Minggu, 13 Desember 2009

BOOK REVIEW Konflik Dalam Yurisprudensi Islam

BOOK REVIEW

Noel J Coulson. 2001. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam. (Terj. Fuad) Yogyakarta: Navila


  1. Pendahuluan

Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia, memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tapi sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya, selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang sebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran keagamaan1

Akibat lebih lanjut dari kedudukan fiqh yang diidentikkan dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh yang biasanya disebut fugaha, juga mempunyai kedudukan tinggi, bukan saja sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi sebagai penjaga hukum agama itu sendiri. Secara sosiologis kedudukan demikian itu memberi hak-hak istimewa dan peranan tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada gilirannya akan mempengarahi cara pandang dan cara piker fuqaha itu sendiri. Ketika seorang faqih dari suatu masa menuliskan tintanya menjadi kitab fiqh, maka sebenarnya itu tidak terlepas dari cara pandang dan cara pikirnya yang sebagian atau seluruhuya diwarnai oleh kedudukan sosialnya tadi2

Hal ini yang dikemudian hari dapat menyebabkan konflik dasar antara wahyu Tuhan atau akal manusia (pemikiran fuqaha). Di sini, sebenarnya terjadi siklus yang menarik diamati yakni bahwa untuk menjaga dan memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang disebut faqih atau fuqaha, dan untuk memelihara status diri mereka, maka para fuqaha memerlukan kehidupan fiqh yang tinggi. Kadang-kadang fiqh yang dipeliharanya itu adalah produk para pendahulunya, tapi kadang-kadang juga produksinya sendiri. Ironisnya, produk-produk pemikiran fiqh itu dianggap sebagai identik dengan hukum Tuhan itu sendiri, sebagaimana telah disebutkan di muka. Demikian kesalahpahaman yang terjadi di kalangan sementara orang Islam, tidak terkecuali di Indonesia dalam memandang fiqh.

Sejak masa pembentukan hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat tentang apakah hukum Islam hanya bersumber dari wahyu atau akal juga berperan dalam memahami hukum Islam. Perdebatan ini dapat dilihat dalam beberapa kitab ushul Fiqh, antara Asy'ariyah, Mu'tazilah dan Maturidiyah. Kelompok Asy'ariyah memandang bahwa hukum Islam hanya diketahui dari wahyu Tuhan, sedangkan Mu'tazilah memandang bahwa hukum Islam dapat diketahui dengan akal manusia, adapaun Maturidiyah sebagai tindakan kompromi antara keduanya yaitu bahwa hukum Islam berasal dari wahyu Tuhan dan dapat diketahui dengan akal manusia. Perbedaan pendapat seperti ini juga terjadi dalam pandangan para ahl al-hadist dan ahl ar-ra'yi, sejak masa awal pembentukan hukum Islam yang berlanjut kepada terbentuknya mazhab Maliki dan Hanafi. Perdebatan dua aliran ini dikompromikan oleh Syafi'i dengan metode analogi (Qiyas).3

Perbedaan pendapat yang terjadi kemudian -di era sekarang ini- tentang apakah hukum Islam sebagai hukum Islam bersifat sacral dan tidak dapat dirubah, ataukan dapat berubah sesuai dengan perubahaan permasalahan, waktu dan tempat serta perkembangan zaman. Konflik dalam yurisprudensi Islam adalah merupakan buah karya Noel J Coulson (selanjutnya kita sebut Coulson) seorang pengajar hukum-hukum ketimuran di Universitas London. Buku ini mengetengahkan penyelidikan Prof. Coulson mengenai hakikat hukum Islam dengan cara menuji enam sifat yang berlawanan yakni wahyu dan akal, kesatuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealism dan realism hukum dan moralitas, serta stabilitas dan perubahan, disamping itu, dalam bukunya ini Coulson mencoba menguraikan tentang sejarah perkembangan hukum Islam yang diperankan oleh para hakim dan mufti.4

Disisi lain ada fenomena yang menarik dan dapat dengan mudah terlihat dalam studi hukum Islam yakni adanya beberapa konsep yang berpasangan, misalnya konsep tentang zahir dan batin, muhkamat dan mutasyabihat, qat’i dan zanni, akal dan wahyu, serta idealis dan realis dan sebagainya. Persoalannya yang mungkin timbul adalah bagaimana memahami dan mendudukkan konsep-konsep tersebut secara proporsional. Karena tidak dapat dipungkiri akan adanya pihak yang melihat secara dikotomis fenomena konsep yang berpasang-pasangan tersebut. Apakah kita dapat berkata bahwa tidak ada dikotomi di antara konsep-konsep yang berpasangan itu hal inilah yang diamati oleh Noel J. Coulson, yang pada mulanya merupakan bahan-bahan kuliah berserinya di Chicago University, Amerika Serikat.

Coulson terlebih dahulu berbicara tentang konflik dan ketegangan yurisprudensi Barat yang pada pokoknya merupakan produk dari berbagai macam filsafat hidup dan ideologi politik yang telah menemukan polanya dalam peradaban Barat, dan berbeda pandang tentang nilai-nilai tertinggi dan tujuan hidup manusia. Namun, pertanyaan fundamental tentang hukum Islam, lanjut Coulson, dijawab untuk yurisprudensi Islam, dalam arti yang tidak ada kompromi dan secara prinsip tidak mengenal konflik dasar, menurut keyakinan agama itu sendiri. Hukum adalah sistem tentang perintah-perintah Tuhan yang ditentukan secara ketuhanan. Menolak prinsip ini pada dasarnya berarti meninggalkan keimanan dalam Islam.5

Selanjutnya, Coulson memberi pengertian yurisprudensi Islam sebagai keseluruhan proses aktivitas intelektual yang memastikan dan menemukan istilah kehendak Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam suatu sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Dan di dalam inilah terdapat istilah-istilah referensi yang ketat dan menimbulkan konflik dan ketegangan6 Oleh Coulson, konflik itu dikatakan bermula dari konflik antara wahyu dan akal, kemudian merembet kepada persoalan kestuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealisme dan realisme, hukum dan moralitas, serta stabilitas dan perubahan.7

Akan tetapi, di tempat lain, Coulson mengatakan bahwa memang hubungan masing-masing kutub tersebut tampak berbeda, dan bahkan bertentangan. Namun jika dicermati akan dapat dipahami bahwa masing-masing secara simbolis saling berhubungan dan bersifat komplementer, dan bukan saling bertentangan8 Bertolak dari pandangan Coulson tersebut, maka bagaimana sebenarnya pilihan konflik yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang fiqh, berikut akan di uraikan dalam book review kali ini.


  1. Sense of Academic Crisis

Noel James Coulson menggambarkan bahwa adanya konflik dalam yurisprudensi Islam berawal dari adanya pertanyaan-pertanyaan menyangkut siapa yang memiliki otoritas untuk menetapkan kebenaran dalam Nash (Al Qur’an dan As Sunnah) dalam yusrisprudensi Islam? Apa arti yang tepat berkenaan dengan norma-norma perilaku sosial yang terkandung didalamnya? Dengan wewenang macam apa arti yang tepat itu diungkapkan dan ditentukan dalam bentuk peraturan-peraturan yang sah yang harus dipatuhi oleh pengadilan dan penanganan hukum yang bisa diberikan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang oleh Coulson harus dijawab oleh para ahli hukum Islam (fuqaha).9

Selanjutnya Coulson menyatakan bahwa secara singkat yurisprudensi dalam Islam merupakan proses aktivitas intelektual menyeluruh yang memastikan dan mengungkapkan batasan-batasan kehendak Tuhan dan mentransformasikan ke dalam system hak-hak dan kewajiban yang dapat diselenggarakan menurut hukum. Dalam istilah seperti itulah yang menurut Coulson konflik-konflik muncul dalam pemikiran hukum Islam10


  1. Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madzhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadits dalam memahami ayat-ayat Qur'an dan kelompok kedua, adalah mereka yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan dipelopori Imam Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah. Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab fiqh yang berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi tempat kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional. Imam Syafi'i sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.11

Tesis Imam asy-Syafi’I mengungkapkan bahwa perlunya akal manusia untuk menetapkan aturan hukum terhadap situasi yang secara nyata atau secara khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. Tetapi akal Manusia yang demikian ini tidak dapat digolongkan sebagai ra’yu. Sebab akal di sini tidak bisa dipakai sebagai sumber hukum terlepas dari kehendak Tuhan dalam mencapai tujuan apapun yang diinginkan para ahli hukum. Fungsi akal adalah mengatur kasus-kasus yang baru dengan cara memberlakukan kasus baru tersebut diatas prinsip wahyu Tuhan yang telah mengatur kasus yang sama atau pararel. Proses ini dikenal dengan qiyas (anologi). Oleh karena proses anologi harus menemukan tempat bertolaknya dalam perwujudan kehendak tuhan yang telah diterima, akal manusia terbatas dalam pelaksanaan dan pengembangan hukum Tuhan dan tidak dapat menjalankan sendiri terlepas dari wahyu12


Penelitian lain, dilakukan oleh Muhammad Amziyan.13 Amziyan melakukan kritik yang ekstensif terhadap ligika positivism dan mengajukan sejumlah prinsip dan criteria untuk membangun suatu meodologi Islami. Dengan focus pada persoalan metode ini, Amziyan menguraikan sejumlah criteria dengan tujuan utama memasukkan wahyu sebagai suatu sumber intrinsik penalaran ilmiah. Disamping itu, Amziyan juga menekankan perlunya mentrandensikan difinisi ilmu positifistik untuk tujuan menggabungkan wahyu kedalam wilayah ilmu. Hal ini menurut Amziyan meski dilakukan secara komprehensif dimana baik nilai-nilai maupun konsep-konsep Qur’ani digunakan untuk mengarahkan penelitian ilmiah.

Bagi Amziyan, wahyu dapat member kontribusi pada pengembangan teori-teori social dengan tiga cara yang berbeda yakni: pertama, wahyu dapat memberikan informasi yang akurat tentang watak kehidupan social yang mula-mula. Kedua, wahyu dapat meluruskan persoalan metafisika pengetahuan social tentang penciptaan dan evolusi manusia. Dan akhirnya wahyu dapat membantu untuk memformulasikan dan menemukan hokum-hukum social.14 Lebih dari sekedar merumuskan metode yang memungkinkan membawa statemen-statemen Qur’ani ke dalam proposisi social secara akurat, Amziyan juga membandingikan apa yang ia sebut dengan “gradasi sosial” (tadaruj ijtima’i) ilmu social islami dengan ilmu social kapitalis dan marxis.

Atas dasar pemikiran di atas Kuntowijoyo melontarkan ide Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu ini selanjutnya tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya namun juga mencoba mentransformasikan menuju cita-cita yang diidamkan masyarakat. Dalam perkembangannya Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imran, ayat 110. Dan Ilmu Sosial Profetik juga mencoba menggabungkan kemampuan kritis ilmu sosial dan nilai-nilai agama dalam satu bingkai paradigma ilmu sosial yang utuh dan integral. Agama yang dalam khazanah ilmu sosial kontemporer dianggap berada diluar wilayah ilmu pengetahuan, hendak dibawa kembali masuk sebagai bagian sah dari ilmu sosial.15 Mungkin yang menyebabkan Ilmu Sosial Profetik menjadi problematis dan kontroversial adalah posisi epistemologisnya yang juga mengakui wahyu sebagai bagian sah dari sumber pengetahuan -sebagaimana yang diutarakan sebelumnya- Kontroversial, karena ilmu sosial modern sudah terlanjur mencampakkan wahyu dalam kategori mitos atau metafisika yang tidak mempunyai dasar empiris. Problematis, karena ide ini dapat saja serta merta dipahami oleh para penganutnya dalam perspektif teologis-normatif, sehingga kita akan susah membedakan mana wilayah ekonomi mana teologi, mana empiris mana normatif. Dalam konteks ini, Ilmu Sosial Profetik memiliki sebuah agenda besar yakni rekonstruksi epistemologis.

Selanjutnya adalah gagasannya Kuntowijoyo menyangkut paradigma al-Quran untuk perumusan teori. Dalam banyak tulisan mengenai Ilmu Sosial Profetik, gagasan ini dipandang sebagai salah satu dasar dari ide Ilmu Sosial Profetik. Nampak disini Kuntowijoyo merumuskan gagasannya dengan pendekatan teologis. Kuntowijoyo menyatakan, apa yang disebutnya sebagai paradigma al-Quran itu tak lain adalah mengakui adanya struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas. Maksudnya adalah pengakuan mengenai adanya ide murni yang bersifat adimanusiawi atau bangunan ide transendental yang bersifat otonom dan sempurna. Persis di sinilah gagasan ini menjadi teologis karena masih mengasumsikan kesempurnaan ide dan sifatnya yang dari Tuhan. Konsekwensinya adalah wahyu itu dalam Ilmu Sosial Profetik diposisikan lebih tinggi daripada realitas atau rasio.

Surat Ali Imran (3): 110 selain menjadi landasan Kuntowijoyo dalam merumuskan tiga unsur Ilmu Sosial Profetik juga menginspirasikan akan pentingnya kesadaran dalam proses-proses sejarah. Nilai-nilai ilahiah (amar ma’r u f, nahi munkar) menjadi tumpuan aktifisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika materialistis. Pandangan kaum marxis bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran.16 Dengan ini Ilmu Sosial Profetik berniat untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure. Feminisme menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran. Ilmu Sosial Profetik membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora.

Heru Nugroho menyebut pandangan ini dengan istilah Hegellianisme Relijius. Pandangan Kuntowijoyo ini tidak jauh beda dengan paham idealisme para penganut Hegel. Namun ada perbedaan mendasar yaitu bahwa dalam idealisme hegellian, kesadaran rasional (ruh absolut) merupakan motor penggerak sejarah umat manusia, sedang dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik, kesadaran yang menggerakkan sejarah adalah kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai ilahiah. 17 Jika demikian apakah ini berarti Kuntowijoyo menganut konsep determinisme sebagaimana dinyatakan Heru?. Ilmu sosial selama ini terombang-ambing di antara dua kutub ekstrem determinisme. Marxisme menganut determinisme materi dengan konsepnya bahwa structure menentukan superstructure, sedang sosiologi Weberian menganut determinisme kesadaran. Weber meyakini bahwa kesadaran independen dari basis material, karenanya ide bisa menggerakkan perubahan. Sepintas kita melihat bahwa Ilmu Sosial Profetik dekat dengan konsep Weber ini. Tapi tampaknya kesan ini kliru karena Kuntowijoyo sesungguhnya juga mengakui adanya kesadaran material. Kesadaran material adalah kesadaran yang ditentukan oleh basis materialnya.18

Pandangan deterministis, baik determinisme material maupun determinisme kesadaran, sama-sama ahistoris dan bersikap apriori terhadap realitas. Dalam logika Marxis, structure itu bersifat obyektif, dalam arti independen dari kehendak (subyektifitas, kesadaran) manusia. Karena itu kesadaran, kehendak, dan subyektifitas manusia (superstructure) menjadi tidak bermakna karena structure menentukan superstructure. Subyektifitas manusia ditundukkan di bawah obyektifitas-obyektifitas material. Dalam kenyataannya, tidak pernah ada sebuah penundukan yang berlangsung secara total. Obyektifitas material memang seringkali sangat hegemonik, tapi subyektifitas tidak pernah benar-benar mampu ditundukkan secara total. Selalu ada ruang-ruang emansipatoris bagi subyektifitas kesadaran manusia untuk keluar dari hegemoni materi. Sebaliknya, logika determinisme kesadaran akan menyatakan bahwa subyektifitas, ide, dan kesadaran itulah yang akan menentukan structure (basis material) karena superstructure menentukan structure. Pandangan ini menafikan realitas bahwa terdapat orang-orang yang kesadarannya bersifat sangat materialistis. Kesadaran material adalah kesadaran yang sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi materialnya. Karena itu, kedua bentuk determinisme itu sama-sama bermasalah, karena realitas sesungguhnya bersifat dialektis, tidak deterministik. Realitas sosial berjalan di atas ketegangan dialektis antara structure dan superstructure, antara basis material dan kesadaran, antara obyektifitas material dan subyektifitas manusiawi.

Ilmu Sosial Profetik tidak boleh terjebak dalam logika deterministik yang bersikap apriori terhadap realitas. Artinya untuk menentukan apakah dimensi material ataukah kesadaran yang saat itu lebih berperan, Ilmu Sosial Profetik hendaknya mendasarkan diri pada pengamatan empiris atas realitas. Karena realitas itu terlalu kompleks untuk dijelaskan melalui konsep deterministik. Pandangan deterministik justru akan memaksa realitas untuk mengikuti teori, sedang teori seharusnya berdasar realitas, bukan sebaliknya. Walaupun demikian, penting bagi Ilmu Sosial Profetik untuk tetap memiliki keberpihakan etis sehingga dapat tetap memainkan fungsi kritisnya dalam menghadapi realitas. Dalam konteks inilah kita dapat menyetujui pernyataan Kuntowijoyo bahwa kesadaran diletakkan di atas basis material, karena Islam mengidealkan fungsi kritis kesadaran dalam proses transformasi sosial

Menyangkut sumber pengetahuan (wahyu, realitas empiris dan rasio) dalam Ilmu Sosial Profetik haruslah diletakkan secara dialektis, karena itu wahyu tidak dapat dilepaskan dari realitas. Wahyu yang lepas dari realitas hanya akan menjadi ide abstrak yang tidak berhubungan dengan realitas kemanusiaan. Wahyu haruslah senantiasa dipahami dalam relasinya dengan realitas empiris. Karena keterkaitan yang tak terpisahkan dengan realitas maka teori-teori sosial yang tercipta menjadi bersifat temporal. Ide-ide dalam kitab suci, secara teologis, memang diyakini bersifat universal dan abadi, tapi sepanjang dalam kaitannya dengan konteks sosio historis yang khusus maka makna yang terbentuk darinya menjadi temporal. Pemahaman seperti ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, tapi dikaitkan dengan realitas kontemporer di mana ia muncul.19 Memang kadang ia berhubungan dengan masa lalu melalui analisis-analisis historis tapi dalam konteks ini masa lalu hanya penting dalam rangka memperjelas realitas kekinian. Jika berbicara tentang masa depan, itupun sebatas pada mempersiapkannya sebagai bentuk muatan utopis dalam teori sosial yang berfungsi kritis

Dari sini lalu muncul persoalan lain, dari manakah kita mesti memulai, dari realitas atau dari ide? Paham positivistik meyakini dengan sepenuh hati bahwa kita harus memulai dari realitas karena realitaslah yang merupakan sumber yang valid dari ekonomi. Tapi benarkah kita dapat sepenuhnya berangkat dari realitas? Dalam kenyataannya, kita tidak bisa melakukan aktifitas ilmiah dalam ruang hampa tanpa ide. Seorang peneliti tidak dapat masuk dalam realitas dalam kondisi vacuum tanpa konsep apapun. Walaupun konsep itu tidak dinyatakan secara eksplisit, tapi disadari atau tidak, otak manusia adalah konstruksi dari berbagai macam ide yang membentuk cara berpikirnya. Karena itu ide tidak bisa dilepaskan begitu saja. Jadi ide dan realitas adalah dialektis. Realitas mempengaruhi ide, ide juga ikut berperan dalam mengkonstruk realitas. Kita tidak perlu bersikukuh untuk berangkat dari realitas karena pada dasarnya otak kita tidak pernah sepi dari ide. Ide dan realitas harus didialektikakan dalam proses penelitian sosial20 termasuk ekonomi Islam.

Memang, sebagian orang mungkin akan keberatan terhadap hal ini, dengan mengatakan bahwa dimasukkannya ide-ide abstrak keagamaan seperti keimanan, kehidupan kemudian dan lainnya akan menjadikan Ilmu Ekonomi Islam menjadi tidak dapat dikelola (unmanageable). Menurut Chapra hal tersebut tidak meski demikian karena kepentingan utama dari seorang ahli ekonomi bukan aspek-aspek transendental dalam keimanan, tetapi lebih merupakan dampak dari sudut pandang dunianya, nilai-nilainya dan lembaga-lembaganya terhadap individu dan masyarakat dan terhadap variabel-variabel ekonomi21


  1. Topik-Topik Pemikiran

Noel J. Coulson melihat adanya beberapa konflik dasar dalam hukum Islam yaitu:


Konflik antara Wahyu dan Akal

Pertama konflik antara wahyu dan akal. Sebenarnya persoalan pokok dan amat sentral dalam pembahasan hukum Islam bertumpu pada konflik antara wahyu dan akal, dari konflik inilah kemudian muncul masalah-masalah lain.22

Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madzhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadits dalam memahami ayat-ayat Qur'an dan kelompok kedua, adalah mereka yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan dipelopori Imam Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah. Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab fiqh yang berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih member tempat kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional. Imam Syafi'i sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.23

Ciri dari 150 tahun Islam yang pertama, ialah adanya kebebasan pemikiran hukum dalam upaya memecahkan berbagai masalah yang secara khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. Norma hukum semacam ini seperti yang ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah pada dasarnya dipandang tidak lebih sebagai modifikasi ad hoc dari adat yang ada. Hukum adat yang berlaku masih merupakan norma tingkah laku yang diterima kecuali kalau digantikan secara khusus oleh ketentuan-ketentuan wahyu Tuhan. Dan kalau keadaan baru menimbulkan problem baru, hal ini diserahkan kepada ahli hukum (faqih) berdasarkan pertimbangan yang dipandang sesuai. Dalam proses mengungkapkan pendapatnya yang dikenal dengan ra’yu, setiap orang bebas memperhitungkan faktor-faktor yang ia anggap relevan. Tetapi sikap pragmatis ini segera menjadi persoalan setelah munculnya upaya sistematisasi pemikiran teologi dan filsafat24

Menurut Coulson, hukum Islam yang dilukiskan sebagai hukum Tuhan sekaligus hukum yang dilahirkan oleh para fuqaha memberi peluang munculnya konflik dasar antara wahyu Tuhan dan pemikiran manusia (fuqaha). Dalam Bab ini Coulson ingin membahas peran masing-masing yang dimainkan oleh dua elemen yang berbeda ini dalam pembentukan hukum Islam. Yang menjadi kajiannya adalah hukum-hukum Islam yang telah dirumuskan dalam masa kalsik atau tradisional pada abad pertengahan.25 Coulson menilai Al-Qur’an dan as-Sunnah secara bersama-sama tidak meliputi pengertian sebagai kitab undang-undang yang komprehensif. Materi hukum yang dikandungnya adalah sebuah koleksi dan putusan-putusan yang berangsur-angsur terhadap persoalan-persoalan khusus yang tersebar luas dalam berbagai topik yang berbeda, jauh dari penggambaran sebuah substansi kesatuan kumpulan tulisan hukum, ia hampir-hampir tidak nampak sebagai satu sistem hukum yang sederhana sekalipun26

Dalam Bab ini, Coulson memaparkan adanya pertentangan antara dua kelompok yakni kelompok ahlu al-hadis dan ahlu ar-ra’yi. Kelompok ahlu al-hadis percaya bahwa setiap hukum harus berasal dari Al-Qur’an dan hadits. Sedangakan ahlu ar-ra’yi adalah sekelompok orang yang berpandanagn bahwa penggunaan akal bebas untuk menguraikan hukum adalah sah dan perlu. Ketegangan antara dua kelompok ini muncul sejak lahirnya yurispendensi Islam khusunya menyangkut tentang antara unsur wahyu Tuhan dan unsur manusia didalam penetapan hukum.27

Imam Asy-Syafi’i menjadi penengah dalam konflik dua kelompok ini. Ia membuat rumusan kompromi didalam konflik ini pada awal tahun-tahun awal abad kesembilan. Imam Asy-Syafi’i berdiri kokoh dibelakang prinsip Ketuhanan yang mengilhami Sunah Nabi, disisi yang lain ia mengakui perlunya akal manusia untuk menetapkan aturan hukum terhadap situasi yang secara nyata atau secara khusus tidak diatur oleh wahyu Tuhan. Namun al-imam menegaskan bahwa akal manusia tidak dapat digolongkan sebagai ra’yu. SeBab akal manusia tidak dipakai sebagai sumber hukum. Oleh karena itu menurutnya peran akal manusia harus ditempatkan dibawah prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh wahyu Tuhan. Proses ini dikenal sebagai qiyas (analogi).28

Tesis Asy-Syafi’i menjadi dasar penjelasan terperinci dari teori hukum Islam klasik. Sejak abad ke 10 dan seterusnya telah dicapai satu konsensus (kesepakatan) bahwa norma hukum harus diambil dari Al-Qur’an, as-Sunnah atau kesimpulan melalui proses qiyas. Perlu diingat bahwa teori hukum klasik mengakui dalam beberapa kasus, penerapan analogi yang kaku mungkin dapat membawa ketidak adilan; dan dalam keadaan demikian maka dibolehkan memakai bentuk pemikiran yang lebih liberal. Walaupun praktek ra’yu sebagaimana dipraktekkan orang-orang sebelum asy-Syafi’i, namun hal itu diberi istilah yang lebih canggih dan disebut dengan istihsan (mencari penyelesaian yang lebih adil) atau istislah (mencari penyelsaian yang terbaik untuk kepentingan umum).29

Untuk menjelaskan interaksi unsur wahyu Tuhan dan akal manusia, dan cara kerja berbagai prinsip hukum serta metode pemikiran, Coulson mengambil dua contoh kasus tentang Ilmu waris. Mengapa Ilmu waris yang dipilih oleh Coulson, alasannya adalah: Pertama, tidak ada topik dalam hukum Islam yang berciri individu yang lebih tegas dalam topik tentang pewarisan. Ketelitian di dalam penentuan prioritas para ahli yang sah, penetapan jumlah hak mereka, pada umumnya dipandang oleh para Ulama sebagai puncak prestasi pemikiran hukum dan masterpiece dar keseluruhan sistem hukum. Bahkan menurut Nabi, hukum waris merupakan ”setengah dari ilmu pengetahuan manusia.”Kedua, hukum warisan merupakan bagian integral dan vital dari hukum keluarga dan dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai titik pusatnya, karena system peioritas dan nilai kuantitatif telah ditetapkan hak dari masing-masing sanak family berasal dari posisi dimana sanak family itu menempati dalam skema pertalian dan tanggung jawab kelurga.30 Kasus pertama Coulson mengambil contoh kasus harta milik Saad.

Saad adalah sahabat dekat dan pembela Nabi yang menemui ajalnya pada salah satu peperangan dalam ranka berjuang menegakkan agama Allah. Istri Saad mengadu kepada Rasulullah bahwa dia dan 2 orang anak perempuannya, ditinggal tanpa harta sedikitpun, karena seluruh harta milik Saad telah diambil oleh saudara laki-laki Saad yang menuntut harta waris sesuai hukum adat suku sebagai orang terdekat menurut keturunan garis laki-laki. Kemudian Rasul memutusakan bahwa istri almarhum Saad semestinya mendapat bagian dari harta tersebut seperti yang telah ditentukan Al-Qur’an yakni 1/8 ; dua orang anak perempuan masing-masing 1/3 jadi keduanya secara bersama-sama mendapat 2/3 dari harta; sedangkan saudara laki-laki Saad mendapatkan sisa (asabah), dalam kasus ini jumlah bagiannya menjadi 5/24 dari harta31

Kasus kedua adalah kasus Rasulullah wafat yang pada waktu itu dihadap oleh khalifah Umar, kemudian dikenal dengan sebutan al-himariyyah. Menghadapi tugas pembagian harta peninggalan antara suami almarhumah, ibu, saudara laki-laki seibu dan saudara laki-laki kandung, pertama-tama Umar menetapkan bahwa kaidah pembagian seperti yang diucapkan Nabi seharusnya diterapkan secara sistematik, para ahli waris menurut Al-Qur’an mengambil bagian mereka dan kemudian keturunan dari garis laki-laki mengambil sisa. Hasilnya sangat disayangkan sepanjang menyangkut saudara laki-laki kandung, karena disini tidak ada ahli waris yang unggul untuk mengeluarkan saudara lakilaki seibu, yang sebagai ahli waris menurut al-Qur’an berhak atas bagian 1/3, suami mendapat bagian ½ dan bagian ibu 1/6, maka habislah semua harta peninggalan, sehingga tidak ada sisa untuk saudara laki-laki kandung. Hukum waris yang ditawarkan oleh al-Qur’an secara total mengalahkan hukum adat atau tradisi yang seharusnya saudara laki-laki memiliki keutamaan dalam perspektifnya. Dalam kasus ini saudara laki-laki kandung mengajukan gugatan banding kepada Umar. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak mencari keuntungan dari pertalian garis laki-laki melalui ayah yang memiliki hak pertama berhadapan dengan sauadar seibu, setidak-tidaknya mereka tidak dirugikan dan jatuh lebih buruk dari pada saudara seibu. Mereka berpendapat suadara almarhumah, sauadar laki-laki seibu dan mereka sendiri (saudara lakilaki kandung) semuanya mempunyai ibu yang sama, semua ini menjadi dasar tuntutan mereka. Intinya mereka menuntut kesamaan/keadilan dengan saudara laki-laki seibu32

Umar menerima keabsahan argumen ini, merevisi keputusan aslinya, dan memerintahkan atas 1/3 sisa harta waris setelah tuntutan suami dan ibu dipenuhi, sisa harta tersebut semestinya di bagi sama kepada saudara laki-laki seibu dan sudara laki-laki kandung. Masalah ini disebut dengan masalah ”himariyyah” berasal dari cara saudara laki-laki kandung mengungkapkan argumentasinya bahwa mereka diijinkan untuk melepaskan ikatan keturunan laki-laki dan mengabaikan ayah mereka, mewarisi karena hubungan matrilineal33

Umar menerima keabsahan argumen ini, merevisi keputusan aslinya, dan memerintahkan atas 1/3 sisa harta waris setelah tuntutan suami dan ibu dipenuhi, sisa harta tersebut semestinya di bagi sama kepada saudara laki-laki seibu dan sudara laki-laki kandung. Masalah ini disebut dengan masalah ”himariyyah” berasal dari cara saudara laki-laki kandung mengungkapkan argumentasinya bahwa mereka diijinkan untuk melepaskan ikatan keturunan laki-laki dan mengabaikan ayah mereka, mewarisi karena hubungan matrilineal

Keputusan Umar dalam masalah himariyyah merupakan keputusan kontroversial, dan menjadi perdebatan yurispendensi di kemudian hari menyangkut masalah yang melibatkan seluruh pertanyaan tentang peran akal manusia di dalam menjelaskan hukum Islam. Satu sisi mempertahankan bahwa keputusan Umar pada contoh kasus di atas, pengeyampingan saudara laki-laki kandung dari pewarisan merupakan keputusan yang lebih sistematik dan benar dalam prinsip. Bagi mereka akal manusia terbatas hanya melalui analogi terhadap peraturan kasus-kasus baru dengan aturan-aturan yang sudah tetap yang bersumber dari Allah. Disisi lain, akal manusia diberi kebebasan lebih luas. Dalam kasus-kasus khusus analogi yang kaku dapat mendatangkan ketidakadilan, maka akan diperbolehkan memecahkan masalah dengan pertimbangan-pertimbangan yang wajar, cara ini dinamai “Istihsan” atau pilihan yang pantas.34

Dalam Bab ini, Coulson menilai kasus-kasus diatas merupakan perkembangan hukum Islam melalui spekulasi yuridis. Dalam menciptakan struktur hukum secara lengkap, hubungan wahyu Tuhan dan akal manusia terjalin begitu dekat dan hampir tak dapat dipisahkan. Dalam kenyataannya, pemikiran para fuqaha melakukan pemikiran yang cukup bervariasi. Ini mengabadikan norma-norma hukum adat yang sudah ada dengan merumuskan proposisi bahwa wahyu Tuhan secara diam-diam mengesahkan hukum adat jika wahyu tidak secara jelas menolaknya. Analogi digunakan untuk memperluas putusan-putusan wahyu Tuhan yang spesifik, sedangkan Ihtihsan mengesahkan penyimpangan kaidah dari analogi untuk mencapai suatu pemecahan yang dianggap lebih tepat.

Menurut Coulson, dalam konflik ini, sebenarnya berkenaan dengan bidang wewenang dan peran akal, sebagimana yang sudah ada dalam yurisprudensi tradisional yang hanya berkenaan dengan cara, karena dengannya tujuan ini dapat dicapai. Dari sudut ini hukum Islam adalah hukum Tuhan, dan sekaligus hukum buatan manusia. Lebih jauh menurut Coulson, dalam pemikiran yurisprudensi Islam dua deskripsi tersebut adalah saling melengkapi dan tidak saling kontradiksi.

Menyangkut konflik antara wahyu dan akal ini, Atho’35 menyatakan -sebagimana digambarkan di atas- bahwa memang sejak awal pertumbuhannya telah ada pihak-pihak yang berpendirian, aturan yang disebut hukum Islam itu tidak boleh terkena intervensi akal manusia karena hukum Islam itu adalah kebenarannya mutlak yang hanya diatur dengan wahyu. Meskipun pandangan ini bersifat utopis karena kenyataan, jumlah ayat al-Qur'an mengenai hukum itu hanya sedikit sekali (kurang lebih 276-500 ayat), dan karenanya tidak meliput semua aspek kehidupan manusia, apalagi aspek-aspek kehidupan yang merupakan produk perkembangan zaman modern, tapi pandangan ini telah mempunyai pengaruh dalam memberikan label bahwa produk pemikiran fiqh itupun merupakan upaya menafsirkan kehendak Tuhan yang bersifat abadi dalam bidang hukum. Inilah yang menyebabkan lahirnya pandangan yang telah membiarkan fiqh sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lalu dan cenderung mengekalkan produk pemikiran manusia yang semestinya temporal dan liable terhadap perubahan. Kesalahan dalam melakukan pilihan antara wahyu dan akal, atau lebih tepatnya kesalahan dalam memberikan porsi peranan wahyu dan akal ternyata telah membawa pada kejumudan fiqh itu sendiri yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis dalam berpuluh-puluh jilid, sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan pemikiran manusia. Tapi karena hukum Islam dipandang identik dengan fiqh, maka kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun menjadi tabu mendapatkan revisi. Jadi, kesalahan dalam melakukan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan akal telah mempunyai dampak yang serius dalam sejarah perkembangan -atau lebih tepatnya ketidak-berkembangan fiqh


Konflik antara Kesatuan dan Keragaman

Kedua, konflik antara kesatuan dan keragaman, yaitu bahwa hukum syari'ah diyakini sebagai hukum yang tunggal dan aturan tingkah laku yang seragam yang ditentukan oleh Allah bagi seluruh makhluk-Nya di bumi. Akan tetapi dalam kenyataannya, hukum syari'ah yang tunggai tersebut dapat dipahami secara beragam. Konflik tersebut dapat dikompromikan dengan konsep ijma' (consensus). Konsep ini merupakan prinsip persetujuan secara bulat dari para fuqaha yang berwenang mengeluarkan pendapat, memiliki otoritas yang mengikat dan absolut.

Sabda Nabi yang berbunyi “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat dari Allah” dipandang oleh Noel J. Coulson dapat menjelaskan sekaligus menjustifikasi yurisprudensi Islam, terutama menyangkut adanya pandangan yang sangat bervariasi dalam ajaran fiqh yang dirumuskan oleh para fuqaha. Maka Coulson juga menjelaskan, dalam batas-batas tertentu konflik antara kesatuan dan keragaman dalam doktrin hukum Islam adalah alami dan merupakan konsekuensi logis dari dua elemen pokok dari hukum Islam yaitu antara wahyu Tuhan yang menunjukkan faktor pasti dan konstan, dan akal manusia yang menunjukkan faktor berubah-ubah, termasuk di dalamnya adanya konflik antara sesuatu yang ideal dengan keadaan yang sebenarnya.36

Menurut Coulson pula di dalam yurisprudensi Islam, setidak-tidaknya dalam ajaran klasik, diyakini bahwa hukum syari’ah itu ada sebagai pemahaman tunggal dan aturan tingkah laku yang seragam yang ditentukan oleh Allah bagi seluruh makhluk-Nya di atas bumi. Oleh karena usaha akal manusia dalam rangka memahami dan menggambarkan hukum ideal ini bersifat relatif, konsekuensinya menurut Noel adalah beragamnya hasil pemikiran yuridis tentang isi syari’ah telah diterima sebagai satu kenyataan.37

Salah satu contoh yang diberikan oleh Coulson yaitu dalam teori politik Islam yang meletakkan ide masyarakat Islam sedunia atau umat di bawah satu penguasa tunggal atau khalifah, sementara dalam realitas sejarah masyarakat Islam telah terbagi-bagi secara politis ke dalam berbagai negara yang independen. Maka berdasarkan pemikiran hukum yang demikian fenomena adanya kesatuan dan keragaman dalam doktrin hukum benar-benar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari yurisprudensi Islam. Dalam pepatah Arab klasik dikatakan “Barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan berarti belum pernah merasakan harumnya fiqh.”38

Selanjutnya Coulson menjustifikasi yurispendensi Islam bahwa adanya pandangan yang sangat bervariasi dalam ajaran fiqh yang dirumuskan oleh para fuqaha. Dengan mengambil contoh perbedaan mazhab dalam mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali yang masing-masing mazhab ini mempunyai keadaan asal yang khas. Coulson menilai ada fenomenan perbedaan antara mazhab Hanafi dan Maliki dengan mazhab Syafi'i dan Hanbali. Mazhab Hanafi dan Maliki bercirikan pemakaian bebas akal manusia untuk mengatur kasus-kasus yang secara khusus tidak ditentukan dengan Al-Qur'an atau keputusan Nabi. Sedangkan mazhab Hanafi dan Maliki merefleksikan tradisi dan lingkungan sosial yang khusus dari dua lokasi yang berbeda. Berbeda dengan maszhab Syafi'i dan Hanbali, mereka berdua berdiri kokoh dibelakang prinsip akan pentingnya Sunnah Nabi yang menurut mereka telah dikalahkan oleh bentuk-bentuk penggunaan akal oleh mazhab-mazhab sebelumnya. Namun Noel menjelaskan bahwa sejak abad ke-9, keempat mazhab tersebut mendukung satu teori umum yang secara prinsip sama menyangkut sumber hukum. Dengan adanya tujuan umum yang sama dikalangan mereka, menjadikan persaingan awal diantara mereka lambat laun semakin memudar. Perbedaan local geografis atau prinsip yuridis menghilang dan mazhab-mazhab tersebut saling menganggap kumpulan doktrin mereka sama-sama sah untuk menetapkan hukum Tuhan dan sama-sama versi yang sah dari syari'ah Islam39

Coulson menilai bahwa kondisi yang membuat harmonis diantara mazhab-mazhab tersebut adalah doktrin konsensus atau ijma. Doktrin Ijma ini mewakili criteria pokok otoritas hukum dalam Islam dan menopang seluruh struktur teori hukum. Ini adalah prinsip bahwa persetujuan secara bulat dari para fuqaha yang berwenang mengeluarkan pendapat memiliki otoritas yang mengikat dan absolut. Seluruh proses Yurispendensi Islam, dari definisi tentang sumber hukum, hingga cara-cara penetapan hukum yang didasarkan yang didasarkan pada sumber hukum tersebut merupakan usaha pemikiran manusia. Yang demikian itu telah menjadi ijma, dan ijma itu sendiri yang memberikan otoritas terhadap proses yang demikian. Sebab, pada akhirnya ijma itulah yang menjamin keontetikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai materi dari wahyu Tuhan.40

Menyangkut konflik antara hukum Islam sebagai kesatuan dan hukum Islam sebagai keragaman ini, Atho’ menyatakan bahwa Hukum Islam sebagai kesatuan artinya, karena hukum Islam itu adalah hukum Tuhan maka semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat Islam di dunia.41 Tapi pada kenyataan kita melihat, fiqh yang dipandang identik dengan hukum Islam itu bermacam-macam. Kita mengetahui terdapat berbagai madzhab dalam fiqh. Sekarang kita -seperti yang diungkapkan Coulson di atas- melihat madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam, yang sebelumnya lebih merupakan ekspresi lokal.42 Demikianlah perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara pandangan yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan pandangan yang mengatakan hukum Islam itu partikular. Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa pandangan pertama telah mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan.

Selanjutnya Atho’ menambahkan bahwa, bagi kita kaum Muslim Indonesia, hukum Islam yang dianggap universal itu sebenarnya adalah produk fuqaha dari suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu masa tertentu di masa silam. Kitab-kitab fiqh yang kita pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab fiqh yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, dan merupakan ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Jadi, selain sudah tua, kitab-kitab fiqh yang kita pelajari itu mengandung ekspresi lokal di Timur Tengah sana. Artinya kitab-kitab fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia dipandang universal tadi. Begitulah, mengidentikkan fiqh dengan hukum Islam yang universal, telah mengakibatkan mandeknya perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini43


Konflik antara Otoritas dan Kebebasan

Ketiga, konflik antara otoritas dan kebebasan, yaitu tentang apakah seorang hakim memiliki kebebasan dalam menentukan hukum atau harus mengikuti otoritas hukum yang telah diakui. Upaya untuk memahami hukum Tuhan dari sumbernya disebut ijtihad. Pada awalnya, para ulama memiliki kebebasan penuh untuk berijtihad, namun kemudian terjadi pembatasan-pembatasan ruang ijtihad ini.

Noel J. Coulson dalam dalam hal ini mencoba mempertanyakan “Otoritas apa sehingga doktrin yang dihasilkan mampu menguasai praktek baik bagi ahli hukum yang tugasnya menjelaskan hukum secara rinci maupun bagi hakim yang tugasnya mengaplikasikan hukum?” Coulson juga mempertanyakan dalam interpretasi teks wahyu Tuhan yang telah diterima umum atau dalam peraturan menyangkut kasus yang baru, apakah seorang hakim atau ahli hukum memiliki kebebasan personal untuk memutuskan, atau diwajibkan mengikuti otoritas yang diakui?44 Menurut Coulson pada dasarnya sifat hukum syariah itu sementara dan spekulatif dan karena keterkaitan di dalamnya hati nurani keagamaan yang total, konflik ide-ide kebebasan individu dan otoritas yang mengikat dalam konteks ini sangat akut45

Untuk menanggapi pertanyaan Coulson di atas ada baiknya kita menengok kembali kepada sejarah perjalanan produk pemikiran hukum Islam, menurut Atho Mudzhar sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam, yaitu: kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim. Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khasnya tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri pula46

Produk pemikiran hukum Islam yang berupa keputusan-keputusan pengadilan agama oleh seorang Qadi atau hakim pada dasarnya melahirkan putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur’an, As Sunnah dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya). Adapun putusan-putusan tersebut sifatnya mengikat kepada pihak-pihak yangberperkara, dan sampai tingkat tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha memberi jawaban atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan pada suatu titik waktu tertentu. Selanjutnya dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang bertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).47

Berbeda halnya dengan produk pemikiran hukum Islam yang berupa kitab-kitab fiqih pada saat di tulis pengarangnya, dimana kitab-kitab itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, meskipun dalam sejarah kita mengetahui, beberapa buku fiqh tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang. Kitab-kitab fiqh ketika ditulis juga tidak dimaksudkan, untuk digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya masa laku ini, maka kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus berlaku untuk semua masa, yang oleh sebagian orang lalu dianggap sebagai jumud atau beku dan tidak berkembang. Selain itu kitab-kitab fiqh juga mempunyai karakteristik lain. Kalau fatwa dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik -yaitu membahas masalah tertentu-maka kitab-kitab fiqh sifatnya menyeluruh dan meliputisemua aspek bahasan hukum Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang menyeluruh ini, maka perbaikan atau revisi terhadap sebagian isi kitab fiqh dianggap dapat,atau akan mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Karena itu kitab-kitab fiqh cenderung menjadi resisten terhadap perubahan.48

Oleh karena sifatnya yang berbeda antara produk pemikiran hukum Islam dan keputusan-keputusan pengadilan agama ada baiknya salah satu produk pemikiran hukum Islam tersebut tidak mendominasi produk pemikiran hukum Islam lainnya namun saling melengkapi dan memperkuat. Bisa saja kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para fuqaha dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan putusan pengadilan apabila dipandang hasil putusan tersebut adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Namun ketika kitab-kitab fiqih tidak dapat menjawab permasalahan yang ada, sesuai dengan sifat peradilan Islam, maka hakim boleh melakukan ijtihad yang tentu saja tidak boleh menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah


Konflik antara Idealisme dan Realisme

Keempat, konflik antara idealisme dan realisme. Pada periode awal pembentukannya, hukum Islam merupakan keputusan-keputusan yang aktual yang merupakan jawaban dari permasalahan yang muncul saat itu, seperti kasus Himariyah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Begitu juga pada awal pembentukan mazhab, konsep hukum Islam yang ada sangat berkaitan dengan praktek hukum di masyarakat. Akan tetapi dengan adanya perdebatan yurisprudensi yang mengahsilakan teori sumber hukum, muncul ide bahwa syari'ah sebagai sistem perintah Tuhan yang komprehensif dan ditentukan sebelumnya, sebuah sistem hukum yang mempunyai eksistensi terlepas dari masyarakat, tidak timbul dari masyarakat, tetapi ditetapkan dari atas untuk masyarakat. Dengan demikian hukum menjadi jauh dari praktik, dan hukum menjadi idealis.

Dari sini Noel J. Coulson selanjutnya lebih menaruh perhatian menyangkut praktek hukum dalam Islam, administrasi hukum melalui pengadilan resmi negara Islam. Pada masa pertama periode pertumbuhan hukum, menurut Coulson doktrin dan praktek saling berhubungan sangat dekat. Hukum timbul dari keputusan-keputusan pengadilan yang bersifat aktual pada masa Nabi, masa para penggantinya seperti khalifah Umar serta dari para qadi masa pertama. Sebagai contoh doktrin Imam Malik dalam karyanya “al-Muwatta” mengenai hukum Islam, sangat kuat bersandar kepada pengakuan praktek hukum aktual, atau amal masyarakat Madinah. Demikian juga, ulama Hanafi seperti Abu Yusuf berhubungan sangat dekat dengan praktek hukum melalui jabatannya sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid49

Adanya penemuan hukum murni berupa munculnya ide tentang syari’ah sebagai sistem perintah Tuhan yang komprehensif dan ditentukan sebelumnya, yaitu sebuah sistem hukum yang mempunyai eksistensi terlepas dari masyarakat, tidak timbul dari masyarakat tetapi ditetapkan dari atas untuk masyarakat. Selanjutnya hukum syari’ah murni secara abstrak menyerahkan persoalan-persoalan duniawi dan pelaksanaannya dari doktrin yang ada kepada para pejabat negara. Idealisme para ahli hukum abad pertengahan ini yang mengadopsi peran penasehat spiritual yang menekankan hati nurani dari pada terhadap penyelenggara perkara prakteknya, telah menciptakan perselisihan yang nyata antara doktrin hukum dan praktek hukum serta pemisahan yang jelas antara peran faqih dan peran hakim. Sehingga menurut Coulson hal tersebut menimbulkan ketegangan yang signifikan antara ideal hukum dan realitas sosial.50

Untuk memperkuat pendapatnya, Coulson memberikan beberapa contoh seperti dalam kasus perbuatan zina, pihak yang melaporkan atau penuduh harus dapat mendatangkan empat orang saksi dengan syarat: Laki-laki; Dewasa; Muslim; dan melihat perbuatan itu dengan mata kepalanya sendiri. Jika penuduh tidak dapat mendatangkan empat saksi yang memenuhi persyaratan tersebut, maka tertuduh dapat membebaskan dirinya dengan sumpah bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, apakah mungkin perbuatan zina itu disaksikan oleh empat orang saksi yang memenuhi syarat? Hal ini sangat tidak realistis. Dan kenyataannya, banyak pihak yang benar-benar melakukan kesalahan, akan tetapi belum ditetapkan kepastiannya karena belum dapat dibuktikan, menolak melakukan sumpah pengingkaran ketika ditawarkan51

Adapun dalam kasus pembunuhan, dimana pihak penuduh harus dapat mendatangkan 2 orang saksi yang mempunyai kualitas integritas moral tinggi atau biasa disebut ‘adalah’52 juga disyaratkan bahwa mereka mendengar suara perlawanan dan melihat terdakwa memegang senjata dengan tangan berlumuran darah serta jasad si korban yang tergeletak. Dalam hal ini doktrin syari’ah melarang hakim menarik kesimpulan dari fakta ini bahwa terdakwa adalah seorang pembunuh, karena bukti ini merupakan ‘kecurigaan’. Hal ini akan dapat dipastikan jika didukung dengan sumpah dari 50 orang sebagai penguat yang dilakukan oleh keluarga korban. Begitu pula sebaliknya, terdakwa dapat terbebas dengan meminta 50 sumpah bebas dari kesalahan, yang diucapkan oleh keluarga korban. Tetapi bukti itu tidak pernah meyakinkan53

Sistem prosedur dan bukti ini, menurut Coulson adalah suatu cara yang dengan sengaja membatasi keleluasaan hakim dalam hal pencarian fakta. Tidak ada tes kredibilitas saksi terhadap fakta-fakta yang akan ia berikan kesaksiannya, baik melalui pemeriksaan silang54 ataupun dengan cara yang lainnya. Menurutnya, sistem itu sengaja dibuat oleh para ahli hukum yang merumuskannya guna membebaskan hakim dari tanggung jawab langsung terhadap kegagalan penerapan hukum Tuhan. Kesalahan dalam memberikan keputusan terhadap suatu perkara, merupakan hal yang sangat ditakutkan dan menjadi alasan utama para ulama untuk menolak jabatan sebagai hakim55

Peraturan-peraturan syari’ah tentang pembuktian ini secara jelas mencerminkan idealisme para ahli hukum. Tanggung jawab untuk memberikan bukti dibebankan kepada penggugat guna menetapkan tuntutannya dan hakim memperoleh tingkat kepastian yang tinggi. Disamping itu, ada prinsip bahwa lebih baik salah membebaskan orang-orang yang bersalah daripada kesalahan menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Disinilahidealisme doktrin terlihat sangat jelas, dalam kasus-kasus kesaksian yang bertentangan, jika qadi atau hakim merasa tidak dapat memberikan keputusan yang benar berdasar bukti-bukti yang ada, ia diperbolehkan untuk tidak memberikan keputusan56

Selama periode akhir abad ke-19 dikotomi dalam praktek hukum Islam menjadi semakin jelas. Doktrin syari’ah secara substantif telah kehilangan hubungan dengan watak masyarakat, sebagai contoh di Timur Tengah. Hukuman-hukuman berat seperti rajam karena berzina atau hukuman potong tangan karena mencuri atau qishas karena penganiayaan atau pembunuhan dianggap sebagai barang kuno. Menurut Coulson, disini hukum menggambarkan gagasan suku terhadap peradilan pribadi. Sekarang struktur suku dari masyarakat muslim tradisional sebagian besar sudah hancur, karena itu hukum-hukum tersebut tidak lagi dipraktekkan.57

Undang-undang kriminal yang baru diundangkan secara resmi di sebagian besar negara-negara Timur Tengah sangat dipengaruhi oleh negara-negara Eropa, seperti di Mesir dan Afrika Barat, undang-undangnya merupakan inspirasi Perancis; Sudan mengadopsi hukum Inggris, sedangkan undang-undang Libia didasarkan pada hukum Itali. Jadi hukum syari’ah yang ditinggalkan pada umumnya di bidang perdagangan, perdata umum dan pidana. Hukum dan administrasi dalam bidang-bidang tersebut saat ini sangat sekuler58

Adapun untuk hukum keluarga, tetap dalam yurisdiksi pengadilan syari’ah. Namun telah melalui modifikasi dengan berbagai cara demi memenuhi tuntutan zaman dan perubahan nilai-nilai masyarakat kontemporer. Sebagai contoh, perkawinan dan perceraian dalam hukum syari’ah tradisional tidak memerlukan pembuktian yang berbentuk dokumenter apapun.Namun sekarang harus melalui sistem registrasi secara resmi. Begitu pula dalam menentukan status anak, dalam fiqih Hanafi tradisional, kehamilan seorang wanita dapat berlangsung selama 2 tahun. Sedang menurut madzhab-madzhab yang lain, masa kehamilan dapat berlangsung lebih lama yaitu sampai 5 tahun. Tetapi sekarang dengan kemajuan dalam bidang medis ditetapkan bahwa masa kehamilan maksimal 1 tahun. Maka pada tahun 1929 Mesir mengundangkan bahwa pengadilan tidak akan mendengarkan tuntutan legitimasi apapun atas nama anak yang dilahirkan lebih dari 1 tahun setelah berakhirnya perkawinan orang tuanya59

Ketegangan antara idealisme dan realisme dalam hukum Islam secara sederhana dapat diungkapkan dengan perbedaan antara doktrin hukum dan praktek hukum. Idealisme doktrin dalam prakteknya terpaksa harus tunduk kepada kepentingan negara dan masyarakat, baik secara substansi maupun prosedur

Keadaan inilah yang menurut Atho’ yang telah dibuktikan sejarah, bahwa fiqh pada umumnya dirumuskan para teoritisi dibelakang meja daripada praktisi di lapangan. Sebagai akibatnya, fiqh yang dihasilkan lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal daripada minimal. Akibat lain dari konflik antara idealisme dan realisme itu, ialah: fiqh semakin hari semakin jauh dari kenyataan masyarakat.


Konflik antara Hukum dan Moralitas

Kelima, konflik antara hukum dan moralitas. Problem ini muncul sebagai hasil persinggungan dengan sistem hukum barat, yang memisahkan antara hukum dan moralitas. Dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam, tidak ada perbedaan yang jelas antara moratitas dan peraturan hukum. Al Qur’an menetapkan tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, disamping menetapkan peraturan hukum yang disertai dengan sanksi­-sanksi.

Dalam pembahasan ini, Coulson ingin membahas problem hukum dan moralitas saat ini yang menjadi subyek perdebatan yang hangat dikalangan umat Islam. Dalam Islam moralitas menjadi perhatian yang sangat penting. Misalnya, dalam ukum Islam memasukkan prinsip pelaksanaan moralitas seksual yang keras, hal ini menjelaskan tentang tentang hukuman yang ditetapkan bagi pelanggaran zina. Sedangkan menurut hukum di Inggris, hubungan sekssarual diluar pernikahan bukan merupakan pelanggaran hukum terkecuali diperburuk oleh keadaan antara keduanya, seorang gadis muda usia, ada hubungan darah dengan orang yang berzina, atau tingkah laku yang tidak alami seperti sodomi.60

Di lain pihak hukum Islam menganggap hubungan seksual diluar nikah adalah bentuk kejahatan dan kemaksiatan, kecuali hal itu antara suami dan istri atau pada masa lalu antara seorang majikan dengan budaknya. Pada saat yang sama pertanggungjawaban dari person-person itu terhadap perbuatan zina, dalam prakteknya, untuk mendapatkan hukuman tidak dapat dipisahkan dari peraturan-peraturan yang berhubungan dengan bukti pelanggaran. Hal itu harus ditetapkan melalui 4 orang saksi, Muslim dewasa, melihat dengan mata kepala sendiri, mempunyai integritas karakter yang bisa dipercaya.61

Menurut Coulson, di dalam kitab-kitab doktrin syariah juga menentukan ukuran-ukuran moralitas yang lain. Semisal kewajiban puasa dalam bulan Ramadhan, menahan diri berhubungan suami-istri saat sedang berpuasa -suatu peraturan yang mempunyai implikasi-implikasi hukum tertentu. Tuntutan seorang istri terhadap maharnya, umpamanya, atau status legitimasi anaknya dapat bergantung kepada apakah hukum menduga sudah digauli atau belum dalam perkawinannya. Tetapi akibat-akibat hukum ini bersifat insidental, peraturan itu pada dasarnya adalah moral karena penyimpangan perbuatannya tidak menyebabkan adanya hukuman62

Betapapun, seorang yang betul-betul melanggar kewajiban puasa Ramadhan ini, atau dengan cara lain apapun, harus bertobat atas dosanya, baik dengan membayar puasa pada hari lain atau dengan memberikan sedekah. Atau hukuman rajam bagi pezina juga sangat sulit untuk diterapkan karena harus menghadirkan 4 saksi, Muslim dewasa, dan melihat dengan mata kepalanya sendiri terkecuali ia memberikan pengakuan sendiri terhadap perbuatannya maka baru bisa dieksekusi hukuman rajam. Itupun dengan keadaan negara tersebut menerapkan hukum Islam dalam pemerintahannya

Pelanggaran terhadap etika agama Islam merupakan pelanggaran tehadap hukum Tuhan sebagaimana pelanggaran-pelanggaran lain yang karenanya pengadilan dapat memutuskan hukuman. Dalam terminologi syariah Islam adalah sebagai undang-undang hukum dan undang-undang moral. Ini merupakan susunan komprehensif dari tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas tertinggi dari kehendak Allah, sehingga garis pemisah antara hukum dan moral sama sekali tidak begitu jelas tergambar seperti halnya dalam masyarakat Barat pada umumnya.63

Sebenarnya Coulson dalam hal ini ingin menyatakan bahwa sebarapa jauh Yurispendensi Islam, baik dahulu maupun sekarang dalam membedakan antara tingkah laku yang diinginkan secara etik dan yang dapat dilaksanakan menurut hukum? Atau seberapa jauh ia menuntut bahwa hal itu merupakan kewajiban pengadilan untuk memaksa seseorang berkelakuan secara ideal?64

Dalam sumber material hukum primer syariah, Al-Qur’an tidak ada perbedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika hukum Islam, Al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok -untuk membedakan yang banar dan yang salah; baik buruk, pantas dan tidak pantas. Biasanya hal itu tidak diteruskan kepada tingkat sekunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus, memang benar, sanksi-sanksi hukum yang tepat dijatuhkan karena suatu perbuatan atau kelalaian -seperti hukuman rajam (cambuk) bagi orang yang menuduh orang berzina tapi tidak terbukti, atau hukum potong tangan bagi orang yang mencuri. Tetapi pada umumnya ajaran-ajaran al-Qur;an semata-mata menunjukkan standar tingkah laku tersebut yang dapat diterima oleh Allah dan menyatakan akibat-akibatnya berkenaan dengan yang disukai Allah dan yang tidak disukai.65

Menurut Coulson perbedaan antara peraturan yang dapat dilaksanakan menurut hukum dan peraturan yang diinginkan secara moral adalah tentu saja bukan perbedaan antara peraturan yang tidak dipatuhi. Nilai dan standar yang sebenarnya yang dengan itu masyarakat hidup tidak selalu dan tidak semata-mata yang dapat dilaksanakan oleh pengadilan. Sering ada kekuatan yang lebih kuat untuk memaksa ketaatan standar tingkah laku daripada paksaan hukum.66

Oleh karena itu, dalam pandangan masyarakat Islam hukum dan moralitas keagamaan sering digabungkan secara rancu dalam filsafat kehidupan umum; sebetulnya ada paksaan untuk mematuhi moral seperti halnya kewajiban melaksanakan hukum. Tetapi pada prinsipnya di sini Coulson hanya memperhatikan perkara yang lebih sempit dari peran yang dimainkan oleh pengadilan syari’ah dalam pelaksanaan norma tingkah laku Islami. Dan bagi pengadilan-pengadilan itu ada perbedaan nyata antara peraturan yang dijalankan menurut hukum dan yang diinginkan menurut moral67

Praktek hukum di dunia Islam dewasa ini telah menimbulkan dikotomi yang lebih jelas sampai sekarang ini antara lapangan hukum dan moralitas keagamaan. Sekuliarisasi hukum pidana dan hukum perniagaan, dengan mengadopsi Undang-undang Barat dan sistem pengadilan-pengadilan sekuler untuk diterapkan sebagai pengganti hukum syari’ah yang sebelumnya dikelola oleh pengadilan qadi, telah mengandung arti, umpamanya minum alkohol dan hubungan seks diluar nikah tidak lagi digolongkan sebagai pelanggaran kriminal, dan larangan riba atau mengambil bunga atas pinjaman, menurut hukum perdata telah dicabut. Meskipun dalam banyak hal, norma-norma tersebut masih tetap mempunyai pengaruh yang jelas dalam masyrakat Muslim.68

Namun di lain pihak, perkembangan belakangan ini dilapangan hukum keluarga di Timur Tengah telah menghasilkan sintesis yang semakin mendekatkan hukum dan moralitas, dalam pengertian bahwa norma-norma tingkah laku yang dianggap oleh otoritas tradisional hanya membebani kewajiban moral kepada hati nurani individu sekarang telah diubah ke dalam syarat-syarat hukum positif




Konflik antara Stabilitas dan Perubahan

Keenam, konflik antara stabilitas dan perubahan. Hukum Islam sebagai wahyu Tuhan, kesatuan dokrtin yang berasal dari konsensus universal, sifat orotiter dalam bentuk doktrin taqlid dan idealisme, yang melihat dokrin hukum Islam sebagai suatu yang selalu benar, akan menghasilkan pemikiran bahwa hukum Islam merupakan hukum yang stabil, tetap, kaku dan tidak dapat dirubah. Di sisi lain, akal manusia dalam hukum, keragaman doktrin yang dihasilkan, kebebasan dalam memahai hukum Islam, menghasilkan pemikiran bahwa hukum Islam bersifat dimanis, dapat dirubah dan variatif.

Sebenarnya konflik pasangan ini tidak sepenuhnya berdiri sendiri, melainkan akibat lanjutan dari konflik-konflik yang telah diuraikan sebelumnya. Karena hukum Islam harus hanya ada satu, maka secara konseptual hukum Islam tidak menerima adanya variasi. Dari dimensi waktu, ini berarti hukum Islam itu harus stabil, statis, dan tidak boleh mengalami perubahan. Sebagai akibatnya kitab-kitab fiqh menjadi beku, dan resisten terhadap perubahan.

Disini Coulson menyatakan bahwa tujuan yang hendak ia utarakan dalam merumuskan konflik ini yakni untuk mempertimbangkan pengertian secara umum fenomena perubahan yang terjadi dalam system hukum Islam dan pentingnya memandang masalah ini dalam perkembangan pemikiran yurisprudensi.69 Selanjutnya coulson menyatakan bahwa perubahan-perubahan terbaru menyangkut substansi dan bentuk hukum syariah merupakan manifestasi eksternal dari perubahan mendasar menyangkut esensi filsafat hukum Islam.70

Perubahan dalam hukum meski diterima sebagai sesuatu yang logis dan diperlukan sekali, juga tidak semata-mata sebagai penyimpangan kebutuhan dari patokan ideal yang tidak dapat berubah. Dari sini timbul gerakan pembaharuan yang menyikapi peran dan sifat hukum Islam. Sikap yurisprudensi klasik dan tradisional menurut Coulson, terhadap masalah ini, terletak pada dua dalil yang fundamental dan tidak dapat dibantah yakni wahyu Tuhan yang menetapkan peraturan dan patokan yang berlaku dalam semua kondisi, dan waktu. Yang kedua, wahyu Tuhan ini menjawab secara langsung atau tidak langsung setiap masalah hukum. Pendeknya perintah Tuhan mengandung kebenaran komprehensif dan abadi.71

Tegasnya menurut Coulson, bahwa perbedaan yang esensial antara filsafat hukum tradisional dan modern adalah bahwa praktek sosial atau institusi sosial dapat memperoleh jastifikasinya pada pandangan tradisional dengan dukungan positif wahyu Tuhan, namun dalam pandangan modern, dengan tidak adanya aturan negatif dari tuhan. Hukum dapat ditegakkan dan dihasilkan secara sah oleh kebutuhan sosial, dengan prasayarat tidak melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh perintah Tuhan.72

Menurut Atho’ baru pada abad ke-19 terdengar suara-suara untuk melakukan perubahan terhadap fiqh yang ada. Beberapa negeri Muslim setelah pertemuan yang pahit dengan peradaban Barat, mulai mencoba melakukan revisi terhadap fiqh, dengan mengintrodusir dan memperbaharui peraturan perundangan, khususnya dalam hal hukum keluarga. Hal ini terjadi di Tunisia, Mesir, Siria, dan Irak. Bahkan Saudi Arabia pun dalam banyak hal telah mulai melakukan suplemen terhadap hukum-hukum fiqh Hambali yang umumnya terlalu literalis.73

Bahkan Dalam perkembangan ushul fiqh kontemporer dibahas tentang metode pemahaman hukum Islam yang baru seperti metode penafsiran double movement yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman,74 metode pembalikan naskh yang dikemukakn oleh Mahmoud Muhammad Thaha,75 metode hudud/ teori limit yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur76 dan masih banyak lagi. Metode lainnya yang memadukan nash secara normatif dan relitas masyarakat yang secara empiris terus mengalami perubahan juga telah dikembangkan oleh Louay Sofi.77

Konflik-konflik dasar dalam hukum Islam tersebut menjadi suatu pemahaman yang parsial di kalangan umat Islam. Sehingga menghasilkan dua meanstrem pemikiran tentang konflik hukum Islam tersebut. Problem mendasar tentang hukum Islam tersebut akan mengakibatkan problem pada tingkat selanjutnya dalam rangka merumuskan hukum Islam


  1. Pendekatan & Metodologi

Secara umum pendekatan dan metode yang digunakan Coulson sama dengan yang digunakan sarjana Barat lainnya dalam bidang keIslaman,78 yakni tergolong Revisionis79 atau bahkan Double Revisionis dan bukan Tradisionalis. Dengan pendekatan dan metode ini, maka karya-karya sejarah menyangkut Islam, dikaji ulang dan dicoba ditafsirkan kembali melalui data sejarah yang ada dengan menggunakan pendekatan yang lazim diperguruan tingggi Barat.80 Namun demikian disadari bahwa dengan pendekatan dan metode yang sama tidak selalu sampai pada kesimpulan yang sama pula.81

Untuk memahami lebih jauh beberapa pendekatan dan metodologi yang lazim digunakan para orientalis dalam mengkaji Islam, berikut ini akan diutarakan beberapa pendekatan yakni:82 Pertama, pendekatan filologis atau penelitian naskah. Tradisi memburu dokumen atau manuskrip kuno hasil tulisan tangan (bukan cetakan mesin) yang telah dimulai sejak zaman Renaissans Eropa sekitar abad ketigabelas Masehi. Orientalis yang menempuh jalan ini mengidentifikasi diri mereka sebagai ahli peradaban purba (classicist). Caranya bisa bermacam-macam: mulai dari teroka perpustakaan dan toko buku bekas hingga pergi menjelajahi kampung-kampung di pedalaman. Itulah yang dilakukan Edward Pococke di Syria, William Jones di India, Paul Kraus di Mesir, Hellmut Ritter di Turki, Henry Corbin di Iran, Hans Daiber di Yaman dan lain-lain.

Manuskrip yang telah diperoleh kemudian dipelajari, disunting (di-edit), diterjemahkan dan diterbitkan lengkap dengan catatan kritis berkenaan bahasa maupun isinya. Contohnya ialah karya orientalis Italia Eugenio Griffini yang menerbitkan ‘edisi kritis’ kumpulan fatwa seorang Imam Syi’ah dengan judul Corpus iuris di Zaid ibn Ali (VIII sec. Cr.) cetakan Milan, 1919. Atau Joseph Schacht yang mengedit kitab Ikhtilaf al-Fuqaha karya Imam at-Tabari (dicetak di Leiden tahun 1933); dan yang terbaru oleh Eric Chaumont juga edisi dan terjemah karya klasik Abu Ishaq as-Syirazi, kitab al-Luma’ fi ushul al-fiqh. Le Livre des Rais illuminant les fondaments de la compréhension de la Loi. Traité de théorie légale musulmane (Berkeley, 1999).83

Terkait erat dengan metode tersebut di atas adalah pendekatan historis atau kesejarahan. Dengan ini orientalis berupaya meletakkan teks dalam konteks. Pemahaman terhadap sejarah pemikiran, politik, sosial dan ekonomi dalam hubungannya dengan pengarang dan isi naskah yang sedang dibahas menjadi suatu keniscayaan. Pendekatan historis memadukan beberapa pendekatan sekaligus, yaitu kritik naskah (textual criticism), kritik nara sumber karya tulis (literary atau source criticism), kritik ragam atau corak tulisan (form), kritik penyuntingan (redaction), dan kritik periwayatan (tradition/transmission criticism). Penerapan metode-metode ini dicontohkan dengan sempurna oleh Miklos Muranyi dalam bukunya: Ein altes Fragment medinensischer Jurisprudenz aus Qairawan, aus dem Kitab al-Hagg des Abd al-Aziz b. Abd Allah b. AbÐ Salama al-Magissun (st. 164/780-81) cetakan Stuttgart, 1985; artikel Harald Motzki, “Der Fiqh des Zuhri: die Quellenproblematik,” dalam jurnal Der Islam no.68 (1991), hlm. 1-44; dan Andreas Görke dalam disertasinya, Das Kitab al-Amwal des Abu Ubaid al-Qasim b. Sallam: Entstehung und Werküberlieferung (Univ. Hamburg, 2000).84

Ketiga ialah pendekatan empiris. Pola penelitian sosiologi anthropologi ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh ahli ketimuran Eropa di wilayah jajahan mereka masing-masing. Caranya dengan terjun langsung ke daerah yang hendak diselidiki, seperti dikerjakan Snouck Hurgronje selama beberapa bulan di Mekkah, Edward Lane di Mesir, atau Clifford Geertz antara tahun 1952-1955 di Jawa Timur. Inilah yang diistilahkan dengan perspective ethnograpique alias Ethnologie di Jerman dan Volkenkunde di Belanda. Tetapi di Amerika dan Australia khususnya penelitian lapangan ini merupakan reaksi terhadap orientalisme klasik yang dilihat terlalu mementingkan segi sejarah dan dokumen-dokumen atau teks saja, tanpa memperhatikan praktik masyarakat yang bersangkutan dalam kehidupan nyata. Berkenaan dengan Syari’at Islam, riset data lapangan ini dapat kita temukan, misalnya, dalam karya Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley, 1972), Henry Toledano, Ann E. Mayer, Property, Social Structure, and Law in the Modern Middle East, Anna Würth, Aš-Šari’a fi Bab al-Yaman: Recht, Richter und Rechtspraxis an der familienrechtlichen Kammer des Gerichts Süd-Sanaa, (Republik Jemen) 1983-1995 (Berlin, 2000).85


  1. Kesimpulan

Dari book review karya Coulson ini setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yakni bahwa kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliruan dalam menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan konflik tersebut di atas, atau sekurang-kurangnya kekeliruan dalam menentukan bobot masing-masing pasangan konflik itu. Fiqh juga telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita daripada sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Fiqh juga telah memilih stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini.

Karenanya dibutuhkan upaya-upaya guna mereaktualisasi syariah Islam, khususnya dalam bidang fiqih dengan kembali mengkaji konflik-konflik yang terjadi diseputar penetapan hukum fikih tersebut disamping itu, fiqh juga harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya karena pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang dari agama.

Dalam hal ini Atho’86 menyajikan beberapa prasyarat untuk hal ini, yakni adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas. Dan ketiga, memahami faktor-faktor sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk demikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan


  1. Kontribusi Untuk Ilmu Pengetahuan

Coulson memperlihatkan bahwa di dalam menciptakan struktur hukum secara lengkap hubungan wahyu Tuhan dan akal manusia terjalin begitu dekat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataannya, pemikiran para fuqaha melahirkan pemikiran yang cukup bervariasi. Ini mengabdikan norma-norma hukum adat yang sudah ada dengan merumuskan proporsi bahwa wahyu Tuhan secara diam-diam mengesahkan hukum adat jika wahyu tidak secara jelas menolaknya; analogi dipakai untuk memperluas putusan-putusan wahyu Tuhan yang spesifik, sedangkan “istihsan” mengesahkan penyimpangan kaidah dari analogi untuk mencapai suatu pemecahan yang dianggap lebih tepat.

Tetapi bentuk apapun yang diambil, spekulasi yuridis pada masa klasik tidak dianggap sebagai suatu proses yang independen yang menciptakan lapangan hukum buatan manusia disamping peraturan-peraturan Tuhan, ia sama sekali tunduk kepada kehendak Tuhan, dan dalam beberapa hal yang berfungsi mencari pemahaman dan pelaksanaan maksud-maksud Allah bagi masyarakat muslim. Konflik seperti ini berkenaan dengan bidang wewenang dan peran akal sebagaimana sudah dalam yurisprudensi tradisional yang hanya berkenaan dengan cara, karena dengan tujuan ini dapat dicapai. Dari sudut ini hukum Islam adalah hukum Tuhan dan sekaligus hukum buatan manusia. Dalam pemikiran yurisprudensi Islam dua deskripsi tersebut adalah saling melengkapi dan tidak saling kontradiksi.

Disamping itu, dari karyanya ini Coulson telah berhasil memberi gambaran menyangkut persoalan-persoalan pokok yang dihadapi umat Islam dalam bidang hukum Islam. Demikian kesalahpahaman yang terjadi di kalangan sementara orang Islam terhadap hukum Islam, tidak terkecuali di Indonesia, dalam memandang fiqh. Kekeliruan ini rasanya perlu diperbarui dan dibetulkan, dan untuk itu terlebih dahulu perlu dipahami faktor-faktor apa sebenarnya mengakibatkan kekeliruan tersebut. Dalam konteks inilah karya Coulson ini layak untuk diberi tempat.


  1. Kritik Buku

Kritik buku misalnya datang dari Muhammad Salim el-Awa, yang menegaskan bahwa ternyata Coulson tidak lepas dari kesalahan-kesalahan yang dialami para Orientalis yang sangat dipengaruhi oleh kerangka berfikir, pendekatan maupun metode yang berkembang dalam tradisi pemikiran Barat. Hal ini misalnya terlihat ketikan Coulson meyakini adanya pemisahan antara moral dengan hukum atau antara etika dengan hukum, padahal dalam Islam kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Contoh lain terlihat ketika Coulson mengadopsi teori backward projection dalam kaitannya dengan orisinilitas hadis. Walaupun mengakui akan adanya hadis Nabi, seperti yang terlihat di atas, Coulson tidak jarang menggunakan teori tersebut untuk menolak adanya hadis-hadis tertentu yang tampak tidak bisa mendukung tesis yang dibangun dalam menghadapi satu kasus hukum.87

Kritik metodologis dalam karya Coulson ini juga datang dari Muhammad Abd. Rauf, yang menegaskan bahwa berdasarkan data sejarah, agak susah bahkan tidak mungkin bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain (outsider), karena itu patut dipertanyakan keabsahan orientalis (non-Muslim) untuk mengkaji secara obyektif agama Islam, pandangan ini juga beredar luas dikalangan umat Islam di Indonesia.88 Mendukung Abd Rauf ini Fazlur rahman mengamini kebenaran kritik tersebut yakni dengan menambahkan bahwa orientalis tidak mungkin memasuki kajian Islam pada wilayah mormatif, lebih-lebih yang bernuansa esoteric.89

Kritik berikutnya menyangkut pendapat Coulson yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya. Menurut Coulson, alasan utama mengapa banyak ahli fiqh menolak jabatan hakim (qadi) di pengadilan tinggi ialah karena mereka tahu betul bahwasanya Syari’at itu hanyalah adicita agama, penting dipelajari namun sekadar untuk diketahui dan bukan untuk diterapkan sebagai sebuah sistem undang-undang. Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya, teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam normatif’ dan ‘Islam historis’

Disamping beberapa kritik di atas, disini dapat disebut juga beberapa kelemahan studi orientalis terhadap Islam yang mereka akui yakni bahwa Para orientalis (non-Muslim) itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahani materi-materi keIslaman lebih menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam90


  1. Daftar Pustaka


Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam. 1990. Artikel pada http://media.isnet.org/Islam/paramadina/konteks/index.html diakses pada 12 November 2009

Sri Wahyuni Penerapan Syariat Islam di Indonesia (Problem dan Strategi) 2009 Artikel pada http://Sriwahyuni.blogspot.com. Diakses pada 12 November 2009

Muhammad Muslehuddin, t.th. Philosofy of Islamic Law and the Orientalist
A Comparative Study Of Islamic Legal System
. Lahore: Ashraq Mirza, Mg. Director, Islamic Publication Ltd.

Fuaz Zein, 2001. Pengantar Penerjemah dalam Noel J Coulson Konflik Dalam Yurisprudensi Islam Yogyakarta: Navila

Muhammad Syahrur, 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Terj. Sahiron Samsuddin dan Burhanudin Dzikri. Yogyakarta: eLSAQ Press

Akh Minhaji, Kata Pengantar Noel James Coulson Dalam Perspektif Orientalisme Hukum Islam. Pada Noel J. Coulson. 2001. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam. (Terj. Fuad). Yogyakarta: Navila

Louay Safi, 2001. Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Husnul Muttaqin. Menuju Sosiologi Profetik diakses pada http://id.wordpress pada 19 november 2009 juga di lihat Jurnal Sosiologi Reflektif, edisi perdana. Fak. Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Heru Nugroho, Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).

Ilham B. Saenong, 2002. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hassan Hanafi, kata pengantar M. Amin Abdullah. Jakarta: Teraju, 2002

Mahmoud Muhammed Taha. 2003. Arus Balik Syariah Terj. Khoiron Nahdiyyin. Yogyakarta: LkiS

Imam Syaukani, 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Muhammad Baltaji. 2003 Metodologi Ijtihat Umar bin Khattab. Jakarta: Khalifa

Noel J Coulson. 2001. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam. Terj. Fuad. Yogyakarta: Navila

www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view akses pada 12 November 2009

www.alIslamu.com diakses pada 12 November 2009

Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.

Chapra, M. Umer, 2001. The Future Of Economics: An Islamic Persfective. Jakarta: SEBI.





1. Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam. 1990. Artikel pada http://media.isnet.org/Islam/paramadina/konteks/index.html diakses pada 12 November 2009

2 Ibid

3 Sri Wahyuni Penerapan Syariat Islam di Indonesia (Problem dan Strategi) 2009 Artikel pada sriwahyuni.blogspot.com. diakses pada 12 November 2009

  1. 4Fuaz Zein, Pengantar Penerjemah dalam Noel J Coulson. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam (Yogyakarta: Navila, 2001), hal.v-vi

5. Noel J Coulson. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam. Terj. Fuad (Yogyakarta: Navila, 2001), hal. 1-2

6 Muhammad Muslehuddin, Philosofy of Islamic Law and the Orientalist A Comparative Study Of Islamic Legal System (Lahore: Ashraq Mirza, Mg. Director, Islamic Publication Ltd. t.th.) h. 192

7 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h. 233

8 Ibid. hal. 166

9 Ibid, hal. 3

10 Ibid

11 Ibid Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam…

12 Noel J Coulson. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam....hal.7-8

13 Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hal. 28

14 Ibid.

15 Husnul Muttaqin. Menuju Sosiologi Profetik diakses pada http://id.wordpress pada 19 november 2009 juga di lihat Jurnal Sosiologi Reflektif, edisi perdana. Fak. Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

16 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung : Mizan, 2001), hlm. 358

17 Heru Nugroho, Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik, Kedaulatan Rakyat, (13 Desember 1997).

18 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam , (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 224

19 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hassan Hanafi , kata pengantar M. Amin Abdullah (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 150.

20 Ibid Husnul Muttaqin. Menuju Sosiologi Profetik…

21 Chapra, M. Umer, The Future Of Economics: An Islamic Persfective. (Jakarta: SEBI. 2001), hal. 130

22 Akh Minhaji, Kata Pengantar Noel James Coulson Dalam Perspektif Orientalisme Hukum Islam, pada Noel J Coulson. Konflik Dalam Yurisprudensi Islam. Terj. Fuad (Yogyakarta: Navila, 2001), hal. xiii

23 Ibid Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam…

24 Ibid, hal. 5-6

25 Noel J Coulson. Konflik.....hal.4

26 Ibid

27 Ibid. hal. 6-7

28 Ibid

29 Ibid. hal. 8-9

30 Ibid. hal. 10-11

31 Ibid. hal. 13

32 Ibid. hal 18-20

33 Ibid. untuk keterangan lebih jauh menyangkut kasus ini, lihat juga Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihat Umar bin Khattab (Jakarta: Khalifa, 2003), hal. 337-341

34 Ibid. hal. 21

35 Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam…

36 Noel J Coulson. Konflik.....hal. 25

37 Ibid. hal. 24

38 Ibid

39 Ibid. hal. 27-28

40 Ibid

41 Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam…

42 Noel J Coulson. Konflik.....hal. 27

43 Ibid Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam…

44 Noel J Coulson. Konflik.....hal. 50

45 Ibid

46 Ibid Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam

47 Ibid

48 Ibid

49 Noel J Coulson. Konflik.....hal. 73-74

50 Ibid

51 Ibid. hal. 77

52 Adalah didefinisikan sebagai tidak pernah melakukan kesalahan atau pelanggaran serius melawan hukum atau melakukan kesalahan yang tidak melawan hukum namun dilakukan secara terus-menerus. Hal.76

53 Ibid. hal. 77

54 Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kebenaran pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya.

55 Ibid. hal. 77-78

56 Ibid.hal. 79

57 Ibid. hal. 88

58 Ibid. hal. 89-90

59 Ibid. hal. 91-93

60 Ibid. hal. 95-96

61 Ibid

62 Ibid. hal. 97

63 Ibid. hal. 98

64 Ibid. hal. 99

65 Ibid

66 Ibid. hal. 104

67 Ibid. hal. 105

68 Ibid. hal. 113-114

69 Ibid. hal. 120

70 Ibid. hal. 125

71 Ibid. hal. 126

72 Ibid. hal. 133

73 Ibid Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam

74 Fazlur Rahman. 1995. Islam dan Modernitas: Sebuah Transfornrasi Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad, Cet 2, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 7. Teori double movement yang dirumuskan Fazlur Rahman menyangkut dua langkah dalam menafsirkan Al-Qur'an, yaitu pertama, memahami arti dan makna dari suatu pernyataan dengan mengakaji situasi historis dimana pernyataan A1 Qur'an itu turun, baik situasi spesifik maupun situasi makro dalam masyarakat. Kedua, mengeneralisasi jawaban-jawaban spesifik sebagai pernyatan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum.

75 Mahmoud Muhammed Taha membangi ayat A1 Qur'an menjadi ayat-ayat Makiyah yang mengandung nilai-nilai universal (the second massage) dan ayat-ayat Madaniyah berupa hukum-hukum Islam praktis (the first massage). Dalam konsep pemalikan Nasakh-nya, ayat-ayat Makkah menasakh ayat-ayat Madinah. Lihat, Mahmoud Muhammed Taha. Arus Balik Syariah Terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003)

76 Syahrur merumuskan metode penafsiran nash dengan menggunakan teori-teori matematika (grafik fungsi). Selanjutnya Syahrur membagi hudud/ limit menjadi 1) Al-had al- adna yaitu limit atau batas terendah, contohnya ayat tentang larangan perkawinan (An-Nisa' 23), 2} AI-had Al-a'la, dengan contoh ayat potong tangan bagi pencuri (AI-Maidah 38), 3}AI-had al-adna wa al-had al a'la ma'an dengan contoh ayat waris bagi anak laki-laki dan perempuan (An-Nisa' 11, 12, 13), dimana bagian dua adalah batas tertinggi untuk bagian anak laki-laki dan satu adalah batas terendah untuk bagian anak perempuan, 4} AI-had al-a'la wa al had at-adna bertemu di satu titik, dengan contoh ayat tentanghukuman jilid/ cambuk bagi pezina (An-Nur 2), 5) Al-had al-a'la menjadi garis ynag tegak lurus, dengan contoh ayat tentang larangan untuk mendekati zina (AI-Isra' 32) dan perbuatan yang keji (Al-An'am 151), dan 6} Al-had al-a'la melengkung tidak dapat melebihi suatu titik, sedangkan al-had al-adna dapat menyentuh garis, dengan contoh riba dan shadaqah, dimana riba tidan boleh dan digambarkan dengan batas tertinggi sedangkan shadaqah dianjurkan dan digambarkan dengan batas terendah. Lihat Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Terj. Sahiron Samsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007)

77 Louay Safi telah merumuskan kerangka dan langkah-langkah metodologis untuk mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas (empiris), yaitu sebagai berikut: Pertama, Prosedur inferensi tekstual dilakukan dengan: a) mengidentifikasi teks (nash) yang relevan dengan persoalan, b) memahami dan menafsirkan makna teks., c) menjelaskan ta'lil teks, d} membangun suatu aturan atau konsep umum yang diderivasi dari teks. Kedua, prosedur inferensi historis yaitu dengan a) menganalisis aksi individu yang termasuk dalam fenomena sosial yang dibahas, b} mengklasifikasi berbagai bentuk aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponenenya (tujuan, motif, dan aturannya), c) mengidentifikasi aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompok aksi tersebut, d} sistematisasi aturan-aturan universal tersebut. Ketiga, Prosedur inferensi teks dan inferensi historis tersebut kemudian dipadukan dengan langkah-langkahnya secara simultan, sehingga menghasilkan sistematisasi aturan yang diperoleh dari teks dan aksi. Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat. terj. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001)

78 Akh Minhaji, Kata Pengantar…hal. viii

79 Pendekatan ini berasumsi dunia abstrak tidak lepas hubunganyya dengan dunia praktik. Atau dengan kata lain, nilai adalah sama dengan tindakan. Merupakan pola pikir yang saya sebut 'jungkir balik'. Dari kejadian yang kasuistik sifatnya, serta merta di tarik ke dunia nilai yang universal. Karena itu, terkesan tidak runtut. keuntungannya hanya dalam dunia polemik 'murahan', karena memberi peluang yang besar untuk 'hit and run' dari isu sentral.

80 Menurut Syamsuddin Arif. Pendekatan yang digunakan oleh orientalis dalam studi ketimuran diantaranya pendekatan sejarah atau biasa disebut historical approuch atau historical criticsm. Maksud pendekatan ini adalah mengkaji sejarah secara kritis. Mereka mengatakan bahwa suatu dokumen harus dipelajari sebagaimana memperlakukan mayat. Yang dimaksud dokumen di sini adalah sesuatu yang tertulis, bukan yang diucapkan. Karena itu tradisi dokumen ini tidak berhubungan dengan tradisi oral atau lisan. Fokus kajiannya hanya pada teks. Lihat Syamsuddin Arif. Metodologi Orientalis Penuh Problem. 2009. Diakses melalui www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view akses pada 12 November 2009

81 Kritik misalnya datang dari Muhammad Salim el-Awa, yang menegaskan bahwa ternyata Coulson tidak lepas dari kesalahan-kesalahan yang dialami para Orientalis yang sangat dipengaruhi oleh kerangka berfikir, pendekatan maupun metode yang berkembang dalam tradisi pemikiran Barat. Ibid. hal. x-xi.

82 Lihat Syamsuddin Arif. Studi Fiqih dan Syariat Islam: Kritik Pandangan Orientalis. 2009 dalam www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view akses pada 12 November 2009

83 ibid

84 Ibid

85 Ibid

86 Ibid Atho’ Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam

87 Ibid. hal. xi

88 Ibid

89 Ibid. hal. xii

90 Hal ini misalnya diungkapkan oleh Syaikh Musthafa as-Siba’I setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis. Lihat www.alIslamu.com diakses pada 12 November 2009

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id