Sabtu, 09 Mei 2009

Aqli dan Naqli

Pada minggu 14 September 2008 lalu, saya diundang seorang rekan yang memang rutin terlibat dalam kajian-kaijian keislaman (islamic study) tepatnya di sebuah rumah, dimana kami memang sering membahas tentang berbagai persfektif yang kami anggap menarik, mulai keadaan ekonomi, politik, studi sosial, budaya, gender hingga menyangkut regulasi dan kebijakan pemerintah baik dalam tingkat nasional hingga desa. Menurut saya, itu menarik, sekaligus ajang silaturrahmi, bertukar pikiran sambil membedah ide. Saya tertarik untuk menghadiri undangan itu. Temanya tentang Pemikiran Mu’tazilah. Aliran dalam teologi islam yang sebenarnya di darah kami masih “dikafirkan” saya juga tidak mengerti mengapa rekan-rekan tertarik untuk kembali mengkaji arus pemikiran itu, yang notabene sebenarnya masih dianggap “hitam tadi” saya tertarik dengan tema ini, sehingga dengan senang hati saya memenuhi undangan itu. Waktu itu pembicaranya seorang Ustad yang sering dianggap “murtad” dari pemahaman ustad yang lain secara umum. Kajian ini diorganisir rekan-rekan yang bisa dikata cukup berani untuk menjamah hal-hal yang dianggap tabu masyarakat kami. Dan bagi saya mengapa pula rekan-rekan hendak membahas pemikiran Mu’tazilah, saya jadi penasaran padahal kita mengerti mengapa Ghazali tua (istilah saya setelah beliau berhenti jadi seorang filosof di masa mudanya), menganggap pemikiran-pemikiran seperti ini sebagai pemikiran sesat atau menyesatkan. Hal inilah yang meringankan langkah saya menghadiri kajian itu.
Sebelum kajian dimulai sekitar pukul 16.00, ba’da ashar. saya sudah tiba di lokasi. Saya menjumpai beberapa orang rekan yang sudah berada di serambi tempat kami akan berdiskusi. Dua laki-laki separuh baya, tiga perempuan muda berjilbab dan tiga orang lainnya yang belum saya kenal. Mereka ini tampaknya adalah santri, atau mahasiswa pascasarjana di Semarang atau Yogyakarta. Begitu mendekati pukul 16.10 menit, satu persatu rekan-rekan berdatangan dan menempati bagian tempat yang tadinya kosong, penuhn. Ada dua orang ustad sebagai pembicara dan salah seorang rekan sebagai moderator, sepertinya ustad ini sarjana lulusan Mesir, dan seorang peneliti keagamaan yang kebetulan saat ini tengah meneliti tentang kekerasan agama di daerah kami. Saya tidak hendak menyebutnya sebagai fundamentalisme agama, karena riak-riak kecil kekersan yang terjadi lebih karena dipolitisasi dan adanya teguran atas ketidak adilan yang dirasakan masyarakat dalam pembagian jatah kue ekonomi. Kembali ke kajian, selebihnya, dari sekitar belasan rekan-rekan yang hadir, adalah rekan-rekan kajian rutin. Kami duduk melingkar. Perempuan dan laki-laki duduk terpisah namun masih dapat saling berkomunikasi langsung.
Moderator membuka acara kajian dalam bahasa indonesia yang diiringi sesekali dengan bahasa daerah, bahasa sasak, lalu mengatakan bahwa acara kajian rutin dibuka dengan “basmalah” dan akan disampaikan dalam bahasa Indonesia campur sasak. Narasumber sendiri adalah benar seorang mahsiswa jebolan Mesir, penduduk asli suku sasak yang baru saja selesai studi s2 dengan kajian islamic studi yang jago bahasa Inggris dan Arab. Akhirnya, presentasi dimulai dan suasana kajian itu kembali mengingatkan saya enam atau tujuh tahun yang lalu ketika saya harus mempresentsikan makalah dengan tema yang sama di STIS Yogyakarta pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Ada perasaan senang, berbaur jadi satu dengan mencoba mengingat-ingat kembali pemahaman saya yang dulu terkait tema kajian kali ini.
Dalam paparannya yang sangat menarik, narasumber membawa peserta pada abad Hijrah tatkala Washil ibn Atha (w.131 H/ 748 M) memisahkan diri dari jamaah (i’tizal) dan pengajaran Hasan Al-Bashri setelah perbedaan pendapat mengenai status seorang muslim yang menyimpang dari ajaran islam. Washil ibn Atha berpendapat mereka ini tidak bisa disesatkan, dikafirkan. Mereka hanyalah seorang muslim yang fasik (menyimpang jauh dari agama), bukan kafir. Sedang bagi Hasan Bashri dan pengikutnya, mereka ini masuk kategori kafir dan wajib dikucilkan bahkan halal darahnya. Prinsip al-manzilat bayna al-manzilatayn (berada di antara dua kategori), bersama prinsip al-tawhid (keesaan Allah), al-’adl (keadilan Allah), al-wa’du wa al-wa’îd (janji dan ancaman Allah), dan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar adalah doktrin Kelompok Mu’tazilah. Doktrin Mu’tazilah dirumuskan secara apik oleh Qadi Abdul Jabbâr dalam kitabnya Al-Mughni, hasil khutbahnya di Masjid Raz, di sekitar Teheran Iran sekarang.
Yang menarik bagi saya, Mu’tazilah yang dikenal sebagai kubu rasionalis dalam Islam berhasil merumuskan maklumat dalam pengambilan hukum, berkaitan dengan persoalan akal dan wahyu (naqli). Mana di antara keduanya yang lebih tinggi. Qadi Abdul Jabbar mengatakan bahwa, jika berkaitan dengan persoalan halal dan haram, maka akal harus tunduk pada naqli, wahyu, jika di luar halal dan haram, akal wajib didahulukan daripada wahyu. Sebab dalam kasus ini, teks mempunyai keterbatasan, sedang akal sebagai anugerah Allah dapat menyelesaikan kasus inderawi serumit apapun. Inilah tempat di mana silogisme, penalaran, dan otoritas akal beraksi.
Terlepas dari etatisasi paham Mu’tazilah di masa Khalifah Al-Ma’mûn pada zaman Dinasti Abassiyah yang memunculkan kasus mihnah pada Ahmad ibn Hanbal dalam persoalan status Firman Allah (Kalamullâh), paham rasionalis inilah yang turut mendorong umatnya berpikir maju dan menggapai puncak emas peradaban. Tak ada gading yang tak retak. Kelemahan paham ini terletak ketika ia menjadi paham negara, terjadi pemaksaan akidah. Inilah yang justru menyalahi doktrin rasionalis Mu’tazilah tentang keadilan. Ketika Mu’tazilah yakin bahwa menjadi mukmin atau kafir adalah urusan personal yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, bukan kehendak Allah (takdir) sebagaimana yang dipahami kubu naqli (Jabbariyah, Hanbaliyyah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah), maka seharusnya ia tidak terjebak pada etatisasi pemahaman. Di sini, Mu’tazilah jatuh pada lubang yang sama sebagaimana kelompok naqli, yakni takfir, penyesatan dan pengkafiran.
Perdebatan antara akal dan nakli dalam tradisi Islam berlangsung hingga kini yang mewujud pada perdebatan tentang tradisionalisme (al-ashâlah) dan modernitas (al-hadatsah, al-mu’asharah). Akhirnya dalam kajian tentang islam kontemporer saat ini kajian masih difokuskan pada turats, pandangan terhadap modernitas dan sikap terhadap Barat. Perdebatan ini lalu mengerucut pada fundamentalisme dan liberalisme dalam Islam. Yang pertama mewarisi tradisi naqal, yang kedua tradisi penalaran. Hemat saya, perdebatan dan perbedaan dalam Islam adalah hal yang sangat lumrah. Semuanya punya pendapat yang relatif di mata Tuhan, karena sama-sama berpangkal pada interpretasi, pemahaman terhadap agamanya. Keduanya sama-sama ingin menjadi yang “terbaik”. Di sinilah, kedewasaan masing-masing kubu diuji. Tradisi carut marut politik yang membawa-bawa suatu paham pemikiran untuk mendukung status quo politik tertentu harus kita hindari, lucuti. Sebab, intervensi negara atas pemahaman keagamaan justru berpotensi memecah umat dan memburamkan Islam yang rahmatan lil’alamin.
Kedewasaan umat muslim didaerah saya tak terkecuali di Indonesia dalam soal perbedaan pendapat (al-ikhtilâf), hemat saya lebih matang dibandingkan dengan generasi masa lalu Islam atau negera-negara muslim lainnya. Jika di negeri-negeri gurun, perbedaan madzhab mendorong pengikutnya untuk baku hantam, baku darah, muslim Indonesia paling tidak hingga kini tidak meniru mereka. Tapi bukan berarti, penyakit ashabiyah dan penkafiran itu tidak menular pada kita. Sebagai sebuah akhlak yang buruk, penyakit itu bisa saja menjangkiti ketika kita tidak sadar. Pepatah Arab mengatakan, sûul khulqi yu’dî (akhlak yang buruk itu pasti menular). Gejala buruk ini, akhir-akhir ini, begitu tampak di sekeliling kita. Saya hanya bisa berdoa, masyarakat kita yang heterogen dapat mengelola perbedaan dengan sangat cantik. Heterogenitas inilah yang membedakan masyarakat kita dengan gerakan-gerakan lainnya yang sudah mematok harga mati tentang kebenaran sejati. Main mutlak-mutlakan. Rekan kajian menimpali “emang kehendak Aku (Allah) sama seperti mau-mu (mahluk/manusia), enak aja!”
Di akhir diskusi, saya terkesima manakala seorang rekan membela dengan sekuat pemahamannya Asy’ariyyah dan mencibir doktrin rasionalistik Mu’tazilah. Moderator pun tak mau kalah. Sebelum menutup diskusi, ia mengisahkan cibiran-cibiran humorik dalam perdebatan teologis dari kubu akal menuju kubu naqli. Dan dari beberapa kisah dan kitab Al Ghazali yang tebalal, rumit dan rasional seperti al-Mustasfa menjadi prolifik buku-buku sederhana, praktis seperti Bidâyatul hidâyah, Ihya Ulûmuddîn, Munqidz min al-dhalâl, dan Tahâfut al-Falâsifah yang banyak di kenal di Indonesia. Dari kecintaan dia pada penalaran filosofis menjadi kebencian militannya pada filsafat. Dari Ghazali muda yang maju menjadi Ghazali tua yang makin mengeriput.
Akhirnya sore itu terasa begitu panjang. Saya sadar, betapa masyarakat muslim di daerah kami masih mewarisi tradisi kearifan yang dipandang dapat mereka terima hingga saat ini, dan ini sah-sah saja, meski demikian tak urung hal ini menyebabkan seorang rekan menarik nafas panjang “ini tugas kita selanjutnya menangkap semangat dari kearifan beragama masyarakat dan meneruskan tradisi kearifan dengan pemahaman dalam rentang sejarah yang mengalami perubahan dengan menampilkan islam sebagai rahmatan lil alamin” duh… beratnya meski tidak sedikit juga masyarakat muslim di daerah kami masih saja mewarisi spirit rapuh “pokoknya” yang menyampahkan akal pada tong sampah peradaban..
Tapi itulah pendapat, bukankah perbedaan bisa jadi rahmat? Meski kita dan kami dalam kajian kecil ini tetap harus menghargai…meski dengan rasa perih dan catatan disana sini….

(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Muazzin, semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id