Minggu, 01 Juli 2012

Manajemen Permodalan Bank Syariah



 

Bank adalah lembaga kepercayaan. Oleh karena itu manajemen bank harus menggunakan semua perangkat operasionalnya untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu. Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu adalah permodalan yang cukup memadai. Modal merupakan faktor yang amat penting bagi perkembangan dan kemajuan bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Setiap penciptaan aktiva, disamping berpotensi menghasilkan keuntungan juga berpotensi menimbulkan terjadinya resiko. Oleh karena itu modal juga harus dapat digunakan untuk menjaga kemungkinan terjadinya resiko kerugian atas investasi pada aktiva, terutama yang berasal dari dana-dana pihak ketiga atau masyarakat. Peningkatan peran aktiva sebagai penghasil keuntungan harus secara simultan dibarengi dengan pertimbangan resiko yang mungkin timbul guna melindungi kepentingan para pemilik dana.

Secara tradisional, modal didifinisikan sebagai sesuatu yang mewakili kepentingan pemilik dalam suatu perusahaan. Berdasarkan nilai buku, modal didifinisikan sebagai kekayaan bersih (net worth) yaitu selisih antara nilai buku dari aktiva dikurangi dengan nilai buku dari kewajiban (liabilities). Pemegang saham menempatkan modalnya pada bank dengan harapan memperoleh hasil keuntungan dimasa yang akan datang. Dalam neraca terlihat pada sisi pasiva bank, yaitu rekening modal dan cadangan. Rekening modal berasal dari setoran para pemegang saham, sedangkan rekening cadangan adalah berasal dari bagian keuntungan yang tidak dibagikan kepada pemegang saham, yang digunakan untuk keperluan tertentu, misalnya untuk perluasan usaha dan untuk menjaga likuiditas karena adanya kredit-kredit yang diragukan atau menjurus kepada macet.

Fungsi modal bank

Menurut Johnson and Johnson[1], modal bank mempunyai tiga fungsi. Pertama, sebagai penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian lainnya.  Dalam fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan.  Kedua, sebagai dasar bagi menetapan batas maksimum pemberian kredit. Hal ini adalah merupakan pertimbangan operasional bagi bank sentral, sebagai regulator, untuk membatasi jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank. Melalui pembatasan ini bank sentral memaksa bank untuk melakukan diversifikasi kredit mereka agar dapat melindungi diri terhadap kegagalan kredit dari satu individu debitur. Ketiga, modal juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relatif untuk menghasilkan keuntungan. Tingkat keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan membandingkan keuntungan bersih dengan ekuitas. Para partisipan pasar membandingkan return on investment diantara bank-bank yang ada.

Brenton C. Leavitt, staf Dewan Gubernor Federal Reserve[2], menekankan pada empat fungsi dari modal bank yaitu :

1.      Untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan, pada saat bank dalam keadaan insolvable dan likuidasi
2.      Untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga kepercayaan masyarakat bahwa bank dapat terus beroperasi.
3.      Untuk memperoleh sarana fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan untuk menawarkan pelayanan bank.
4.      Sebagai alat pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat.

Sumber permodalan bank

George H Hempel[3] membagi modal bank dalam tiga bentuk utama yaitu pinjaman subordinasi, saham preferen dan saham biasa. Beberapa jenis pinjaman subordinasi dan saham preferen dapat dikonversikan menjadi saham biasa, dan saham biasa dapat dikembangkan, baik secara eksternal maupun internal.

Pinjaman Subordinasi terdiri dari semua bentuk kewajiban berbunga yang dibayar kembali dalam jumlah yang pasti (fixed) dalam jangka waktu tertentu. Bentuk pinjaman subordinasi bervariasi dari Capital Notes sampai debenture dengan jangka waktu yang lebih panjang. Surat hutang dalam jumlah kecil dapat diterbitkan dan dijual langsung kepada nasabah bank. Capital Notes lain dan beberapa debenture kecil dapat diterbitkan dan dijual kepada bank koresponden. Debenture dalam jumlah besar dengan jangka waktu yang lebih panjang ditempatkan secara private atau dapat dijual melalui investment bank kepada masyarakat (lembaga keuangan seperti Asuransi, dan Dana Pensiun)[4].

Penentuan sumber-sumber permodalan bank yang tepat adalah didasarkan atas beberapa fungsi penting yang dapat diperani oleh modal bank[5]. Misalnya, bila modal harus berfungsi menyediakan proteksi terhadap kegagalan bank, maka sumber yang paling tepat adalah modal ekuitas (equity capital). Modal ekuitas merupakan penyangga untuk menyerap kerugian dan kecukupan penyangga itu adalah kritikal bagi solvabilitas bank. Oleh karena itu bila kerugian bank melebihi net worth maka likuidasi harus terjadi. Bila modal itu disediakan untuk memberikan proteksi terhadap kepentingan para deposan, maka pinjaman subordinasi dan  debentures juga berfungsi seperti equity capital. Bila kerugian melebihi modal ekuitas maka bank harus dilikuidasi, tetapi dana yang dipasok oleh pemberi modal pinjaman dan pemilik debentures harus menjadi penyangga untuk melindungi kepentingan para deposan. Jadi modal pinjaman tidak secara langsung melindungi kegagalan atau kerugian bank.

Sumber permodalan bank syariah.

Pengkategorian modal pinjaman sebagai salah satu sumber permodalan bank seperti diuraikan di atas adalah konsensus yang dianut oleh perbankan kovensional.  Dalam pandangan syariah, modal pinjaman (subordinated loan) itu termasuk dalam kategori qard, yaitu pinjaman harta yang dapat diminta kembali. Dalam literatur fiqh Salaf Ash Shalih, qard dikategorikan dalam aqad tathawwu’ atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial[6]. Pemberi pinjaman tidak boleh meminta imbalan atas pemberian pinjaman tersebut, karena setiap pemberian pinjaman yang disertai dengan permintaan imbalan termasuk kategori riba. Penerima pinjaman wajib menjamin pengembalian pinjaman tersebut pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu qard mempunyai derajat preferensi yang tinggi, setara dengan kewajiban atau hutang lainnya. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka tidak beralasan bagi qard untuk ikut menanggung resiko atau memberikan proteksi terhadap kegagalan atau kerugian bank ataupun memberikan proteksi terhadap kepentingan deposan. Dengan demikian pinjaman subordinasi tidak dapat dipertimbangkan untuk diperhitungkan sebagai modal bagi bank syariah.

Sebagaimana diuraikan pada bab IV dari buku ini, sumber utama modal bank syariah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Sedangkan kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi hasil (mudharabah). Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepentingan para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard), terutama atas aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi’ah atau qard.

Sebenarnya dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah) dapat juga dikategorikan sebagai modal, yang oleh karenanya disebut kuasi ekuitas. Namun demikian rekening ini hanya dapat menanggung resiko atas aktiva yang dibiayai oleh dana dari rekening bagi hasil itu sendiri. Selain itu, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak untuk menanggung resiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa resiko tersebut timbul akibat  salah urus (mis management), kalalaian atau kecurangan yang dilakukan oleh manajemen bank selaku mudharib. Dengan demikian sumber dana ini tidak dapat sepenuhnya berperan dalam fungsi permodalan bank sebagaimana diuraikan di dalam bab ini. Namun demikian tetap merupakan unsur yang dapat diperhitungkan dalam pengukuran ratio kecukupan modal yang akan diuraikan di bawah ini.

Kecukupan Modal Bank.

Tingkat kecukupan modal bank dinyatakan dengan suatu ratio tertentu yang disebut ratio kecukupan modal atau capital edequasy ratio (CAR). Tingkat kecukupan modal ini dapat diukur dengan cara (1) membandingkan modal dengan dana-dana pihak ketiga dan (2) membandingkan modal dengan aktiva beresiko.

(1)   Membandingkan modal dengan dana-dana pihak ketiga

Dilihat dari sudut perlindungan kepentingan para deposan, perbandingan antara modal dengan pos-pos pasiva merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan masyarakat pada bank. Perhitungannya merupakan ratio modal dikaitkan dengan simpanan pihak ketiga (giro, deposito dan tabungan) sebagai berikut :

      Modal dan cadangan
--------------------------------------  = 10 %
Giro + Deposito + tabungan

Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa ratio modal atas simpanan cukup dengan 10 % dan dengan ratio itu permodalan bank dianggap sehat.

Ratio antara modal dan simpanan masyarakat harus dipadukan dengan memperhitungkan aktiva yang mengandung resiko. Oleh karena itu modal harus dilengkapi oleh berbagai cadangan sebagai penyangga modal, sehingga secara umum modal bank terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.

(2)   Membandingkan modal dengan aktiva beresiko.

Ukuran kedua inilah yang dewasa ini menjadi kesepakatan BIS (bank for International Settlements) yaitu organisasi bank sentral dari negara-megara maju yang disponsori oleh Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropah Barat dan Jepang. Kesepakatan tentang ketentuan permodalan itu dicapai pada tahun 1988, dengan menetapkan CAR, yaitu ratio minimum yang mendasarkan kepada perbandingan antara modal dengan aktiva beresiko.
Kesepakatan ini dilatar-belakangi oleh hasil pengamatan para ahli perbankan negara-negara maju, termasuk para pakar IMF dan World Bank, tentang adanya ketimpangan struktur dan sistem perbankan internasional.

Hal ini didukung oleh beberapa indikasi sebagai berikut :

·         Krisis pinjaman negara-negara Amerika Latin telah mengganggu kelancaran arus peredaran uang internasional.
·         Persaingan yang dianggap unfair antara bank-bank Jepang dengan bank-bank Amerika dan Eropah di Pasar Uang Internasional. Bank-bank Jepang memberikan pinjaman amat lunak (bunga rendah) karena ketentuan CAR di negara itu amat lunak, yaitu antara 2 sampai 3 persen saja.
·         Terganggunya situasi pinjaman internasional yang berakibat terganggunya perdagangan internasional.

Berdasarkan indikasi-indikasi itu lalu BIS menetapkan ketentuan perhitungan Capital Edequacy Ratio (CAR) yang harus diikuti oleh bank-bank di seluruh dunia sebagai aturan main dalam kompetisi yang fair di pasar keuangan global, yaitu ratio minimum 8% permodalan terhadap aktiva berisiko[7].

Penerapan CAR untuk Perbankan Indonesia.

a.      Pengertian modal.

Modal dibagi ke dalam modal inti dan modal pelengkap[8].

Modal inti (tier 1) terdiri dari :

(1)   Modal Setor, yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. Bagi Bank milik koperasi modal setor terdiri dari simpanan pokok dan simpana wajib para anggotanya.
(2)   Agio saham, yaitu selisih lebih dari harga saham dengan nilai nominal saham.
(3)   Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih nilai yang tercatat dengan harga (apabila saham tersebut dijual).
(4)   Cadangan Umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan dengan persetujuan RUPS.
(5)   Cadangan tujuan, yaitu bagian laba setelah pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu atas persetujuan RUPS.
(6)   Laba ditahan, yaitu saldo laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan
(7)   Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS.
Jumlah laba tahun lalu hanya diperhitungkan sebesar 50 % sebagai modal inti. Bila tahun lalu rugi harus dikurangkan terhadap modal inti
(8)   Laba tahun berjalan, yaitu laba sebelum pajak yang diperoleh dalam tahun berjalan.
-          Laba ini diperhitungkan hanya 50% sebagai modal inti.
-          Bila tahun berjalan rugi, harus dikurangkan terhadap modal inti.
(9)   Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut.

Bila dalam pembukuan bank terdapat goodwill, maka jumlah modal inti harus dikurangkan dengan nilai goodwill tersebut.

Bank syariah dapat mengikuti sepenuhnya pengkategorian unsur-unsur tersebut di atas sebagai modal inti, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan prinsp-prinsp syariah.

Modal pelengkap (tier 2)

Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk bukan dari laba setelah pajak serta pinjaman yang sifatnya dipersamakan dengan modal. Secara terinci modal pelengkap dapat berupa :

¨      Cadangan revaluasi aktiva tetap
¨      Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifkaskan
¨      Modal pinjaman yang mempunyai ciri-ciri :
Ø  Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan dipersamakan dengan modal dan telah dibayar penuh
Ø  Tidak dapat dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan BI
Ø  Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal memikul kerugian bank
Ø  Pembayaran bunga dapat ditangguhkan bila bank dalam keadaan rugi
¨      Pinjaman subordinasi yang memenuhi syarat-syarat sbb.:
Ø  Ada perjanjian tertulis antara pemberi pinjaman dengan bank
Ø  Mendapat persetujuan dari BI
Ø  Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan
Ø  Minimal berjangka waktu 5 tahun
Ø  Pelunasan pinjaman harus dengan persetujuan BI
Ø  Hak tagih dalam hal terjadi terjadi likuidasi berlaku paling akhir (kedudukannya sama dengan modal)

Modal pelengkap ini hanya dapat diperhitungkan sebagai modal setinggi-tingginya 100 % dari jumlah modal inti.

Khusus menyangkut modal pinjaman dan pinjaman subordinasi, bank syariah tidak dapat mengkategorikannya sebagai modal, karena sebagaimana diuraikan di atas, pinjaman harus tunduk pada prinsip qard dan qard tidak boleh diberikan syarat-syarat seperti ciri-ciri atau syarat-syarat yang diharuskan dalam ketentuan tersebut.

b.     Tata-cara Perhitungan Kebutuhan modal minimum.

Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Yang dimaksud dengan aktiva dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin dalam kewajiban yang masih bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan bagi pihak ketiga. Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah, penjamin atau sifat barang jaminan.


Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) bank syariah

Resiko atas modal berkaitan dengan dana yang diinvestasikan pada aktiva beresiko, baik yang beresiko rendah ataupun yang resikonya lebih tinggi dari yang lain. ATMR adalah faktor pembagi (denominator) dari CAR sedangkan modal adalah faktor yang dibagi (numerator) untuk mengukur kemampuan modal menanggung resiko atas aktiva tersebut.

Dalam menelaah ATMR pada bank syariah, terlebih dahulu harus dipertimbangkan , bahwa aktiva bank syari’ah dapat dibagi atas:

·         Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan/atau kewajiban atau hutang (wadi’ah atau qard dan sejenisnya) dan
·         Aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil (Profit and loss Sharing Investment Account) yaitu mudharabah (baik General Investment Account/mudharabah mutlaqah yang tercatat pada neraca/on balance sheet maupun Restricted Investment Account/mudharabah muqayyadah yang dicatat pada rekening administratif/off balance sheet).

Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan kewajiban atau hutang, resikonya ditanggung oleh modal sendiri, sedangkan aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil, resikonya ditanggung oleh dana rekening bagi hasil itu sendiri. Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan di atas, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak untuk menanggung resiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa resiko tersebut timbul akibat  salah urus (mis management), kalalaian atau kecurangan yang dilakukan oleh manajemen bank selaku mudharib. Oleh karenanya tetap ada potensi resiko, (katakanlah dengan probability 50 %), yang harus ditanggung oleh modal bank sendiri. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa atas aktiva ini harus pula dibentuk PPAP.

Berdasarkan pembagian jenis aktiva tersebut di atas, maka pada prinsipnya bobot resiko bank syari’ah atas :

·         Aktiva yang dibiaya oleh modal bank sendiri dan / atau dana pinjaman (wadi’ah, card dan sejenisnya) adalah 100 %. Sedangkan
·         Aktiva yang dibiaya oleh pemegang rekening bagi hasil (baik general ataupun restricted investment account) adalah 50 %

Penggolongan lebih lanjut (berdasarkan rating pihak-pihak yang dibiayai / pengelola dana investasi atau penjaminnya) dapat mengkuti ketentuan Bank Indonesia ataupun Busle commitee  yang ada.

Pada prisipnya bank syariah dalam memperhitungkan kecukupan modalnya mengikuti metodologi Basle[9], kecuali beberapa unsur sebagaimana diuraikan di atas.

A.    KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (KAP)

Aktiva produktif bank syari’ah dapat dibedakan atas :

  1. Piutang penjualan (murabahah) dan sewa (ijarah)
  2. Investasi pada:
·         Musyarakah
·         Mudharabah
·         Salam
·         Istishna’
·         Persediaan
·         Aktiva yang disewakan.

Kualitas piutang penjualan (murabahah) dan sewa (ijarah) didasarkan pada kemampuan membayar, kondisi keuangan dan prospek usaha. Demikian juga kualitas investasi pada musyarakah dan mudharabah dapat di dasarkan atas tingkat kesesuaian antara realisasi bagi hasil dengan proyeksinya, kondisi keuangan dan prospek usaha.

Dalam pembiayaan mudharabah, bank dapat menolak untuk menanggung resiko, bila ternyata diakibatkan oleh kesengajaan, kelalian atau pelanggaran oleh nasabah sebagai mudharib. Berdasarkan hal itu maka faktor jaminan dalam pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan untuk menutup resiko tersebut.

Salam dan istishna’ adalah cara memperoleh barang dengan membayar di muka sedang barangnya akan diterima kemudian, dan bukan aktiva produktif. Oleh karena itu tidak diperlukan perhitungan KAPnya. Sedangkan untuk masalah pencadangannya diatur dalam standar akuntansi sebagaimana unsur aktiva lain (seperti aktiva dalam proses). Demikian pula halnya dengan persediaan dan aktiva yang disewakan.

--o0o--



[1] Lihat Frank P. Johnson and Richard D. Johnson, Commercial Bank Management, (New York : The Dryden Press, 1985), hlm.331-332
[2] Lihat George H. Hempel, Alan B.Coleman and Donald G.Simonson, Bank Management, Text and Cases, (New York : John Wiley & Sons, 1986), hlm. 168-169.
[3] Ibid, hlm.156.
[4] ibid.
[5] Frank P. Johnson , Loc.Cit.
[6] Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama BI dan Tazkia Institute, 1999) hlm.223.
[7] Muchdarsyah Sinungan, Strategi Manajemen bank, Menghadapi Tahun 2000, (Jakarta : penerbit Rineka Cipta, 1994) hlm.131-132.
[8] Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993.
[9] Capital Adequacy Ratio Committee, Statement on The Purpose and Calculation of the Capital Adequacy Ratio for Islamic Banks, (Manama, Bahrain : Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution, 1999).

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id