Selasa, 13 Januari 2009

Dunia Anak Siapa Peduli

Cukup mencengangkan hasil survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) yang menunjukkan angka kematian anak yang tergolong tinggi, berdasarkan survey SDKI 2002/2003 tersebut angka kematian Neonatal (bayi berumur kurang dari 30 hari) dua puluh per seribu kelahiran hidup. Ini berarti dalam setahun terdapat 89.700 bayi berumur kurang dari 30 hari meninggal atau 10 kematian bayi perjamnya. Sementara angka kematian bayi kurang dari setahun tiga puluh lima per seribu kelahiran hidup. Ini berarti terdapat 157.080 bayi meninggal tiap tahunnya. Selanjutnya Angka Kematian Balita (AKBA) empat puluh enam per seribu kelahiran hidup. Hal ini berarti terdapat 206.448 balita meninggal tiap jamnya (Berita 08/04/2006).
Selain hal tersebut data yang cukup memperihatinkan juga ditunjukkan oleh UNICEF yang menunjukkan, terdapat 40.000 hingga 70.000 anak dibawah usia delapan belas tahun menjadi korban prostitusi di Indonesia. Menurut Polda NTB sendiri tercatat 25 orang anak mengalami pelecehan seksual pada tahun 2005 lalu. Terhadap kejahatan anak diwilayah hukum Polda NTB, Polda NTB mencatat terdapat peningkatan tiap tahunnya. Tahun 2002 misalnya tercatat 20 kasus, 2003 menjadi 35 kasus, tahun 2004 meningkat menjadi 37 kasus dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi 42 kasus. (Lombok Post, 08/04/2006).
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi misalnya menyatakan bahwa data dari Depdiknas (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 11,7 juta anak terpaksa harus putus sekolah, selanjutnya mereka masuk kelapangan kerja menjadi buruh atau pekerja anak. Dan lebih kurang delapan juta pekerja anak yang terdapat saat ini di Indonesia. Hal ini tentunya saat ini akan makin terus bertambah.
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu : “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Masalah kekerasan terhadap anak sekarang ini kurang mendapat perhatian karena anak masih menjadi obyek, milik orang tua, dimana hak-haknya terlupakan seperti hak anak agar dapat tumbuh, hidup dan berkembang, berpartisipasi secara optimal, sesuai harkat dan martabat kemanusiaan dan tentu saja untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (http://www.presidenri.go.id ).
Kekerasan terhadap anak-anak bisa terjadi dimana-mana, dikota besar maupun dipelosok-pelosok desa yang terjadi pada keluarga dengan tingkat social dan pendidikan yang tinggi maupun yang rendah dan dilakukan oleh orang terdekat.
Kekerasan terhadap anak merupakan masalah social serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena ada beberapa penyebab yakni sebagai berikut :
1.Kekerasan memiliki ruang lingkup yang relative tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privacy-nya karena persoalannya terjadi di dalam keluarga.
2.Kekerasan sering dianggap wajar karena diyakini bahwa memperlakukan anak merupakan hak orang tua.
Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya tanggapan masyarakat terhadap penderitaan anak yang mengalami persoalan kekerasan dalam keluarga. Di Indonesia masyarakat lebih suka menyembunyikan masalah kekerasan terhadap anak. Selain kedua faktor di atas hal lain itu disebabkan oleh masih sangat kuatnya anggapan orang tua bahwa anaknya adalah hak milik dan tanggung jawabnya sehingga mereka berhak melakukan apa saja terhadap anak-anak sampai terjadi kekerasan. Akibatnya banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan, menyerah kepada keadaan dan memendam sendiri penderitaannya.
Diakui atau tidak, proses tumbuh kembang anak-anak di Indonesia sangat tidak kondusif. Hal ini diakibatkan oleh beragam faktor, mulai dari faktor ekonomi, dimana anak diwajibkan untuk bekerja meski dalam usia yang tidak pantas, mengamen dijalanan hingga menodongkan tangan berkeliling kota kerumah-rumah yang mereka anggap akan memberikan bantuan. Selain itu paradigma berfikir orang tua masih keliru yang masih beranggapan bahwa untuk mendisiplinkan anak mestilah melalui kekerasan. Para orang tua seakan-akan melupakan bahwa sang anak memiliki potensi-potensi unggul yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.
Faktor tradisi, adat istiadat juga turut menentukan, sebagaimana yang terjadi di pulau Buru yakni tradisi kawin piara “…anak-anak perempuan Buru ‘dijual’ dengan harga antara Rp. 100.000,- sampai 25 juta rupiah, ditambah barang pecah belah, gong, tombak, tifa dan macam-macam yang jumlahnya antara 100 sampai 500 jenis barang untuk dikawinkan dalam usia balita” (Nana/Sisilia Latbual, Kompas 11/02/2006). Menurut Nana “dipulau Buru tersebut anda dapat menemui laki-laki tua yang menggendong anak kecil, namun bukan anak atau cucu bapak yang menggendong tersebut, namun istrinya. Anak tersebut ‘dipelihara’ sampai “cukup usia” untuk melakukan hubungan seks. Meski istilah “cukup usia” itu sangat relatif”
Lingkungan sekolah juga ternyata turut andil dalam menciptakan sesuatu yang tidak kondusif tersebut, sebagaimana yang terungkap dalam diskusi informal dengan sejumlah media cetak dan elektronik yang diprakarsai Yayasan Sampoerna di Jakarta (Kompas, 01/04/2006). Sofyan A Djalil yang diminta berbicara tentang dunia pendidikan menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional cenderung memberikan iming-iming yang tidak realistis, cenderung membuat anak pintar menjadi sombong dan anak-anak yang tidak pintar menjadi tidak percaya diri. Dalam kesempatan itu juga Mochtar Buchori –Mantan Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta- menyatakan, mengapa sekolah menjadi penjara bagi anak didik yang seharusnya membantu anak belajar. Hal tersebut ternyata diakibatkan oleh banyaknya guru yang bersifat paternalistic. Memerintahkan murid-murid untuk mendengarkan apa yang ia katakan. Selain itu, menurut Buchori, kultur keguruan tidak ditanamkan yang diberikan hanyalah teori mengajar.
Terkait dengan ujian nasional (UN) Buchori menyatakan bahwa Ujian Nasional cenderung justru menjadi penyakit. Guru yang baik seharusnya mengajar apa-apa yang ada dilingkungan, namun semua distandarkan, pendidikan menjadi rusak. Ketika guru berhenti pada pengetahuan yang tidak bermakna maka pengetahuan itu akan menjadi beban bagi murid-muridnya, dalam hal ini tentu anak-anak.
Beragam faktor tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu. Dunia pariwisata, meski tidak signifikan, justru turut memberi korelasi dalam menciptakan proses tumbuh kembang anak yang tidak kondusif bagi anak-anak. ESKA (Eksploitasi Seksual Kekerasan terhadap Anak) adalah penggunaan dan penjualan pelayanan seksual oleh anak dengan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Dengan demikian anak-anak secara tidak langsung memasuki daerah supply and demand sebagai barang yang digunakan dan dibuang, barang yang diperjualbelikan.
Hasil studi Rahman (Dalam Muhamad Joni, Nurani Rakyat, 06/02/2006) misalnya menyatakan bahwa beberapa sindikat pedofili yang diketahui seperti Rene Goyan Society (RGC) yang beranggotakan 5000-an orang dengan motto “seks sebelum delapan tahun, setelah itu sudah terlambat”. Ada juga sekte VI Free (Wefree), NAMBLA (The North American Man/Boy Love), The Huddings dan Smile of Children (1997) di Bali. Dari sini jelaslah bahwa terdapat jaringan yang terorganisir dari adanya praktek, pengguna, pasar, sindikat dan jaringan pornografi dan ESKA terhadap anak.
Tidak mengherankan jika dalam momen memperingati hari Ibu 2003 lalu, MUI (Majelis Ulama Indonesia) menyerukan gerakan kembali kerumah bagi Ibu, seruan ini mendapat banyak dukungan. Disamping ada juga yang menolak. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh keperihatinan seputar kemerosotan kualitas anak dan pentingnya pendidikan dini bagi anak-anak.
Disamping itu akhir-akhir ini banyak media massa memberitakan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga (keluarga) yang korbannya adalah anak-anak dan para pelakunya adalah orang yang seharusnya menjadi pelindung utama bagi anak-anak yaitu bapak, ibu, kakak, dan anggota keluarga lainnya. Pemberitaan atas kasus-kasus kekerasan anak dilingkungan keluarga tersebut merupakan fenomena gunung es dari kekerasan terhadap anak. Hal ini dikarenakan masih banyak kasus kekerasan anak yang tidak dapat dijangkau oleh insane pers karena sebagian kendala budaya yang ada dimasyarakat. Seperti merasa aib jika kekerasan anak yang tidak diproses secara hukum dan ada perasaan malu jika kasus seperti itu diketahui oleh masyarakat luas.
Dengan kehadiran Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, pasal 59 menyebutkan bahwa pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus antara lain untuk anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental. Hal ini menjadi sangat penting mengingat berbagai kasus kekerasan, penyimpangan dan eksploitasi terhadap anak-anak akhir-akhir ini semakin merebak dimana-mana sehingga sudah sangat meresahkan dan menghawatirkan bagi terpenuhinya hak-hak anak-anak, yang meliputi hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan hak berpartisipasi.
Tindak kekerasan pada anak sebagai bentuk gejala social dapat dilihat dari beberapa sudut pandang antara lain : pertama, sudut pandang prilaku kekerasan merupakan hasil dari cara pandang yang memaknai kekerasan sebagai salah satu jalan untuk memecahkan masalah. Cara pandang tersebut seringkali berhubungan erat dengan pola pikir dan nilai-nilai yang berlebihan dalam memaknai berbagai atribut social seperti pendidikan, ketegasan, disiplin, kepatuhan dan bahkan perjuangan. Ini merupakan persoalan budaya, persoalan cara berfikir, cara pandang dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kedua, sudut pandang yang bergubungan dengan posisi anak yang secara obyektif adalah lemah, baik secara fisik, psikis dan material. Kelemahan ini membuat anak tidak memiliki cukup kemampuan untuk menolak dan mempertahankan diri, manakalamenerima tindak kekerasan dari orang yang lebih dewasa. Padahal agar anak mampu memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus, maka diperlukan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun social dan berakhlak mulia.
Ketiga, sudut pandang bahwa kekerasan pada anak merupakan kekerasan yang berbasis gender (gender telated violence), yaitu merupakan konstruksi social yang berakar dari nilai ideology dominant. Kekerasan anak dapat berbentuk seperti pemukulan, penyiksaan dan lain-lain.
Setiap anak merupakan tumpuan masa depan bangsa, anak merupakan subyek sentral yang memiliki potensi, bakat dan minat yang harus ditumbuhkembangkan sejak dini, dalam suasana penuh kasih saying, aman, terpenuhinya kebutuhan dasar, mendapat rangsangan yang tepat sesuai dengan tahapan umumnya yang dibantu oleh pihak lain, baik didalam keluarga maupun diluar keluarga. Oleh karena itu, iklim yang kondusif agar anak-anak dapat tumbuh kembang secara optimal dan mampu memberi makna bagi diri sendiri, kelurga, masyarakat, pemerintah.
Mengingat kompleknya factor penyebab meningkatnya kekerasan, antara lain karena factor ekonomi, social budaya, landasan hukum, rendahnya pemahaman akan pentingnya pemenuhan akan hak-hak anak, deskriminasi gender, maka permasalahan kekerasan anak merupakan tanggungjawab semua pihak untuk penanggulangannya. Oleh karena itu, pemetaan permasalahan anak sangat penting untuk dilaksanakan sebagai data startegis untuk menyusun kebijakan dan program dalam penanggulangan kekerasan anak secara bersama. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi pengembangan pribadi anak. Dengan demikian, iklim atau suasana kehidupan keluarga akan berperan penting dlam turut mewarnai peran dan perilaku anak dimasa depan
Akhirnya bagi kita di mana saja dan dalam aktivitas apa saja. Kita meski menyadari bahwa berjuta anak di negeri ini memiliki nasib yang masih belum beruntung. Jumlah mereka dijalan mungkin berbanding lurus dengan anak-anak yang mengenyam pendidikan dalam ruang kelas yang nyaman. Dan untuk mereka yang peduli terhadap nasib dan masa depan anak, marilah bersinergi, baik itu pemerintah, swasta atau keluarga termasuk di dalamnya media massa karena sudah selayaknya kita memperhatikan nasib anak-anak bangsa ini. Termasuk dengan cara memberi tempat dan ruang, situasi dan kondisi bagi terciptanya pribadi yang purna bagi regenerasi bangsa ini.
Setidaknya keluarga dapat menjadi wadah pendidikan bagi pengembangan pribadi anak. Perkembangan jiwa dan pribadi seorang anak akan terbina dari kualitas kehidupan keluarga dan lingkungan dimana anak dibesarkan. Oleh karena itu, idealnya semua keluarga dapat mengubah cara pandang keluarga dan masyarakat terhadap anak. Membangun kesadaran kolektif dimasyarakat untuk menolak setiap bentuk kekerasan, sehingga setiap keluarga dalam masyarakat itu mampu membina dan mengembangkan potensi dasar anak secara baik dan benar, sehingga tidak ada lagi kekerasan dalam masyarakat, khususnya dalam keluarga. Hal ini misalnya yang dilakukan rekan-rekan yang bernaung dalam Yayasan Peduli Anak yang beralamat di Desa Duman Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, dan Yayasan Anak Bangsa Indonesia yang beralamat di Kelurahan Leneng Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah dengan memberi kesempatan bagi anak-anak dan anak-anak jalanan yang kurang beruntung kehidupannya untuk menikmati pendidikan dan “keluarga baru” guna menciptakan massa depan yang lebih baik.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id