Islam dalam ajarannya melarang siapa pun berhubungan dengan riba, karena riba merupakan perbuatan syaitan dan diancam akan menjadi penduduk neraka, hal ini dengan jelas ditegaskan Allah swt dalam al Qur’an surah Al Baqarah ayat 272 yang artinya : “…pada hal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan, dan urusannya terserah kepda Allah). Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba) , maka orang-orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya….” Kemudian keterangan lain yang berkaitan dengan riba ini Allah swt pertegas kembali pada ayat 278 pada surat yang sama yang artinya “hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. Sedangkan Rasulullah saw sendiri di dalam hadisnya mengutuk orang yang memakan riba (H.R. Muslim). Pada kesempatan lain, kata Tirmidzi larangan Rasulullah saw yang dimaksud disini adalah ditujukan kepada orang yang menyimpan, memakan serta memberikannya kepada orang lain.
Mengingat pada zaman Rasulullah saw belum ada jasa perbankan, maka sebagian ulama masih berbeda pandangan tentang status bunga bank. Apakah termasuk katagori riba atau bukan? Sudut pandang mana yang digunakan oleh ulama ini dalam mengambil keputusan sehubungan dengan polemik ini?
Secara bahasa riba berarti, ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic riba juga berarti : tumbuh dan membesar, sedangkan menurut istilah tekhnis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Memang ada beberapa pendapat mengenai riba tetapi secara umumdapat ditarik suatu kesimpulan bahwa riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun dalam pinjam meminjam secara bathil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip bermuamalah dalam islam.
Islam memandang riba merupakan sumber atau akar dari kerusakan sebuah perekonomian, hal ini misalnya dimana pada zaman rasulullah saw orang dipinjami uang dari orang lain mempunyai peluang kecil untuk melindunginya sewaktu-waktu sampai suatu saat tidak mampu lagi membayar karena bunganya yang berlipat-lipat, sehingga terkadang mereka membayarnya dengan menyerahkan salah seorang anggota keluarganya. Mereka terpaksa menjual keluarganya sebagai budak demi melunasi uatng-utang mereka. Beberapa pendapat ulama-ulama terdahulu terkait riba yakni diantaranya.
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa uang harus dijaga sesuai dengan aturan-aturan moral, beliau berusaha mengungkapkan bahwa uang bukan hanya sebuah komuditas tapi juga sebagai alat yang dipakai untuk mempraktekkan keinginan bermoral dalam kegiatan kehidupan nyata, jadi bukan lagi mekanisme pasar yang menjadi penentu terhadap harga uang tersebut.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa uang hanya sebagai alat unbtuk memperoleh suatu obyek, uang bukan sebagai konsumsi. Jadi disini beliau ingin menyampaikan bahwa uang itu hanya sebagai alat yang dipakai sebagai barang produksi bukan barang konsumsi. Dengan mengacu pada pendapat ini, maka uang hanya dapat menghasilkan jasa nyata sampai uang tersebut digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa lainnya, dari situlah dapat menghasilkan pendapatan.
Ibnu al Qoyyim berpendapat bahwa uang adalah netral untuk transaksi inter-temporal. Tidak boleh ada spekulasi, menurutnya tidak boleh ada harga spekulasi yang diambil dari persfektif inter-temporal. Karena itu tidak boleh ada harapan atas harga yang menciptakan harga uang dalam bentuk bunga. (Munrokhim Misanam P.h.D Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan)
Bentuk-bentuk riba terbagi atas 3 bentuk yakni : Pertama yakni riba Jahiliyah. Dalam kitab ahkam al qur’an, al Jassas (w. 370/981), seorang ahli hukum dan mufassir Hanafi terkemuka, menerangkan bahwa riba yang dikenal dan dipraktekkan oleh msyarakat arab (jahiliyah) itu sesungguhnya adalah pengkreditan (meminjamkan) uang dirham atau dinar untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan atas jumlah yang dipinjam sesuai dengan kesepakatan mereka…. Inilah praktek yang popular dikalangan mereka.
Pada bagian lain dari Ahkam Al Qur’an, ia menjalaskan bahwa riba jahiliyah itu sesungguhnya adalah suatu kredit berjangka dengan tambahan pengembalian yang diisyaratkan. Jadi tambahan itu merupakan imbalan atas jangka waktu yang diberikan. Maka allah yang maha tinggi membatalkan dan mengharamkannya, serta menegaskan dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu dan menegaskan juga dan tinggalkanlah sisa-sisa riba.
Ibn Rusyd (w. 520/1126), filosof Islam dan ahli hukum Maliki, dalam karyanya Bidayah al-Mujtahid, menyatakan bahwa adapaun riba hutang piutang yang berada dalam tanggung gugat (zimmah) ada dua macam, satu macam disepakati yaitu riba jahiliyah yang dilarang itu, bentuknya adalah bahwa mereka memberi pinjaman dengan tambahan dan memberi penangguhan.
Dari pernyataan yang diungkapkan al-Jassas dan Ibn Rusyd di atas digambarkan bahwa riba yang dipraktekkan pada zaman jahiliyah itu adalah kredit berbunga yang diberikan oleh kreditur dengan ketentuan debitur memberi tambahan sebagai imbalan jangka waktu dan tambahan itu disyaratkan dalam perjanjian.(Prof.Dr.H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer. Hal.88-89)
Kedua, riba al-Qarud / Riba Nasi’ah adalah riba atas pinjaman. Dalam jenis riba ini, kreditur diberi beban atas pinjaman karena berlalunya waktu, riba ini diesbut riba nasiah karena penangguhan waktu pembayaran (riba karena menunggu) pada riba muncul apabila seseorang meminjam kekayaan milik orang lain dalam bentuk apapun, kemudian melakukan akad untuk membayar kembali kepada orang tersebut sejumlah yang disepakati sebelumnya disamping pokok pinjaman.
Ketiga, riba Fadl (Riba Fuyu) yakni riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi criteria dan kualitasnya, sama kwantitasnya dan sama waktu penyerahannya. Contohnya yakni transasksi jual beli mata uang asing tidak dengan spot (Tarekh El Diwani, The Problem With Interest, hal.173)
Di dalam Al Qur’an riba dilarang melalui empat tahap yakni : pertama, dalam Q.S. Ar Rum ayat 39 yang menceritakan tentang perbandingan riba dan zakat dan sadaqah dan memuji zakat dan shadaqoh bukan riba. Q.S. Ar Rum ayat 39 menyatakan “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan allah swt, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”
Kedua, dalam Q.S. An Nisa’ ayat 160-161 yang menceritakan tentang hubungan praktek riba dan bangsa yahudi dan menganggap praktek riba sebagai sesuatu yang zalim. Q.S. An Nisa’ ayat 160 menyatakan “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dank arena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan allah swt” Q.S. An Nisa’ ayat 161 “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”
Ketiga, dalam Q.S. Ali Imran ayat 130 yang menceritakan tentang pelarangan praktek double dan multiple riba. Q.S. Ali Imran ayat 130 menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (228) dan bertaqwalah kamu kepada allah agar kamu mendapat keberuntungan” (228) yang dimaksud riba disini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama, riba nasi’ah itu selamanya haram. Walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam : riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat arab zaman jahiliyah.
Keempat, dalam Q.S. Al Baqarah ayat 275-281 yang menceritakan secara konklusif melarang semua bentuk riba. Apapun yang lebih dari uang yang dipinjam tidak dibolehkan.(Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, hal.76-80) Q.S. Al Baqarah ayat 275 menyatakan “Orang-orang yang makan (mengambil) riba (174) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syeitan lantaran (tekanan) penyakit gila (175) keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambil dahulu (176) (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada allah orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya ”
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 276 menyatakan “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah (177) dan allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (178)” dalam Q.S. Al Baqarah ayat 277 menyatakan “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan solat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi tuhannya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 278 menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada allah dan tinggalkan sisi riba (yang belum dipungut) jiuka kamu orang-orang yang beriman”
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 279 menyatakan “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa allah dan rasulnya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 280 menyatakan “Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 281 menyatakan “Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (174) Riba itu ada dua macam : riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya.
Riba yang dimaksud dalam ayat ini ialah riba nasi’ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat arab zaman jahiliyah. (175) Maksudnya : orang yang mengambil riba tidak tentram jiwanya seperti orang yang kemasukan syeitan. (176) Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. (177) Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya dan yang dimaksud dengan menyuburkan shadaqah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya. (178) Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya
Dalam hadis Rasulullah saw juga ada pelarangan terhadap praktek-praktek riba diantaranya yakni : Pertama, hadis yang berasal dari Aun Ibn Hanifah yang meriwayatkan dari ayahyan bahwa rasulullah saw telah mengutuk baik kepada pembayar maupun penerima riba. Kedua, Abdullah Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mengutuk orang-orang yang menerima dan memberi riba, orang yang mencatatkan urusan riba, dan menjadi saksi dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa mereka semuanya sama (dalam melakukan perbuatan dosa). Ketiga, Menurut Jabir, Rasulullah saw mengutuk orang-orang yang menerima dan membayar riba serta orang-orang yang menjadi saksi. Keempat, Sabda beliau saw, pada waktu menunaikan hajinya yang terakhir, beliau bersabda yang maksudnya ialah bahwa “Segala bentuk riba diharamkan, sesungguhnya modal yang kamu miliki adalah untukmu, kamu tidak akan dianiaya dan tidak akan menganiaya. Allah telah menurunkan perintahNya bahwa riba diharamkan sama sekali. Saya bermula dengan (jumlah) bunga (yang dipinjamkan kepada banyak orang) dari Abbas dan membatalkan semuanya” selanjutnya beliau atas nama pamanya “Abbas telah membatalkan seluruh total bunga terhadap pinjaman modal dari para peminjam”
Pendapat dan pandangan para ulama fikih, baik ulama klasik maupun kontemporer sehubungan dengan bunga bank, apakah tergolong riba atau bukan? Diantaranya tanggapan tersebut adalah : Pertama, pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Syeikh Syaltut yakni “Pinjaman berbubga dibolehkan bila sangat dibutuhkan” fatwa ini muncul tatkala beliau ditanya tentang kredit yang berbunga dan kredit suatu Negara dan Negara lain atau perorangan. Kedua, pendapat atau fatwa Syeikh Rasyid Ridha, bahwa beliau membenarkan kaum muslimin mengambil hasil bunga dari penduduk negeri kafir. Beliau berkata “Menurut ketentuan asal syariat harta penduduk negeri kafir harbi boleh diambil oleh pihak yang menguasainya dan menghalalkannya. Riba mengandung kedzaliman, tetapi mendzalimi orang kafir harbi tidak haram, karena sebagai tindak balasan terhadap kedzalimannya”
Pendapat Guru Besar Hukum Islam Universitas Amman, Yordania. Mustafa Ahmad as Zarqa, mengemukakan pendapat sama dengan Abdul Hamid Hakim yakni mengatakan yaitu termasuk riba fadl dibolehkan karena darurat dan bersifat sementara.(Muhamad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam. Hal.57-58)
Sedangkan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan pelarangan riba. Tertuang pada keputusan pada fatwa nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (interest/fa’idah), MUI memutuskan sebagai berikut :
a. Pengertian bunga (interest) dan riba bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uangb (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjamanb tanpa diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti dimuka, dan pada umumnya berdasarkan prosentase.
b. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
c. Hukum bunga (interest)
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi criteria yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yakni riba nasi’ah. Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba. Dan riba hukumnya haram.
d. Praktek penggunaan tersebut hukumnya adalah haram. Baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
e. Bermu’amalah dengan lembaga keuangan konvensional yakni pertama untuk wilayah yang sudah ada kantor/lembaga keuangan syariah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. Kedua, untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi dilembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.
Dari penjelasan di atas setidaknya dapat disimpulkan bahwa riba merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun dalam pinjam meminjam secara bathil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip bermu’amalah dalam islam. Karena itu tindakan semacam ini dilaknat dan dilarang oleh Allah swt, namun dalam keadaan yang darurat tetap dibolehkan seperti yang disebutkan oleh ulama yang dijelaskan di atas.
Makna darurat yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan emergency, dimana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian dan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bisa dikatakan riba bila sudah berlipat ganda merupakan pendapat yang keliru dalam hal memahami surat Ali Imran ayat 130. maksud ayat ini sesungguhnya hanya mengindikasikan karakter riba itu yang cenderung berkembang dan berlipat sejalan bertambahnya waktu, karena jikalau diartikan berlipat, akan sangat tidak mungkin jikalau bank akan mau melakukan sampai berlipat meskipun hanya dua kali lipat (tidak logis).
Bupati : Mari 'Kabua Kancore' Akta Kelahiran Anak
7 tahun yang lalu
0 Comments:
Post a Comment