Sabtu, 22 Februari 2014

Pengantar Buku Kinerja Pembangunan dalam Perspektif Misi Profetik



Kata Pengantar dalam Buku
KINERJA PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF MISI PROFETIK
(Integrasi Maqashid al Syariah dalam Menilai Kinerja Pembangunan)
(Yogyakarta: Pustaka Cendikia Publishing, 2014).
Penulis: Hermansyah, SEI., MSI.

MISI PROFETIS VERSUS TAFSIR STATISTIK
Oleh:
Dr. Yusdani, M.Ag.
(Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam,
Ketua Divisi Kajian & Penelitian Pusat Studi Islam UII Yogyakarta)

Realitas masyarakat Indonesia sebagaimana digambarkan oleh seorang bocah yang menulis sajak pendek: Indonesia, di mana alamatmu? Bagi bocah ini, Indonesia ibarat rumah yang memiliki alamat administratif jelas: Senayan atau Istana Merdeka. Namun, sangat mungkin sajak itu justru menggoda kita, benarkah negara ini punya alamat?[1]
Jika ditanya soal alamat negara, yang terbayang adalah posisi eksistensi dan orientasi nilai suatu bangsa. Dalam konteks ini, frase alamat negara dapat dipahami secara ideologis dan konstitusional. Jadi, alamat Indonesia adalah Pancasila (way of life/orientasi nilai), sedangkan rumah Indonesia adalah UUD 1945. Namun, bangsa ini kini semakin kehilangan Indonesia dalam konteks ideologis dan konstitusional. Indonesia telah menjelma menjadi negeri yang berada di dunia antah-berantah seperti dalam jagat fiksi.[2]
Sebagai alamat dan rumah, Pancasila dan UUD 1945 semakin terasa mengabur dalam kehidupan. Jika dicari, akan ditemukan mereka ”digembok” di dalam ruang ritual kebangsaan yang sunyi dan terasing. Artinya, Pancasila dan UUD 1945 hanya muncul dalam ritus-ritus peneguhan kebangsaan yang dilakukan secara retorik.[3]
Para penyelenggara negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) masih merasa perlu mengeksploitasi secara retorik Pancasila dan UUD 1945 agar mendapatkan legitimasi dari rakyat. Sementara break-down dan praksis kerja mereka cenderung tidak berwatak solider terhadap rakyat, seperti yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, melainkan lebih membela kepentingan kekuatan kapital dan pasar bebas (neoliberalism) yang berprinsip ”hanya yang kuatlah yang bertahan dan berkuasa”. Ini terkait dengan perubahan paradigma kehidupan bangsa. Sebelum tahun 1965, kehidupan masyarakat Indonesia bercorak populis, sipil, dan anti-modal asing; sedangkan pasca-1965, masyarakat Indonesia bercorak elitis, militeristik, dan pro modal asing.[4]
Negara pun akhirnya tidak sepenuhnya menjadi lembaga pelayanan bagi warganya, melainkan cenderung menjadi agen kekuatan kapital. Adapun para penyelenggara negara cenderung menjadi kumpulan panitia pasar bebas. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan tidak merespons problem warga negara yang riil dan urgen, melainkan lebih melayani kepentingan kapital dan pasar global. Rakyat pun dikategorikan sebagai bagian dari pasar global yang sah untuk dieksploitasi secara ekonomis dan kultural. Rakyat tidak dipahami sebagai komunitas besar yang melekat pada eksistensi negara dan berhak dilindungi.[5]
Rakyat pun menjelma menjadi anak yatim-piatu. Tanpa diberi modal dan kemampuan secara optimal oleh negara, rakyat dipaksa bertarung melawan kebengisan kekuatan dan kuasa modal. Negara tega membiarkan rakyatnya menjadi bangsa konsumen, padahal negara semestinya mendorong bangsanya menjadi bangsa produsen yang kreatif dan mandiri.[6]
Negara cenderung ”tidak merasa bersalah” ketika berhasil menciptakan lapangan kerja bagi jutaan tenaga outsourcing yang upah harian/mingguan/bulanannya tak cukup untuk hidup minimum. Negara juga menciptakan disorientasi kultural melalui mesin-mesin dan industri budaya massa sehingga rakyat pun lahir sebagai kumpulan manusia yang seragam, baik dalam budaya ide, budaya perilaku/ekspresi, maupun dalam budaya material.[7]

Ironi Tafsir Statistik
Persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang menelan rakyat cenderung ditutup dengan karpet merah bernama tafsir statistik yang menarasikan kesuksesan negara dalam mengatasi kemiskinan, memberantas korupsi, menekan angka pengangguran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Merasa sebagai hero, berbagai kesuksesan itu diucapkan secara fasih dan lantang oleh aktor-aktor politik istana.[8]
Namun, narasi tafsir statistik itu menjadi ironi getir ketika berhadapan dengan realitas sosial, ekonomi, dan budaya yang day to day dihadapi rakyat. Rakyat menggigil dan gemetar ditelan kehidupan berbiaya tinggi yang serba tidak pasti dan tak bisa ditawar; bahkan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Rakyat pun dipaksa untuk kreatif, misalnya dengan menyulap nasi basi menjadi nasi aking (kering). Kepedihan itu terasa semakin menyayat ketika negara justru royal membelanjakan anggarannya dengan membeli pesawat untuk presiden, mobil mewah untuk pejabat, dan kebutuhan lain yang tak urgen.[9]
Ketika negara off dari tanggung jawab ideologis dan konstitusional sebagaimana digambarkan di atas, pusat dinamika masyarakat berada di tangan kuasa modal dan kuasa pasar. Sampai-sampai, pusat perbelanjaan yang dinyatakan melakukan praktik monopoli oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) malah dimenangkan kasusnya oleh pengadilan, tak lama setelah petinggi negara ini bertemu presiden direktur (CEO) perusahaan itu di Paris. Modal bukan lagi bermakna sebagai kapital an sich, tetapi menjelma menjadi ”panglima” yang menentukan seluruh dinamika negara dan masyarakat. Begitu pula dengan pasar yang tidak sekadar berarti ”kesepakatan jual-beli”, melainkan sudah menjadi pusat legitimasi bagi kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.[10]
Siapa pun yang tidak tunduk dan patuh kepada kuasa modal dan pasar, dimohon secara tidak hormat untuk tersingkir dan termarjinalisasi. Jangan heran jika para pemimpin yang lahir kemudian adalah mereka yang mampu kompromi dengan kuasa modal dan pasar. Semua harus ”dibeli”, termasuk jabatan presiden, menteri, anggota DPR, jaksa, hakim, gubernur, bupati/wali kota, dan lainnya. Pemimpin-pemimpin yang lahir pun tidak lagi dari rahim sosial-kultural: integritas, kapabilitas, dan komitmen. Pragmatisme yang digerakkan kuasa modal dan pasar telah mendisfungsionalisasi rahim itu.[11]
Kuasa modal dan pasar melahirkan kehidupan bernegara yang serba artifisial dan tanpa visi profetik (membebaskan dan mengangkat eksistensi manusia). Rakyat pun memasuki ranah simulacra atau dunia seolah-olah. Seolah-olah punya pemimpin, seolah-olah punya wakil rakyat, seolah-olah hidup sejahtera, seolah-olah demokratis, seolah-olah mendapatkan keadilan, bahkan seolah-olah punya negara yang melindungi.[12]
Dunia simulacra tersebut di atas dibangun oleh negara, kuasa kapital, dan pasar melalui budaya simbolik yang merepresentasikan impian kolektif rakyat. Rakyat dipisahkan dari kehidupan yang riil dan otentik agar tidak kritis terhadap realitas semu yang mengepungnya, termasuk mempertanyakan di mana sesungguhnya ”alamat” Indonesia, seperti puisi bocah tersebut di atas. Bangsa Indonesia  pun semakin kehilangan Indonesia yang sangat mereka cintai.[13]

Misi Profetik Agama
             Melihat realitas persoalan bangsa tersebut di atas, menjadi momen tepat dan urgen untuk merefleksikan kembali keberagamaan kita. Ia bisa dikatakan sebagai upaya mengaca diri di hadapan “cermin besar” keteladanan Rasul dalam segala aspek kehidupannya yang tidak mesti dilakukan secara zakelijk, harfiah, atau sepotong-sepotong, pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi, yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karitatif. Konsekuensinya, tidak semua perilaku Nabi, terutama yang bersifat fisik, harus dijiplak mentah-mentah, tanpa mempertimbangkan kesesuaian konteksnya.[14]
Urgensi memunculkan kembali kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan kita didasarkan pada sejumlah fenomena kehidupan yang makin menjauh dan semangat ke-Nabian Muhammad, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Betapa di sekeliling kita sudah dipenuhi orang-orang yang konon beragama namun sama sekali tidak mampu memaknai keberagamaannya sendiri secara profetik. Kecintaan dan komitmen mereka terhadap agama dan Nabi tidak perlu diragukan, namun itu semua dibungkus fanatisme buta yang justru sering merugikan diri sendiri.[15]
Mengharapkan agama mampu menjawab segala persoalan kontemporer mungkin ibarat “mimpi di siang bolong”, ketika persoalan inheren dalam agama sendiri belum terpecahkan. Logikanya, bagaimana agama mampu membebaskan umatnya dari seluruh persoalan yang ada, jika ia sendiri belum terbebaskan. Dalam kenyataannya, cara pembacaan umat beragama terhadap realitas agamanya masih amat sederhana jika tidak malah “primitif”. Agama masih dibelenggu pandangan parokial berupa keterkungkungan teks yang diciptakan umatnya sendiri.[16]
Dengan demikian, kesadaran profetik meniscayakan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lain mengonstruksi agama yang membebaskan. Musuh yang melekat dalam diri agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh di luar dirinya. Di sinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit dan menantang.[17]

Obyek dan Subyek Agama Profetik
Obyek sekaligus subyek keberagamaan profetik adalah umat manusia (humankind) secara keseluruhan, tanpa kecuali. Persoalannya justru pembacaan terhadap agama sering menghalangi tercapainya misi profetik agama itu sendiri, yakni menjadikan mereka humanum (manusia sejati). Umat manusia, melalui pembacaan terhadap realitas agamanya, sering berbuat kerusakan yang merugikan manusia lain. Pembacaan terhadap agamanya masih teosentris (manusia untuk agama), belum antroposentris (agama untuk manusia). Cara pembacaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai pembacaan yang terbebaskan.[18]
Pembacaan agama yang antroposentris, seperti ditegaskan Esack (1997), membawa pada dua implikasi. Pertama, pembacaan yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Kedua, pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan, bukan sebagian atau segelintir dari mereka.[19]
Ide dasar umat manusia sebagai sebuah kunci hermeneutik, dengan demikian, memunculkan dua persoalan teologis klasik. Pertama, problem menyangkut the value of mankind sebagai pengukuran kebenaran. Jika seseorang menerima pemahaman dan peran umat manusia sebagai ukuran kebenaran, maka pertanyaannya, bisakah kita mengartikan bahwa kepentingan Tuhan itu identik dengan kepentingan manusia, atau sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini, tentu saja, mengikuti prinsip kebenaran relatif yang mengakui keberadaan multi kebenaran, sebab kebenaran absolut hanya milik Tuhan.[20]
              Kedua, persoalan kepemilikan otentisitas pembacaan terhadap agama. Persoalan ini sering melahirkan perdebatan teologis yang panjang tentang siapa yang lebih otentik dalam melakukan pembacaan terhadap agamanya. Tidak seorang pun berhak memonopoli otentisitas pembacaan agama. Orang yang menganggap diri paling legitimate dalam melakukan pembacaan terhadap agamanya oleh Esack disebut telah melakukan hermeneutical promiscuity, perzinaan hermeneutik.[21]
Dengan demikian, pembacaan terhadap realitas teks agama (al-Qur’an dan Hadis) harus ditakar dari, dan berpulang pada, nilai-nilai kemanusiaan manusia sebagai obyek sekaligus subyek beragama. Meski mengusung kriteria kebenaran, upaya pembacaan itu harus diletakkan dalam kerangka Tauhid (pengesaan Tuhan). Dengan cara demikian, umat Islam tidak perlu lagi terkungkung oleh teks-teks agama yang membelenggu aspek kemanusiaannya. Dan, ini prasyarat bagi terciptanya pembacaan profetik kedua; agama yang membebaskan.[22]
Misi profetik Nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Dengan begitu, Nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam proses pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Inilah yang telah dilakukan Nabi untuk masyarakat Arab pada awal-awal masa keNabiannya.[23]
Dalam pandangan Engineer (1990), pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan tiga jenis pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenal amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan; kelas terhormat yang menindas (syarif/the oppressor) dan kelas budak dan orang miskin yang tertindas (mustad’afin/the oppressed).[24]
Islam turun membawa pesan egalitarianisme di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar warna kulit, ras, suku, atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya.[25]
Konsep pembebasan yang dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab, tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama. Konsep ini amat relevan diangkat kembali ke dalam konteks kehidupan mutakhir yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang berawal dan arogansi rasial, etnik, dan budaya. Artinya, dengan beragama kita hilangkan kemiskinan, kebodohan, dan kezaliman, bukan sebaliknya.[26]
Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, al-Qur’an amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja, sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, al-Qur’an juga menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin. Bagi mereka yang tertindas, Allah tidak saja telah menganjurkan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan, namun juga menjanjikan mereka kemenangan. Di negara kita, keadilan masih menjadi barang luxurious, terlebih bagi kalangan lemah-tertindas. Keadilan hanya milik kaum berpunya. Hal ini amat dirasakan manakala kita melihat kebijakan pembangunan yang selalu merugikan wong cilik.[27]
Keseluruhan uraian yang dikemukakan di atas secara substantif  mengindikasikan di tengah hiruk-pikuk berbagai teori, paradigma dan pendekatan tentang kinerja pembangunan adalah dibutuhkannya suatu paradigma alternatif sebagai pendekatan untuk merumuskan indikator atau tolok ukur keberhasilan kinerja pembangunan bangsa. Sudah tentu pendekatan dimaksud selain solutif juga bersifat holistik. Dalam hubungan inilah kehadiran buku Kinerja Pembangunan dalam Perspektif Misi Profetik yang ditulis oleh Sdr. Hermansyah, SEI., MSI. seorang penulis dan dosen muda yang produktif dan mempunyai visi keberpihakan atas persoalan-persoalan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi urgen dan penting serta perlu diapresiasi.
Salah satu gagasan yang merupakan benang merah dalam buku yang ada di tangan pembaca ini adalah bahwa penulis berupaya mengintegrasikan teori -maqasid al-Syari’ah[28] yaitu suatu teori fundamental yang berasal dari dan dikonstruk oleh para juris muslim sebagai suatu perspektif dalam melihat kinerja pembangunan. Dengan kata lain, buku ini mencoba menawarkan cara pandang alternatif dalam melihat persoalan kinerja pembangunan. Jika teori maqasid al-Syari’ah ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia secara substantif dapat juga diartikan sebagai ajaran profetik.
Tanpa ada keinginan untuk mengarahkan pikiran pembaca atas buku ini, kepada pembaca yang budiman dipersilahkan membaca langsung buku ini secara kritis. Dengan harapan dengan terbitnya buku ini akan memberi sedikit semangat dan optimisme dalam menyikapi kinerja pembangunan di Indonesia. Selamat membaca.

Yogyakarta, Januari 2014.


[1] Indra Tranggono, “Semakin Kehilangan Indonesia” (artikel opini) Harian Kompas dikutip http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/04/05441959/semakin.kehilangan.indonesia diunduh 4 Maret 2010.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ibid. Baca juga Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid. dan Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid. dan Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[14] Masdar Hilmy, Islam Profetik Substansiasi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang Publik (Yogyakarta: Impulse Kanisius,2008),hlm.244-245.
[15]Ibid, hlm.245
[16] Ibid, hlm.245
[17] Ibid, hlm.247, baca juga Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.279-280 dan Jeery Mander, Debby Barker dan David Corten, Globalisasi Membantu Orang Miskin?, Globalisasi, Kemiskinan dan Ke­timpangan, (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), hlm. 4-5.
[18]Ibid, hlm.247-248
[19] Ibid, hlm.248 dan baca Parsudi Suparlan, “Pendahuluan” dalam Parsudi Suparlan (Penyunting), Kemiskinan di Perkotaan Bacaan untuk Antropologi Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm.x 
[20] Ibid. dan baca juga Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.279-280
[21] Ibid, hlm.248
[22]Ibid, hlm.248
[23] Ibid, hlm.248
[24]Ibid, hlm.248-249
[25]Ibid, hlm.249, baca Q.S. 48: 13. dan baca juga Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm.279-280.
[26]Ibid, hlm.249
[27]Ibid, hlm.249-250; baca Q.S. 59: 7, Q.S 2: 219  dan Q.S.  28: 5.
[28] Sarjana muslim kontemporer yang membahas dan mengintegrasikan teori  ini dengan teori-teori ilmu sosial kontemporer antara lain adalah Jasser Auda, Maqasid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (London: IIIT,2008).

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id