Bank adalah lembaga kepercayaan.
Oleh karena itu manajemen bank harus menggunakan semua perangkat operasionalnya
untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu. Salah satu perangkat yang
sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu adalah permodalan yang cukup
memadai. Modal merupakan faktor yang amat penting bagi perkembangan dan
kemajuan bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Setiap penciptaan
aktiva, disamping berpotensi menghasilkan keuntungan juga berpotensi
menimbulkan terjadinya resiko. Oleh karena itu modal juga harus dapat digunakan
untuk menjaga kemungkinan terjadinya resiko kerugian atas investasi pada
aktiva, terutama yang berasal dari dana-dana pihak ketiga atau masyarakat.
Peningkatan peran aktiva sebagai penghasil keuntungan harus secara simultan
dibarengi dengan pertimbangan resiko yang mungkin timbul guna melindungi
kepentingan para pemilik dana.
Secara tradisional, modal
didifinisikan sebagai sesuatu yang mewakili kepentingan pemilik dalam suatu
perusahaan. Berdasarkan nilai buku, modal didifinisikan sebagai kekayaan bersih
(net worth) yaitu selisih antara
nilai buku dari aktiva dikurangi dengan nilai buku dari kewajiban (liabilities). Pemegang saham
menempatkan modalnya pada bank dengan harapan memperoleh hasil keuntungan
dimasa yang akan datang. Dalam neraca terlihat pada sisi pasiva bank, yaitu
rekening modal dan cadangan. Rekening modal berasal dari setoran para pemegang
saham, sedangkan rekening cadangan adalah berasal dari bagian keuntungan yang
tidak dibagikan kepada pemegang saham, yang digunakan untuk keperluan tertentu,
misalnya untuk perluasan usaha dan untuk menjaga likuiditas karena adanya
kredit-kredit yang diragukan atau menjurus kepada macet.
Fungsi
modal bank
Menurut Johnson and Johnson[1],
modal bank mempunyai tiga fungsi. Pertama, sebagai penyangga untuk
menyerap kerugian operasional dan kerugian lainnya. Dalam fungsi ini modal memberikan
perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan perlindungan terhadap
kepentingan para deposan. Kedua, sebagai
dasar bagi menetapan batas maksimum pemberian kredit. Hal ini adalah merupakan
pertimbangan operasional bagi bank sentral, sebagai regulator, untuk membatasi
jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank. Melalui pembatasan
ini bank sentral memaksa bank untuk melakukan diversifikasi kredit mereka agar
dapat melindungi diri terhadap kegagalan kredit dari satu individu debitur. Ketiga,
modal juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk
mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relatif untuk menghasilkan
keuntungan. Tingkat keuntungan bagi para investor diperkirakan dengan
membandingkan keuntungan bersih dengan ekuitas. Para partisipan pasar
membandingkan return on investment diantara
bank-bank yang ada.
Brenton C. Leavitt, staf Dewan
Gubernor Federal Reserve[2],
menekankan pada empat fungsi dari modal bank yaitu :
1. Untuk
melindungi deposan yang tidak diasuransikan, pada saat bank dalam keadaan
insolvable dan likuidasi
2. Untuk menyerap
kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga kepercayaan masyarakat bahwa bank
dapat terus beroperasi.
3. Untuk
memperoleh sarana fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan untuk
menawarkan pelayanan bank.
4. Sebagai alat
pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat.
Sumber
permodalan bank
George H Hempel[3]
membagi modal bank dalam tiga bentuk utama yaitu pinjaman subordinasi, saham
preferen dan saham biasa. Beberapa jenis pinjaman subordinasi dan saham
preferen dapat dikonversikan menjadi saham biasa, dan saham biasa dapat
dikembangkan, baik secara eksternal maupun internal.
Pinjaman Subordinasi terdiri dari
semua bentuk kewajiban berbunga yang dibayar kembali dalam jumlah yang pasti
(fixed) dalam jangka waktu tertentu. Bentuk pinjaman subordinasi bervariasi
dari Capital Notes sampai debenture dengan jangka waktu yang lebih
panjang. Surat hutang dalam jumlah kecil dapat diterbitkan dan dijual langsung
kepada nasabah bank. Capital Notes
lain dan beberapa debenture kecil
dapat diterbitkan dan dijual kepada bank koresponden. Debenture dalam jumlah besar dengan jangka waktu yang lebih panjang
ditempatkan secara private atau dapat dijual melalui investment bank kepada masyarakat (lembaga keuangan seperti
Asuransi, dan Dana Pensiun)[4].
Penentuan sumber-sumber permodalan
bank yang tepat adalah didasarkan atas beberapa fungsi penting yang dapat
diperani oleh modal bank[5].
Misalnya, bila modal harus berfungsi menyediakan proteksi terhadap kegagalan
bank, maka sumber yang paling tepat adalah modal ekuitas (equity capital). Modal ekuitas merupakan penyangga untuk menyerap
kerugian dan kecukupan penyangga itu adalah kritikal bagi solvabilitas bank.
Oleh karena itu bila kerugian bank melebihi net
worth maka likuidasi harus terjadi. Bila modal itu disediakan untuk memberikan
proteksi terhadap kepentingan para deposan, maka pinjaman subordinasi dan debentures
juga berfungsi seperti equity capital.
Bila kerugian melebihi modal ekuitas maka bank harus dilikuidasi, tetapi dana
yang dipasok oleh pemberi modal pinjaman dan pemilik debentures harus menjadi
penyangga untuk melindungi kepentingan para deposan. Jadi modal pinjaman tidak
secara langsung melindungi kegagalan atau kerugian bank.
Sumber
permodalan bank syariah.
Pengkategorian
modal pinjaman sebagai salah satu sumber permodalan bank seperti diuraikan di
atas adalah konsensus yang dianut oleh perbankan kovensional. Dalam pandangan syariah, modal pinjaman (subordinated loan) itu termasuk dalam
kategori qard, yaitu pinjaman
harta yang dapat diminta kembali. Dalam literatur fiqh Salaf Ash Shalih, qard
dikategorikan dalam aqad tathawwu’
atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial[6].
Pemberi pinjaman tidak boleh meminta imbalan atas pemberian pinjaman tersebut,
karena setiap pemberian pinjaman yang disertai dengan permintaan imbalan
termasuk kategori riba.
Penerima pinjaman wajib menjamin pengembalian pinjaman tersebut pada saat jatuh
tempo. Oleh karena itu qard
mempunyai derajat preferensi yang tinggi, setara dengan kewajiban atau hutang
lainnya. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka tidak beralasan bagi qard untuk ikut menanggung resiko
atau memberikan proteksi terhadap kegagalan atau kerugian bank ataupun
memberikan proteksi terhadap kepentingan deposan. Dengan demikian pinjaman
subordinasi tidak dapat dipertimbangkan untuk diperhitungkan sebagai modal bagi
bank syariah.
Sebagaimana diuraikan pada bab
IV dari buku ini, sumber utama modal bank syariah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal
dari para pemilik bank, yang terdiri
dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan
laba ditahan. Sedangkan kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam
rekening-rekening bagi hasil (mudharabah).
Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau
kerugian bank dan melindungi kepentingan para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard), terutama atas aktiva yang
didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi’ah
atau qard.
Sebenarnya
dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah)
dapat juga dikategorikan sebagai modal, yang oleh karenanya disebut kuasi
ekuitas. Namun demikian rekening ini hanya dapat menanggung resiko atas aktiva
yang dibiayai oleh dana dari rekening bagi hasil itu sendiri. Selain itu,
pemilik rekening bagi hasil dapat menolak untuk menanggung resiko atas aktiva
yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa resiko tersebut timbul akibat salah urus (mis management), kalalaian atau kecurangan yang dilakukan oleh
manajemen bank selaku mudharib. Dengan demikian sumber dana ini tidak dapat
sepenuhnya berperan dalam fungsi permodalan bank sebagaimana diuraikan di dalam
bab ini. Namun demikian tetap merupakan unsur yang dapat diperhitungkan dalam
pengukuran ratio kecukupan modal yang akan diuraikan di bawah ini.
Kecukupan
Modal Bank.
Tingkat kecukupan modal bank
dinyatakan dengan suatu ratio tertentu yang disebut ratio kecukupan modal atau capital edequasy ratio (CAR). Tingkat
kecukupan modal ini dapat diukur dengan cara (1) membandingkan modal dengan
dana-dana pihak ketiga dan (2) membandingkan modal dengan aktiva beresiko.
(1)
Membandingkan modal
dengan dana-dana pihak ketiga
Dilihat dari sudut perlindungan
kepentingan para deposan, perbandingan antara modal dengan pos-pos pasiva
merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan masyarakat pada bank.
Perhitungannya merupakan ratio modal dikaitkan dengan simpanan pihak ketiga
(giro, deposito dan tabungan) sebagai berikut :
Modal dan cadangan
-------------------------------------- = 10 %
Giro + Deposito + tabungan
Dari perhitungan tersebut diketahui
bahwa ratio modal atas simpanan cukup dengan 10 % dan dengan ratio itu
permodalan bank dianggap sehat.
Ratio antara modal dan simpanan
masyarakat harus dipadukan dengan memperhitungkan aktiva yang mengandung
resiko. Oleh karena itu modal harus dilengkapi oleh berbagai cadangan sebagai
penyangga modal, sehingga secara umum modal bank terdiri dari modal inti dan
modal pelengkap.
(2)
Membandingkan modal
dengan aktiva beresiko.
Ukuran kedua inilah yang dewasa ini
menjadi kesepakatan BIS (bank for
International Settlements) yaitu organisasi bank sentral dari negara-megara
maju yang disponsori oleh Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropah Barat
dan Jepang. Kesepakatan tentang ketentuan permodalan itu dicapai pada tahun
1988, dengan menetapkan CAR, yaitu ratio minimum yang mendasarkan kepada
perbandingan antara modal dengan aktiva beresiko.
Kesepakatan ini dilatar-belakangi
oleh hasil pengamatan para ahli perbankan negara-negara maju, termasuk para
pakar IMF dan World Bank, tentang adanya ketimpangan struktur dan sistem
perbankan internasional.
Hal ini didukung oleh beberapa
indikasi sebagai berikut :
·
Krisis pinjaman negara-negara Amerika Latin telah
mengganggu kelancaran arus peredaran uang internasional.
·
Persaingan yang dianggap unfair antara bank-bank Jepang dengan bank-bank Amerika dan Eropah
di Pasar Uang Internasional. Bank-bank Jepang memberikan pinjaman amat lunak
(bunga rendah) karena ketentuan CAR di negara itu amat lunak, yaitu antara 2
sampai 3 persen saja.
·
Terganggunya situasi pinjaman internasional yang
berakibat terganggunya perdagangan internasional.
Berdasarkan indikasi-indikasi itu
lalu BIS menetapkan ketentuan perhitungan Capital
Edequacy Ratio (CAR) yang harus diikuti oleh bank-bank di seluruh dunia
sebagai aturan main dalam kompetisi yang fair
di pasar keuangan global, yaitu ratio minimum 8% permodalan terhadap aktiva
berisiko[7].
Penerapan
CAR untuk Perbankan Indonesia.
a.
Pengertian modal.
Modal dibagi ke dalam modal inti dan
modal pelengkap[8].
Modal
inti (tier 1)
terdiri dari :
(1) Modal Setor,
yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. Bagi Bank milik koperasi
modal setor terdiri dari simpanan pokok dan simpana wajib para anggotanya.
(2) Agio saham,
yaitu selisih lebih dari harga saham dengan nilai nominal saham.
(3) Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan
saham, termasuk selisih nilai yang tercatat dengan harga (apabila saham
tersebut dijual).
(4) Cadangan Umum,
yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan dengan
persetujuan RUPS.
(5) Cadangan tujuan, yaitu bagian laba setelah pajak yang disisihkan untuk
tujuan tertentu atas persetujuan RUPS.
(6) Laba ditahan, yaitu
saldo laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan
(7) Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum
ditetapkan penggunaannya oleh RUPS.
Jumlah laba tahun lalu hanya
diperhitungkan sebesar 50 % sebagai modal inti. Bila tahun lalu rugi harus
dikurangkan terhadap modal inti
(8) Laba tahun berjalan, yaitu laba sebelum pajak yang diperoleh dalam tahun
berjalan.
-
Laba
ini diperhitungkan hanya 50% sebagai modal inti.
-
Bila
tahun berjalan rugi, harus dikurangkan terhadap modal inti.
(9) Bagian kekayaan
bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal
inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan penyertaan bank pada anak
perusahaan tersebut.
Bila dalam pembukuan bank terdapat
goodwill, maka jumlah modal inti harus dikurangkan dengan nilai goodwill
tersebut.
Bank syariah dapat mengikuti
sepenuhnya pengkategorian unsur-unsur tersebut di atas sebagai modal inti,
karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan prinsp-prinsp syariah.
Modal
pelengkap (tier 2)
Modal pelengkap terdiri atas
cadangan-cadangan yang dibentuk bukan dari laba setelah pajak serta pinjaman
yang sifatnya dipersamakan dengan modal. Secara terinci modal pelengkap dapat
berupa :
¨
Cadangan revaluasi aktiva tetap
¨
Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifkaskan
¨
Modal pinjaman yang mempunyai ciri-ciri :
Ø
Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan
dipersamakan dengan modal dan telah dibayar penuh
Ø
Tidak dapat dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa
persetujuan BI
Ø
Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal
memikul kerugian bank
Ø
Pembayaran bunga dapat ditangguhkan bila bank dalam
keadaan rugi
¨
Pinjaman subordinasi yang memenuhi syarat-syarat sbb.:
Ø
Ada perjanjian tertulis antara pemberi pinjaman dengan
bank
Ø
Mendapat persetujuan dari BI
Ø
Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan
Ø
Minimal berjangka waktu 5 tahun
Ø
Pelunasan pinjaman harus dengan persetujuan BI
Ø
Hak tagih dalam hal terjadi terjadi likuidasi berlaku
paling akhir (kedudukannya sama dengan modal)
Modal pelengkap ini hanya dapat
diperhitungkan sebagai modal setinggi-tingginya 100 % dari jumlah modal inti.
Khusus
menyangkut modal pinjaman dan pinjaman subordinasi, bank syariah tidak dapat
mengkategorikannya sebagai modal, karena sebagaimana diuraikan di atas,
pinjaman harus tunduk pada prinsip qard
dan qard tidak boleh diberikan
syarat-syarat seperti ciri-ciri atau syarat-syarat yang diharuskan dalam
ketentuan tersebut.
b. Tata-cara
Perhitungan Kebutuhan modal minimum.
Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva
tertimbang menurut risiko (ATMR). Yang dimaksud dengan aktiva dalam perhitungan
ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang
bersifat administratif sebagaimana tercermin dalam kewajiban yang masih
bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan bagi pihak ketiga.
Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang
besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri
atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah, penjamin atau sifat barang
jaminan.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko
(ATMR) bank syariah
Resiko atas modal berkaitan dengan dana yang
diinvestasikan pada aktiva beresiko, baik yang beresiko rendah ataupun yang
resikonya lebih tinggi dari yang lain. ATMR adalah faktor pembagi (denominator) dari CAR sedangkan modal
adalah faktor yang dibagi (numerator)
untuk mengukur kemampuan modal menanggung resiko atas aktiva tersebut.
Dalam
menelaah ATMR pada bank syariah, terlebih dahulu harus dipertimbangkan , bahwa
aktiva bank syari’ah dapat dibagi atas:
·
Aktiva
yang didanai oleh modal sendiri dan/atau kewajiban atau hutang (wadi’ah atau
qard dan sejenisnya) dan
·
Aktiva
yang didanai oleh rekening bagi hasil (Profit
and loss Sharing Investment Account) yaitu mudharabah (baik General
Investment Account/mudharabah mutlaqah yang tercatat pada neraca/on balance sheet maupun Restricted Investment Account/mudharabah
muqayyadah yang dicatat pada rekening administratif/off balance sheet).
Aktiva
yang didanai oleh modal sendiri dan kewajiban atau hutang, resikonya ditanggung
oleh modal sendiri, sedangkan aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil,
resikonya ditanggung oleh dana rekening bagi hasil itu sendiri. Namun demikian,
sebagaimana telah diuraikan di atas, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak
untuk menanggung resiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa resiko
tersebut timbul akibat salah urus (mis management), kalalaian atau
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen bank selaku mudharib. Oleh karenanya
tetap ada potensi resiko, (katakanlah dengan probability 50 %), yang harus
ditanggung oleh modal bank sendiri. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa atas
aktiva ini harus pula dibentuk PPAP.
Berdasarkan
pembagian jenis aktiva tersebut di atas, maka pada prinsipnya bobot resiko bank
syari’ah atas :
·
Aktiva
yang dibiaya oleh modal bank sendiri dan / atau dana pinjaman (wadi’ah, card dan sejenisnya) adalah 100
%. Sedangkan
·
Aktiva
yang dibiaya oleh pemegang rekening bagi hasil (baik general ataupun restricted
investment account) adalah 50 %
Penggolongan
lebih lanjut (berdasarkan rating pihak-pihak
yang dibiayai / pengelola dana investasi atau penjaminnya) dapat mengkuti
ketentuan Bank Indonesia ataupun Busle commitee
yang ada.
Pada
prisipnya bank syariah dalam memperhitungkan kecukupan modalnya mengikuti
metodologi Basle[9],
kecuali beberapa unsur sebagaimana diuraikan di atas.
A. KUALITAS
AKTIVA PRODUKTIF (KAP)
Aktiva
produktif bank syari’ah dapat dibedakan atas :
- Piutang penjualan (murabahah) dan sewa (ijarah)
- Investasi pada:
·
Musyarakah
·
Mudharabah
·
Salam
·
Istishna’
·
Persediaan
·
Aktiva yang disewakan.
Kualitas
piutang penjualan (murabahah) dan
sewa (ijarah) didasarkan pada
kemampuan membayar, kondisi keuangan dan prospek usaha. Demikian juga kualitas
investasi pada musyarakah dan mudharabah dapat di dasarkan atas
tingkat kesesuaian antara realisasi bagi hasil dengan proyeksinya, kondisi
keuangan dan prospek usaha.
Dalam
pembiayaan mudharabah, bank dapat
menolak untuk menanggung resiko, bila ternyata diakibatkan oleh kesengajaan,
kelalian atau pelanggaran oleh nasabah sebagai mudharib. Berdasarkan hal itu
maka faktor jaminan dalam pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan untuk
menutup resiko tersebut.
Salam dan
istishna’ adalah cara memperoleh
barang dengan membayar di muka sedang barangnya akan diterima kemudian, dan
bukan aktiva produktif. Oleh karena itu tidak diperlukan perhitungan KAPnya.
Sedangkan untuk masalah pencadangannya diatur dalam standar akuntansi
sebagaimana unsur aktiva lain (seperti aktiva dalam proses). Demikian pula
halnya dengan persediaan dan aktiva yang disewakan.
--o0o--
[1] Lihat
Frank P. Johnson and Richard D. Johnson, Commercial
Bank Management, (New York : The Dryden Press, 1985), hlm.331-332
[2] Lihat
George H. Hempel, Alan B.Coleman and Donald G.Simonson, Bank Management, Text and Cases, (New York : John Wiley & Sons,
1986), hlm. 168-169.
[3] Ibid,
hlm.156.
[4] ibid.
[5] Frank P.
Johnson , Loc.Cit.
[6] Lihat
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah,
wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama BI dan
Tazkia Institute, 1999) hlm.223.
[7]
Muchdarsyah Sinungan, Strategi Manajemen
bank, Menghadapi Tahun 2000, (Jakarta : penerbit Rineka Cipta, 1994)
hlm.131-132.
[8] Surat
Edaran Bank Indonesia No. 26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993.
[9] Capital
Adequacy Ratio Committee, Statement on The Purpose and Calculation of the
Capital Adequacy Ratio for Islamic Banks, (Manama, Bahrain : Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institution, 1999).
0 Comments:
Post a Comment