Selasa, 03 Maret 2009

Mekanisme Pendistribusian Modal (Persfektif Teori Batas Syahrur)

Jika ada seorang bertanya kepada saya : tidakkah anda berpuas diri dengan apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam memahami al Kitab dan al Qur’an? Dengan penuh keyakinan dan keberanian saya akan menjawab : tidak sama sekali, saya tidak akan pernah merasa puas atas capaian pemahaman mereka, karena dasar-dasar dan latar belakang keilmuan saya berbeda dari mereka. Metode ilmiah yang saya gunakan juga berbeda. Saya juga hidup pada masa yang sama sekali berbeda dari mereka. Demikian pula, tantangan permasalahan yang saya hadapi berbeda dari tantangan yang mereka hadapi. Saat ini saya bergelut dengan berbagai aliran filsafat yang sangat kuat mempengaruhi model berfikir saya, saya juga hidup dalam suasana perkembangan ilmu pengetahuan yang ikut menentukan setiap keputusan dan kecendrungan yang saya ambil dalam hidup saya. Oleh karena itu, saya merasa tidak puas jika saya katakana bahwa saya menerima begitu saja apa yang telah dicapai oleh para sahabat dalam pemahaman mereka terhadap al Qur’an dan hadis.” (Syahrur, 2007 : 192-193).
Suatu keniscayaan bahwa hukum islam kontemporer berlandaskan kepada kemaslahatan. Konsep kemaslahatan ini menjadi sangat penting manakala persoalan sekarang dirasa tidak mampu lagi diakomodir oleh fikih klasik. Beragam persoalan tidak lagi memiliki rujukan dalam kitab fikih klasik sehingga ijtihad baru sangat dimungkinkan. Ijtihad kontemporerpun tidak lantas diterima begitu saja namun justru timbul masalah baru. Ijtihad ini terkadang bahakan sering berbenturan dengan metode yang selama ini dipahami dan digunakan dalam istimbath hukum. Ushul fikih misalnya dipandang oleh sebagian kalangan ahli hukum sudah tidak lagi mampu memberi solusi yang memadai dalam konteks kekinian. Sehingga upaya-upaya untuk merekonstruksi ulang atau setidaknya menyempurnakan pada bagian-bagian yang sudah “udzur” dirasa sangat mendesak untuk dilakukan.
Mashadir al-syariah (ortodoksi) klasik yakni yang terdiri dari Al Qur’an, Hadis, Ijmaq, Qiyas dan seterusnya dirasa oleh sebagian yang lain tidak lagi “membumi” dalam penerapan dan pembinaan hukum islam. Permasalahan terletak bukan pada urutan item-item ortodoksi, namun lebih pada keberadaan beberapa landasan yang harus dilihat dan dikaji dalam persfektif yang berbeda. Akibatnya hampir semua item itu mulai dipertanyakan tak terkecuali Al Qur’an itu sendiri, meskipun dalam pemaknaannya saja. Beberapa diantaranya misalnya seperti pembacaan Abu Zayd dengan pendekatan Linguistik Historis yang bermuara pada teks al Qur’an dalam konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz’i) dan realitas Sosial Historis.1 Fazlurrahman, Arkoun, ‘Abid al-Jabiry2 masing-masing dengan pembacaan teks yang terkait dengan konteks tak ketinggalan pula hermeneutika al Qur’an. Juga Syahrur dengan penolakan terhadap sinonimitas bahasa Arab yang dengannya teks-teks al Qur’an benar-benar bebas dari konteksnya,3 merupakan bentuk-bentuk “penjamahan” wilayah inti ortodoksi.
Problematika sekitar Mahadir I-Syar’iyah sebenarnya dapat ditelusuri sejak awal kelahirannya. Al-Qiyas misalnya, sejak awal telah dipertentangkan menyangkut keikutsertaannya dalam deretan ortodoksi kecuali Imam syafi’I -yang memperkenalkan metode qiyas sebagai sumber hukum- Selain imam empat, Al Ghazali misalnya dalam al-Mustafa tidak menyebutkan qiyas sebagai mashadir syar’iyah utama.4. Selain itu yang lebih spektakuler adalah at-Tufi. Ia menawarkan Mashadir itu terdiri dari nash, ijmak dan maslahah. Tiga konsep inilah yang dapat menjadi instrument dalam menggali hukum yang sah. Dan lagi, apabila nash bertentangan dengan maslahah maka dahulukan maslahah (al-Aslu Kully). Sementara apabila paradox antara nash dan ijmak berlaku takhsis auw tabyyin. Dalam hal ini lagi-lagi yang paling dekat dengan maslahah itulah yang didahulukan.5
Tokoh lain yang berorientasi pada konsep maslahat adalah al-Syatibi. Dalam Muafaqah fi Ushuli al-Syar’i ia mengatakan bahwa tujuan utama Allah swt menetapkan hukum adalah untuk terwujudnya maslahah hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum.6 Senada dengan itu, Zainuddin abd Salam, juga telah mengelaborasi konsep maslahah secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadah dan menarik manfaat. Sedangkan Mahmud Syaltut menegaskan bahwa maslahat itu berada dalam wilayah mu’amalah. Sementara sumber hukum bagi orang yang melakukan ijtihad adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ra’yu.7
Konsekuensi dari pembahasan di atas yakni tinjauan tentang istilah qath’I yang selama ini kita kenal dalam ushul fikih harus ditinjau kembali. Qath’I selama ini kita definisikan sebagai sesuatu yang pasti, tidak dapat diubah-ubah oleh ijtihat, sementara dzanni sesuatu yang pasti karenanya dapat dijamah oleh ijtihat. Sebab itu selama ini, fikih menyimpulkan bahwa yang qath’I adalah hukum yang sarih dan meyakinkan ditunjuk oleh nash (Al Qur’an dan Hadist). Sedangkan dzanni adalah hukum yang karinah nashnya kurang sahih, ambigu dan mengandung pengertian yang berbeda-beda. Sesungguhnya yang qat’I, tidak berubah-ubah dan bersifat pasti adalah nilai-nilai matriknya (maslahah dan keadilan) itu sendiri.
Lantas bagaimana kemaslahatan itu dimaknai? Jumhur ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa kemaslahatan itu dibingkai dalam Maqashid al-Syar’iyah atau Maqasid al-Khamsah. Al-Syatibi (w.790/1388) dan yang lainnya menguraikannya menjadi hifz ad-din, hifz nafs, hifz ‘aql, hifz nashb, hifz maal. Penjabaran selanjutnya oleh ulama ushul fikih tidak terkecuali al Ghazali mencerminkan skala prioritas pada masing-masingnya.8 Skala prioritas dimaksud adalah pertama Dharuriyyat. Kedua, al-Hajjat. Ketiga, Thahshiniyyah. Imam Haramaen (Mazhab Syafi’iyyah) dan Juwaini -guru Imam al-Ghazali- mengistilahkan dengan, pertama, Dharuriyah. Kedua, al-Hajjah, ketiga, Makramah.9
Karena itu semangat kemaslahatan sebagai tujuan hukum meski ada. Hanya saja prioritas dan wilayah yang kadang-kadang berbeda satu sama lain. Tidak terkecuali Syahrur juga berangkat dari konsep maslahat. Asumsi-asumsi dasar ketika ia coba membangun teorinya penuh dengan premis-premis kulliyah. Beberapa pertanyaan mendasar dapat kita telusuri dalam karyanya Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer bahwa “Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada abad kedua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad saw baru saja wafat dan menyampaikannya sendiri kepada kita. Karena itu pembacaan terhadap al kitab harus dalam persfektif nalar zaman abad kedua puluh sekarang”10 dalam komentar ini jelas sekali mengandung muatan maslahat.
Hal lain yang mendasar dalam kajian Syahrur adalah dimensi filsafat humaniora11 menurut Syahrur, pemikiran arab kontemporer, termasuk didalamnya pemikiran islam, memiliki masalah-masalah mendasar sebagai berikut. Pertama, tidak adanya metode ilmiah obyektif. Selama ini pengkajian terhadap agama dan keagamaan selalu bersifat normative.12 Kedua, adanya prokonsepsi terhadap sebuah masalah sebelum dilakukan penelitian. Sebagai contoh, apabila bicara masalah posisi perempuan dalam islam. Para peneliti islam berkesimpulan terlebih dahulu, mereka menyimpulkan bahwa perempuan sudah proporsional dalam islam dan islam agama yang paling adil terhadap perempuan. Model seperti ini dapat dinamakan sebagai pendekatan apologetic (Apologetic Aproach). Ketiga, pemikiran islam tidak memanfaatkan konsep-konsep dalam filsafat humaniora dan tidak berinteraksi dengan dasar-dasar teorinya. Keempat, tidak adanya teori islam kontemporer dalam ilmu humaniora yang disimpulkan secara langsung dari Al Qur’an.13 Kelima, kenyataan bahwa kaum muslimin sedang menghadapi krisis ilmu fikih.
Setelah kita jejaki bagaimana konsep maslahat diikutsertakan untuk menetapkan hukum yang berkeadilan, selanjutnya konsep ini akan kita telusuri sampai penjelasan sfesifik masalah kontemporer. Secara umum banyak hal yang dapat dijelaskan dengan pendekatan maslahat. Tetapi dalam kerangka operasionalnya tetap memerlukan wilayah yang lebih sfesifik dan teori lain sebagai alat analisis. Tidak mungkin kita menemukan maslahat sebelum di analisis dengan metode yang sesuai.
Karena itu pada pembahasan kali ini kita akan mencoba membatasi hanya pada konsep distribusi modal dalam persfektif Syahrul. Artinya kita akan bersama-sama dengan Syahrul mendekati ayat-ayat riba, shadaqah dan zakat dalam persfektif teori limitnya.
Yang harus dipahami bahwa konsep maslahat merupakan tema besar dalam kajian Syahrur, sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu. Hanya saja kemudian konsep ini tidak disebut-sebut lagi karena memang Syahrur memiliki kerangka operasional sendiri yang diperlukan untuk membaca teks Al Qur’an. Penekanan pada kerangka operasional ini semata-mata untuk menjaga sestematis dan keberurutan pembahasan. Sebab dengan kerangka itu kita dapat memahami konsep Syahrur sampai pada teori limitnya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Syahrul tidak menganut sinonimisis dalam bahasa Arab. Menurutnya setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independent. Tidak ada kontekstualisasi bagi teks, penerimaannya maupun penyusunannya. Dengan kata lain Al Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami Al Qur’an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup ummat.14
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa nabi hanya sebagai penerima dan ia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan. Peranannya hanya sebatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan, sebagai contoh pertama (the fast mirror) dari beragam variasi perwujudan al Qur’an. Karena itu, dilihat dari pendekatan linguistiknyan dengan rumusan independensi teks ini terdapat perbedaan-perbedaan mendasar antara beberapa ungkapan kunci dalam diskursusnya seperti pembedaan antara al Qur’an dan Ummul Kitab, kenabian dan kerasulan serta al Inzal dan al Tanzil. Sedangkan konsep Istiqamah dan Hanifiyah sebagai wilayah pemberlakuan (elastisitas) hukum. Selain itu pimikiran Syahrur juga dipengaruhi filsafat alamiah, dasar-dasar ilmu alam dan humaniora selain pendekatan linguistic.15 Konsep istiqamah dan hanifiyah ini yang nantinya akan melahirkan theory limit.


a.Al-Kitab dan Al Qur’an, Kenabian (Nubuwwah) dan Kerasulan (al-Risalah)
Syahrur berpendapat bahwa al Qur’an tidak mencakup keseluruhan al kitab, tetapi hanya mencakup dimensi kenabian (Nubuwwah). Syariah (Hukum Islam) adalah termasuk dimensi kerisalahan, yang disebut sebagai umm al kitab (Induk al Kitab). Ayat-ayat umm al kitab mencakup tema-tema tentang batas-batas hukum Tuhan (Hudud), ibadah ritual, pilar-pilar moral berupa wasiat-wasiat, ajaran-ajaran (ta’limat) dan ayat-ayat bersifat local temporal16. Al Qur’an dan umm al kitab, kenabian dan kerisalahan tercakup dalam istilah al kitab ini. Mengenai kandungan al kitab terhadap dua model ayat : mutasyabihat yang bersifat figurative dan alegoris juga muhkamat sebagai ayat-ayat ketetapan hukum. Bagian terakhir ini Syahrur memiliki kesimpulan seperti yang lain.
Perbedaan antara al kitab dan al Qur’an sejajar dengan perbedaan konsep nubuwwah (kenabian) dan al Risalah. Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi aturan hukum dan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat obyektif dan independent sedangkan yang kedua bersifat subyektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.
Disini saya ingin mengatakan satu poin yang sangat penting yaitu bahwa al Qur’an adalah kitab tentang realitas empiris dan historis, oleh karenanya ia tidak mengandung tema-tema akhlak, ketaqwaan, kepatutan ataupun kelayakan. Ia tidak dapat ditetapkan dengan ungkapan “demikianlah para ahli fiqh telah bersepakat” atau “demikianlah yang dikatakan oleh mayoritas ulama (jumhur)”. Kami berpendapat bahwa al Qur’an dan al-sab’u al matsni sama sekali tidak terikat dengan pendapat generasi salaf (benar-benar independent). Pemahaman kami hanya terikat oleh prinsip-prinsip metode ilmiah, pemikiran objektif dan kaidah penalaran yang sesuai dengan latar belakang keilmuan pada zaman sekarang. Al Qur’an adalah realitas obyektif yang bersifat material dan historis sama sekali tidak tunduk pada kesepakatan mayoritas ilmuan, meskipun semuanya terdiri dari ahli taqwa. Al Qur’an hanya tunduk dibawah kaidah penelitian ilmiah, meskipun para peneliti bukan terdiri dari orang-orang yang bertaqwa.
Pesan-pesan yang terkandung dalam misi kenabian (nubuwwah) adalah pesan-pesan moral, keadilan, agaliter, kemerdekaan dan sebagainya (kuliyyah) sementara dalam misi kerasulan (al Risalah) mengandung model penerapan pada kali pertama tentang hukum-hukum allah pada masyarakat Arab. Penerapan pesan-pesan juz’I ini merupakan variasi kali pertama yang dicontohkan Rasul.
Penafsiran dan ijtihad merupakan hal yang berbeda bagin Syahrur. Penafsiran meliputi perubahan makna dan teks ambigu hingga bias menimbulkan dua persepsi atau lebih dari satu kata yang sama. Sementara ijtihad adalah proses dimana bahasa hukum dipergunakan untuk menghasilkan hukum tertentu yang sesuai dengan hukum tertentu dan waktu dan tempat tertentu pula17.

b.Al-Inzal dan Al-Tanzil
Penjelasan tentang perbedaan al Inzal dan al Tanzil sangat penting dalam usaha pemahaman terhadap al kitab secara keseluruhan. Proses ini sangat berkaitan dengan pemahaman konsep Nubuwwah dan al Risalah sebagai bagian masing-masing yang memiliki misi berbeda.
Firman Allah swt dalam Q.S. al Hadid ayat 25. Dalam firman ini Allah swt menginformasikan kepada kita bahwa proses al Inzal “besi” dan “pakaian” kepada manusia sudah telah berlangsung sempurna. Selain itu Allah juga berfirman tentang al Inzal al Qur’an dalam Q.S. Yusuf ayat 2. Dalam ayat-ayat yang lain Allah juga berfirman, yang serlanjutnya pertanyaannya adalah bagaimana cara memahami Inzal besi dan al Qur’an.
Terkait dengan konsep al Tanzil Allah swt berfirman dalam Q.S. al Insan ayat 23 dan Q.S. al Jasiyah ayat 2. Dalam Q.S. al Fusilat ayat 2 kita mendapatkan redaksi “Tanzil min al rahmah al rahim” redaksi yang serupa juga kita temukan dalam Q.S. al Waki’ah ayat 80. Selain itu Rasul saw telah menjelaskan dalam hadisnya tentang proses turunnya al Qur’an. Beliau saw bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (unzila qur’ana jumlatan wahidatan ila al sama’I al dunya fii lailah al qadr tsumma nazala ba’da dzalika fii isyrina sanatan). Menurut Syahrur hadis ini termasuk dalam hadis metafisikan, tentang keghaiban karenanya tidak boleh dipahami secara literjik, melainkan harus memahaminya dengan rasional dan sesuai dengan akal dan realita18. Jika dipahami secara literjik maka kita akan dihadapkan kepada pertanyaan selanjutnya. Seandainya al Qur’an diturunkan kelangit dunia dan apakah proses al Inzal besi dan pakaian itu juga diturunkan sama dengan proses al Qur’an?
Al Inzal adalah perpindahan obyek dari wilayah yang tidak diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui. Al Qur’an, pada awalnya berada pada wilayah yang tidak dapat diketahui ‘tidak ditampakkan (al Tanzil sebelum proses al Inzal) saat itu al Qur’an berwujud primordial objektif yang berada diluar kesadaran manusia. Kemudian dipindahkan menuju wilayah yang dapat diketahui yaitu ke dalam bahasa Arab dari Allah (al Tanzil). Proses Ja’j dan al Inzal kedalam bahasa Arab yang dapat dipahami berlangsung sekaligus secara keseluruhan dalam satu kesempatan. Peristiwa itu terjadi pada malam al Qadar. Proses al Tanzil selanjutnya (kedua) setelah al Inzal sekaligus pada lailah al qadr adalah oleh Jibril kepada Muhammad. Proses al Tanzil ini juga terjadi diluar kesadaran manusia. Setelah pesan-pesan itu berbentuk dalam lafadz-lafadz Arab dengan lidah Muhammad saw lah baru dipahami.
Karena itu al Qur’an tidak terkait dengan sejarah saat diturunkan kepada Muhammad. Turunnya al qur’an tidak terikat dengan asbab al-nuzul meskipun tidak ada asbab tetap saja al Qur’an (al Inzal) itu diturunkan, diminta atau tidak.

c.Dua Konsep Yang Bertentangan (Mustaqim dan Hanifiah)
Agar mengetahui pesan hukum dalam persfektif Syahrur perlu digambarkan perbedaan mendasar antara dua konsep yang bertentangan tetapi saling melengkapi. Hubungan dialektis kedua konsep itu dapat dijumpai dalam kitab yaitu dengan ungkapan “istiqamah” dan “hanifiyah”. Setelah diperhatikan penggunaan kata-kata tersebut dalam al Qur’an Syahrur menyimpulkan bahwa arti hanifiyah adalah “penyimpangan” dari jalan yang lurus atau dari kelurusan. Lawan dari hanifiyah adalah istiqamah yang menjadi sifat dari ‘kelurusan’ mengikuti jalan yang lurus.
Istilah ini paling tidak untuk menggambarkan pola hubungan yang saling melengkapi dalam al Risalah. Kelengkungan (hanifiyah) merupakan sifat dasar alam. Benda-benda di alam ini tidak ada yang bergerak yang mengikuti pola lurus akan tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa electron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti garis lengkung. Mikro kosmos adalah miniature makro yang lebih besar. Manusia dan alam. Galaksi dan bima sakti.
Karena sifat dasar alam bersifat lengkung (hanif) maka kelurusan (istiqamah) menjadi sangat penting demi mengontrol dan mengendalikan perubahan ini untuk menegakkan aturan hukum. Karena itu istiqamah bukanlah bagian dari hukum alam akan tetapi ia lebih sebagai ketentuan allah. Karenanya hanifah dan istiqamah sama-sama berfungsi untuk mengatur manusia. Manusia selalu membutuhkan istiqamah (Q.S. Al Fatihah ayat 5). Karenanya kita tidak pernah mendapati satu ayat pun dalam al Qur’an tentang permohonan untuk ditunjuki jalan yang hanifiyah (bengkok).
Tentang apakah konsep istiqomah ini akan ‘memaksakan’ lengkungan itu secara kaku? Disinilah Syahrur menawarkan ruang elastisitas hukum dengan teori batas-batas hukum (hudud) atau “theory of limits”. Sekali lagi, hubungan keduanya sepenuhnya dialektis. Karena ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan keduanya terjalin dan berkelindan. Dialektis ini menunjukkan elastisitas ruang hukum dalam menghadapi kondisi, tempat dan waktu (shalih likully zaman wa makan). Akhirnya manusia bergerak dengan karakter kelengkungannya dalam batas-batas “keluwesan” itu.

Memahami Teori Batas
Teori batas dapat dipahami sebagai perintah Allah yang diungkapkan dalam al Qur’an dan Sunnah mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al had al adna) dan batas tertinggi (al had al ‘ala) untuk seluruh perbuatan manusia. Dalam kasus hukum ketetapan terendah adalah batasan minimum dan tertinggi adalah batasan maksimum. Tidak ada bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. Hukum akan ditetapkan antara batas maksimum dan batas minimum tergantung dari kualitas kesalahan yang dilakukan.
Namun demikian perbedaan-perbedaan dan cakupannya terbagi dalam enam variasi. Bentuk batas-batas penetapan hukum dari masing-masing pelanggaran. Penjelasan lanjutan hingga kebentuk-bentuk batas hukum akan dikaji setelah tema yang diangkat, dan pembahasan selanjutnya dengan mendekati system pendistribusian modal dengan teori batas (teori limit). Akan tetapi penjelasan ini kita anggap penting agar tidak ada konsep mengenai teori batas Syahrur yang tercecer. Berikut ini deskripsi singkat sekitar bentuk-bentuk batas-batas hukum Syahrul.

a.Batas Minimum (had adna)
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pernikahan yakni pelarangan dalam al Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada Q.S. An Nisa ayat 22. Dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad. Contoh batasan ini terdapat dalam Q.S. An Nisa ayat 23. Dalam kondisi apapun tidak seorangpun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini. Meskipun didasarkan pada ijtihat.

b.Batas Maksimum (had ‘ala)
Untuk kasus ini dapat kita lihat pada Q.S. Al Maidah ayat 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka ptong tangan merupakan hukuman bagi pencuri. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.

Lantas Syahrur mempersoalkan tentang bagaimana dalam kasus korupsi dalam jumlah besar? Ini digolongkan oleh Syahrur kedalam penghianatan terhadap Allah dan Rasul saw. Kesalahan itu sama juga dengan pembocoran rahasia Negara. Perampasan hak umum harta Negara yang mengancam banyak jiwa. Maka mereka dihukum dengan di bunuh, disalib dan rajam sebagaimana dalam Q.S. Al Maidah ayat 33.

c.Posisis Batas Minimum dan Maksimum Bersamaan
Batasan ini berlaku pada pembagian harta warisan. Dalam Q.S. An Nisa ayat 11.

d.Posisi Perpaduan pada Satu Titik
Posisi batas minimum dan maksimum bersamaan pada titik atau posisi lurus pada penetapan hokum particular (‘ainiyah). Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al Qur’an pada Q.S. An Nur mengenai kasus perzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 X tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.

e.Garis Khalwat
Dalam kasus ini posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia yang berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat (pen).

f.Posisi Batas Maksimum “Positif” Tidak Boleh Dilewati dan Batas Bawah “Negatif” Dapat Dilewati (Dalam Kurva X dan Y)
Garis hanifiyah ini bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif (+) dan batas minimum yang berada pada daerah negative (-). Teori batas keenam ini dipakai dalam transaksi keuangan. Batas tertinggi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan).

Distribusi Modal (Persfektif Teori Batas)
Jika kita cermati dalam teori batas keenam Syahrur dapat dijelaskan bahwa pengalihan harta kekayaan antar manusia terdapat tiga jalan alternative. Pertama, pemberian dengan pajak bunga. Kedua, pemberian tanpa bunga. Dan ketiga adalah zakat dan shadaqah. Pemberian dengan pajak bunga adalah wilayah batas maksimum. Batasan maksimum ini tidak boleh dilampaui melebihi dari pokok peminjaman. Sementara pemberian pada batas minimum tidak dibatasi kearah negative, karena itu setelah mengeluarkan zakat sebagai kewajiaban dapat diiringi dengan pemberian-pemberian lain seperti sedekah, hibbah, wasiat dan lainnya.

a.R i b a
Term riba merupakan bagian dari batas-batas hukum Allah, yaitu pada posisi batas maksimum keenam (daerah positif). Dalam bahasa Arab kata-kata “riba” berasal dari rangkaian huruf ra ba wa yang arti dasarnya adalah ziyadah (tambahan) pertumbuhan dan ketinggian. Dalam kalimat operasionalnya disebutkan “raba al-syai’u yarbu iza zada”. Sementara itu dalam al Qur’an kata-kata riba disebutkan dalam beberapa surat dan beragam redaksi. Hal ini misalnya dapat dilihat pada Q.S. Al Baqarah ayat 275, 276, 278, 279, 280. Dalam Q.S. Ali Imran ayat 130-132. Q.S. An Nisa ayat 161 dan Q.S. Al Ruum ayat 39.

Terdapat beberapa tempat penyebutan riba secara bergabungan dengan shadaqah dan zakat. Pertama, Allah mengaitkan antara riba dan shadaqah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 276. Kedua, Allah mengaitkan konsep riba dengan zakat dalam Q.S. Ar Rum ayat 39. Ketiga Allah menetapkan batas maksimum pengambilan bunga yaitu riba dalam Q.S. Ali Imran ayat 130. Keempat, Allah menetapkan batas netral atau titik nol dalam Q.S. Al Baqarah ayat 279.

b.Zakat dan shadaqah
Zakat dan shadaqah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa syarat apapun dari penerima. Sedangkan perbedaan antara zakat dan shadaqah nahwa zakat adalah batas minimal dari pemberian yang diwajibkan dalam Islam atau minimal dari kewajiban bershadaqah. Karena itu, ketika Allah swt mengawali ayat al Qur’an mengenai kewajiban zakat memakai lafadz “inama al-shadaqaatu”. Redaksi ini dapat dipahami bahwa zakat merupakan salah satu bentuk shadaqah. Karena itu term shadaqah merupakan kata umum yang juga mencakup shadaqah. Oleh karena itu batas zakat dapat dilampaui batas minimum ke arah negative dengan sedeqah dan pemberian lain.
Sebagai contoh, dalam lanjutan ayat “innama al-shadaaqatu li al fuqaraa…” yang dimaksud dengan fakir disini adalah mereka yang tidak mampu melakukan transaksi ekonomi apapun, atau tidak mampu melunasi bentuk pinjaman harta selunak apapun dalam system perekonomian yang berlaku. Untuk kelompok inilah berlaku ayat Allah “allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah”. Karena kelompok ini tidak mampu melakukan transaksi dalam bentuk apapun. Mereka berhak menerima harta pemberian bukan pinjaman. Adapun ujroh pemberian itu adalah pahala dari Allah swt. Begitu juga dengan ayat “orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syeitan” dan “jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasulnya akan memerangimu”. Konteks ayat ini berlaku pada kondisi pertama yaitu pengalihan pinjaman berbunga kepada mereka yang fakir19.
Kondisi pendistribusian modal kepada golongan kedua yaitu mereka yang mampu mengembalikan pokok modalnya saja tanpa bunga sama sekali maka bentuk pemberian itu berada pada garis netral (titik nol). Pinjaman ini dinamakan sebagai qardh hasan yaitu pinjaman tanpa bunga. Kondisi ini digambarkan dalam al Qur’an dalam Q.S. Al Baqarah ayat 279. Ini adalah batas maksimum pengalihan yang dapat dilakukan kepada kelompok kedua, sebaiknya di sedekahkan. Karena itu sebenarnya lebih utama kepada mereka diberikan shadaqah bukan pinjaman tanpa bunga. (Q.S. Al Baqarah ayat 280).
Kelompok ketiga adalah mereka yang mampu melakukan aktivitas ekonomi. Mereka yang memperoleh penghasilan besar dari mata pencahariannya seperti para konglomerat disektor perdagangan, industry, agrobisnis. Termasuk katagori ini adalah mereka yang menduduki posisi basah seperti pada jasa transportasi, komunikasi (Indosat) pertambangan dan energy dan lain sebagainya. Maka mereka tidak berhak atas ayat-ayat shadaqah.
Kelompok terakhir ini berlaku hukum batas maksimal pajak bunga. Artinya pada mereka dapat diambil bunga pinjaman atau keuntungan sampai batas maksimal dan tidak boleh melewatinya. Batas maksimal adalah melebihi besaran pinjaman pokok. Pengambilan melebihi batas maksimal akan berlaku ayat 130 surat Ali Imran.
Allah menetapkan batasan bunga tertinggi bagi kelompok manusia yang tidak berhak dan tidak membutuhkan mekanisme shadaqah. Mereka adalah konglomerat, para pengambil kebijakan, pengusaha kelas kakap yang mendatangkan keuntungan besar. Wallahu’alam.

Akhir Kalimat
Dari pemapara di atas tentang pembahasan mengenai system pendistribusian modal dalam persfektif teori limit Syahrur. Ternyata banyak hal belum kita salami demi mengejar ketertinggalan kita dalam berbagai hal dengan kemajuan dunia. Sepertinya kesungguhan dan keberanian sangat diperlukan untuk menggagas suatu konsep. Setidaknya hal inilah yang mestinya kita ambil sebagai suatu pelajaran yang berghargasetelah kita membaca karya Syahrur.
Membangun sebuah persfektif terkadang harus merekonstruksi sampai keakar-akarnya. Syahrur salah satu dari beberapa yang telah mengajukan konsep orisinil dari persfektif yang berbeda. Ia telah membangun teori limitnya (hudud) atas “remeaning” terhadap al Qur’an dan al Sunnah. Tidak pelak lagi mashadir syar’iyah yang selama ini diagung-agungkan sebagai “mesin” pencetak hukum diabaikan oleh Syahrur. Terlepas dari berbagai kekurangan seperti konsep independensi teks yang yang ternyata tidak juga independen karena dipengaruhi oleh latar belakang sekitar teks Syahrur telah menggugat kemapanan yang selama ini menghegemoni. Ijmak, qiyas adalah tradisi yang salah dan telah melahirkan hukum yang keliru.
Hal baru dan yang menggembirakan dan patut diapresiasi adalah teori limit keenam Syahrur ternyata setelah dioperasionalkan melahirkan persfektif yang relative sangat baik. Teori limit keenam adalah inti dari kajian kita kali ini. Elastisitas pendistribusian dalam teori ini lebih rasional. Keluasan dan ketegasan tertata dengan rapi. Bagaimana ketegasan hukum tatkala pemberian kepada fakir haruslah sedekah dan mereka wajib diberdayakan dengan pemberian tanpa harus dikembalikan. Bagi mereka yang mampu bekerja dan hanya mampu mengembalikan modal maka bagi mereka diberikan modal dengan pengembalian pokoknya saja (qardh hasan) ini adalah pemberian dan pengembalian maksimal yang seharusnya juga tidak perlu diminta kembali bantuan modal yang telah diberikan.

Konstruksi Teori Batas Syahrûr
Setelah mengetahui bagaimana aplikasi teori batas Syahrur dalam pendistribusian modal selanjutnya kita akan menggali tentang bagaimana konstruksi teori batas Syahrur ini secara lebih detail berikut diantaranya.
Dengan menggunakan metode linguistik, Syahrûr kemudian membangun teori batas, yang didasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Menurut Syahrûr, kata al-hanîf berasal dari kata hanafa yang dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa) atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqâmah, berasal dari kata qaum yang memiliki dua arti pertama diartikan sebagai berdiri tegak (al-intishâb) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-intishâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al-inhirâf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaannya).20
Analisa-analisa linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam Q.S. Al An’am ayat 161, yang memaparkan tiga term pokok: al-dân al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, yang nampak sekilas bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiktif.21
Setelah menganalisa Q.S. Al An’an ayat 79, Syahrûr memperoleh pemahaman bahwa al-hunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.22 Langit, bumi, dan bahkan elektron yang terkecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dalam garis lengkung. Tidak ada dari tata alam itu yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-dîn al-hanîf, dengan demikian, adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanîf merupakan pembawaan yang bersifat fitriah. Manusia, sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat pembawaan fitriah ini yakni lengkung atau bengkok.
Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga, sadar atau tidak hal itu terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial, kebiasaan, atau adat. Oleh karena itu, al-shirât al-mustaqîm, adalah sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah kenapa dalam al-Qur’ân tidak akan pernah ditemui ihdinâ ila al-hanafiyyah melainkan ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm, karena memang al-hanafiyyah adalah merupakan fitrah. Dengan demikian, al-shirât al-mustaqîm menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.
Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrûr kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi, yaitu teori batas (nazhariyyah al-hudûd). Syahrûr menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah, bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah swt. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptable terhadap konteks ruang dan waktu. Syahrûr kemudian mengenalkan apa yang disebutnya sebagai teori batas. Ia mengatakan bahwa Allah telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang minimum, al-istiqâmah (straightness), dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut, al-hanafiyyah (curvature).23 Berikut uraian teori tersebut (hal. 306-312)

Teori Batas Syahrur
Teori 1 : Teori Batas Minimal








Contoh :
Ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah (hâlatu al-hadd al-adnâ). Ini misalnya berlaku pada ayat tentang perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi (Q.S 4: 22-23), berbagai jenis makanan yang diharamkan (Q.S. 5: 3; 6: 145-156), utang-piutang (Q.S. 2: 283-284), dan tentang pakaian wanita (Q.S. 4: 31).24
Teori 2 : Teori Batas Maksimal








Contoh:
Ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas (hâlatu al-hadd al-a’lâ). Ini berlaku pada tindak pidana pencurian (Q.S 5: 38) dan pembunuhan (Q.S 17: 33; Q.S. 2: 178; Q.S 4: 92).25


Teori 3 : Teori Batas Maksimal dan Minimal Bersamaan (sekaligus)








Contoh :
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan batas bawah sekaligus (hâlatu al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a’lâ m’an). Ini misalnya terjadi pada persoalan hukum waris (Q.S. 4: 11-14, 176) dan persoalan poligami (Q.S. 4: 3).26




Teori 4 : Teori Posisi dan Batas Lurus







Contoh:
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus tapi dalam satu titik koordinat (hâlatu al-hadd al-adnâ wa al-hadd al-a’lâ m’an ‘alâ nuqthati wâhidah). Ini berarti tidak ada alternatif hukum lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari yang ditentukan. Ini berlaku pada hukuman zina, yaitu seratus kali jilid (Q.S 24: 2).27

Teori 5 : Teori Batas Maksimal Cenderung Mendekati tanpa bersentuhan






Contoh;
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus tapi tidak ada persentuhan (hâlatu al-hadd al-a’lâ bikhath maqârib al-mustaqîm). Ini berlaku pada hubungan pergaulan laki-laki dan perempuan yang dimulai dari saling tidak menyentuh sama sekali antara keduanya hingga hubungan yang hampir (mendekati) zina.28






Teori 6 : Teori Batas Maksimal Positif dan Posisi Batas Minimal Negatif







Contoh:
Ketentuan hukum yang memiliki batas atas positif dan tidak boleh dilampaui dan batas bawah negatif yang boleh dilampaui (hâlatu al-hadd al-a’lâ mûjabun wa al-hadd al-adnâ sâlibun). Hal ini berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba sementara zakat sebagai batas bawahnya bernilai negatif boleh dilampaui.29

Keenam model teori batas yang dikemukakan Syahrûr, nampaknya sangat terkait dengan latar belakang pendidikannya di bidang sains. Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, pemikiran Syahrûr tersebut merupakan sesuatu yang baru dan nampaknya belum ada pendahulunya. Secara umum, bisa ditangkap bahwa dengan fleksibilitas hukum Islam berdasarkan model teori batas, Syahrûr bermaksud untuk menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân, senantiasa relevan pada setiap situasi dan kondisi, dan Islam merupakan agama terakhir dan bersifat universal yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.




















Daftar Pustaka

Henri Salahuddin, Al Qur’an Dihujat, al Qalam. Jakarta, 2007.
Takwim Al-‘Akl al-Arabi. Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1989.
Muhammad Syahrul, Prinsip-prinsip Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin, eL-SAQ PRESS, Yogyakarta, 2004.
Al Ghazali, Al-Mustafa Min Ulumu al-Hadits, Juz I, Muassasah ar-Risalah, Libanon, 1998.
Yusdani, at-Tufi dan Teorinya Tentang Maslahat, Makalah Disampaikan Pada Acara Bedah Metodologi Kitab Kuning Seri Ushul Fikih Humanis, UII Selasa 7 September 2004.
Al-Syatibi, Al Muaffaqah fi Ushuli al-Syar’ai, Juz II, Kairo : Mustafa Muhammad, tt.
Muhammad Apwan, Dinamisasi Hukum Islam Mahmud Syaltut, makalah disampaikan dalam mata kuliah pendekatan dan pengkajian islam. UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Hasbi Umar, Nalar Fikih Kontemporer. GP Press. Jakarta, 2007.
Atha’ Mudhar, Pendekatan Studi Islam; Dalam Teori dan Praktek. Pustaka Pelajar, cet VIII. Yogyakarta, 2007.
Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika. Teraju, Jakarta, 2005.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id