Tulisan ini telah terbit di Harian Umum Lombok Post pada 25 dan 26 Maret 2014
Beberapa
minggu yang lalu, melalui media ini, kita diingatkan perihal dana corporate
social responsibility (CSR) PT. Bank NTB yang dinilai oleh sebagian anggota
dewan menimbulkan pertanyaan serius dan dibutuhkan mekanisme dan prosedur yang
jelas menyangkut pengaturannya, hingga pada Senin, 09 September 2013 di harian
ini pula saya pernah menulis menyangkut Akselerasi Konversi PT. Bank NTB
menjadi bank syariah.
Dalam tulisan kali ini saya akan mencoba
mengelaborasi kedua hal tersebut, agar bagi masyarakat dapat memahami
sebenarnya apa dan bagaimana CSR perbankan itu sendiri, hingga meneropong dari
jarak jauh bagaimana nasib dan perkembangan unit usaha syariah (UUS) PT. Bank
NTB saat ini.
CSR merupakan wacana penting dalam dunia
bisnis sejak tahun '970an. Dalam historisnya, praktik CSR sendiri berawal dari
tahap yang paling sederhana, yakni sifat kedermawanan para pemilik perusahaan.
Pada saat ini CSR merupakan kegiatan penting bagi perusahaan-perusahaan modern,
terutama dipelopori oleh MNCs (multinational corporations). Terdapat
berbagai definisi CSR, namun pada intinya menekankan bahwa tanggung jawab
perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan
usaha), melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam dunia
perbankan, CSR juga telah menjadi tren baru yang menarik. Meskipun demikian,
masih terdapat pro dan kontra tentang relevansi CSR dengan bisnis pada
perusahaan.
Argumen yang mendukung pentingnya CSR
bagi perusahaan antara lain: (a) CSR sejalan dengan kebutuhan dan harapan
masyarakat yang terus berubah; (b). Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat
memiliki kewajiban moral terhadap lingkungannya; (c) Terbatasnya sumber-sumber
daya mendorong perusahaan untuk bekerjasama dengan masyarakat untuk memeliharanya;
(d) Semakin baik lingkungan sosial maka akan semakin baik pula lingkungan
bisnis itu; (e) Perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan perusahaan; (f) CSR
merupakan suatu nilai lebih yang sangat positif bagi perkembangan dan
kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Sementara itu argumentasi yang menentang
CSR antara lain: (a).Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya;
(b).CSR dapat mengganggu fokus manajemen perusahaan; (c) CSR dianggap memberatkan
masyarakat, karena biaya-biaya dibebankan pada produk yang harus dibayar
konsumen; (d) Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai, sehingga tidak
memerlukan dukungan masyarakat; (e) Kurangnya tenaga terampil yang dimiliki
perusahaan; (f) pada dasarnya perusahaan tidak mampu membuat pilihan moral,
sehingga sulit membuat keputusan sosial.
CSR
dalam Perspektif Islam dan Perbankan Syariah
CSR dalam perspektif Islam merupakan
konsekuensi inhern dari ajaran Islam itu sendiri. Tujuan dari syariat Islam (maqashid
al syariah) adalah maslahah sehingga bisnis adalah upaya untuk menciptakan
kemaslahatan, bukan sekedar mencari keuntungan. Menurut Syed Nawab Haider Naqvy
(1996), kegiatan ekonomi dan bisnis dalam Islam dilandasi oleh aksioma Tauhid,
Keseimbangan, Kebebasan, dan Pertanggungjawaban. Aksioma-aksioma ini harus
diimplementasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi dan bisnis. Aksioma
keseimbangan dan pertanggungjawaban, misalnya, akan membawa implikasi pada
keseimbangan dan pertanggungjawaban antara jiwa dan raga, antara person dan
keluarga, antara individu dan sosial, antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya (Beekun, R.I., 1997).
Aktifitas CSR pada dasarnya juga melekat
secara inhern pada bank syariah sebagai konsekuensi kebersandaran bank syariah
pada ajaran Islam. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak dapat
memisahkan secara dikotomis antara orientasi bisnisnya dengan orientasi
sosialnya. Orientasi bisnis seharusnya juga membawa orientasi sosial, atau
setidaknya tidak kontradiksi dengan orientasi sosial. Hal ini membawa
konsekuensi pada kuatnya karakter sosial dari perbankan syariah, relatif jika
dibandingkan dengan bank konvensional.
Sebenarnya, dalam pandangan Islam
kewajiban melaksanakan CSR bukan hanya menyangkut pemenuhan kewajiban secara
hukum dan moral, tetapi juga strategi agar perusahaan dan masyarakat tetap survive
dalam jangka panjang. Jika CSR tidak dilaksanakan maka akan terdapat lebih
banyak biaya yang harus ditanggung perusahaan. Sebaliknya jika perusahaan
melaksanakan CSR dengan baik dan aktif bekerja keras mengimbangi hak-hak dari
semua stakeholders berdasarkan kewajaran, martabat dan keadilan, dan
memastikan distribusi kekayaan yang adil, akan benar-benar bermanfaat bagi
perusahaan dalam jangka panjang. Seperti meningkatkan kepuasan, menciptakan
lingkungan kerja yang aktif dan sehat, mengurangi stres karyawan, meningkatkan
moral, meningkatkan produktivitas dan juga meningkatkan distribusi kekayaan di
dalam masyarakat. CSR juga dapat digunakan sebagai alat stratejik untuk
membentuk reputasi dan imej publik terhadap bank syariah sehingga menguntungkan
dalam jangka panjang.
Tetapi, kenyataannya masih banyak bank
syariah yang semata-mata lebih mengutamakan pencapaian keuntungan maksimal,
sebagaimana bank-bank konvensional selama ini. Seharusnya mereka menyertakan
komponen tanggung jawab sosial dalam kegiatan operasionalnya sebagai tujuan
akhir dalam melayani masyarakat secara utuh. Dalam studi terhadap 47 bank
syariah yang tersebar di 14 negara, perbankan syariah juga ditengarai belum
bersikap terbuka dalam melaporkan aktifitas CSRnya, terutama jika dilihat dari
laporan keuangan yang dipublikasikan (Farook Syad and Lanis Roman, www.afaanz.org).
Program CSR kebanyakan dilakukan dalam
bentuk Community Development yang cenderung bersifat karitatif, responsif,
berorientasi jangka pendek, dan kurang melibatkan masyarakat. (Sunartiningsih
2004; Ardiyan Rino, 2004). Program CSR seringkali hanya sebagai program peredam
gejolak, yang nampak ketika terjadi kasus keributan di dalam masyarakat
misalnya.
Salah satu penyebab lemahnya pelaksanaan
CSR kemungkinan adalah karena masih adanya anggapan bahwa CSR adalah sentra
biaya (cost center) sehingga akan mengurangi laba perusahaan. Kompetisi
perbankan yang ketat dan orientasi maksimasi keuntungan juga seringkali
menyebabkan kecenderungan bank syariah untuk lebih melayani kelompok kuat dan profitable.
Karenanya, fungsi sosial bank syariah dalam memfasilitasi keterkaitan antara voluntary
sector dengan pemberdayaan ekonomi marjinal belum optimal. Nah karena
beberapa argument di atas itulah maka penulis merasa memang dibutuhkan suatu
aturan khusus menyangkut bagaimana mekanisme dan prosedur pengaturan CSR PT.
Bank NTB sebagai bank plat merah daerah. Meskipun pengawasan dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bank Indonesia (BI), namun tetap ini harus
memiliki mekanisme khusus sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah
selaku pemilik kepada masyarakatnya.
Unit
Usaha Syariah PT. Bank NTB
TAHUN 2014 merupakan tahun kesembilan
beroperasionalnya Unit Usaha Syariah (UUS) dan Kantor Cabang Syariah PT. Bank
NTB. Dalam usianya yang masih seumur jagung ini, setidaknya dapat dijadikan
pijakan dalam mengevaluasi dan memposisikan keberadaan UUS dan Kantor Cabang
Syariah PT. Bank NTB. Memposisikan UUS dan Kantor Cabang Syariah PT. Bank NTB
ini akan baik jika dilihat dari aspek nasabah atau masyarakat pengguna jasa
perbankan syariah, termasuk disini aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya
konversi PT. Bank NTB menjadi Bank Syariah dan aspek manajemen PT. Bank NTB
syariah sendiri yang saat ini masih menerapkan dual banking sistem.
Salah satu ketentuan dalam UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah kewajiban bagi Bank Umum Konvensional
(BUK) untuk melakukan spin-off atas UUS yang dimilikinya dan dikonversi menjadi
BUS. Ini harus dilakukan ketika nilai asset UUS telah mencapai paling sedikit
50% dari total nilai asset bank induknya, atau paling lambat 15 tahun sejak
berlakunya UU ini, yaitu tahun 2023.
Namun demikian harus dipertimbangkan
apakah mau entry melalui spin off atau langsung konversi. Diantara keuntungan entry melalui UUS adalah biaya yang lebih rendah
dan proses yang relatif cepat. Kalau langsung membuka BUS, minimal harus menyediakan
setoran modal Rp.1 triliun dan proses perizinan baru (atau konversi) yang
relatif memakan waktu. UUS juga bisa memanfaatkan berbagai sarana dan
pra-sarana yang dimiliki oleh induk, baik IT, jaringan dan SDM.
Namun untuk
akselerasi pertumbuhan dan target market share yang lebih ambisius
(bukan sekedar nice to have), UUS mempunyai beberapa kelemahan. Diantara
faktor-faktor yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain (Sumber: Kajian
Spin Off, Batasa Tazkia, 2009). Pertama, rendahnya
sinkronisasi (alignment) kebijakan dan pelaksanaan strategi bank induk
(yang fokus pada bisnis konvensional) dengan UUS (yang beroperasi laiknya bank
dalam bank). Kedua, brand
awareness dan top of mind masyarakat rendah sebagai akibat
belum dilakukannya program komunikasi yang memadai. Ketiga, kebutuhan SDM
baik di kantor pusat (UUS) maupun KCS belum terpenuhi, karena rendahnya
alignment dan mis-match prioritas induk dan UUS. Keempat, optimalisasi penggunaan kewenangan limit pembiayaan yang
dimiliki masih kurang.
Pertanyaan saat ini yang masyarakat
masih membutuhkan jawaban adalah mau spin off kapan? Ini sebenarnya bukan pilihan yang sulit. Melihat besarnya keuntungan yang
dimiliki oleh early entrants dalam hal positioning dan market
capture, maka BUS adalah pilihan terbaik. Bahwa BUS bisa dengan relatif menguasai
pangsa pasar iB.
Apalagi ketika semua bank pada tahun 2023 akan berbentuk
BUS, sangat logis kalau proses UUS menjadi BUS dilakukan sebaik mungkin (painless,
effective, biaya rendah). Dan ini berarti proses transformasi harus dimulai
seawal mungkin.
Ada beberapa
alasan mengapa strategi perlu dipertimbangkan, yaitu: Pertama, memanfaatkan
momentum konsolidasi perbankan nasional yang sedang berlangsung. Dalam kondisi
konsolidasi, ketentuan permodalan masih relatif longgar, dan kalaupun jalur
akusisi yang diambil, bank yang tersedia untuk diambil alih masih relatif
banyak dengan harga reasonable. Kedua, pangsa pasar dan pencapaian
kinerja BUS lebih baik dari UUS secara umum. Ini diantaranya disebabkan
penetapan strategi BUS yang lebih mudah dibanding UUS, karena jumlah stakeholder
terbatas. BUS juga memiliki independensi yang tinggi dalam penentuan target dan
pengembangan kapasitas operasional. Ketiga, BUS juga memiliki kemudahan melakukan cost efficiency, proses migrasi
sistem atau SDM, dan kemudahan pengukuran kinerja bagi bank dan karyawan. Terakhir, dukungan BI juga cukup besar bagi BUS, dalam upaya bank
sentral mendorong pencapaian target market share dan mendukung implementasi
arsitektur perbankan syariah nasional.
Persoalan manajemen dengan adanya
rencana konversi juga sebaiknya dipersiapkan, hal ini misalnya dengan melakukan
edukasi, meningkatkan public awareness, persiapan infrastruktur dan
teknologi IT disamping juga harus dibarengi dengan inovasi produk dan layanan
serta komitmen dalam menjalankan syariah
Islam dalam perbankan dan penyiapan sumber daya insani (SDI), selama ini yang
kita lihat belum pernah PT. Bank NTB melakukan recruitment karyawan yang
khusus dialokasikan untuk pengembangan syariah, namun cenderung hanya bersipat
suplemen atau malah mengambil dari karyawan konvensional yang ada. Ini tidak
keliru, namun sebagaimana yang telah kerap kali diingatkan oleh para ahli dan
praktisi perbankan syariah, sebaiknya ada alokasi khusus untuk penyiapan dan pengembangan
SDI ini, jangan melulu melakukan pembajakan karyawan (istilah Salman Taufik).
Saya rasa hal ini terkait juga dengan tingkat kesehatan bank, jadi semua aspek
harus dilakukan dengan transparan dan sepengetahuan publik/nasabah untuk
menjamin tingkat kepercayaan yang lebih tinggi lagi.
Kalau memang benar-benar komitmen untuk
mengembangkan syariah, saya rasa laju tumbuh kembang UUS PT. Bank NTB dengan
kantor cabang dan kasnya yang ada saat ini tidak akan tertatih-tatih,
sebagimana yang terjadi selama ini. Aspirasi ini juga sebaiknya secara cepat
dan cerdas ditindaklanjuti, mengingat hal ini merupakan aspirasi masyarakat NTB
yang merasa memiliki bank pembangunan daerah mereka, juga untuk menangkap
peluang yang lebih besar dimasa depan.
0 Comments:
Post a Comment