Senin, 09 Maret 2009

Kearifan Lokal Masyarakat Sasak Terhadap Lingkungan

Hujan, banjir bandang, tanah longsor dan tanah retak, itulah yang mewarnai Indonesia pada musim ini. Hujan adalah anugrah dari Allah yang memang wajib kita syukuri, namun tiga yang lain adalah merupakan ulah manusia yang semena-mena terhadap lingkungannya.
Masalah tersebut memang telah lama dialami manusia, dari pengalaman tersebut manusia belajar bagaimana mengelola lingkungan dengan arif dan bijak. Bagi pendahulu kita, masalah ini bukanlah barang baru, mereka setidaknya memiliki kearifan tersendiri dalam mengelola lingkungannya
Kearifan local (local indigenous atau local knowledge) adalah suatu daya upaya yang dilakukan oleh penduduk asli suatu daerah dalam memberlakukan lingkungan alam dan social sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat tersebut tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan lingkungan tersebut. Manusia dan lingkungan adalah dua unsure yang saling terkait yang tidak bisa dipisahkan. Kehadiran manusia dibumi akan selalu berhubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social untuk mempertahankan hidupnya. Agar dapat bertahan hidup maka manusia harus memenuhi kebutuhannya yakni kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
Perhatian dunia terhadap lingkungan hidup telah diawali sejak Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm pada bulan Juni 1972. Dalam konfrensi ini diperkenalkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan menggunakan pendekatan pengintegrasian aspek-aspek pengelolaan lingkungan dalam pembangunan. Konfrensi ini dibuka pada tanggal 5 Juni yang selanjutnya ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup se-Dunia. Dengan konfrensi ini masalah lingkungan hidup bukan lagi sebagai masalah local atau nasional, melainkan sudah menjadi masalah global. Tetapi konfrensi Stockholm tidak mampu mencegah kerusakan lingkungan. Bahkan setelah konfrensi ini jenis dan jumlah kerusakan lingkungan semakin bertambah. Hal ini dilaporkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) dalam “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) pada tahun 1987 yang mengemukakan tentang gejala-gejala yang mengancam kehidupan dibumi secara global yang diantaranya yakni bumi makin panas karena efek rumah kaca, yaitu makin tebalnya lapisan karbondioksida dan gas buangan di atmosfir, lapisan ozon di atmosfir dirusak oleh CFC atau Freon, naiknya permukaan air laut, air tawar bersih makin sukar diperoleh, luas hutan semakin berkurang, musnahnya berbagai spesies organisme secara beruntun hingga pencemaran air laut oleh bahan berbahaya beracun dan gejala-gejala lainnya.
System social dan teknologi modern yang diciptakan manusia saat ini dalam aplikasinya disamping mendatangkan manfaat yang besar, ternyata mendatangkan kerugian dan kerusakan yang dalam jangka panjang, justru kerugian yang ditimbulkan tidak sebanding dengan manfaat atau keuntungan yang didapat. Menyadari akan hal ini, kini kita kembali harus belajar pada masyarakat local tradisional tentang berbagai kearifannya memperlakukan lingkungan alam dan sosialnya sehingga yang dengannya akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan.
Indonesia sendiri memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lingkungan hidup diantaranya yakni :
a. Undang-undang (UU)
- UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
- UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
- UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
- UU No.51 tahun 1999 tentang AMDAL
- UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan
- UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
b. Peraturan Pemerintah (PP)
- PP No.35 tahun 1991 tentang Sungai
- PP No.4 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah
- PP No.18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
- PP No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
- PP No.41 tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien
- PP No.82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
c. Keputusan Presiden (Kepres)
- Kepres RI No.55 tahun 1993 tentang Cara Perolehan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
d. Keputusan Menteri (Kepmen)
- Kepmen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.22 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
- Kepmen Negara Lingkungan Hidup No.42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Lingkungan
- Kepmen Negara Lingkungan Hidup No.48/MENLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan
- Kepmen Negara Lingkungan Hidup No.40 tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai AMDAL
- Kepmen Negara Lingkungan Hidup No.17 tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL
e. Keputusan Kepala Bapedal
f. Peraturan dan Surat Edaran Menteri
g. Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten, SK Gubernur dan SK Bupati yang berkaitan dengan lingkungan
Namun demikian mesti diingat bahwa timbulnya kesadaran hukum masyarakat terhadap seperangkat peraturan perundang-undangan (tentunya yang terkait dengan lingkungan hidup) bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya secara sepontan. Kesadaran hukum ini tumbuh sebagai hasil dari proses psikhis, yakni orang atau individu masyarakat sebelumnya telah mengetahui selanjutnya memahami bahwa memang hukum itu sesuai dengan rasa keadilan, keseimbangan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan hidup. Selanjutnya hukum baru akan bermanfaat bagi masyarakat apabila terkait dengan usaha-usaha pencapaian tujuan serta memenuhi kebutuhan-kegutuhan masyarakat.
Memang, hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam tentang bagaimana kearifan local masyarakat sasak menyikapi lingkungan alam tempat hidupnya. Penebangan hutan dan pohon secara semena-mena demi mendapatkan keuntungan pada akhirnya akan merugikan orang lain bahkan masyarakat itu sendiri. Jika kita katakan bahwa para nenek moyang kita berbudaya, memang benar adanya. Mereka memiliki aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas rangkaian model-model kognitif yang digunakan secara selektif sesuai lingkungan alam yang dihadapinya. Pemikiran ini setidaknya merupakan sumber bagi system penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak berharga dan sesuatu yang dapat menyelamatkan atau mencelakakan. Semua ini dapat terjadi karena kearifan local itu diselimuti oleh nilai-nilai moral yang bersumber pada pandangan hidup dan pada etos atau system etika yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang Pemahaman akan kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam memandang problem lingkungan, pemahaman akan apa dan bagaimana bentuk sanksi hukum (baik hukum adat atau hukum pidana) dalam memandang problem lingkungan dan bagaimana menumbuhkembangkan inisiatif dan kreatifitas masyarakat untuk memberdayakan dirinya dalam masalah-masalah yan terjadi yang terkait dengan lingkungan hidup sehingga dalam interaksinya dengan lingkungan hidup yang melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungnnya.
Manusia dalam hidupnya tidak cukup hanya memperhatikan materi, energy dan informasi. Dalam kehidupan modern materi, energy dan informasi tersebut selalu diukur dengan uang, sehingga dengannya peran uang selalu menjadi dominan. Meskipun ilmu lingkungan penting, akhirnya ia bukan menjadi satu-satunya masukan dalam mengambil setiap keputusan mengenai permasalahan lingkungan hidup. Masukan lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemecahan permasalahan lingkungan hidup adalah ekonomi, teknologi, hukum, politik dan social budaya masyarakat.
Kini manusia telah mencapai suatu fase (titik balik) dimana kepada manusia dihadapkan berbagai pilihan, bagaimana manusia berbuat untuk memecahkan masalah lingkungan hidupnya yang akan datang, apakah akan lebih buruk. Manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus hidup di atas bumi yang daya dukungnya telah banyak berkurang jika dibandingkan dengan daya dukung bumi terhadap masa-masa sebelumnya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, penebangan hutan, efek rumah kaca, pencemaran air, tanah dan udara, tentunya hal ini akan berbanding lurus dengan meningkatnya permintaan akan sumber daya alam yang tidak sedikit jumlahnya. Jika manusia tidak menentukan sikap dan sifatnya yang tepat, maka akan terjadi penurunan secara terus menerus kemampuan bumi dalam menyangga kehidupan. Yang jelas generasi yang akan datang akan menerima warisan yang sangat menyedihkan, lahan yang kurang produktif karena pemanfaatan yang kurang memperhatikan azas-azas lingkungan, kurangnya keanekaragaman akibat seleksi tidak terkendali, kurangnya ruang untuk bergerak, pilihan yang lebih sedikit dan penduduk yang semakin banyak.
Oleh karena itu keputusan untuk memilih pada hal-hal yang akan dihadapi manusia pada masa datang, bukan merupakan sesuatu yang dapat ditunda atau dapat diabaikan. Tanpa berbuat sesuatu saja, manusia telah membuat suatu keputusan untuk membiarkan bumi ini menjadi suatu bentuk yang tidak memberi harapan.
Atas dasar pemikiran diatas, setidaknya dibutuhkan timbal balik untuk memecahkan masalah yang terkait dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sebagai sarana memecahkan masalah-masalah social kemasyarakatan. Setidaknya Fay (1987, dalam Fien, 1993 – Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1997) menawarkan 4 (tahapan) teori-pendekatannya. Namun syarat mutlak untuk masuk ke dalam 4 teori-pendekatan tersebut adalah diperlukannya kaidah ilmiah guna memperoleh pemahaman atas kritik dan tindakan apapun yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahnya nanti. Ke-4 teori-pendekatan tersebut yakni : Pertama, teori tentang krisis. Teori ini memuat tentang ruang lingkup dari krisis (hubungan timbale balik) antara kependudukan dan lingkungan hidup atau sumber daya alam. Disini sebaiknya diuraikan tentang sebab musabbabnya, rentang permasalahnnya, akibatnya terhadap manusia disatu puhak dan terhadap lingkungan hidup atau sumber daya alam dimasa yang akan dating. Penting juga diuraikan tentang sejarah perkembangan munculnya krisis tersebut, baik dipandang dari segi pelaku manusianya yang tentunya mengalami pandangan yang keliru, sehinga tanpa dikehendaki krisis tersebut muncul. Jadi, hal ini merupakan kritik terhadap kemampuan diri sendiri secara jujur. Maupun dari segi sumber munculnya krisis itu, yang dikupas dengan analisis ilmiah.
Kedua, teori tentang kekeliruan kesadaran. Disini dikupas tentang tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat yang gagal mendeteksi atau melihat akar dari krisis hubungan timbale balik antara masyarakat dan lingkungan hidup atau sumber daya alam. Selanjutnya dibhas pula apakah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan lingkungan hidup atau sumber daya alam yang sebenarnya patut dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan yang lebih mendalam tentang hubungan timbale balik itu agar tidak berulang.
Ketiga, teori tentang pencerahan. Dikupas disini tentang bentuk program pendidikan lingkungan hidup lainnya yang penting dikembangkan, agar mampu memberikan jawaban untuk menghadapi permasalahan inidengan pandangan lebih jernih dan cerah menurut ruang dan waktu. Bagaimanakah pula tahapan pemecahannya yang harus ditempuh. Disini penting diberikan gambaran bahwa krisis, kekeliruan bias saja terjadi. Namun jalan keluar dari permasalahan selalu bias diantisipasi dan dicari, hanya memang desakan waktu untuk menemukan jawaban bias terbatas. Karena itu, keseriusan, tepat arah dan tahapan dan tepat waktu patut dikembangkan yang tek bertoleransi terhadap kelalaian dan perilaku santai.
Keempat, teori tentang perubahan (kebijaksanaan dan strategi pembangunan). Tibalah saatnya untuk memberikan kebijaksanaan dan strategi untuk melakukan perubahan melalui pendidikan dan latihan bagi berbagai tingkatan masyarakat agar mulai dirintis upaya menghindarkan kekeliruan yang membawa masyarakat kedalam krisis itu. Disini di bahas pula siapa yang patut menjadi sasaran untuk digarap sesuai dengan tingkatan prioritasnya (Soeriaatmadja, 1997 : 5-6)
Collin Lacey (1990) memberikan “peringatan” bahwa 4 tahapan teori-pendekatan tersebut memerlukan tindak-karya serius, sebab kita tidak memiliki banyak waktu.
Semangat untuk mengembangkan kehidupan berkelanjutan (sustainable living) pada saat planet bumi yang hanya satu (yang layak dihuni manusia) ini sedang mengalami proses pencemaran dan perusakan, yang terdeteksi sudah mencapai skala yang meng-global, memang bukan pekerjaan gampang. Masalah yang kita hadapi adalah “terperangkapnya” kita dalam system pembangunan ekonomi yang memboroskan sumber daya alam dan mencemarkan serta merusak lingkungan hidup sedemikian rupa, sehingga daya dukung lingkungan hidup pun terancam. Di Indonesia masalah lingkungan hidup diatur dalam UU. No.23 tahun 1997. Lingkungan hidup dalam UU ini diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan. pemanfaatan,, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan pembangunan diartikan sebagai Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada yakni UU. No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dapatlah dijelaskan tentang peran serta manusia Indonesia dalam pengelolaan lingkungan hidup yakni diantaranya bahwa berhasilnya program-program di bidang pelestarian kemampuan lingkungan hidup, banyak tergantung pada peran serta masyarakat itu sendiri. Di dalam penjelasannya, dikemukakan bahwa peran serta tersebut mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Dengan demikian peran serta masyarakat tidak hanya dihimbau pada waktu suatu kegiatan sudah berjalan. (Moh. Mahfud MD, dkk, 1999 : 24).
Persyaratan bagi berhasilnya peran serta ini adalah perlu adanya pengembangan kesadaran lingkungan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan informal. Termasuk disini ialah bagaimana dalam pembangunan dan kehidupan yang berkelanjutan tersebut masyarakat turut berpartisipasi termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yakni diantaranya dengan menetapkan aturan-aturan dan kesepakatan-kesepakatan yang mereka sepakati diantara mereka, karena disadari juga bahwa salah satu fungsi hukum adalah sebagai sarana perubahan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pandangan yang mengatakan, (Mochtar Kusumaatmadja, 1979 : 9) bahwa di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan, bahwa adanya ketertiban di dalam pembangunan adalah merupaka sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ketujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut di atas seyogyanya dilakukan disamping hukum sebagai sarana system pengendalian social.
Masukan lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemecahan permasalahan lingkungan hidup adalah ekonomi, teknologi, hukum, politik dan social budaya. Terkait masalah social budaya dan hukum dalam penelitian ini, penulis mengkaitkan antara pemahaman akan kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam memandang problem lingkungan dan bagaimana pemahaman akan sanksi hukum (baik hukum adat atau hukum pidana) dalam memandang problem lingkungan, khususnya UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta bagaimana upaya menumbuhkembangkan inisiatif dan kreatifitas masyarakat untuk memberdayakan dirinya dalam masalah-masalah yan terjadi yang terkait dengan lingkungan hidup.
Kearifan local (local indigenous atau local knowledge) adalah suatu daya upaya yang dilakukan oleh penduduk asli suatu daerah dalam memberlakukan lingkungan alam dan social sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat tersebut tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan lingkungan tersebut. Manusia dan lingkungan adalah dua unsure yang saling terkait yang tidak bisa dipisahkan. Kehadiran manusia dibumi akan selalu berhubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social untuk mempertahankan hidupnya. Agar dapat bertahan hidup maka manusia harus memenuhi kebutuhannya yakni kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. (Said Ruhpina, 2005 : 199)
Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan lokaldalam mengatur system social kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat, persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan system tanam, penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama. Seperti misalnya system tanam padi gogo rancah (GORA) sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparanpada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk mengatasi hal tersebut.
Etnik sasak yang mendiami pulau Lombok (berasal dari kata sak-sak Lombok. Artinya, hanya jalan lurus satu-satunya jalan sejati yang harus dilalui demi keselamatan dunia dan akhirat). Secara bahasa istilah kesukuan masyarakat Lombok yang disebut “sasak” sesubgguhnya berarti juga ragam, corak dan keberbagaian yang niscaya (Agus Sarjana, 2004 : 16). Jumlah komunitas etnik sasak sebagai suku bangsa asli yang mendiami pulau Lombok lebih kurang 90%. Etnik sasak adalah pemeluk agama islam cultural dengan tradisi agama yang sangat kuat dan fanatic. Islam sebagai dasar filosofi hidupnya terlihat kental dalam praktek dan tradisi hidup keseharian yang terekspresi dengan bengunan masjid yang besar dan megah melampaui kemampuan real daya dukung ekonominya (Said Ruhpina, 2005 : 231)
Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Karena itu sikap yang etik yang dikembangkan masyarakat sasak setidaknya juga tercermin dari petuah para orang tua yang dapat disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan berikut : Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq mum gaweq bayoq eam daet (baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan), piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng, tunjung tilah. Masyarakat memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.
Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan. Karena kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi, maka tidak heran bila puluhan bahkan ratusan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang dijadikan landasan dalam berpijak guna tercapainya kelestarian lingkungan yakni : Pertama, Tidak seorang manusiapun yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kecuali buah atau hasilnya dimakan burung atau manusia. Yang demikian itu adalah amal baginya. Kedua, bagi manusia yang memperbaiki (menyuburkan) tanah bukan milik seseorang, maka ia berhak memanfaatkan tanah tersebut. Ketiga, Menghindari dua macam kutukan yakni membuang kotoran di jalan dan ditempat orang berteduh. Keempat, janganlah ada di antara manusia yang membuang air kecil pada air yang tergenang, kemudian mandi pula disana (Quraish Shihab, 2007 : 465)
Peran manusia dalam kaitanya dengan lingkungan dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, manusia belum memiliki peran sama sekali, sama kedudukannya dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Tahap kedua, manusia tampil dengan perannya sebagai mahluk Tuhan yang paling semurna. Dengan akal dan pikiran yang dianugrahkan Tuhan kepadanya, manusia mengembangkan dirinya. Akan tetapi, pengembangan diri ini akhirnya menjelma menjadi penguasaan atas alam dan pengusaan atas alam ini acapkali menimbulkan kerusakan alam yang akibatnya merupakan penderitaan bagi manusia. Setidaknya gambaran dibawah ini memberikan bukti akan hal itu yakni :
- Hutan hujan tropika ada yang memerlukan proses evolusi hingga enam puluh juta tahun untuk mencapai bentuknya seperti masa kini. Namun, karena ulah manusiadengan tingkat kesadarannya (yang keliru) dapat memusnahkan hutan hujan tropika itu dalam tempo masa hidup kita.
- Peningkatan lapisan gas CO2 di atmosfera dan penipisan lapisan Ozon juga akan menyebabkan terjadinya Pemanasan Bumi di abad ke 21 yang kini sudah dijelang.
- Perusakan terumbu karang di perairan laut Nusantara hanya untuk menangkap ikan, baik oleh penduduk setempat maupun nelayan asing juga sudah mencapai proporsi yang merisaukan. Sedangkan upaya pengendalian dihadapkan pada berbagai bentuk keterbatasan.
- Pencemaran udara dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah mulai mengancam kesehatan warga kota.
- Krisis air pun sudah mulai menjadi factor pembatas untuk berbagai upaya pembangunan. (Soeriaatmadja, Suraya : Ecology Of Jawa and Bali, 1997 : 6-7)
Tahap ketiga, timbulnya kesadaran manusia bahwa pengembangan akal dan pikiran yang acapkali menimbulkan kerusakan itu perlu disertai dengan budi dan bahwa manusia dititahkan untuk mengelola alam secara bijaksana bagi kepentingan seluruh kehidupan di bumi ini. Konfrensi Stockholm tahun 1972 dapat dipandang sebagai permulaan manusia memasuki tahap ketiga ini (Moh. Mahfud MD, dkk, 1999 :23-24).
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pola kehidupan yang relative tetap memiliki aturan dasar yang turun temurun dan menjadi norma hidup dari komunitas masyarakat sasak. Aturan norma ini disimbulkan dengan “”buku-ngawan karena kehidupan itu mesti teratur dan memiliki aturan seperti halnya alam semesta. Dari mana memulai membangun “bale-langgak” (rumah dan kelengkapannya), berugaq-sekepat, alang-sambi, leah-lambur, jebak, pengorong, kemudian menjadi pemukiman dengan istilah “gubug-gempeng” dan seterusnya sehingga terbentuklah “dise-dasan”. Secara harmonis kehidupan “dise-dasan” sangat erat hubungannya dengan lingkungan alam sekitar, khususnya berhubungan dengan istilah “epe-aik” yang menjadi sumber dari segala sumber hidup dan kehidupan komunitas masyarakat sasak.
Berdasarkan aturan adat budaya ini, maka muncul budaya tradisional masyarakat sasak yang tidak lepas dari pola trinitaris dasar yakni : pertama, “epe-aik” sebagai pemilik yang maha kuasa atas segala asal kejadian alam dan manusia. Kedua, “gumi-paer” sebagai tanah tempat berpijak di situ langit dijunjung, karena di “gumi-paer” ini masyarakat sasak dilahirkan. Diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga, “budi-kaye” yang merupakan kekayaan pribadi dari kesadaran akan “budi-daye” Sang Hyang Sukseme yang menurunkan “akal-budi” pada setiap diri manusia untuk mendapatkan kemuliaan hidup yang akan dibawa sampai meninggal dunia. Ketiga hal inilah yang akan mewarnai setiap pandangan, ucapan dan perbuatan masyarakat sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya diukur dengan hasil karya secara material namun yang lebih penting adalah nilai-nilai yang diperoleh selama hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat istiadat mereka (Agus Sarjana, 2004 : 14)
Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam memandang problem lingkungan, pemahaman akan apa dan bagaimana bentuk sanksi hukum (baik hukum adat atau hukum pidana) dalam memandang problem lingkungan dan bagaimana menumbuhkembangkan inisiatif dan kreatifitas masyarakat untuk memberdayakan dirinya dalam masalah-masalah yan terjadi yang terkait dengan lingkungan hidup sehingga dalam interaksinya dengan lingkungan hidup yang melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungnnya.



DAFTAR PUSTAKA

Literature
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bina Cipta. Bandung. 1976.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1985.
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press, Jakarta. 1984.
Said Ruhpina. Menuju Demokrasi Pemerintahan. Universitas Mataram Press. Mataram. 2005
Warnadi, dkk. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Depdikbud. Jakarta. 1997.
Quraish Shihab. Membumikan Al Qur’an. Mizan. Bandung. 2007.
Mahfud MD, dkk. Spiritualitas Al Qur’an Dalam Membangun Kearifan Umat. UII Press. Yogyakarta. 1999.
The International Forum On Globalization. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Jakarta. 2003.
Makalah Agus Sarjana “Otokritik Islam dan Budaya Sasak Yang Mandul Mencegah Kekerasan” dalam Diskusi Publik dengan Tema “Peran Agama Dalam Mencari Solusi Kekerasan” Praya, 16 Februari 2004.

Peraturan Perundang-undangan
UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU No.51 tahun 1999 tentang AMDAL
UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah



1 Comment:

montonglebui.blogspot.com said...

Tulis lagi hal2 terkait KeSasakan, penting buat generasi kini dan mendatang.......

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id