Sabtu, 09 Mei 2009

Pra-Ya: Menggugat Negara

Bagaimana sebenarnya gambaran dan persfektif masyarakat Pra-Ya tentang Indonesia dalam benak mereka, pemikiran dan kepala rakyat di Kabupaten Lombok Tengah, yang merupakan bagian dari satu kesatuan pulau Lombok dengan dibingkai oleh Propinsi yang bernama Nusa Tenggara Barat? Praya merupakan kota kecil yang dijadikan ibu kota kabupaten di Pulau Lombok dengan bentang laut dengan ratusan pulau di timur itu? Serupakah ia dengan Indonesia dalam benak, bayangan pemikiran dan kepala para penentu kebijakan di Jakarta? Atau katakanlah sama kah ia dengan apa yang dipersepsi oleh masyarakat Jawa kebanyakan?
Sesungguhnya, sejarah masyarakat Pra-Ya adalah sejarah ke-timur-an. Sejumlah besar anak negeri itu tidak bertemu muka dengan saudara mereka di selatan, utara bahkan di Barat. Namun, mereka -setidaknya hingga saat ini- diikat oleh imajinasi yang sama tentang Indonesia, tentang kesebangsaan, tentang nasionalisme meski cuma dalam satu komunitas yang terbayang, seperti disebut indonesianis, Benedict Anderson. Atau oleh ikatan keagamaan dalam bingkai ukhuwah islamiyah-nya Muhammad Rasulullah

Pra-Ya Selalu Ada Syaratnya
Benak, bayangan, pemikiran dan majinasi itu merupakan konstruksi sosial. Semoga tidak keliru, konstruksi ini buah persinggungan dengan dan secara hidup dibuat lebat oleh kenyataan sosial, realitas sosial. Karena sebelum Ya selalu ada Syaratnya.
Praya yang dihuni oleh mayoritas suku sasak memiliki profile-nya sendiri yang tidak dimiliki oleh bagian yang lain, negeri bahkan negara yang lain. Ia unik dan realistik. Ia terletak di tengah kota sehingga dinamakan ibu kota. Karena di tengah ia diapit oleh yang pinggir, pinggiran yang selalu bergejolak, rawan dan terpencil dari perubahan, pembangunan dan terpencil dari pemberdayaan, karenanya potret kemiskinan, pengangguran, kerawanan sosial berbanding lurus dengan biaya sosial. Namun apa hendak dikata dalam teori dan aplikasi pengamnilan kebijakan dia dicuek-in, ditinggalkan dan tidak penting padahal dalam meramu kebijakan, kondisi-kondisi struktural ini kunci dan penting menurut pendekatan institution economics, tetapi kerap diabaikan ilmu ekonomi positivistik.
Ada yang tidak nyambung terhadap keadaan ini sehingga sebelum Ya selalu ada syarat, lalu mengapa ia terjadi? Yang menyebabkan masyarakat Pra-Ya selalu makin terisolir, terjepit dan bayi-bayi mereka merasakan busung lapar di tengah areal pertanian yang demikian luasnya dan areal ini pernah menjadi ladang luas untuk swasembada beras negara yang bernama Indonesia? Di satu sisi, inilah konsekuensi desentralisasi neoliberal, negara yang tangan kasihnya dibutuhkan malah tak kunjung datang. Satu contoh, tidak hadirnya politik fiskal yang lebih aktif dan efektif dalam memajukan infrastruktur dan kapasitas kawasan miskin terbelakang didaerah pinggiran Pra-Ya. Contoh lain yang tragis, kegiatan pendidikan dan pemajuan bahasa dan kearifan budaya lokal yang makin terpinggirkan dan tergilas roda pesawat terbang, kearifan lokal masyarakat sasak justru digali untuk dijadikan senjata menghancurkan mereka dari dalam justru oleh masyarakat Indonesia yang lain, yang bermodal besar dan memiliki akses pasar..
Di sisi lain, dalam ruang-ruang ekonomi dan potensi kearifan budaya lokal malah disempitkan. Tangan negara yang tidak dikehendaki hadir di mana-mana dalam berbagai bentuk dan rupa. Gerakan pembangunan tinggal landas hingga pangsa pariwisata Timur Tengah yang sama saja! Kini jadi terasa geli pada saat Zeitgeist yang dominan di Jakarta berikut di selusin Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) justru adalah keutamaan liberalisasi perdagangan.
Ketidaknyambungan juga tecermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi-sosial lainnya. BBM dan BLT adalah yang mutakhir. Pencabutan subsidi BBM meningkatkan kemiskinan, sekurangnya dalam jangka pendek. Bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan dijadikan tali agar satu keluarga miskin tetap bisa diikat pada tingkat kemiskinannya seperti sebelum subsidi dicabut. Alih-alih menjadi pelipur lara bagi keluar- ga miskin, BLT mungkin tak sampai bagi masyarakat Pra-Ya. Ironisnya, Pemerintah hanya tersenyum menyaksikan mereka berebut recehan 100 ribu dengan mempertahankan hidup dan keselamatan kantor desa dan aparatnya. Sungguh benar kenyataan terjadi bagai lalat mengerubungi daging yang telah membusuk!

Bias Pra-Ya
Ada dua catatan layak dipertimbangkan. Pertama, dasar ”ilmiah” pencabutan subsidi BBM dan terkait dengan kemiskinan bersandar pada model ekonomi keseimbangan umum (computable general equilibrium). Dalam model buatan ekonom Pusat (Jakarta) itu, realitas masyarakat diabaikan. Kenyataan keterpencilan, keterbelakangan diperlakukan dengan kikir. Secara kategoris hanya ada Jawa dan luar Jawa. Praya, Pujut, Bonder, Mantang, Puyung ditempatkan sejajar dengan Mataram. Namun tidak itu saja, petani, nelayan, pedagang disamaratakan dengan pegawai negeri sipil.
Kedua, subsidi bantuan langsung seperti BLT -dasar teoretisnya sendiri sangat-sangat bermasalah, dikritik ekonom seperti Kwik Kian Gie, Tibor Scitovsky (1941) dan Amartya Sen (1993), dikritik Politisi sendiri seperti Gus Dur, Megawati, Amin Rais dan lain-lain -disodorkan dengan harapan mampu mengompensasi penurunan kesejahteraan karena kenaikan harga secara umum. Kini harga beras bergerak naik di Pra-Ya dan masyarakat selalu mengajukan syarat kenaikan, bebaskan lahan pertanian, kembalikan era swasembada, makmurkan nasip petani, nelayan dan buruh. Dan pemerintah hanay bisa tersenyum mencibir! Kenaikan biaya transportasi tak kurang dramatis. Ini makin mengunci mobilitas warga yang sudah terpencil makin terpencil, menggenapi keterpencilan dan kian meningkatkan kemiskinan. Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, penulis Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan (2008), menghardik kebijakan-kebijakan macam ini sebagai bias kontinen. Juga bias Pra-Ya-nya masyarakat sasak.
Ada manfaatnya juga mengingatkan kembali, bayangan tentang Indonesia yang hanya sebagai konstruksi sosial masyarakat. Toh konstruksi sosial itu terus berubah-ubah. Pada suatu pagi di Desa Ketare sekelompok petani sedang bertani menanami areal sawah mereka, namun mereka di usir oleh petugas yang tengah mempersiapkan mega proyek pembangunan bandara internasional lombok baru. Katanya distribusi itu mengalir ke bawah. Namun adakah orang yang akan menjamin itu? Bodoh kita memiliki anggapan seperti itu. Karna dalam agama pun tetap di ajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Lalu akankah Masyarakat Pra-Ya mengibarkan bendera pembebasan dirinya atas nama kesejahteraan! Atas nama keadilan! Atas nama kesetaraan! Yang akan dikibarkan di atas tanah kita oleh tangan-tangan yang peduli keadilan dan kesejahteraan.
Untuk Jakarta yang terus menerus dan pura-pura lupa dan pelupa isi pesan ini tak main-main: persatuan Indonesia itu ringkih. Dan ia mudah lapuk! Karenanya Pra-ya perlu dirawat dengan baik, diperhatikan dengan seksama. Beri dia keadilan dan kesejahteraan, atau Pra-Ya atas nama keadilan dan kesejahteraan itu masyarakat akan mengajarkannya! Karena Pra-Ya berharap Jakarta-Jawa-Mataram-Pra-Ya dirawat sebaik saudara-saudara kami merawat ikatan suci dengan Ilahi.

(Catatan: Tulisan ini saya persembahkan untuk Saudara saya Lalu Sultan Alifin, semoga tidak layu oleh bergulirnya waktu dan derasnya ombak kehidupan dalam perjuangan hidup menemukan “jalan lurus” bagi masyarakat)

1 Comment:

Anonim said...

ada benarnya juga, karena negara lebih memperhatikan pusat (jakarta) dan daerah jawa lainnya dari pada daerah-daerah lain di nusantara. setidaknya semenjak dini kita mulai kritis menyikapi pembangunan, agar keadilan dan distribusi kekayaan dapatjuga dinikmati oleh seluruh masyarakat indonesia. nuwun mas

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id