Rabu, 25 Februari 2009

Time Is Money?

“Uang ibarat cermin, ia tidak memiliki warna tapi dapat merefleksikan semua warna” (Al-Ghazali)
Sangat sulit untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dalam kondisi seperti sekarang. Sejak 1997 nilai tukar rupaih ‘tidak berdaya’ menghadapi mata uang asing, termasuk dolar. Meski demikian dalam sistem perekonomian kita saat ini, uang menempati posisi dan fungsi yang sangat strategis, ia bagaikan darah dalam tubuh manusia, yang dengannya tidak heran pula jika masyarakat kita mengidentikkan atau malah menyamakan waktu adalah uang, yang keberadaannya bahkan dapat menjadi indikator bagaimana kondisi riil perekonomian.
Namun benarkah demikian? Bagaimana persfektif ekonomi Islam menjelaskan hal ini? Teori keuangan memang mendasarkan argumen bunganya dengan konsep time value of money (nilai waktu uang) namun bagaimana dengan konsep economic value of time (nilai ekonomis dari waktu) seperti yang ditawarkan Adiwarman A. Karim (seorang pakar ekonomi islam).
Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian. (Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, 2003).
Kuantitas waktu bagi tiap orang adalah sama yakni 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan. Namun demikian nilai waktu bagi setiap orang tentu akan berbeda. Hal ini akan bergantung pada bagimana orang tersebut memanfaatkan waktu. Semakin efektif (tepat guna) dan efesien (tepat cara) orang tersebut menggunakan waktunya maka akan semakin tinggi nilai waktu tersebut baginya.
Kedua indikator pemanfaatan waktu tersebut (efektif dan efesien) tentunya akan memberikan komitmen yang secara langsung akan dirasakan saat beraktivitas dalam kegiatan ekonomi sehari-hari artinya secara sunnatullah manfaatnya akan langsung dirasakannya disini. Di dunia. Dalam islam, keuntungan yang menjadi tujuan atau aktivitas mu’amalah seorang muslim yakni tidak hanya di dunia saja, namun juga di akhirat. Karenannya pemanfaatan waktu tersebut juga harus didasari pada nilai (keimanan) dan hal tersebut merupakan tujuan tertinggi atau keuntungan yang hendak diwujudkan di akhirat.
Sebaliknya jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, berarti terdapat beberapa faktor yang menjadikan seseorang itu merugi. Di dalam al Qur’an terkait dengan hal tersebut dijelaskan dalam Q.S. Al Ashr ayat 1-3. Dimana di dalam surah ini Allah swt bersumpah “demi waktu” untuk membantah anggapan manusia dan menegaskan bahwa tidak ada yang dinamai waktu sial atau waktu mujur, semua waktu adalah sama. Yang berpengaruh adalah sampai sejauh mana manusia menggunakan waktunya secara efektif dan efesien. Selanjutnya dalam surah tersebut juga dijelaskan bahwa semua manusia berada dalam kerugian, kecuali bagi mereka yang memiliki empat sifat yakni beriman, beramal saleh, berwasiat tentang kebenaran dan berwasiat tentang kesabaran atau ketabahan.
Untuk lebih memperjelas hal tersebut, dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai “a dollar today u worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return (damodaran, Aswath dalam Adiwarman A. Karim, 2004)”.jika memperhatikan definisi tersebut memang terasa ada yang belum ada yakni bukankah dalam berinvestasi selalu terbuka kemungkinan untuk timbulnya posistif, negatif, atau bahkan no return?
Contoh untuk hal tersebut misalnya tabungan, karena disadari bahwa terdapat orang yang ingin menyimpan persediaan untuk kebutuhan di masa yang akan datang, semisal kebutuhan dihari tua, kesehatan atau pendidikan. Jika uang tersebut dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu yang telah dicapai, maka dengan demikian tercapainya tujuan tersebut adalah merupakan suatu imbalan yang wajar, tanpa perlu mendapatkan imbalan tambahan. Namun demikian anggapan ini justru tidak bermaksud mengatakan bahwa konsumsi di masa yang akan datang harus dipandang sebagai kurang bernilai dari konsumsi dimasa sekarang. (Adiwarman A. Karim, 2004).
Karena dalam ekonomi Islam tidak menghargai waktu sebagai uang, maka imbalan atas konsumsi yang ditunda tidak perlu diberikan. Bukankah pilihan orang untuk menabung atau mengkonsumsi juga ditentukan oleh kebutuhan. Memang jika penabung diberikan imbalan bunga misalnya, tentunya hal ini akan berpengaruh dan menimbulkan perubahan terhadap pilihannya dan kemungkinan besar hal itulah yang mengakibatkan penabungan uang atau penimbunan barang secara berlebih-lebihan. Perbuatan penimbunan barang dan penabungan yang secara berlebih-lebihan inilah yang dengan tegas dilarang oleh Al Qur’an dalam Q.S. At Taubah ayat 34-35 yang artinya “sampaikanlah hukuman yang berat terhadap orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan allah. Sesungguhnya akan tiba saatnya harta mereka itu akan dihancurkan oleh api neraka dan dahi, lambung dan punggung mereka akan dihanguskan olehnya (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Karena penimbunan itulah yang dapat mengakibatkan lenyapnya sejumlah uang atau barang dari peredaran yang dapat mengakibatkan depresi ekonomi dan penderitaan bagi masyarakat secara luas. Bukankah tidak ada yang dapat menjamin bahwa tabungan tersebut akan digunakan untuk sektor-sektor produktif karena ia memiliki fungsi rangkap liquiditas (liquidity trap).
Pada dasarnya uang memiliki fungsi pada tiga hal yakni sebagai alat tukar yang memisahkan antara keputusan membeli dan menjual, sebagai satuan pengukur nilai terhadap suatu komuditas dan terakhir sebagai alat penyimpan kekayaan. Dengan ketiga fungsi ini, maka untuk menjaga dan menstabilkan fungsi uang terkait erat dengan kebijakan moneter. Dimana kebijakan moneter tersebut harus memiliki kontribusi positif dalam mewujudkan tujuan sosio ekonomi misalnya pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan serta tingkat pertumbuhan ekonomi riil optimal yang berakibat pada tiadanya pengangguran dan tentunya stabilitas nilai mata uang.
Dalam sistem ekonomi islam, meningkatnya permintaan uang bersumber pada kebutuhan untuk bertransaksi dan berjaga-jaga yang sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendapatan dan distribusinya, sebaliknya jika permintaan uang bertujuan untuk berspekulasi yang misalnya hal tersebut dapat dipicu oleh fluktuasi suku bunga maka hal tersebut diharamkan dan hal tersebut tergolong ke dalam riba nasi’ah. Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah pelaku ekonomi tidak masuk ke dalam suatu sistem yang cara-caranya tidak diketahui. Karena itu dalam sistem moneter islami posisi dan fungsi bank memiliki perbedaan yang mendasar. Uang dalam perbankan islami difungsikan sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, namun bukan sebagai barang dagangan. Uang tidak diperjualbelikan baik secara langsung maupun kredit yang dapat dimonopoli oleh seseorang atau kelompok.
Selanjutnya keadaan ini juga ditolak oleh teori finance yakni dengan menjelaskan adanya hubungan antara resiko dan pendapatan atau keuntungan. Bukankah return goes along with risk? Kata Bang Adi.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id