Dalam bukunya ”Megatrends” (2000) Naisbitt dan Aburdene pernah menyatakan bahwa diantara kecendrungan baru menjelang abad 21 adalah ”The Religious Survival of the New Millennium”, banyak pihak yang menyatakan bahwa hal tersebut terlalu antusias karena seakan-akan mengukuhkan harapan tentang ”kebangkitan kembali agama” setelah terseret arus modernitas yang membawa sekularisasi, dalam bingkai westernisasi, individualism dan materialism. Namun antusiasme itu berubah ketika disisi yang lain mereka mengumandangkan realitas baru (the new reality) tentang ”Spirituality, yes; Organized Religion, no!.”
Pandangan Naisbitt dan Aburdene sesungguhnya mencerminkan kegelisahan ketika dalam suatu mayarakat tertentu menunjukkan kecendrungan bahwa agama terlalu sering diinstitusionalisasikan dalam berbagai lembaga formal, atau politisasi agama dalam berbagai bentuk kepentingan politik praktis yang dilakukan oleh para politikus. Kegelisahan inilah, yang salah satunya dan pada gilirannya menjadikan agama terjebak pada politik praktis yang diusung para penguasa atau politisi yang haus akan kekuasaan dengan menempatkan agama sebagai tameng utama dalam merebut jabatan tinggi dalam lembaga-lembaga negara.
Agama sebagai sesuatu yang “suci” dan memainkan peranan yang sangat dalam perubahan sosial, pada kenyataannya agama juga dapat menjadi “alat” kekuasaan untuk membangun kekuatan, merekayasa dan membentuk pemerintahan. Agama dijadikan “alat” pembenaran, penguat, pengesahan dan legitimasi sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti inilah, yang sering dinamakan “politisasi agama” yang telah penulis sebutkan di atas. Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan “tumbal” oleh yang namanya kekuasaan.
Pada masyarakat beragama yang sedikit tidak masih memiliki nilai religiusitas yang tinggi, apalagi sangat tradisional, dalam arti tingkat pemahaman politik keagamaan yang masih rendah politik seringkali dijadikan lompatan utama untuk mencapai tujuan tertentu, terutama tujuan politik itu sendiri. Tidak mengherankan jika kecendrungan politisi yang masih menganut konsep agama masih terus menghiasi dinamika kekuasaan di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung dan tanpa malu-malu mereka memposiskan agama sebagai manuver utama untuk manarik simpati dan kepercayaan dari masyarakat pemilih (audience)
Bahkan tidak jarang Elite-elite agama menjadi “kaki tangan” kekuasaan untuk melegalkan keinginan kekuasaan. Hasan Hanafi sehubungan dengan ini, mengulasnya dalam Human Al-Fikr Al-Watan di alihbahasakan menjadi Oposisi Pasca Tradisi. Terkait dengan kekuasaan ini Hanafi menyebutkan bahwa dalam satu negara setidaknya telah terjadi dua tradisi, yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Tradisi kekuasaan inilah yang dominan menjadikan agama sebagai “alat” kekuasaan.
Hanafi menulis “…negara menyatu dengan tradisi kekuasaan. Dengan tradisi itu negara menjadi kuat, mampu menguasai gerakan sosial dan dapat mengawasi persekongkolan terhadap tradisi oposisi untuk menahan rakyat untuk tidak memunculkan tradisi tersebut dan berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Tokoh-tokoh agama mengkodifikasi tradisi negara dan negara memasukan tokoh-tokoh oposisi ke dalam penjara. Negara memberikan kepada tokoh agama yang pro tradisi dengan jebatan-jabatan keagamaan...kemudian menuduh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan negara sebagai kelompok kafir, atheis, zindiq...(Hanafi.2003:2).
Elite-elite agama sengaja “dijinakkan” oleh negara atau pemerintah berkuasa dengan tujuan agar dapat mendukung keinginan-keinginan rancangan-rancangan yang telah dipersiapkan oleh penguasa. Pada masa era orde baru kondisi seperti ini, nampaknya juga pernah berlaku, dimana elite-elite agama yang mampu mendukung tradisi pemerintahan dipelihara dengan pemberian jabatan dan penghormatan-penghormatan yang tinggi, sedangkan yang berseberangan sering disisihkan malahan malahan dituduh sebagai “pembangkang”
Dalam konteks ini, nampak pula distorsi. Dimana agama juga dapat dipermainkan oleh pemegang kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang memanfaatkan elite-elite agama sabegai agent komunikatif pada masyarakat. Justifikasi-justifikasi yang diberikan oleh elite-elite agama tentu sangat berpotensi dalam mengamankan kekuasaan dari pada kritikan, pembangkangan dari pada masyarakat. Sebagai missal dalam hal ini yakni adanya adanya pendapat dari sebagian kalangan yang menganggap fatwa haram golput sebagai fatwa politik dan pesanan dari yang berkuasa, konsekuensinya ia hanya sebatas fatwa politik yang tidak membawa-bawa masalah surga dan neraka, dosa pahala, namun lebih pada penggunaan hak suara dal proses pemilihan umum. Keluarnya fatwa ini diindikasi oleh sebagian kalangan sebagai counter terhadap pernyataan yang menganjurkan untuk golput dalam pemilu kali ini.
Konsekuensi politisasi agama ini kadang-kadang membuat pemisahan-pemisahan ajaran agama dengan kegiatan manusia. Agama dianggap sebagai wilayah individu yang berjurang dengan ruang gerak sosial. Agama berjurang dengan negara, institusi-institusi negara dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga wilayah agama betul-betul menjadi wilayah privat dan tidak menyentuh wilayah publik. Dengan pernyataan lain “Berikan kepada Tuhan hak Tuhan dan berikan kepada Negara hak Negara” padahal disis lain ada yang berpendapat bahwa tidak ada pemisahan antara Agama dan Negara. Makanya fenomena-fenomena sosial yang kita lihat penuh dengan kegiatan-kegiatan yang kontroversi dengan ajaran agama.
Disinilah kita melihat bahwa kecendrungan penguasa atau politisi di negeri ini semakin memporak-porandakan konsep kemurnian agama yang dijadikan alat dan tujuan untuk mencapai keinginan sesaat. Untuk kekuasaan. Bahkan, agama ditempatkan sebagai sentrum pendulang suara melalui kesan fragmentasi yang utopis. Karena mereka sadar bahwa kekuasaan dan agama merupakan dua hal yang saling terkait cukup erat dalam masyarakat Indonesia.
Tercatat bahwa sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini kekuasaan selalu menggunakan tameng agama karena agama adalah sebagai satu-satunya alat legitimasi yang paling efektif untuk melanggengkan status quo. Dalam konteks inilah maka agama seolah-olah hanya berfungsi sebagai alat untuk kepentingan kelompok, golongan bahkan partai tertentu, bukan sebagai way of life atau pandangan hidup bagi kemaslahatan umat. Bila agama hanya ”diawetkan” sebagai mesin-mesin kepentingan, maka wajah kekuasaan bakal dironai dengan perpecahan dan disintegrasi (Kompas, 17 Desember 2005).
Politisasi agama kedalam ranah kekuasaan ini, menjadikan agama kekurangan makna bagi umatnya. Agama dikendalikan untuk kepentingan kekuasaan, semestinya agamalah yang mengendalikan kekuasaan. Fenomena seperti ini sering terjadi dalam kekuasaan yang dengannya agama hanya menjadi alat pembenaran dan legitimasi kekuasaan.
Sebagai missal di Thailand pada tahun 1960 Panglima Tertinggi Sarit Thanarat, pernah membuat politiasasi agama Budaha dengan mengintruksikan kepada seluruh pendeta Budha untuk tidak mengkhotbahi nilai-nilai kepuasan hati sesuai dengan ajaran Budha. Tujuannya adalah, agar kekuasaan Sarit Thanarat dapat berjalan sekehendak hati kekuasaan. Dimana waktu itu moto pemerintahannya adalah “bekerja untuk uang, uang adalah kerja, kebahagian menjadi mungkin.” Kemudian seiring dengan itu, institusi-institusi tradisional diambil alih perannya oleh lembaga-lembaga sekuler.
Disisi lain, Max Weber (2002:144), mewanti-wanti dan menyatakan bahwa ketidakpercayaan terhadap kekuasaan, yang menjadi sindrom bagi agama-agama keselamatan yang genuine, memiliki dasar alamiah yang patut dipertimbangkan. Itulah sebabnya pemaknaan keselamatan dan substansi ajaran kenabiaan patut segera dikembangkan pada kekuasaan yang bersifat etik. Etika yang terbentuk harus lebih terorientasi pada nilai-nilai batiniah yang suci (the sacred) sebagai alat keselamatan sehingga menghindari nafsu kekuasaan yang menghadang. Suatu hal yang naif apabila nilai substansi agama dipolitisasi dalam berbagai bentuk.
Kita sering mendengar ungkapan yang menyatakan ”agama untuk kekuasaan” dan ”kekuasaan untuk agama”. Banyak kalangan yang sering memperdebatkan ungkapan retoris tersebut karena dianggap memiliki kesamaan pemahaman walaupun pada hakikatnya dua ranah yang berbeda. Mereka hanya menjadikan agama ada dalam hidup, bukan menjadikan hidup dalam agama. Karenanya kedua ungkapan tersebut penting untuk dibedakan.
Disatu sisi, ”agama untuk kekuasaan”, menurut sebagian orang, cendrung merendahkan posisi agama, karena kekuasaan sebagai tujuan, dan agama dijadikan sebagai alat. ”Agama untuk kekuasaan”, kita bisa mengambil contoh dari partai-partai politik yang menggunakan teks-teks, idiom-idiom, simbol-simbol, atau ajaran-ajaran agama dengan memaksakannya seolah teks-teks itu mendukung posisi politik yang telah diambil partai bersangkutan. Agama menjadi kemasan, sementara isinya kepentingan politik. Ketika agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan, maka berarti agama sangat rentan terhadap manipulasi. Disini pula tawaran Cak Nur tentang Islam Yes, partai islam no perlu dipikirkan.
Pada sisi lain, ”kekuasaan untuk agama”, seolah tampak lebih luhur, karena mereka menganggap agama tetap luhur, sementara politiklah yang merupakan alat. "Kekuasaan untuk agama", meski seolah-olah agama menjadi raja dan tujuan, namun menyebarkan virus yang dapat mematikan nilai-nilai demokrasi yang sehat. Ketika ”agama” menjadi tujuan itu sendiri, agama menggantikan Tuhan, menggantikan Yang Absolut. Jika kekuasaan dipahami sebagai pengorbanan, maka kekuasaan yang bertujuan agama, pada gilirannya akan menimbulkan semacam perjuangan demi Tuhan (a battle for God) sebagaimana yang terjadi pada kaum fundamentalis di Barat atau Yahudi. Demikian halnya dengan gerakan khilafah islamiyah (misalnya dalam pandangan sementara politikus muslim tau penerapan syariat islam kaffah) dan pemahaman lainnya dalam konsep agama-agama dunia.
Maka dari itu, agama sebagai kemasan perlu dihindari, terlepas dari pentingnya sebuah identitas bagi kelompok. Identitas hanya berlaku sebagai tanda pengenal, bukan untuk memperlakukan yang lain secara berbeda. Simbol penting, tetapi pertengkaran politik pada simbol akan mengalihkan persoalan tentang isi yang lebih penting. Begitu pula, dengan simbol agama yang banyak diusung oleh politisi dalam rangka memperoleh kepercayaan dan kekuasaan yang diharapkan
Bupati : Mari 'Kabua Kancore' Akta Kelahiran Anak
7 tahun yang lalu
0 Comments:
Post a Comment