Di bawah ini akan saya sertakan tulisan Prof. Azra tentang Psikologi Pecundang di Situs pribadi Beliau tertanggal 18 Oktober 2007 dan pernah dimuat di harian Republika, sudah lama memang, namun setidaknya kita dapat memahami mengapa Prof Azra mengambil tema itu, ya karena keadaan kita memang demikian. Jangan pernah kita tidak mau menerima diri sendiri apa adanya, tidak juga melihat dicermin hanya dengan membesar kepala karena ketampanan atau kecantikan, tapi kita lupa bahwa jerawat kecil sering kita lupakan dan terkadang kesalahan, kekeliruan kita tertutupi karenanya.
Kritik artinya membaca apa yang belum sempat kita baca, dan itu sering terjadi tanpa kita sadari, akhirnya orang yang bisa terbang tinggi dapat melihat kebawah, dan sesekali memberitahukan kita tentang semangat kenabian. Pembacaan akan berbeda jika ia turut di bawah maka sesekali jangan takut terbang menikmati indahnya karunia Tuhan.
Apa yang disampaikan Prof Azra memang tepat, namun tidak seluruhnya benar. Nah berikut ini kita akan mencoba mengulasnya per paragraf. Di bawah ini adalah tulisan Prof Azra yang akan kita lihat dalam sudut pandang kita. Mari..
“Indonesia negara besar. Saya tidak ragu tentang hal ini. Dari luas wilayah saja, bentangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke kurang lebih sama dengan jarak London ke Istambul. Belum lagi tentang kekayaan alamnya yang hampir mencakup apa saja; keragaman tradisi sosial-budayanya yang memesona; dan tentu saja anak negerinya yang juga beragam-ragam tetapi umumnya hidup dalam harmoni dan rukun”
(hal ini tepat, namun ada yang meski kita kritisi, ini dari persfektif. Begini. Indonesia negara besar namun jiwanya kerdil, karena luas wilayahnya yang sedemikian luas makanya negara lain minta bagian, buktinya sipadan dan ligitan, sebentar lagi mungkin indonesia sendiri akan dibelah oleh negara tetangga misalnya Malaysia dan Singapura, jangan tidak percaya dulu, kalau ingin bukti lihat saja bagaimana Palestina di luluh lantakkan Israel. Sekarang indonesia, tinggal bagaimana masuknya saja, ini bisa terjadi melalui jalur kepentingan ekonomi.
Kekayaan alam indonesia memang luar biasa makanya dijuliki zamrud katulistiwa, namun sayang 32 tahun era pemerintahan Orde baru semua diperuntukkan untuk kepentingan Pusat di Jakarta. Sekarang ada desentralisasi, terkadang ini hanya bualan Jakarta saja karna tangan kasihnya tak pernah sampai ke daerah-daerah. Anda ingin bukti, lihat saja kesenjangan pembangunan antara daerah jawa luar jawa, indonesia bagian barat, tengah dan indonesia bagian timur, kentara ketidakadilan tergambar, belum lagi pemerataan ekonomi, ketidakadilan politik, eksploitasi sumber daya alam untuk menguraikan hal ini kita butuh rimbuan lembar kertas. Demikian juga dengan keragaman tradisi, keseragaman sebenarnya tidak hendak diseragamkan karena ia mengundang konflik, namun jika hal itu telah diklaim maka apa yang akan diperoleh masyarakat sebagai kekayaan khazanah moyangnya. Ambil contoh paten, karena negara tidak mneydiakan saluran yang relatif lebih cepat dijangkau masyarakat karenanya paten sulit dilakukan masyarakat. Anak negeri beragam namun ia dihitung saat pemilu saja sebagai daftar calon pemilih, setelahnya??? Anda mau bukti, tanyakan pada saudara kita yang tinggal diperbatasan negara bagaimana mereka diperlakukan oleh negara mereka sendiri, bagaimana negara tidak menjamin suku asli pedalaman dalam tiap negeri, ini bukan dongeng, namun kenyataan kita. Berikutnya….)
Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia juga terkenal sebagai negara Muslim terbesar di muka bumi ini. Karena itu, tidak heran, banyak harapan dari kalangan masyarakat dunia, agar Indonesia dapat memainkan peran lebih besar dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi Dunia Islam.
(Kenyataan sebagai negara demokratis telah membuai kita, saya buktikan dengan logika sederhana bahwa anda bertiga ke Jakarta melalui Bali, tidak akan lebih aman dibandingkan saya sendiri keJakarta lewat Yogyakarta. Ini memang mengandung kontradiksi, namun ini persfektif ia lahir dari konstruk sosial. Konsep negara demokratis juga belum sepenuhnya dapat diterima oleh mayoritas masyarakat muslim indonesia, karena konsep negara demokratis tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, konsep negara demokratis juga telah terbukti di indonesia dengan korupsi berjamaah, semua dilakukan dengan berjamaah meski ada hal-hal yang dilarang misalnya dalam penyelenggaraan haji, belum lagi adu jotos anggota dewan di gedung DPR RI sebagai perwujudan negara demokratis. Pers juga turut menyumbang dan tidak sepenuhnya terlepas dari kepentingan pasar, artinya para pemilik modal.
Negara muslim terbesar secara kuantitas Iya, dengan tingkat pemahaman atas simbol-simbol keagamaan yang sangat dominan. Belum ada satu pakar pun yang dapat menjelaskan mengapa kuantitas sebagai negara muslim terbesar berbanding lurus dengan korupsi yang meningkat, mengapa banyak gejala fundamentalisme agama terjadi. Mengapa main kafir-mengkafirkan berlaku dan sebagainya. Harapan tersebut tidak didukung oleh dukungan nyata bagaimana isu-isu MDGs diterapkan, bagaiman HAM dan Demokrasi dilakukan dengan baik dan benar dengan spirit dan konteks keindonesiaan dalam bingkai kearifan keagamaan masyarakat indonesia selaku seorang muslim)
Indonesia memang pernah memiliki peran itu. Di masa Presiden Soekarno, Indonesia merupakan salah satu pelopor Gerakan Nonblok, yang terkonsolidasi lewat KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Indonesia di masa Orde Baru juga menjadi ''big brother'' di kawasan Asia Tenggara dengan memainkan peran utama dalam ASEAN.
(Kini, indonesia layaknya singa ompong yang tidak memiliki taring memiliki suara di Dewan Keamanan PBB namun greget-nya kurang diperhitungkan, suara parau perdamaian yang kian tak dihiraukan. Gerakan-gerakan seperti Gerakan Non Blok saat ini pun telah kehilangan relevansinya, KTT Asia Afrika tidak lebih dari ajang silaturrahmi dan fose para pembesar belaka. Dan pada masa Orde Baru itulah kekayaan alam indonesia dikeruk oleh “Big Father” sendiri untuk kepentingan Kennedy-nya Amerika.
Coreng kelam sejarah anak bangsa tak kunjung menemukan kebenarannya, mereka tidak pernah tau menau latar belakang penyebabnya, dibantai dalam pristiwa pembersihan atas nama gerakan partai terlarang PKI, belum lagi klaim kebenaran atas nama HAM yang tidak ditegakkan dan diusut tuntas, sebut misalnya pristiwa Malari, Tanjung Priuk, Aceh hingga lepasnya Timor-Timur dari NKRI dan sederet peristiwa kelam sejarah anak bangsa yang lain yang kita tak dapat lelap tertidur memikirkan yang namany Indonesia, dimana dalam sudut manapu kita lihat akan tampak seperti badut tua dengan kaca mata tebal yang telah mulai rapuh karena digrogoti virus anak bangsanya sendiri)
Kini, di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia berusaha membangkitkan peran dan posisinya yang pernah terhormat di kancah internasional. Pemerintahan SBY-MJK, bukan hanya berusaha mencarikan jalan terbaik bagi perdamaian di Palestina dan Irak; membantu pembebasan beberapa sandera Korea Selatan yang ditahan Taliban di Afghanistan, tapi juga mengambil inisiatif dalam kampanye internasional menghadapi perubahan iklim dengan gejala pemanasan global yang kelihatannya terus meningkat.
(Dan dalam pemerintahan ini pula kita tidak secara optimal mengambil peran itu, lagi kita gagal atas nama kepentingan ekonomi, kita tidak berani dengan tegas menyatakan menolak. Kita berteriak di podium istana kenegaraan, berteriak dijalanan, melakukan aksi anarkis yang tak pernah dihiraukan anak bangsa yang lain. Sebenarnya upaya kecil namun cukup berarti dapat kita lakukan, katakanlah boikot produk yang berbau Israel dengan beragam posisinya atas kepentingan ekonomi korporatokrasi dunia yang ada di indonesia, dengan demikian pengaruh hal tersebut dapat melumpuhkan kepentingan ekonominya secara mendasar, sekarang coba kita hitung berapa produk israel dengan jaringan korporatokrasinya yang kita nikmati di indonesia? Belum lagi hubungan eraqt kerja sama kita dengan negara-negara pendukung serangan zionis itu. Apakah ini tidak hanya lipstik politik menjelang pemilu saja?
Sekarang kita bicara tentang pemanasan global, realistiskah? Sedangkan penebangan pohon, pembalakan liar hingga illegal loging masih terjadi di negara kita. Kita ingin bukti, silahkan anda periksa dampak kerusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH. Misalnya PT. Peener di Bima Propinsi NTB atau daerah lain yang kita anggap sebagai hutan paru-paru dunia di negara kita, belum lagi penyebab gejala-gejala yang mengancam kehidupan dibumi secara global yang diantaranya yakni bumi makin panas karena efek rumah kaca, yaitu makin tebalnya lapisan karbondioksida dan gas buangan di atmosfir, lapisan ozon di atmosfir dirusak oleh CFC atau Freon, naiknya permukaan air laut, air tawar bersih makin sukar diperoleh, luas hutan semakin berkurang, musnahnya berbagai spesies organisme secara beruntun hingga pencemaran air laut oleh bahan berbahaya beracun dan gejala-gejala lainnya.
System social dan teknologi modern yang diciptakan manusia saat ini dalam aplikasinya disamping mendatangkan manfaat yang besar, ternyata mendatangkan kerugian dan kerusakan yang dalam jangka panjang, justru kerugian yang ditimbulkan tidak sebanding dengan manfaat atau keuntungan yang didapat. Menyadari akan hal ini, kini kita kembali harus belajar pada masyarakat lokal tradisional tentang berbagai kearifannya memperlakukan lingkungan alam dan sosialnya sehingga yang dengannya akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan.
Setidaknya gambaran dibawah ini memberikan bukti akan hal itu yakni :
Hutan hujan tropika ada yang memerlukan proses evolusi hingga enam puluh juta tahun untuk mencapai bentuknya seperti masa kini. Namun, karena ulah manusia dengan tingkat kesadarannya (yang keliru) dapat memusnahkan hutan hujan tropika itu dalam tempo masa hidup kita.
Peningkatan lapisan gas CO2 di atmosfera dan penipisan lapisan Ozon juga akan menyebabkan terjadinya Pemanasan Bumi di abad ke 21 yang kini sudah dijelang.
Perusakan terumbu karang di perairan laut Nusantara hanya untuk menangkap ikan, baik oleh penduduk setempat maupun nelayan asing juga sudah mencapai proporsi yang merisaukan. Sedangkan upaya pengendalian dihadapkan pada berbagai bentuk keterbatasan.
Pencemaran udara dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah mulai mengancam kesehatan warga kota.
Krisis air pun sudah mulai menjadi factor pembatas untuk berbagai upaya pembangunan. (Soeriaatmadja, Suraya : Ecology Of Jawa and Bali, 1997 : 6-7)
Inisiatif-inisiatif seperti itu memang belum membuahkan hasil yang nyata. Tetapi setidaknya, inisiatif-inisiatif itu merupakan langkah-langkah signifikan bagi Indonesia yang sejak masa pasca-Soeharto sering disebut sementara pengamat sebagai the sleeping giant of South East Asia. Di tengah berbagai inisiatif dan terobosan diplomasi internasional itu, tidak terlihat apresiasi yang cukup memadai dari publik dalam negeri. Sebaliknya, suasana hati masyarakat Indonesia tetap merasakan bahwa Indonesia masih terpuruk baik secara internal dan eksternal. Mood kebanyakan anak bangsa adalah bahwa negara-bangsa ini tetap belum mampu meraih kembali harkat dan martabatnya yang pernah terhormat di kancah internasional.
(Kini masyarakat seakan telah lelah dan rapuh untuk kembali menyuarakan kekecewaannya pada para pemimpin mereka, bagaimana tidak, jika sedikit saja kita merenungkan betapa dalam antrian panjang pemilu mereka berpanas-panas, merelakan untuk tidak berjualan, berlayar, bertani pada hari itu dengan harapan dengan terlibat secara langsung dalam proses pemilu mereka mengharapkan perubahan hidup kearah yang lebih baik, tentang bagaimana negara bisa menjadi pengayom mereka disaat mereka mengalami himpitan ekonomi dan harga-harga kebutuhan pokok yang makin melambung, tentang harapan dapat melindungi mereka disaat mereka tertanggkap kepolisian pelautan negara lain ditengah aktivitas mereka mencari nafkah, tentang harapan agar dalam menjadi TKI mereka terlindungi dan hak-hak sebagai warga negara dipenuhi.
Masyarakat mungkin kecewa, atas apa yang mereka rasakan dan persaksikan, dimana para pemimpin mereka tengah sibuk dan asik memperebutkan kursi kepresidenan, sedang dalam satu hari mereka harus membanting tulang demi sesuap nasi. Tidakkah selaku orang beragama kita menyadari bahwa Anjing kehausan merupakan tugas pemerintah untuk memberi ia minum? Bukankah keadaan ini menuntut pertanggungjawaban pemimpin? Masyarakat sudah tida mood memikirkan nasib satu dengan yang lain, perlahan keadaan ini akan menimbulkan kesadaran bahwa selama ini mereka merupakan kelas yang digelindingkan kesana kemari, semoga rakyat sadar bahwa mereka membutuhkan perubahan, yang tidak dapat diharapkan dari mereka yang ada di Jakarta, mungkin karena pengaruh polusi dan keadaan hidup mewah yang membuat orang-orang di Jakarta tidak lagi merasakan pahitnya alam desa dimana mereka dulu pernah tumbuh menjadi manusia)
Alasan pokok bagi mood ini secara internal berkaitan terutama dengan kondisi sosial-ekonomi yang kelihatan belum bangkit juga, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih tertinggal dibandingkan banyak negara tetangga. Juga terkait dengan situasi sosial yang belum menemukan equilibriumnya. Berita yang selalu kita baca di koran dan saksikan di TV masih didominasi berita tentang korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran hukum lainnya; dan demo-demo pelbagai kelompok masyarakat yang tidak jarang berujung dengan kekisruhan, kekacauan, dan anarki.
Lalu pada tingkat internasional, mood tadi terkait dengan kenyataan-kenyataan pahit yang dihadapi TKI di luar negeri, sejak dari Timur Tengah (khususnya Arab Saudi), Asia Tenggara (terutama Malaysia) sampai ke Asia Timur. Pemerintah Indonesia tetap belum mampu melakukan tekanan-tekanan kepada negara-negara penerima TKI agar pemerintah-pemerintah negara bersangkutan dapat menekan masyarakat mereka untuk memperlakukan para pekerja migran Indonesia secara lebih manusiawi dan terlindungi hukum.
Semua inilah yang membuat masyarakat Indonesia merasa terus terpuruk dan tidak berdaya apa-apa. Kita seolah-olah tidak berani berdiri dengan kepala tegak dan mata yang menatap tajam. Sebaliknya, kita selalu menunduk menatap tanah sembari menyalahkan semuanya sejak dari pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, sampai kepada organisasi keagamaan. Kita lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk berprasangka buruk atau mengecam ke sana-sini. Semuanya seolah-olah serba gelap; seolah tidak ada ujung.
Mood seperti inilah yang saya sebut sebagai ''psikologi pecundang'' (psychology of the losers), psikologi orang-orang yang kalah; yang bahkan kalah sebelum bertarung. Dalam psikologi seperti ini, kita selalu melihat kekurangan dan masalah sendiri; sementara melihat pihak luar, negara lain sebagai serbahebat. Dengan begitu, kita merasa tidak berdaya apa-apa kecuali terus mengeluh, komplain, dan bahkan melakukan tindakan-tindakan merusak, yang melukai diri sendiri (self-affliction).
Prof Azra mungkin sedikit melupakan bahwa kemiskinan, ketidakberdayaan terkadang diakibatkan olek keadaan dimiskinkan, dibuat tidak berdaya oleh suatu sistem struktural yang berlaku di masyarakat. Kita tentu ingat dengan Paulo Preire (seorang tokoh pendidikan Brazil) yang mengungkap hal tersebut, bahwa masyarakat membutuhkan penyadaran dari keadaan yang membelenggu mereka, hingga taraf kesadaran itu dapat memanusiakan mereka dan menyadari apa yang terjadi. Namun terkadang keadaan itu juga butuh stimulus dan respon, daya gerak, daya juang daya pegas, justru jika hal itu dapat terjadi, maka masyarakat tidak akan menoleh kebawah lagi, mempersalahkan orang lain, mempersalahkan negara dan negara lain dan mereka akan dapat bangkit kembali, dapat meraih kembali martabat dan harkatnya, maka itu pertama-tama haruslah dengan tidak melekatkan ''psikologi pecundang kepada mereka''.
Dan, pada saat yang sama menggantinya dengan ''psikologi pemenang'' (psychology of the winners). Dengan psikologi pemenang, kita dapat menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan self-respect yang hilang selama ini. Dan seterusnya diikuti dengan kerja keras, disiplin, saling percaya, dan kerja sama mengatasi berbagai masalah secara bertahap
(karena setidaknya dibutuhkan kondisi-kondisi dimana mereka dipersiapkan untuk itu, misalnya pertama mereka harus diberikan landasan berpijak yang kuat dan kokoh oleh para tokoh yang dianggap dapat melakukan itu, kedua bagi mereka yang menyadari keadaan itu, segeralah berbenah diri, mendudukkan diri pada posisi dan bidangnya masing-masing dan terakhir dengan tetap berharap bahwa keadaan perubahan itu akan datang, disini kita akan kembali berharap pada mereka yang terlahir pasca 80an, untuk tidak berharap pada mereka yang trauma akan sejarah perjuangan bangsanya dan bagi mereka yang tidak dapat lepas dari keterasingan bangsanya dan yang bagi mereka yang tidak dapat menjelaskan siapa diri, maswyarakat dan bangsanya secara adekuat, saya rasa kita layak berharap pada generasi ini.
Akhirnya sampai disini, kita kembali harus berdoa pada Tuhan yang maha kuasa.. agar rakyat indonesia mulai saat ini tidak lagi memiliki anggapan bahwa mereka mewarisi psikologi pecundang, namun mereka akan tetap menyadari bahwa mereka adalah umat pilihan dengan psikologi pemenang sebagaimana yang diutarakan Prof Azra).
Dan untuk Prof Azra.. terima kasih telah meletakkan dasar-dasar kesadaran untuk menjadi bangsa dan rakyat yang besar. Semoga bermanfaat.
(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Haerudin (Odenk) dan Deni Arieffiyanto (Deni), semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)
Kritik artinya membaca apa yang belum sempat kita baca, dan itu sering terjadi tanpa kita sadari, akhirnya orang yang bisa terbang tinggi dapat melihat kebawah, dan sesekali memberitahukan kita tentang semangat kenabian. Pembacaan akan berbeda jika ia turut di bawah maka sesekali jangan takut terbang menikmati indahnya karunia Tuhan.
Apa yang disampaikan Prof Azra memang tepat, namun tidak seluruhnya benar. Nah berikut ini kita akan mencoba mengulasnya per paragraf. Di bawah ini adalah tulisan Prof Azra yang akan kita lihat dalam sudut pandang kita. Mari..
“Indonesia negara besar. Saya tidak ragu tentang hal ini. Dari luas wilayah saja, bentangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke kurang lebih sama dengan jarak London ke Istambul. Belum lagi tentang kekayaan alamnya yang hampir mencakup apa saja; keragaman tradisi sosial-budayanya yang memesona; dan tentu saja anak negerinya yang juga beragam-ragam tetapi umumnya hidup dalam harmoni dan rukun”
(hal ini tepat, namun ada yang meski kita kritisi, ini dari persfektif. Begini. Indonesia negara besar namun jiwanya kerdil, karena luas wilayahnya yang sedemikian luas makanya negara lain minta bagian, buktinya sipadan dan ligitan, sebentar lagi mungkin indonesia sendiri akan dibelah oleh negara tetangga misalnya Malaysia dan Singapura, jangan tidak percaya dulu, kalau ingin bukti lihat saja bagaimana Palestina di luluh lantakkan Israel. Sekarang indonesia, tinggal bagaimana masuknya saja, ini bisa terjadi melalui jalur kepentingan ekonomi.
Kekayaan alam indonesia memang luar biasa makanya dijuliki zamrud katulistiwa, namun sayang 32 tahun era pemerintahan Orde baru semua diperuntukkan untuk kepentingan Pusat di Jakarta. Sekarang ada desentralisasi, terkadang ini hanya bualan Jakarta saja karna tangan kasihnya tak pernah sampai ke daerah-daerah. Anda ingin bukti, lihat saja kesenjangan pembangunan antara daerah jawa luar jawa, indonesia bagian barat, tengah dan indonesia bagian timur, kentara ketidakadilan tergambar, belum lagi pemerataan ekonomi, ketidakadilan politik, eksploitasi sumber daya alam untuk menguraikan hal ini kita butuh rimbuan lembar kertas. Demikian juga dengan keragaman tradisi, keseragaman sebenarnya tidak hendak diseragamkan karena ia mengundang konflik, namun jika hal itu telah diklaim maka apa yang akan diperoleh masyarakat sebagai kekayaan khazanah moyangnya. Ambil contoh paten, karena negara tidak mneydiakan saluran yang relatif lebih cepat dijangkau masyarakat karenanya paten sulit dilakukan masyarakat. Anak negeri beragam namun ia dihitung saat pemilu saja sebagai daftar calon pemilih, setelahnya??? Anda mau bukti, tanyakan pada saudara kita yang tinggal diperbatasan negara bagaimana mereka diperlakukan oleh negara mereka sendiri, bagaimana negara tidak menjamin suku asli pedalaman dalam tiap negeri, ini bukan dongeng, namun kenyataan kita. Berikutnya….)
Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia juga terkenal sebagai negara Muslim terbesar di muka bumi ini. Karena itu, tidak heran, banyak harapan dari kalangan masyarakat dunia, agar Indonesia dapat memainkan peran lebih besar dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi Dunia Islam.
(Kenyataan sebagai negara demokratis telah membuai kita, saya buktikan dengan logika sederhana bahwa anda bertiga ke Jakarta melalui Bali, tidak akan lebih aman dibandingkan saya sendiri keJakarta lewat Yogyakarta. Ini memang mengandung kontradiksi, namun ini persfektif ia lahir dari konstruk sosial. Konsep negara demokratis juga belum sepenuhnya dapat diterima oleh mayoritas masyarakat muslim indonesia, karena konsep negara demokratis tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, konsep negara demokratis juga telah terbukti di indonesia dengan korupsi berjamaah, semua dilakukan dengan berjamaah meski ada hal-hal yang dilarang misalnya dalam penyelenggaraan haji, belum lagi adu jotos anggota dewan di gedung DPR RI sebagai perwujudan negara demokratis. Pers juga turut menyumbang dan tidak sepenuhnya terlepas dari kepentingan pasar, artinya para pemilik modal.
Negara muslim terbesar secara kuantitas Iya, dengan tingkat pemahaman atas simbol-simbol keagamaan yang sangat dominan. Belum ada satu pakar pun yang dapat menjelaskan mengapa kuantitas sebagai negara muslim terbesar berbanding lurus dengan korupsi yang meningkat, mengapa banyak gejala fundamentalisme agama terjadi. Mengapa main kafir-mengkafirkan berlaku dan sebagainya. Harapan tersebut tidak didukung oleh dukungan nyata bagaimana isu-isu MDGs diterapkan, bagaiman HAM dan Demokrasi dilakukan dengan baik dan benar dengan spirit dan konteks keindonesiaan dalam bingkai kearifan keagamaan masyarakat indonesia selaku seorang muslim)
Indonesia memang pernah memiliki peran itu. Di masa Presiden Soekarno, Indonesia merupakan salah satu pelopor Gerakan Nonblok, yang terkonsolidasi lewat KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Indonesia di masa Orde Baru juga menjadi ''big brother'' di kawasan Asia Tenggara dengan memainkan peran utama dalam ASEAN.
(Kini, indonesia layaknya singa ompong yang tidak memiliki taring memiliki suara di Dewan Keamanan PBB namun greget-nya kurang diperhitungkan, suara parau perdamaian yang kian tak dihiraukan. Gerakan-gerakan seperti Gerakan Non Blok saat ini pun telah kehilangan relevansinya, KTT Asia Afrika tidak lebih dari ajang silaturrahmi dan fose para pembesar belaka. Dan pada masa Orde Baru itulah kekayaan alam indonesia dikeruk oleh “Big Father” sendiri untuk kepentingan Kennedy-nya Amerika.
Coreng kelam sejarah anak bangsa tak kunjung menemukan kebenarannya, mereka tidak pernah tau menau latar belakang penyebabnya, dibantai dalam pristiwa pembersihan atas nama gerakan partai terlarang PKI, belum lagi klaim kebenaran atas nama HAM yang tidak ditegakkan dan diusut tuntas, sebut misalnya pristiwa Malari, Tanjung Priuk, Aceh hingga lepasnya Timor-Timur dari NKRI dan sederet peristiwa kelam sejarah anak bangsa yang lain yang kita tak dapat lelap tertidur memikirkan yang namany Indonesia, dimana dalam sudut manapu kita lihat akan tampak seperti badut tua dengan kaca mata tebal yang telah mulai rapuh karena digrogoti virus anak bangsanya sendiri)
Kini, di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia berusaha membangkitkan peran dan posisinya yang pernah terhormat di kancah internasional. Pemerintahan SBY-MJK, bukan hanya berusaha mencarikan jalan terbaik bagi perdamaian di Palestina dan Irak; membantu pembebasan beberapa sandera Korea Selatan yang ditahan Taliban di Afghanistan, tapi juga mengambil inisiatif dalam kampanye internasional menghadapi perubahan iklim dengan gejala pemanasan global yang kelihatannya terus meningkat.
(Dan dalam pemerintahan ini pula kita tidak secara optimal mengambil peran itu, lagi kita gagal atas nama kepentingan ekonomi, kita tidak berani dengan tegas menyatakan menolak. Kita berteriak di podium istana kenegaraan, berteriak dijalanan, melakukan aksi anarkis yang tak pernah dihiraukan anak bangsa yang lain. Sebenarnya upaya kecil namun cukup berarti dapat kita lakukan, katakanlah boikot produk yang berbau Israel dengan beragam posisinya atas kepentingan ekonomi korporatokrasi dunia yang ada di indonesia, dengan demikian pengaruh hal tersebut dapat melumpuhkan kepentingan ekonominya secara mendasar, sekarang coba kita hitung berapa produk israel dengan jaringan korporatokrasinya yang kita nikmati di indonesia? Belum lagi hubungan eraqt kerja sama kita dengan negara-negara pendukung serangan zionis itu. Apakah ini tidak hanya lipstik politik menjelang pemilu saja?
Sekarang kita bicara tentang pemanasan global, realistiskah? Sedangkan penebangan pohon, pembalakan liar hingga illegal loging masih terjadi di negara kita. Kita ingin bukti, silahkan anda periksa dampak kerusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH. Misalnya PT. Peener di Bima Propinsi NTB atau daerah lain yang kita anggap sebagai hutan paru-paru dunia di negara kita, belum lagi penyebab gejala-gejala yang mengancam kehidupan dibumi secara global yang diantaranya yakni bumi makin panas karena efek rumah kaca, yaitu makin tebalnya lapisan karbondioksida dan gas buangan di atmosfir, lapisan ozon di atmosfir dirusak oleh CFC atau Freon, naiknya permukaan air laut, air tawar bersih makin sukar diperoleh, luas hutan semakin berkurang, musnahnya berbagai spesies organisme secara beruntun hingga pencemaran air laut oleh bahan berbahaya beracun dan gejala-gejala lainnya.
System social dan teknologi modern yang diciptakan manusia saat ini dalam aplikasinya disamping mendatangkan manfaat yang besar, ternyata mendatangkan kerugian dan kerusakan yang dalam jangka panjang, justru kerugian yang ditimbulkan tidak sebanding dengan manfaat atau keuntungan yang didapat. Menyadari akan hal ini, kini kita kembali harus belajar pada masyarakat lokal tradisional tentang berbagai kearifannya memperlakukan lingkungan alam dan sosialnya sehingga yang dengannya akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan.
Setidaknya gambaran dibawah ini memberikan bukti akan hal itu yakni :
Hutan hujan tropika ada yang memerlukan proses evolusi hingga enam puluh juta tahun untuk mencapai bentuknya seperti masa kini. Namun, karena ulah manusia dengan tingkat kesadarannya (yang keliru) dapat memusnahkan hutan hujan tropika itu dalam tempo masa hidup kita.
Peningkatan lapisan gas CO2 di atmosfera dan penipisan lapisan Ozon juga akan menyebabkan terjadinya Pemanasan Bumi di abad ke 21 yang kini sudah dijelang.
Perusakan terumbu karang di perairan laut Nusantara hanya untuk menangkap ikan, baik oleh penduduk setempat maupun nelayan asing juga sudah mencapai proporsi yang merisaukan. Sedangkan upaya pengendalian dihadapkan pada berbagai bentuk keterbatasan.
Pencemaran udara dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah mulai mengancam kesehatan warga kota.
Krisis air pun sudah mulai menjadi factor pembatas untuk berbagai upaya pembangunan. (Soeriaatmadja, Suraya : Ecology Of Jawa and Bali, 1997 : 6-7)
Inisiatif-inisiatif seperti itu memang belum membuahkan hasil yang nyata. Tetapi setidaknya, inisiatif-inisiatif itu merupakan langkah-langkah signifikan bagi Indonesia yang sejak masa pasca-Soeharto sering disebut sementara pengamat sebagai the sleeping giant of South East Asia. Di tengah berbagai inisiatif dan terobosan diplomasi internasional itu, tidak terlihat apresiasi yang cukup memadai dari publik dalam negeri. Sebaliknya, suasana hati masyarakat Indonesia tetap merasakan bahwa Indonesia masih terpuruk baik secara internal dan eksternal. Mood kebanyakan anak bangsa adalah bahwa negara-bangsa ini tetap belum mampu meraih kembali harkat dan martabatnya yang pernah terhormat di kancah internasional.
(Kini masyarakat seakan telah lelah dan rapuh untuk kembali menyuarakan kekecewaannya pada para pemimpin mereka, bagaimana tidak, jika sedikit saja kita merenungkan betapa dalam antrian panjang pemilu mereka berpanas-panas, merelakan untuk tidak berjualan, berlayar, bertani pada hari itu dengan harapan dengan terlibat secara langsung dalam proses pemilu mereka mengharapkan perubahan hidup kearah yang lebih baik, tentang bagaimana negara bisa menjadi pengayom mereka disaat mereka mengalami himpitan ekonomi dan harga-harga kebutuhan pokok yang makin melambung, tentang harapan dapat melindungi mereka disaat mereka tertanggkap kepolisian pelautan negara lain ditengah aktivitas mereka mencari nafkah, tentang harapan agar dalam menjadi TKI mereka terlindungi dan hak-hak sebagai warga negara dipenuhi.
Masyarakat mungkin kecewa, atas apa yang mereka rasakan dan persaksikan, dimana para pemimpin mereka tengah sibuk dan asik memperebutkan kursi kepresidenan, sedang dalam satu hari mereka harus membanting tulang demi sesuap nasi. Tidakkah selaku orang beragama kita menyadari bahwa Anjing kehausan merupakan tugas pemerintah untuk memberi ia minum? Bukankah keadaan ini menuntut pertanggungjawaban pemimpin? Masyarakat sudah tida mood memikirkan nasib satu dengan yang lain, perlahan keadaan ini akan menimbulkan kesadaran bahwa selama ini mereka merupakan kelas yang digelindingkan kesana kemari, semoga rakyat sadar bahwa mereka membutuhkan perubahan, yang tidak dapat diharapkan dari mereka yang ada di Jakarta, mungkin karena pengaruh polusi dan keadaan hidup mewah yang membuat orang-orang di Jakarta tidak lagi merasakan pahitnya alam desa dimana mereka dulu pernah tumbuh menjadi manusia)
Alasan pokok bagi mood ini secara internal berkaitan terutama dengan kondisi sosial-ekonomi yang kelihatan belum bangkit juga, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang masih tertinggal dibandingkan banyak negara tetangga. Juga terkait dengan situasi sosial yang belum menemukan equilibriumnya. Berita yang selalu kita baca di koran dan saksikan di TV masih didominasi berita tentang korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran hukum lainnya; dan demo-demo pelbagai kelompok masyarakat yang tidak jarang berujung dengan kekisruhan, kekacauan, dan anarki.
Lalu pada tingkat internasional, mood tadi terkait dengan kenyataan-kenyataan pahit yang dihadapi TKI di luar negeri, sejak dari Timur Tengah (khususnya Arab Saudi), Asia Tenggara (terutama Malaysia) sampai ke Asia Timur. Pemerintah Indonesia tetap belum mampu melakukan tekanan-tekanan kepada negara-negara penerima TKI agar pemerintah-pemerintah negara bersangkutan dapat menekan masyarakat mereka untuk memperlakukan para pekerja migran Indonesia secara lebih manusiawi dan terlindungi hukum.
Semua inilah yang membuat masyarakat Indonesia merasa terus terpuruk dan tidak berdaya apa-apa. Kita seolah-olah tidak berani berdiri dengan kepala tegak dan mata yang menatap tajam. Sebaliknya, kita selalu menunduk menatap tanah sembari menyalahkan semuanya sejak dari pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, sampai kepada organisasi keagamaan. Kita lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk berprasangka buruk atau mengecam ke sana-sini. Semuanya seolah-olah serba gelap; seolah tidak ada ujung.
Mood seperti inilah yang saya sebut sebagai ''psikologi pecundang'' (psychology of the losers), psikologi orang-orang yang kalah; yang bahkan kalah sebelum bertarung. Dalam psikologi seperti ini, kita selalu melihat kekurangan dan masalah sendiri; sementara melihat pihak luar, negara lain sebagai serbahebat. Dengan begitu, kita merasa tidak berdaya apa-apa kecuali terus mengeluh, komplain, dan bahkan melakukan tindakan-tindakan merusak, yang melukai diri sendiri (self-affliction).
Prof Azra mungkin sedikit melupakan bahwa kemiskinan, ketidakberdayaan terkadang diakibatkan olek keadaan dimiskinkan, dibuat tidak berdaya oleh suatu sistem struktural yang berlaku di masyarakat. Kita tentu ingat dengan Paulo Preire (seorang tokoh pendidikan Brazil) yang mengungkap hal tersebut, bahwa masyarakat membutuhkan penyadaran dari keadaan yang membelenggu mereka, hingga taraf kesadaran itu dapat memanusiakan mereka dan menyadari apa yang terjadi. Namun terkadang keadaan itu juga butuh stimulus dan respon, daya gerak, daya juang daya pegas, justru jika hal itu dapat terjadi, maka masyarakat tidak akan menoleh kebawah lagi, mempersalahkan orang lain, mempersalahkan negara dan negara lain dan mereka akan dapat bangkit kembali, dapat meraih kembali martabat dan harkatnya, maka itu pertama-tama haruslah dengan tidak melekatkan ''psikologi pecundang kepada mereka''.
Dan, pada saat yang sama menggantinya dengan ''psikologi pemenang'' (psychology of the winners). Dengan psikologi pemenang, kita dapat menumbuhkan kembali rasa percaya diri dan self-respect yang hilang selama ini. Dan seterusnya diikuti dengan kerja keras, disiplin, saling percaya, dan kerja sama mengatasi berbagai masalah secara bertahap
(karena setidaknya dibutuhkan kondisi-kondisi dimana mereka dipersiapkan untuk itu, misalnya pertama mereka harus diberikan landasan berpijak yang kuat dan kokoh oleh para tokoh yang dianggap dapat melakukan itu, kedua bagi mereka yang menyadari keadaan itu, segeralah berbenah diri, mendudukkan diri pada posisi dan bidangnya masing-masing dan terakhir dengan tetap berharap bahwa keadaan perubahan itu akan datang, disini kita akan kembali berharap pada mereka yang terlahir pasca 80an, untuk tidak berharap pada mereka yang trauma akan sejarah perjuangan bangsanya dan bagi mereka yang tidak dapat lepas dari keterasingan bangsanya dan yang bagi mereka yang tidak dapat menjelaskan siapa diri, maswyarakat dan bangsanya secara adekuat, saya rasa kita layak berharap pada generasi ini.
Akhirnya sampai disini, kita kembali harus berdoa pada Tuhan yang maha kuasa.. agar rakyat indonesia mulai saat ini tidak lagi memiliki anggapan bahwa mereka mewarisi psikologi pecundang, namun mereka akan tetap menyadari bahwa mereka adalah umat pilihan dengan psikologi pemenang sebagaimana yang diutarakan Prof Azra).
Dan untuk Prof Azra.. terima kasih telah meletakkan dasar-dasar kesadaran untuk menjadi bangsa dan rakyat yang besar. Semoga bermanfaat.
(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Haerudin (Odenk) dan Deni Arieffiyanto (Deni), semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)
0 Comments:
Post a Comment