dalam sebuah komunitas (muslim suku Sasak). Betapapun Tuan Guru ingin menghayati dan mengamalkan prinsip-prinsip ajaran agama Islam, mereka dalam taraf tertentu juga menerima Islam secara parsial dan sesuai dengan pemahaman dan latar belakang (background) mereka dalam pengertian yang luas. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa apa yang kita sebut sebagai Tuan Guru yang berfungsi sebagai pemimpin dalam ranah kultural terkadang (dan sering kali terjadi) beralih ke ranah struktural (baca: politik) yang banyak mengandung berbagai macam konsekuensi yang tidak enak didengar dan disaksikan.

Atas dasar peralihan ranah kepemimpinan tersebut maka perpecahan dalam ranah struktural ini kemudian terus berlanjut dan merembet ke persoalan teologi. Sebagaimana yang juga telah dengan apik diperlihatkan dalam sejarah umat Islam. Yang akibatnya masyarakat mati-matian membela pribadi dan institusi yang bernama Tuan Guru ini. Lantas kepada Tuan Guru yang manakah kemudian pembelaan akan dilakukan?

Membela Tuan Guru yang semata-mata didasarkan atas identitas agama juga sangat berbahaya bagi keadilan dan kemaslahatan. Betapapun mulia ajaran sebuah agama, belum tentu mulia perilaku umatnya, termasuk dalam hal ini Tuan Guru. Di pulau Lombok misalnya, para pelaku korupsi, Tuan Guru yang berbuat cabul atau guru ngaji yang mencabuli murid-muridnya dan tingkah Tuan Guru yang tidak berkenan hadir untuk mengisi majelis ilmu jika tidak dijemput oleh sebuah mobil mewah dan selembar anplop tebal untuk sekedar berkah. Kita juga tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang Tuan Guru menentang cuci tangannya berbagai kerusakan hutan dan pencemaran serta kerusakan lingkungan hidup didaerah kita. Tak ada fatwa Tuan Guru menentang “penggusuran” tanah warga yang tidak sebanding ganti ruginya untuk dijadikan areal bandara internasional. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini. Yang ada hanya gemuruh dukungan para Tuan Guru untuk dukungan calon gubernur tertentu. Atau gegap gempita ceramah Tuan Guru di acara-acara pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi. Tentu kita tidak akan membela para palaku kejahatan itu meski ia mengaku Tuan Guru dan sangat taat beribadah.

Karena pada masa ini kita juga dengan lebih jernih dapat melihat evolusi Tuan Guru dalam perjalanannya. Dimana pada masa penjajahan bergejolak jumlah Tuan Guru relatif sangat banyak. Namun sejak era 70an jumlah Tuan Guru semakin menyusut. Pedikat Tuan Guru yang pada masa itu tidak mudah di dapat dan lebih banyak dalam aspek keagamaan. Dan pada masa penjajahan jumlah Tuan Guru mengalami penurunan. Predikat Tuan Guru pada masa sekarang (kontemporer atau Tuan Guru kholaf) juga mengalami perluasan yang dapat pula mencakup berbagai disiplin keilmuan akademis juga keagamaan.

Saat ini, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa Tuan Guru selain sebagai pribadi juga sebagai sebuah institusi dalam sebuah komunitas. Keberadaan Tuan Guru sebagai pribadi dan institusi ini juga dapat kita petakan dalam tiga katagori bahkan juga lebih, misalnya Tuan Guru pegawai negeri sipil (PNS), Tuan Guru politik dan Tuan Guru Independen.

Tuan Guru PNS berjumlah sangat banyak yang terikat oleh aturan kepegawaian dan umatnya relatif longgar. Sedangkan Tuan Guru politik jumlahnya sedikit, terikat dengan aturan kepartaian dan umatnya meliputi komunitas dalam partai bersangkutan. Sementara Tuan Guru independen jumlahnya sedikit, memiliki jaminan dari umatnya, terpengaruh oleh perubahan nilai dan lebih mengakar.

Demikian halnya jika kita kelompokkan berdasarkan pandangan keagamaan, maka Tuan Guru dapat kita identifikasi atas Tuan Guru yang berpandangan tradisionalis, Tuan Guru yang berpandangan modernis dan Tuan Guru yang berpandangan fundamentalis. Masing-masing pandangan ini memiliki perspektifnya sendiri-sendiri. Misalnya Tuan Guru tradisionalis cenderung apa adanya, bersikap statis, tidak mau menerima perubahan dari luar dan berpegang pada satu madzhab. Sedangkan Tuan Guru modernis cenderung bersifat dinamis, mau menerima perubahan dari luar baik yang berasal dari adat istiadat maupun pengaruh kebudayaan Barat dan mengambil dari berbagai madzhab. Sementara Tuan Guru yang berpandangan fundamentalis cenderung statis dan tidak mau menerima perubahan dari luar baik yang berasal dari adat istiadat terlebih pengaruh kebudayaan Barat, disamping keinginan kuat untuk melaksanakan ajaran Islam sebagaimana pada masa awal Islam.

Tuan Guru tradisionalis biasanya bertempat dan menyampaikan ajaranya di surau-surau dan dalam kelompok-kelompok tarekat. Sedangkan Tuan Guru modernis biasanya ditandai keterkaitannya dengan institusi atau organisasi semisal, majelis ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, para Tuan Guru Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Tuan Guru pada Departemen Agama (Depag) dan hakim-hakim agama. Sementara Tuan Guru fundamentalis misalnya banyak tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihat, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lainnya.

Dari kenyataan di atas, karenanaya untuk selalu menyatakan bahwa Tuan Guru selalu benar dan oleh karenanya selalu mesti dibela adalah kedzaliman. Tragedi-tragedi kemanusiaan di pulau Lombok dalam beberapa tahun yang lalu, dan relatif dalam masa-masa terakhir ini biasanya muncul dari pandangan semacam itu. Disini penulis tidak akan menyebutkan contohnya, cukuplah ia menjadi rahasia umum dalam masyarakat di pulau Lombok. Merasa pasti dan selalu benar yang oleh karenanya bisa membantai semua penentangnya.

Kita percaya bahwa agama yang kita anut (yakni Dienul Islam) mengajarkan kebaikan dalam bingkai kemaslahatan dan maqasid al-syariah. Tapi umat penganutnya yang juga Tuan Guru adalah insan yang serba kekurangan. Karenanya mari membela Islam sembari bersikap kritis terhadap Tuan Guru, juga terhadap umat agama apapun yang melakukan kejahatan dan pembenaran yang dilakukan yang mengidentikkan dirinya dengan agama.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id