Kamis, 12 November 2009

"Kami" Lahir, "Aku" Mati

Ada yang menarik dan terungkap dalam acara diskusi dan bedah buku “Kita and Kami : The Basic Modes Of Togetherness” karya Prof. Dr. Fuad Hasan –Guru Besar Fakultas Psikologi UI- (Pada Kompas 1 April 2006). Fuad dalam karyanya tersebut menyatakan bahwa berbagai sengketa yang kita hadapi secara sosial, kolektif ataupun individual seringkali disebabkan karena kegagalan kita menerima orang lain sebagai orang lain tanpa mereduksinya.
Sebagai pembahas dalam diskusi tersebut Dr. Haryatmoko –Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI- menjelaskan bahwa pertentangan antar agama yang terjadi selama ini dapat disoroti dengan mode kebersamaan “kami” itu. Yakni dimana dalam sengketa antar agama orang-orang agama cenderung masuk dalam kebersamaan “kami” bukan pada kebersamaan “kita”. Hubungan kebersamaan dalam mode “kami” dibangun atas pengalaman dimana yang lain tidak termasuk dalam kebersamaan. Hal ini mengakibatkan kebersamaan tersebut selalu dalam potensi konflik.
Adapun dalam hubungan kebersamaan dalam “kita” dibangun atas dasar kesalingan, tidak mengarah kepada komunikasi manipulatif dengan demikian hasilnya adalah kebebasan dan tanggung jawab yang eksistensinya menjadi bermakna lewat dialog dengan yang lain. Dalam “kita”, yang lain dianggap sebagai mitra yang membantu mencapai kebersamaan yang tulus dan saling membantu melampaui konflik kepentingan.
Sedangkan makna kebersamaan dalam “kami” adalah suaka untuk melarikan diri dari situasi yang melingkupi dirinya, yang tidak mampu mengaktualisasi diri, tidak mau menerima tanggung jawab atau eksistensi dirinya dan substitusi bagi ketidakmampuan individu dalam dunia ”kita” dengan yang lain. Hal ini berakibat pada tunduknya secara totalitas terhadap otoritas, konformisme hingga pada destruksi diri.
Dalam “kita” terkandung kebebasan dan tanggung jawab yang mengarah kepada koloni individu muncul secara bertahap kesuatu “diri” dan sadar akan eksistensi dirinya. Wal hasil adalah afirmasi diri yang mengacu kepada keberanian untuk menjadi bagian kebersamaan.
Dari sinilah kita dapat membaca tentang adanya suatu kesulitan-kesulitan pengidentifikasian yang dapat melahirkan kondisi psikologis yang membuat seorang manusia malah dengan berani melenyapkan sang “aku” atau malah melenyapkan orang lain. Hal tersebut oleh Radhar Panca Dhana (2001) diidentifikasi lebih diakibatkan dari hasil warisan tradisi ketimbang sebuah problemasi filsafat. Dimana konsep “aku” hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuatan (sosial, politik, ekonomi dan militer) bahkan akhirnya dianggap supranatural. Oleh sang “aku” ini, manusia lain dianggap hanyalah sahaya, awam, kerumunan, seperti yang sering kita alami. Membahasakan “aku” selalu dengan bahasa plural “kami” padahal ia menunjuk personal tunggal. Sebuah contoh yang memperlihatkan bagaimana kita tidak lagi memiliki perangkat (intelektual atau psikologis) yang cukup untuk melihat kenyataan sang “aku” kecuali melalui refleksi sang “kami” (masa atau orang lain).
Maka sang “aku” pun lahir untuk dilenyapkan dengan sang “kami” habitus baru kita menyatakan bahwa massa atau masyarakat tidak bersalah, maka seluruh kejadian, segala bentuk kekerasan dan kekejaman jikalau ia mengatasnamakan “kami” baik itu atas etnik, ras, agama, partai, organisasi masyarakat, dan lainnya hal tersebut disahkan. Secara sosiologis, massa bermakna kerumunan orang dalam jumlah besar. Dulu, massa merujuk pada mayoritas masyarakat Eropa yang tidak terpelajar, atau kalangan yang sering disebut “kelas menengah kebawah”, “kelas pekerja” atau ”kaum awam”. Dan hal tersebut nampaknya lebih berkonotasi negatif.
Adalah seorang pencetus psikologi massa, Gustav Le Bon, mengidentifikasi massa sebagai kerumunan orang yang tidak dapat dipilah-pilah. Lebur menjadi satu. Lebon dengan demikian menyatakan bahwa massa adalah gerombolan manusia yang tidak lagi mampu perpegang pada norma, nilai, etika, agama atau apapun, ketidakmampuan untuk memegang kepercayaan menguasai semangat massa. Jika ada yang memulai tindak destruktif, maka semua anggota massa akan mengikutinya secara kompak dan akur. Kekaburan akan tanggung jawab orang per orang inilah yang barangkali disebabkan oleh hilangnya identitas ke”aku”an sebagai pribadi, personal tunggal.
Massa kata Jean Baudrillard bagaikan balck hole (lubang hitam) yang senantiasa menyosor lambat laun, mereka menjadi “gembrot” dan tergeletak layu, layaknya orang yang kekenyangan. Hubungan sosial sebagai salah satu daya sosial menjadin sirna. Ibarat laron, disaat cahaya panas memancar, laron akan beterbangan mengitarinya seraya menikmati kehangatannya, namun dalam euphoria kehangatan itu pula laron-laron ini gosong terbakar menemui ajal.
Musa kazim (2001) mengemukakan ciri-ciri kebudayaan massa sebagai berikut : pertama, pelaku kebudayaan hanya menjadi obyek (terobjektivasi). Hal ini berarti manusia ialah mahluk pasif, tidak berfikir dan selalu mengandalkanpetunjuk-petunjuk empiris (eksternal) untuk merumuskan konsep-konsep hidup. Ia akan selalu mengambil kesimpulan tentang dirinya dari prilaku yang nampak. Hal ini seperti kasus seorang pegawai yang merasa tidak bersalah menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa serupa juga dilakukan oleh atasannya. Wajar. Kedua, pelaku mengalami alienasi yakni merasa asing dari dan dalam lingkungannya. Bukankah untuk hal ini, kita juga menyadari bahwa manusia modern pada umumnya merasakan ada didunia, tapi tidak merasakan menjadi bagian dari ‘dunia’. Dunia disini mencakup orang lain, sanak kerabat, institusi, masyarakat alam dan lingkungan hidup. Terdapat kebingungan mendasar tentang bagaimana menjalani hidup, mengemban amanah. Bahkan kepekaan terhadap amanah apa, bagaimana, mengapa dan siapa, lambat laun menghilang (Q.S. Al Ahzab ayat 72).
Ketiga, pembodohan terjadi karena waktu yang terbatas tanpa ada pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna. Sebagaimana yang dituangkan oleh Zohar dan Ian Marshall (Dalam Musa kazim, 2001) bahwa kita buta pada tataran symbol dan makna yang lebih mendalam. Hal ini diakibatkan oleh kedunguan manusia secara spiritual terhadap nilai-nilai fundamental. Kita memang tidak buta warna, tetapi hampir pasti kita buta makna.
Setelah menanggapi kesimpulan di atas, Sapardi Djoko Darmono menyatakan bahwa, kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran dengan perhitungan dagang, untung-rugi dan cenderung merusak kebudayaan yang lebih edukatif dengan cara meminjam, mencuri, memperalat dan menghisap. Potensi selanjutnya ia menampakkan pengaruh yang sangat buruk yang pada akhirnya hal tersebut akan berpengaruh pada kepasipan dan sensitivitas untuk mempertahankan status quo. Hingga titik ini, kematian sang “aku” semakin terasa dipercepat oleh masuknya alam pikiran rasional Barat, lewat ilmu dan filsafat, lewat modernisasi dari dalam rahim materialisme, humanisme dan kapitalisme modern.
Sejarah bangsa kita memang tidak mengenal proklamasi politik atau etik yang menegaskan eksistensi sang “aku” namun bukan tidak ada sama sekali, perlawanan melawan dominasi diri absolute raja sebagaimana yang dilakukan Ken Arok, hingga Chairil Anwar menyerukan sang “aku” melalui sajaknya. Chairil lah yang satu-satunya mengibarkan bendera sang “aku” untuk sebuah pembebasan dari belenggu yang lebih kuat, massa, sang “kami”. Kitapun diingatkan oleh Descartes dengan cogito ergosumnya, Nietzche dengan uebermansch nya atau sarte lewat eksistensialismenya. (Manjadi Manusia Indonesia, Radhar Pancha Dhana. 2001).
Melalui refleksi itulah kita kembali harus belajar. Setidaknya beberapa hal tersebut di atas juga turut andil dalam menimbulkan kesemerawutan kehidupan sosial, politik, budaya dan sifat arogansi yang kontra produktif. Hal ini setidaknya dilatarbelakangi pula oleh anggapan, pertama, anggapan yang menganggap bahwa kita adalah kerumunan massa dalam sang “kami” yang dapat dibentuk menjadi apa saja sesuai dengan arah (kehendak) program kebijakan. Kedua, anggapan bahwa dengan bebas sang “aku” dan sang “kami” dapat membentuk kehidupan menurut kemauan sang “aku” masing-masing. Karena itu berbagai persoalan yang kita hadapi hanya mungkin di atasi dengan perubahan dalam persfektif sang “aku” untuk masing-masing pribadi.
Kedua kecendrungan tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga terdapat sesuatu yang kurang. Dengan demikian kita dengan sejujurnya dapat menyatakan bahwa sang “aku” kini tidak lagi utuh, ia disempurnakan oleh “kami”, massa. Lalu bagaimana sang “aku” meski menerjemahkan dan mengaktualisasikan eksistensi dalam sang “kami”. Dalam hal ini ketidakharusaan sang “aku” untuk menerima pernyataan-pernyataan politik, kebudayaan, kekuasaan ekonomi, intelektual bahkan tradisi menjadi hal yang tak terbantahkan. Dalam pemahaman ini tiap sang “aku” diberikan kepercayaan untuk menegakkan eksistensi ke”aku”annya, lewat caranya sendiri. Disamping menciptakan ruang dan alat komunikasi yang memadai dari setiap karya kreatif.
Hingga titik ini kita tidak perlu lagi memandang psimis pada bahasa yang mengalami kesulitan serius untuk melakukan diskursus yang mampu mengejawantahkan atau menciptakan kenyataan, sebagaimana diyakini kaum strukturalis bahkan ditingkat spekulatif sekalipun. Menghadapi situasi demikian, alangkah baiknya kita kembali belajar menjadi sang “aku” tanpa teralienasi oleh sang “kami” bukan karena ego, namun lebih kearah penunjukkan eksistensi diri. Diri yang bertanggung jawab, diri yang bebas hirarki, diri yang proporsional dan professional menggunakan bahasa dalam hubungannya dengan interaksi sesama.
Bukan sang “kami” dalam pelarian dan ketidakmampuan, dalam ketidakbertanggungjawaban, atau dalam kekerdilan jiwa yang teralienasi. Melalui proses sang “aku” yang sungguh-sungguh inilah kita dapat mengharapkan hasilnya, walau tentu masih sekian lama. Bisakah proses itu menumbuhkembangkan kesadaran kita, selaku sang “aku” yang sebenarnya, mau tak mau sang “aku” yang harus menentukan.

1 Comment:

arwan-spkp said...

jadi, kapan kita akan bersua dan bercengkerama lagi?
hehehe...

terbutin buku jadi ngga? mumpung masih dijogja, ada beberapa penerbit yg bisa dihubungi loh..

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id