Senin, 02 Mei 2011

HANDPHONE, HANDPHONE…..

Komputer, laptop, PDA, handphone, flashdisk, internet, siapa yang tidak kenal dengan itu semua? Bahasa technology telah merubah perilaku masyarakat kita. Konsumerisme, menjadi sebuah gaya hidup baru masyarakat perkotaan. Mereka tidak lagi menjadikan technology sebagai sebuah kebutuhan, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Coba bayangkan bagaimana rasanya kalo pada tahun 70-an orang bisa mengirim surat satu menit sampai ke Amerika? Mungkin yang terjadi adalah orang akan memborong dan mengganduli technologi yang bisa melakukan itu. Saat itu technology bisa menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak, sebuah jalan keluar yang dicari banyak orang.

Kini keadaan sudah berubah, masyarakat dunia telah terpengaruh arus globalisasi. Yang ada dibenak mereka adalah mengikuti perkembangan jaman kalo tidak ingin disebut ketinggalan jaman. Masyarakat kebanyakan lebih mendengarkan “apa kata orang” bukan lagi berdasarkan”apa yang benar dan apa yang tidak benar”. Orang rela menyewa mobil mewah padahal dirinya tidak punya kapasitas itu. Ini mereka lakukan demi sebuah gengsi, sebuah tuntutan jaman mengikuti arus modernisasi. “apa kata orang” menjadi sebuah symbol, menjadi sebuah barometer bagi kehidupannya, kalo tidak ingin disebut ketinggalan jaman.

Lantas, perkembangan sekarang tidak saja kearah fashion, tapi juga technology telah menjadi sebuah lifestyle. Coba lihat ke sekolah-sekolah, apa yang paling sering dimainin anak-anak? Jawabnya bukan buku atau pulpen, tapi handphone! Mereka ke sekolah tidak lagi sekedar untuk belajar, tetapi untuk gaya-gayaan. Konsumerisme telah merasuki jiwa mereka, tentu hal ini berbahaya bagi perkembangan selanjutnya. Jaman sekarang orang lebih mementingkan penampilan luarnya, bodo amat moralnya, etikanya, sopan-santunnya, tata kramanya. Coba yang handphone nya paling bagus di sekolah pasti dia juga paling sering pamerin HP nya. Tidak peduli feature nya, fungsinya, kegunaannya, yang penting harganya paling mahal. Walau sebenarnya dipakenya cuman buat SMS an doang, (karena ga mampu beli pulsa), tapi kenapa orang rela kredit HP yang mahal? Ini adalah sebuah tuntutan jaman mengikuti “apa kata orang”.

Konsumerisme identik dengan egoisme. Biasanya orang-orang yang seperti ini lebih mementingkan dirinya sendiri. Karana yang dilihat orang pada dirinya dianggap sebagai label. Ini orang kaya, ini orang miskin, ini orang kampung, ini orang kota, dengan gampangnya orang melabeli seseorang dari penampilan luarnya. Lantas, karena tidak mau dilabeli yang buruk-buruk, lalu orang berlomba-lomba untuk mendandani penampilan luarnya saja. Kalo sudah begini, sebenarnya hanya rekayasa belaka, karena dengan gengsi, dengan barang-barang wah, derajat seseorang dianggap naik. Dengan HP mahal seseorang menjadi lebih disegani, dengan mobil BMW, (padahal boleh minjem) seseorang menjadi lebih terpandang. Begitu juga dengan technology, technology yang seharusnya mempermudah pekerjaan manusia, di plesetkan sedikit menjadi barang gengsi. Sony ericsson K300i digenggam oleh orang-orang biasa, tetapi Sony ericsson P990i digenggam oleh para eksekutif kelas atas. Begitu juga dengan laptop, pda, computer, dan perangkat technology lainnya. Makanya jangan heran kalo ponsel berlapis emas dijual dengan harga sangat tinggi dan edisi terbatas (padahal technology nya kalah jauh sama ponsel biasa). Sedangkan ponsel biasa yang feature nya jauh lebih canggih, justru jauh lebih murah harganya. Begitulah, lifestyle sudah menjadi sebuah kebutuhan, barang (technology) sudah berubah fungsinya menjadi pelengkap gaya hidup. Label seseorang adalah barang apa yang dimilikinya….tidak peduli dari mana asalnya.

Apakah manusia benar-benar memerlukan handphone? Di era serba canggih seperti saat ini, rasanya ada yang kurang seandainya kita tak punya handphone. Memang manusia tak akan mati hanya gara-gara tak punya handphone. Tapi benda mati yang satu ini telah menyebabkan demikian banyak manusia mengalami ketergantungan kronis. Jika seorang karyawan pergi ke kantor dan lupa membawa handphonenya, hampir dapat dipastikan ia akan kelabakan sehari penuh.

Apa sebenarnya fungsi utama handphone? Tentu saja, untuk mempermudah komunikasi. Handphone memungkinkan kita menelepon sambil berjalan kaki di trotoar jalan, atau ketika kita berada jauh dari rumah. Handpone adalah sebuah teknologi yang jauh lebih fleksibel daripada telepon rumah, karena ia tanpa kabel dan bisa dibawa ke mana-mana.

Tapi manusia adalah makhluk yang tak pernah puas. Rasanya kok ada yang kurang jika handphone hanya bisa dipakai untuk menelepon dan ber-SMS ria. Tentu asyik jika lewat handphone kita juga bisa mendengarkan siaran radio, memutar MP3, main game, bahkan menonton acara televisi.

Maka, fungsi handphone pun kini bergeser jauh. Ia tidak lagi sekadar mempermudah komunikasi manusia. Handphone masa kini adalah sebuah produk teknologi yang memanjakan gaya hidup dan keinginan manusia yang tak ada habis-habisnya.

Kian hari, kian banyak orang yang memiliki handpone. Handphone bukan lagi barang mewah, tapi telah berubah menjadi benda yang amat dibutuhkan, bahkan oleh tukang ojek dan kuli bangunan sekalipun.

Permintaan terhadap handpone - beserta segala macam aksesorisnya - terus bertambah. Ini - antara lain - menyebabkan toko handphone menjamur di mana-mana. Jika di sebuah ruas jalan ada 10 toko, 4 atau 6 di antaranya adalah toko handphone. Toko handphone tidak hanya terdapat di jalan besar. Ia juga hadir di gang-gang kecil, bahkan di perkampungan yang sepi.

Handphone kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup manusia. Padahal fungsi utamanya hanya untuk mempermudah urusan komunikasi.

Tidak percaya? Lihatlah iklan-iklan handphone di televisi. Yang mereka tonjolkan bukan kecanggihan tertentu di bidang komunikasi, tapi kecanggihan kameranya, fitur Radio FM-nya, MP3 playernya, bahkan desainnya yang stylist dan keren abis.

Lihat pulalah perilaku saudara, tetangga atau teman-teman kita. Mereka rela mengganti handphone hanya dengan alasan, “HP jadul gue udah kuno banget. Gue mau ganti dengan yang lebih canggih gitu loch.”

* * *

Apakah manusia benar-benar memerlukan buku? Buku adalah sahabat sejati manusia sejak zaman dahulu. “Buku adalah guru yang tak pernah marah”. Di dalam buku terkandung demikian banyak pengetahuan, wawasan, dan/atau keterampilan. Ini amat berharga bagi perkembangan kecerdasaran dan pemikiran kita. Tanpa buku, tak mungkin kita menjadi orang sukses seperti saat ini. Tanpa buku, tak mungkin ada internet, saya tak mungkin membuat tulisan ini, Anda pun mungkin tak pernah mengenal saya.

Maka, tak dapat dipungkiri bahwa manusia sangat membutuhkan buku. Memang, manusia tak akan mati hanya gara-gara tidak membaca buku. Tapi tanpa membaca buku, manusia tak ubahnya seperti - maaf - hewan yang hidupnya begitu-begitu saja, tak pernah berkembang dari waktu ke waktu.

Apa sebenarnya fungsi utama buku? Seperti disebutkan di atas, buku adalah jendela pengetahuan. Buku adalah gerbang menuju demikian banyak “harta” karun yang bisa memperkaya hidup kita, membuat hidup kita jauh lebih berkualitas dari sebelumnya. Buku memiliki fungsi dan peran yang amat penting bagi peradaban umat manusia.

Tapi apakah buku telah menjadi gaya hidup kita? Berita buruknya: BELUM! Kita belum bisa memperlakukan buku seperti handphone. Toko handphone ada di mana-mana, bahkan hingga gang kecil sekalipun. Tapi toko buku hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tertentu.

Kita rela mengeluarkan uang Rp 2 juta bahkan lebih untuk bergonta-ganti handphone. Tapi kita merasa amat berat untuk mengeluarkan uang Rp 30.000,- atau Rp 50.000,- untuk membeli buku.

Kita bangga memamerkan handphone kita pada orang lain. Tapi kita takut dicap “kutu buku”. Hampir semua media massa, film, sinetron, hingga cerpen dan novel, menggambarkan orang yang gemar membaca buku sebagai manusia yang kaku dalam bergaul, berkaca mata tebal, dan penampilannya kuno. Sebuah pembunuhan karakter yang sangat sadis, tapi kita menikmatinya sambil tertawa-tawa, sebab sosok si kutu buku di sinetron sering terlihat sangat lucu.

Orang yang rajin membaca buku seharusnya pintar, intelek, berwawasan luas sehingga sangat layak untuk dikagumi dan dijadikan panutan, NAMUN secara tragis justru dihadirkan sebagai jenis manusia yang paling memalukan di atas dunia ini.

Benarkah buku akan membuat kita menjadi kuno? SAMA SEKALI TIDAK! Bagaimana caranya sehingga para pakar bisa menciptakan handphone yang serba canggih? Salah satunya, karena mereka rajin membaca buku!

Bagaimana caranya sehingga para pebisnis televisi berhasil membuat acara-acara yang menarik sehingga kita-kita para penonton ini jadi terbius dan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap televisi? Salah satunya, karena mereka membaca buku tentang “cara memanjakan pemirsa dengan acara-acara yang menarik.”

Maka, buku justru merupakan sarana yang memungkinkan manusia menikmati kehidupan yang jauh lebih modern. Buku adalah sarana yang bisa membawa kita menuju peradaban yang jauh lebih baik.

“Buku bisa melahirkan handpone” tapi “handphone tak bisa melahirkan buku” (kecuali buku panduan yang disertakan pada setiap kardus handphone baru).

Masalahnya, kita begitu mencintai handphone, tapi kita menganaktirikan buku. Kita memperlakukan handphone sebagai bagian dari gaya hidup. Tapi kita memperlakukan buku tak lebih sebagai beban yang dipakai ketika ada hal-hal mendesak yang menyebabkan kita terpaksa membaca buku.

Sekarang, mari kita bertanya pada diri masing-masing; Apakah handphone yang amat kita cintai itu bisa membuat hidup kita jauh lebih berkualitas dari sebelumnya? Apakah handphone kesayangan kita itu mampu membuat kita menjadi manusia yang jauh lebih pintar dari sebelumnya?

Jika jawabannya adalah tidak, lantas kenapa kita masih lebih mencintai handphone ketimbang buku? Entahlah……

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id