Rabu, 25 Februari 2009

Listrik Selaparang

Apakah dimalam-malam terakhir ini listrik dirumah atau digubuk atau diistana anda mati? Sama, dikampung saya juga mati. Matinya listrik di malam-malam terakhir ini membuat orang banyak yang ngomel, marah, jengkel dan terkadang melupakan bahwa ia kreatif, mahluk yang inovatif, ditambah dija malam itu ada PR bagi para pelajar, tugas kantor, apalagi operasi tumor misalnya, upacara kematian, selamatan hingga upacara sunatan dan malam zaffaf bagi para pengantin.
Ngomel juga disertai sumpah serapah, dasar PLN! Dan seterusnya dan seterusnya. Akhirnya dengan keadaan ini mari kita berdiskusi saja, gratis, tidak bayar, didepan beranda rumah tentang iuran uang listrik yang tiap bulannya kita bayarkan, kok tidak ada diskon, tidak ada potongan, tentang sutet milik PLN yang disesali oleh penduduk, tentang orang mati yang kesetrum karena mencuri listrik dans eterusnya dan seterusnya.
Begitu listrik mati, tetangga-tetangga saya banyak juga yang mengomel, tidak sedikit yang mengelus dada dan banyak lainnya yang hanya diam. Menunggu listrik menyala, teman-teman kost pada cemberut, malah ada yang teriak-teriak segala. Kentara sekali jikalau kita sangat tergantung kalau tidak ketergantungan pada yang namanya listrik pada alat yang kita buat sendiri yang diciptakan sendiri oleh manusia. Kita lupa padahal ada minyak tanah yang dengan itu kita dapat membuat penerangan, buat lampu, dari botol kraktingdaeng atau dari kaleng susu dan lainnya.
Menyebut hal itu salah seorang tetangga saya bertanya. Waktu zaman raja Selaparang dulu, ada minyak tanah tidak ya? Selanjutnya diskusi makin menjadi hangat, soalnya sambil menunggu listrik menyala teman-teman dan para tetangga ikut duduk-duduk diserambi depan rumah. Untung tidak ada Pak Ahmad JD yang ahli sejarah itu yang mendengar diskusi malam itu yang saya rasa akan menjawabnya dengan sangat persis. Kira-kira apa kata pak Ahmad JD tentang hal ini?
Kita tahu orang-orang bahkan para pangeran dan raja-raja dari berbagai kerajaan dating untuk melamar Putri Mandalika, atau saat Arya Banjar Getas diutus untuk meminang seorang putrid idaman raja kira-kira mereka menggunakan minyak tanah tidak ya? Tetapi yang jelas saat itu listrik belum ada jawab seorang rekan.
Kita juga akrab dengan sumpah Palapa maha patih Gadjah Mada, kecemburuan social Rangga Lawe atau ulah Raden Wijaya yang menjebak pasukan Cina itu, atau sejarah perang Bubut antara Bali dan Lombok, tetapi diantara itu semua banyak juga yang kita tidak ketahui persis misalnya bagaimana pakaian prajurit selaparang waktu itu, warna topinya bagaimana, apakah mereka menjahit pakaiannya sendiri atau malah di obras di Hadi Taylor kata tetangga yang berlagak jenaka dan yang terakhir ini jelas tidak mungkin.
Yang jelas dari sejarah selaparang kita hanya mengetahui tentang hal-hal yang menyangkut kekuasaan, dari buku-buku sejarah juga melulu tentang pergeseran dan perebutan kekuasaan. Jarang bahkan tidak pernah diulas tentang motif pakaian yang mereka gunakan, sandal yang digunakan bagaimana, semua berisi kekuasaan. Kita isi jiwa anak-anak SD-SMP-SMA dengan melulu ambisi kekuasaan.
Kita mengerti Putri Mandalika karna parasnya ayu lantas mengorbankan diri agar tidak terjadi peperangan, untuk perdamaian, perebutan kekuasaan, yang kuat yang berhak memiliki, yang kuat yang berhak berkuasa. Tapi kita juga kurang paham bahwa bias jadi sang putrid berjiwa Kartini, bias jadi sama seperti Marsinah, bahkan Margareth Teacher ala Inggris itu.
Lepas dari itu semua kita terkadang jarang berfikir bahwa patih Gadjah Mada melakukan itu tanpa menggunakan motor, tidak juga mobil, tidak ada minyak tanah, bensin bahkan listrik, tanpa pistol, tanpa peluru, tanpa satelit. Waktu itu apa ia di kerajaan Selaparang ada pabrik bola lampu? Atau pabrik pengolahan minyak tanah?
Karena alasan ketergantungan, saat ini kita merasakan listrik mati seperti orang kebakaran jenggot, seperti tidak makan tiga hari, kita lupa bahwa jika tidak ada rotan maka akarpun jadi? Jangan gara-gara listrik mati kearifan kita terganggu, tujuan besar kita gagal, iakan tidak dapat, air keruh dan daun tunjung pun layu. Kalau motor mogok atau pecah bannya kita hamper-hampir malas naik sepeda apatah lagi jalan kaki, malu, gengsi. Mentalitas kita memang begitu, kalau baju robek malu pakai, buat lap saja, kita juga sekarang sudah tidak kuat lagi berlama-lama jalan diatas krikil, atau diaspal tanpa sandal, kecuali untuk alas an kesehatan karena rematik atau saran dokter misalnya.
Ini bukan menggurui tapi memang kenyataannya demikian mentalitas kita atelah berubah, kita lupa pepatah bijak orang tua kita : Piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng tunjung tilah, saya rasa begitu.
Akhirnya lampu menyala, malam yang tadinya gelap sekarang agak sedikit terang walau ada juga disudut sana agak remang-remang, akhirnya akankah kita akan kembali ketabiat semula? Ah saya juga tak tahu karena kita dari dulu memang selalu begitu

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id