Sabtu, 23 April 2011

Ahmadiyah, Indonesia dan Saya

Apa yang membedakan kedudukan warga minoritas dalam pemikiran saya dibandingkan dengan tradisi liberal? Hak-hak minoritas dijamin oleh sistem (negara): karena Negara kita adalah Negara hukum.


Namun, perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa di Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Sistem hukum dinegara kita tergusur oleh yang mendukung demokrasi deliberatif. Hal ini misalnya dapat disimak jika kita mencermati hak-hak minoritas di Indonesia yang selalu dihegemoni, lebih-lebih lagi saat berkaitan dengan persoalan keagamaan, khususnya Islam.


Mengapa hal ini terjadi di Indonesia? Barangkali akibat tumbuhnya benih-benih konflik antara tradisi dan modenitas. Agama sebagai sebuah tradisi, manakala berhadapan dengan modernitas. Kita menjumpai pertarungan sengit antara keduanya: tradisi dan modernitas, dan gagal mendamaikan keadaan tersebut.


Agama, dalam sejarahnya, tak pernah kaku. Di sana, kebudayaan memainkan peranan bermakna, yang sentiasa menyegarkan. Walau bagaimanapun, kebudayaan, adat istiadat tak pernah satu, sebaliknya beragam, serta sentiasa berubah. Dalam kebudayaan, termasuk juga agama. Mengikuti modernitasi, agama kemudian mendapat dampak yang sangat drastis. Karena itulah, banyak penganut agama berada di persimpangan jalan. Dan, komunitas muslim di Indonesia memang tersentak dengan arus modenitas yang tak terbendung. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?


Modenitas, lahir belakangan dari agama di Indonesia. Indonesia bisa dikatakan berhadapan dengan modernitas setelah merdeka. Sebelumnya, Indonesia masih terbelenggu oleh kolonialisme. Setelah modenitas merebak- dengan konsekuensi dan nilai-nilai yang diusungnya -maka unsur-unsur dalam keyakinan keagamaan mulai dipertanyakan. Singkatnya, Islam di Indonesia sebagai sebuah kebudayaan mulai dipertanyakan satu demi satu unsur-unsurnya.


Selanjutnya, serbuan modernitas ini menimbulkan berbagai bentuk perlawanan-perlawanan baru. Keadaan ini rupanya secara perlahan telah mengugurkan beberapa kesyakinan yang telah sekian lama diamalkan dan dijalani masyarakat beragama.


Keteguhan dan rutinitas dalam menjalani setiap bentuk kebudayaan ini adalah ciri masyarakat tradisional. Sementara, keteraturan (hukum) adalah ciri masyarakat modern. Tatkala adanya keteraturan, maka unsur-unsur tradisi, termasuk kategorisasi besar (great tradition), itu akan mulai mengalami pergeseran satu demi satu. Satu demi satu, nilai-nilai tradisi dipertanyakan dan digugat. Sementara, masyarakat -kian terbuka- akan mulai mencari wadah tempat berpijak yang lebih autentik, serta lebih rasional. Di Negara kita, Indonesia, dengan fungsi negara sebagai Negara hukum, Negara yang berbhineka tunggal ika dengan idiologi multikulturalistik-nya, maka negara kita sedikit demi sedikit kini mulai mengarah pada kemodernan dan kosmopolitanisme sebagaimana dinyatakan Cak Nur (alm).


Tapi, kosmopolitanisme kita seakan tanpa arah dan tanpa falsafah, meskipun dianggap ada, namun nasionalisme itu kini mulai dipertanyakan kembali urgensinya dalam membentuk Negara ini. Sistem, dan masyarakat kita sepertinya belum siap untuk berhadapan dengan kosmopolitanisme ini. Mental kita terlalu lemah, belum menemukan bentuknya. Ini dapat dilihat tatkala kita sering kehilangan pedoman tentang bagaimana memprediksi dan menghadapi berbagai bentuk krisis dan berbagai persoalan bangsa lainnya. Kegagalan ini bertitik tolak dari pembacaan terhadap berbagai rumusan dasar-dasar negara yang mentah. Indonesia ternyata belum selesai, demikian Max Lane. Tumbuh suburnya kalangan minoritas, bak jamur dimusim hujan, jelas merupakan gejala modenitas, yang mengungkapkan kegagalan kita dalam memapankan sistem berbangsa dan bernegara kita. Kasus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) misalnya, relevan untuk diungkap disini.


Dalam kasus JAI tersebut, kita mudah terbakar, menghalalkan darah sesame warga Negara bangsa ini (mengkafirkan dan istilah lainnya dalam bahasa agama) tatkala ada warga negara yang keluar dari kategorisasi besar masyarakat Indonesia yang nota bena mayoritas Muslim. Mereka dinyatakan sesat dari Islam/agama. Adakah Islam itu tak warna-warni? Ketimpangan nalar kita ini merupakan sebuah paradox. Kita berselingkuh di belakang pemahaman pembenaran dan penghakiman atas nama keyakinan yang kita tahu adalah merupakan hak prerogative Tuhan. Padahal, dilam sistem berbangsa dan bernegara kita yang multikultural, berpaut pada eksklusivisme tertentu cukup lemah kerasionalannya.


Bukankah pada dasarnya Konstitusi negara kita menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan? Dengan demikian dalam kasus JAI negara juga tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Sebagaimana yang tertuang dalam SKB tiga mentri. Tidak ada agama yang diakui dan tidak diakui di negeri ini. Negara harus netral agama. Jika harus ditanya mana yang lebih tinggi kedudukannya antara agama dan Konstitusi, maka Konstitusi menaungi semua agama untuk bisa hidup secara damai. Tidak ada satu agama yang harus diistimewakan atas agama yang lain. Kasus kekerasan atas nama agama sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap Konstitusi.


Memang ada produk perundang-undangan yang masih mencoba mengekang kebebasan beragama, seperti dalam UU PNPS 1965 tentang adanya lima atau enam agama yang diakui. Hal yang sama juga terdapat dalam KUHP pasal 156 a tentang penodaan agama. Meski begitu, kedua produk UU ini masih menyisakan perdebatan. PNPS 1965 sebetulnya tidak memberikan pernyataan eksplisit tentang beberapa agama yang diakui, kemudian serta merta yang lain menjadi tidak sah. Di sana hanya dicantumkan agama-agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, sementara bukan berarti bahwa agama lain yang belum banyak dianut itu tidak bisa hidup.



Demikian halnya pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama. Pasal ini bermasalah karena terlalu banyak membuka ruang tafsir tentang apa sesungguhnya yang disebut sebagai penodaan agama. Pada praktiknya, mereka yang mengaku memiliki otoritas agamalah yang selalu memaksakan penafsirannya mengenai siapa yang menodai dan siapa yang berpegang teguh terhadap agama.



Selanjutnya, terhadap praktik hukum di Indonesia yang kerapkali tunduk kepada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Atas dasar apa MUI harus dijadikan rujukan hukum?. Bukankah MUI dinegara kita tidak lebih dari sebuah Ormas yang tidak memiliki legitimasi apa-apa untuk menentukan paham mana yang sesat dan paham mana yang benar. Negara harus tunduk kepada hukum, bukan kepada kelompok-kelompok seperti MUI.



Mari kita lebih jernih melihat kedudukan fatwa dan sumber-sumber hukum dalam fiqh Islam.Melihat gejala yang ada, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu posisi agama dalam kehidupan sosial. Ada paradoks yang mesti diperhatikan dalam realitas agama. Secara doktrinal, agama mengkampanyekan keselamatan, kebahagiaan, dan perdamaian. Tetapi pada saat yang sama ia bisa muncul dengan wajah yang garang dan penuh kekerasan. Dalam konferensi tentang perdamaian dan HAM untuk memperingati 950 tahun kota Nuremberg, disimpulkan bahwa pesan perdamaian dan kasih sayang agama dapat didistorsi menjadi instrumen kebencian dan konflik.



Pada titik inilah diperlukan kebebasan berkeyakinan. Kebebasan berkeyakinan adalah manifestasi dari hak azasi manusia yang paling mendasar. Tidak ada sesuatu yang bisa menghalangi penerapan HAM sebab HAM adalah sesuatu yang dijamin secara konstitusional, HAM sesuai dengan hukum moral, HAM juga sesuai dengan hukum legal, HAM bersifat universal, dan juga internasional.



Pada tingkat internasional, kebebasan berkeyakinan dijamin di dalam Pasal 2 DUHAM: “Setiap orang berhak atas semua hak…tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama/keyakinan, politik atau pendapat yang berlainan….” Demikian pula Pasal 18 DUHAM yang menyebutkan “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama; hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan…” Instrumen internasional lain dapat ditemui dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; Kovenan Hak Sipol (Pasal 18); Kovenan Hak Ekosob (Pasal 2); Kovenan Hak Anak (Pasal 14); Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar (Pasal 9); Konvensi Amerika untuk HAM (Pasal 12); Konvensi Afrika tentang Segi Khusus Pengungsi dan Masalah di Afrika (Pasal 8); Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi atas Dasar Agama/Keyakinan (Pasal 1 – 3), dan lain-lain. Sementara di dalam negeri telah dikenal beberapa bentuk perundang-undangan yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan: UUD 1945 Pasal 28 e; UU No. 39/1999 Pasal 22 ayat 1; UU Nomor 11/2005 tentang Ratifikasi Hak Ekosob; UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik; dan lain-lain.



Keyakinan dalam perspektif ini dapat kita bagi dalam tiga bentuk keyakinan yakni keyakinan yang dijamin kebebasannya: keyakinan theistik, keyakinan non-theistik, dan keyakinan a-theistik. Hal ini tercantum dalan DUHAM pasal 18 yang menyatakan perlindungan terhadap keyakinan theistik, non-theistik, dan a-theistik, juga kepada agama atau keyakinan apapun.



Harus diakui bahwa memang belakangan ini muncul produk perundang-undangan yang mencoba menyalahi konstitusi dan mencoba mendesakkan upaya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada kasus-kasus semacam itu, maka kelompok progressif perlu melakukan constituional review atas semua UU atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bisa disalurkan kepada Mahkamah Konstitusi. Di samping itu, perlu juga diupayakan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan yang potensial bertentangan dengan UUD. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang menyediakan jalur untuk upaya kedua ini.



Sesungguhnya pelbagai kasus kekerasan agama belakangan ini membawa pelanggaran UU yang tidak sedikit. Pelanggaran itu bukan hanya terkait dengan aksi kekerasan, tetapi juga pengahasutan dan penyebaran kebencian di ruang publik. Ada pula upaya pembiaran (crime by omission) terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dengan masih minimnya proses hukum dan bentuk pencegahan terhadap aksi kekerasan yang terjadi. Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa jika kasus kekerasan agama tersebut diproses secara hukum, maka aparat hukum cenderungan menjadikan korban sebagai tersangka. Dalam hal ini, aparat secara langsung menjadi pelaku kekerasan itu sendiri (crime by commission).



Terkait dengan hal ini, maka setidaknya JAI membutuhkan adanya jaminan Konstitusi atas kebebasan beragama. Kendati begitu, pada tingkat tertentu kekebasan beragama ini juga dibatasi. Pasal 156 a dan UU No. 11/PNPS/1965 adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan beragama. Meski kebebasan beragama dijamin dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 (perubahan kedua), namun pembatasan itu bisa ditemui dalam pasal 28 j ayat 1 UUD 1945 (perubahan kedua). Kendati demikian, harapan masih terbuka lebar bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dengan diratifikasinya Kovenan Hak SIPOL melalui UU No. 12/2005.



Sebenarnya jika kita cermati beberapa kasus kekerasan yang ada justru tidak terlalu terkait dengan agama. Pemicu paling besar adalah masalah ekonomi politik. Agama seringkali hanya dijadikan sebagai tameng bagi kepentingan lain. Kasus-kasus kekerasan agama yang ada paling sering terjadi pada masa-masa ketika sedang terjadi gejolak politik lokal. Tampaknya, ada yang bermain di air keruh. Kasus sesat menyesatkan dijadikan alasan untuk sebuah mobilisasi massa bagi kepentingan politik tertentu. Meski begitu, kasus kekerasan, apapun motifnya, tetap harus diproses secara hukum


*****


Disisi lain, umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.


Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu.



Negara bisa dipaksa atau mungkin dipersuasi oleh ulama, terutama Majelis Ulama dan para ulama di Kementerian Agama karena petinggi negara terkait takut dinilai membela hak-hak beragama Jemaah Ahmadiyah. Mereka takut dinilai memusuhi umat Islam kalau menolak permintaan para ulama untuk mengkerangkeng jemaah Ahmadiyah.



Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.



Kita ingat bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh. Bukan soal paham agama betul.



Kita tahu banyak ulama besar pada masa keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu’tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, “tidak ada Tuhan selain Aku”; “Aku adalah Tuhan”, dan seterusnya.



Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.



Celakanya, para ulama yang berdiri di belakang SKB itu cukup tahu sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena mereka sudah bertemu dengan Allah dan mengatakan bahwa Allah membenarkan substansi SKB itu, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap kenyataan bahwa ini adalah Indonesia, negara Pancasila, bukan negara Islam.



Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.


Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri


*****


Sebenarnya fenomena yang kita alami ini telah lama dianalisis Habermas (juga Max Weber) mencermati dampak modenitas terhadap tradisi di Eropa saat itu. Kini, hal yang sama sebagaimana yang melanda tradisi di Eropa, juga kita alami di Indonesia. Hanya saja, objeknya yang berbea. Kali ini, masyarakat muslim di Indonesia juga kikuk dan kaget untuk menghadapi benturan sengit ini. Kasus penindasan minoriti JAI sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah sebuah ujian mengenai sejauh mana hak-hak minoritas di Indonesia. Hasilnya, kita gagal. Tapi, untungnya konflik ini belum (atau, agak sedikit soft) sampai pada tingkat perang.


Menyangkut sifat universal dari ajaran agama (Islam) disini menjadi menarik. Dalam kaca mata, Habermas, filsuf Jerman ini -termasuk Carl Schmitt yang merupakan lawannya- telah lama bergelut antara dikotomi penting dalam sistem yakni antara: perundang-undangan dan keabsahan. Menariknya adalah, melalui teori wacana-nya, Habermas tidak menolak fungsi agama dalam ruang publik. Dalam gagasannya, Habermas lebih menukik bahwa agama berupaya menjembatani kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Syaratnya, agama tersebut mestilah melakukan proses universalisasi atas ajaran-ajaran-nya.


Meskipun demikian, tindakan melarang JAI, dan kelompok minoritas-minoritas Islam lain di Indonesia, telah menghambat agama dan penganut agama untuk melakukan universalisasi ajaran-nya. Kekangan dan larangan terhadap kaum minoritas ini sekaligus mencitrakan Indonesia yang tidak lagi berbhineka tunggal ika atau pengakuan atas Indonesia yang berdasarkan hukum, sebagai Negara hukum. Kita seakan-akan takut pada perbedaan. Takut pada pembaharuan. Semua yang berbeda, mudah saja dikelompokkan sebagai, "menggugat keselamatan negara" “menggugat kebenaran agama mayoritas”.


JAI di Indonesia ibaratnya saat ini berada pada titik nadir. Kalangan minoritas ini menderita kerana perbedaan dalam keyakinan keimanan. Mereka kehilangan ruang peribadi, ruang public, ruang berbangsa dan bernegara dan ruang dalam menjalankan keyakinan keberagamaan mereka sebagaimana yang diatur dalam Negara hukum ini. Hak universal untuk mewacanakan keimanan menjadi daerah terlarang bagi mereka, dan di negara mereka sendiri memasung hal itu. Lalu, apa lagi ruang yang tersisa bagi mereka? Jawabannya menyesakkan, Nol Besar.


Dalam hal ini, Habermas dalam "Constitutional Democracy: A Paradoxical Union of Contradictory Principles?" menunjukkan keterkaitannya. Habermas menyatakan bahwa ketika hak individu dijamin dalam konteks kewarganegaraan, maka hal itu akan membebaskan hak politiknya. Keterkaitan antara perlembagaan dan demokrasi hanya bermakna setelah adanya kombinasi antara hak peribadi dan hak selaku warga: dan, masing-masing diperoleh dari sumber yang sama."


Kemelut minoritas yang terkikis hak-hak individunya ini sangat memprihatinkan. Ini kerana, kasus yang menimpa JAI sudah masuk pada persoalan diskriminasi. Dan lebih memilukan lagi, diskriminasi terhadap JAI ini dilakukan oleh aparat negara, dengan restu pemerintah. Dan dibenarkan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.


Maka, kini saatnya kita berduka. Kita lebih memilih diam dan menyaksikan kezaliman terjadi pada sesame warga bangsa yang minoritas. Lihatlah, betapa miskinnya pengetahuan dan pemahaman kita atas demokrasi yang kita usung. Demokrasi yang kita fahami rupanya mutlak milik mayoritas, dan minoritas tidak memiliki tempat, ruang dan hak-haknya. Demokrasi kita bukannya kebebasan wacana. Bukannya kebebasan media. Dan bukannya kebebasan berkeimanan dan berkeyakinan. Rupanya diam-diam dengan semangat ‘sosialis' yang paling ekstrim, negara berhasrat memilik-negarakan iman-mayoritas setiap muslim di Indonesia. Lalu, apakah negara seperti ini dapat mensejahterakan kita? Memberikan kedamaian, perlindungan dan kedudukan sama didepan hukum?


Masalahnya adalah: apakah pemasalahan ini harus kita diamkan, kita lupakan sebagaimana kasis-kasus berbangsa dan bernegara lainnya? Lalu, apa lagi yang akan kita tunggu -jika prinsip keadilan pun tidak ditegakkan? Ketika hak-hak minoritas tidak mendapatkan pembelaan sewajarnya, maka itu berarti negara kita telah kehilangan muka dan wibawanya. Karena, membela minoritas adalah ukuran berdemokrasi dalam sebuah negara-hukum. Bukan saja pada minoritas JAI, sebaliknya juga pada minoritas-minoritas lain. Mereka memiliki hak dalam melakukan universalisasi dan rasionalisasi atas pemahaman-pemahaman mereka.


Kini segalanya monolog. Tiada dialog. Sistem, hukum, serta dasar, hanya berkaca pada satu perspektif: kata pemerintah, SKB tiga menteri Dalam sistem yang tak mengorganisasi-dirinya ini, masyarakat hampir limpuh dan tak berperanan. Minoritas tak berperanan. Yang tersisa, hanyalah kata kekuasaan yang tidak komunikatif semata. Justeru, sekiranya kalangan minoritas ditindas, oleh pemerintah sekalipun, lalu kepada siapa lagi kaum minoritas ini akan mengadu?


Negara kita, dengan pemerintah dan keputusan hukumnya menyangkut hal ini sebetulnya adalah ancaman kepada keluhuran hukum. Pemerintah kita gagal memahami di mana batas kebenaran hukum-negara. Sebaliknya, menurut Habermas, negara yang baik adalah negara yang senantiasa bersedia untuk meralat dan berbenah diri. Setidaknya, negara akan sadar bahwa setiap hukum negara dalam negara-hukum itu tak pernah ada yang final, termasuk lembaganya sekalipun. Hukum mestilah bersifat mengayomi masyarakat. Bukannya dari sebuah suara tunggal pemerintah.


Meskipun begitu, untuk disalahkan para politisi secara seluruhnya, juga meski ditinjau ulang. Masyarakat, saya pikir juga turut menanggung dosanya. Masyarakat (termasuk insan akademik) kita tampaknya tak terdidik untuk kritis, dan pemerintah juga seakan (sama seperti penjajah!) cenderung memupuk masyarakat menjadi demikian. Saat masyarakat tak kritis, maka pemerintah akan bergembira dan berdiam diri.


Akhirnya, tragedi minoritas JAI adalah bukti mutakhir yang mewarnai ketak-kritisan masyarakat berbangsa dan bernegara kita. Ternyata, kalangan JAI dihukum hanya kerana secuil iman. Dan, nilai iman mereka rupanya telah diseka dengan sebuah tanah air yang terpasung martabatnya. Anggota JAI diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama!

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id