Gagasan-Gagasan Reformis Intelektual Muslim Indonesia
(Suatu Upaya Menemukan Konsepsi Pemikiran Islam Masa
Depan)
Tulisan ini telah terbit di Jurnal eL_Huda (Jurnal Pengembangan Studi
Islam) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAI Qamarul
Huda Bagu Lombok Tengah Volume X, Nomor 1 Edisi Januari-Juni 2013 hal. 85-114.
Abstract
In general, there are two trends that developed in Islamic studies so far, first, studies that focus on a character, especially biographies and thoughts and second, studies that focus on the dynamics that occur within the Muslim community with regard to issues of social, cultural, economic and politics. This study is intended as an attempt to find a conception of Islamic thought in the face of modernization, namely a wide variety of illustration, common sense or ideas concerning thought as been made by the Indonesian Muslim intellectual reformers. The study is a historical study, given the breadth of the study area, only the author will try to reveal things that are associated with ideas of thought intended. This study also can not be separated from the study of character and ideas, along with the demands of his day. Furthermore, to better focus on the intent of this study the author will try to outline the first conception of thought regarding the idea and continued with the concepts of Islamic thought in Indonesia in an effort to find the conception of thought as a response to an agenda for the future development of Islamic thought.
In general, there are two trends that developed in Islamic studies so far, first, studies that focus on a character, especially biographies and thoughts and second, studies that focus on the dynamics that occur within the Muslim community with regard to issues of social, cultural, economic and politics. This study is intended as an attempt to find a conception of Islamic thought in the face of modernization, namely a wide variety of illustration, common sense or ideas concerning thought as been made by the Indonesian Muslim intellectual reformers. The study is a historical study, given the breadth of the study area, only the author will try to reveal things that are associated with ideas of thought intended. This study also can not be separated from the study of character and ideas, along with the demands of his day. Furthermore, to better focus on the intent of this study the author will try to outline the first conception of thought regarding the idea and continued with the concepts of Islamic thought in Indonesia in an effort to find the conception of thought as a response to an agenda for the future development of Islamic thought.
Keywords: Concept, thought, Islam
Abstrak
Secara umum,
terdapat dua kecendrungan yang berkembang dalam kajian keIslaman selama ini, pertama,
kajian yang memfokuskan pada seorang tokoh, terutama biografi dan pemikirannya
dan kedua, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam
masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Kajian ini dimaksudkan sebagai suatu upaya
menemukan konsepsi pemikiran Islam dalam menghadapi modernisasi, yakni berbagai
ragam gambaran, pengertian atau ide umum menyangkut pemikiran sebagaimana
pernah dilontarkan oleh para reformis intelektual muslim Indonesia. Kajian
merupakan kajian historis, mengingat begitu luasnya wilayah kajian ini, penulis
hanya akan mencoba mengungkap hal-hal yang terkait dengan berbagai gagasan
pemikiran dimaksud. Kajian ini juga tidak terlepas dari kajian tokoh dan
gagasannya, disertai tuntutan zamannya. Selanjutnya untuk lebih memfokuskan
pada maksud kajian ini penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu
menyangkut gagasan dan konsepsi pemikiran dilanjutkan dengan konsep-konsep
pemikiran Islam di Indonesia dalam upaya menemukan konsepsi pemikiran sebagai
respon terhadap pengembangan bagi agenda masa depan pemikiran Islam.
Kata Kunci: Konsep, pemikiran, Islam
A.
Pendahuluan
Dalam kajian
akademis, Islam umumnya dipelajari sebagai kenyataan sosial historis dengan
menggunakan berbagai pendekatan dan teori yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora. Secara umum, terdapat dua kecendrungan yang berkembang dalam
kajian keIslaman selama ini, pertama, kajian yang memfokuskan pada
seorang tokoh, terutama biografi dan pemikirannya dan kedua, kajian yang
memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat muslim berkaitan dengan
isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik.[1]
Berbeda dengan
kajian tokoh, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam
masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik
dapat memberikan kepada kita gambaran yang kompleks dari realitas sosial kaum
muslim. Kajian sosial akan membantu kita memahami dinamika yang tengah terjadi
dengan mencoba mencari solusi yang lebih realistik bagi persoalan-persoalan
yang tengah dihadapi.
Terkait dengan
hal inilah, maka setelah keluar dari masa kolonial, akselerasi dan korelasi
antara agama (Islam) disatu pihak dan perubahan (baca: modernisasi) di lain
pihak, menjadi ruang tembak yang terus didialektikakan oleh para reformis
muslim, tak terkecuali di Indonesia. Pada sisi ini terdapat kecendrungan dimana
agama dan modernisasi selalu dihadapkan secara diametral, dan hasil akhirnya,
agama tampaknya selalu menjadi pihak yang kalah.
Meminjam kata
Berger bahwa agama adalah langit suci, sedang modernisasi telah mendorong
manusia melompat dari langit suci atau langit relijius ke langit tidak suci
atau langit tidak relijius. Dalam akselerasi inilah -dimana pluralism, nilai,
norma, makna, symbol yang menjurus pada segmentasi budaya dan heterogenitas
pandangan hidup menjadi ciri penting- lompatan ini telah menimbulkan
disorientasi dan nestapa manusia, dimana akhirnya manusia harus kehilangan
langitnya.[2]
Adalah menjadi
kajian yang menarik, manakala menengok sebagaian pendapat antropolog menyangkut
tiga model yang diambil agama dalam menyikapi modernitas, pertama, model
deduksi. Pada model ini agama selalu menegaskan otoritas tradisinya dalam
menghadapi modernisasi (baca: perubahan). Firman Tuhan adalah jawaban atas
seluruh persoalan yang muncul pada dan dari kawasan realitas sosio-kultural.
Ekspresi keagamaan lebih menampakkan wajahnya yang normative dan skriptual. Kedua,
model reduksi, dimana agama mengalami demitologisasi, dibingkai dalam kerangka
sekuler agar memiliki kemampuan adaptif dan bermakna bagi manusia dalam zaman
yang terus berubah. Bermakna disini lebih bersifat pragmatis, sehingga ekspresi
keagamaan kaum reduksionis cenderung menempatkan agama sebagai kuda tunggangan.
Ketiga, model induksi dimana model ini pada dasarnya merupakan proses
pencarian nilai-nilai transenden dalam pengalaman manusiawi. Pada dasarnya,
dari balik pengalaman manusiawi inilah dapat ditemukan gejala-gejala
transendensi atau yang adikodrati (signal
of transendence).[3]
Model pertama
oleh Berger disebut sebagai anti antropologi, dan model kedua menyebabkan
kehilangan daya kritis terhadap modernisasi, dan pada model ketiga menurut
Berger memperoleh keyakinan bahwa dari sinilah dapat dijumpai kebenaran
relijius dalam konteks lebih luas yang membuka kemungkinan teologi di masa
sekarang.[4]
Berdasarkan
penjelasan singkat di atas, dalam tulisan sederhana ini penulis akan mencoba
menguraikan tentang gagasan-gagasan reformis
intelektual muslim Indonesia sebagai suatu upaya menemukan konsepsi pemikiran Islam
dalam menghadapi modernisasi, yakni berbagai ragam gambaran, pengertian atau
ide umum menyangkut pemikiran itu sendiri sebagaimana pernah dilontarkan oleh
para reformis intelektual muslim Indonesia, seperti Islam Tradisional, Islam
Modernis, Neo-modernisme Islam dan berbagai gagasan-gagasan pemikiran lainnya.
Kajian ini lebih pada kajian historis, dan karena
mengingat begitu luasnya wilayah kajian ini, penulis hanya akan mencoba
mengungkap hal-hal yang terkait dengan berbagai gagasan pemikiran dimaksud.
Kajian ini juga tidak terlepas dari kajian tokoh dan gagasannya, disertai
tuntutan zamannya.
Selanjutnya untuk lebih memfokuskan pada maksud tema
kajian ini penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu menyangkut gagasan dan
konsepsi pemikiran dilanjutkan dengan konsep-konsep pemikiran Islam di
Indonesia dalam upaya menemukan konsepsi pemikiran sebagai respon terhadap
pengembangan bagi agenda masa depan pemikiran Islam
B.
Konsepsi
Pemikiran
Konsepsi berasal
dari kata conception yang mengandung
makna gambaran, pengertian. Konsepsi ini memiliki akar kata ‘concept’ yang berarti ide umum, yang
berbeda dengan persepsi ’percept’.
Terdapat konsep tentang manusia dan kemanusiaan, konsep tentang benda dan
konsep lainnya.[5]
Sedangkan
istilah pemikiran merujuk pada kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab
akibat ataupun asal mula dari sesuatu materi ataupun esensi serta renungan
terhadap sesuatu wujud, baik materi maupun esensinya, maka dapat diungkapkan
hubungan hubungan sebab akibat dari sesuatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya,
serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek
pemikiran.[6]
Istilah pemikiran disini lebih mencakup bidang-bidang kajian filsafat, kalam,
sejarah, fiqih, politik dan lainnya.
Pada bagian
berikut ini, penulis akan mengemukakan berbagai konsepsi pemikiran Islam dari
para reformis muslim di Indonesia, dan pembahasan lebih terfokus pada tinjauan
tematik. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, akan diuraikan hasil pengamatan
Fazlur Rahman menyangkut tipologi pemikiran Islam secara global. Disamping
hasil pengamatan Fachry Ali dan Bachtiar Effendi tentang tipologi pemikiran Islam
Indonesia, karena hasil pengamatan tersebut sangat relevan untuk dikemukakan.
Menurut Rahman,
paling tidak terdapat empat tipologi pemikiran keIslaman yang pernah berkembang
di dunia Islam, yakni:[7]
pertama, gerakan pemikiran revivalisme pra modernis yang muncul pada abad ke-18
dan ke-19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan
Barat ini memperlihatkan ciri-ciri umum yakni: a) keperihatinan yang mendalam
menyangkut degradari sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya; b)
imbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang
ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme popular, meninggalkan gagasan tentang
kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan
ijtihad; c) imbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; d) imbauan untuk
melaksanakan pembaharuan melalui kekuatan bersenjata (jihat) jika perlu.
Menurut Rahman,
bahwa dasar pembaruan revivalisme pra-modernis ini kemudian diambil alih oleh
gerakan kedua, yakni modernism klasik, yang muncul pada pertengahan abad ke-19
dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini
adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti hubungan antara akal dengan
wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita
serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representative
serta konstitusional lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat.
Usaha modernism klasik dalam menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat
dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Sunnah Nabi, menurut Rahman,
merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artificial atau terpaksa.
Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah
Historis’ yakni (biografi nabi) sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah Teknis’
(yakni yang terdapat dalam hadis-hadis). Mereka umumnya skeptis terhadap hadis,
namun skeptisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.
Modernism klasik
ini selanjutnya memberi pengaruh pada gerakan ketiga, yakni neo-revivalisme[8]
atau revivalisme pasca modernis, seperti dalam mendukung gagasan demokrasi dan
percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah
dimodernisir. Bahkan gerakan ini telah mendasari dirinya pada basis pemikiran
modernism klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik
individu maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari
Barat, maka neo-revivalisme merupakan reaksi terhadap modernism klasik. Mereka
tidak menerima metode atau semangat modernisasi klasik, namun sayangnya, mereka
tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan psosisinya, selain
upaya membedakan Islam dengan Barat.
Dibawah pengaruh
neo-revivalisme, dan sebagai tantangan terhadapnya, neomodernisme Islam muncul.[9]
Dan Rahman termasuk di dalamnya. Dengan tegas Rahman menyatakan bahwa neo-modernisme
Islam harus mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun warisan-warisan
kesejarahannya sendiri. Kaum muslim harus mengkaji dunia Barat serta
gagasan-gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri. Bila
hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi
dunia modern merupakan kemustahilan, bahkan keberlangsungan hidup sebagai
muslim patut dipertanyakan.[10]
Selanjutnya
Facry Ali dan Bachtiar Effendi secara historis membagi empat tahapan
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yakni:[11]
pertama tahap pemikiran Islam tradisional (Islam Sinkretis), kedua,
tahap pemikiran Islam modern (Islam Puritan), ketiga, tahap pemikiran Islam
politik (Islam Nasionalis) dan keempat, tahap pemikiran intelektual (Islam
Intelektual).
Sementara itu
Mark Woodward (2001), sebagaimana dikutip oleh Ahmad Suaedy,[12]
mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru ke dalam lima
kelompok. Pengelompokan Woodward ini dengan melihat dari sudut pandang doktrin
dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang
baru.
Pertama, indigenized Islam. Indigenized
Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka
mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan
ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan
apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa.
Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara
berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan
sebaliknya.
Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama
(NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap
memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak
dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan,
hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat
atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai
keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam
kehidupan keIslaman sehari-hari.
Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama
berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama.
Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia
memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam
arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi
puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang
disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi
juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau
Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk
melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka
definisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih
dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang
mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun
dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan
institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam
tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap
berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan
filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.
Sementara itu,
Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca
runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis.
Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan
mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi
Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai
isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde
Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam
Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia
federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden
perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru
runtuh.[13]
Sebagai telaah
perbandingan, ada baiknya juga dikemukakan pendapat Kuntowijoyo dalam konteks
sosiologis pemikiran Islam Indonesia secara umum Kuntowijoyo menyatakan bahwa
secara sosio-historis umat Islam Indonesia telah melewati tiga fase kesejarahan
yakni fase mitos, ideologis-politis dan saat ini tengah berada pada fase ide
(ilmu).[14]
Pada bagian berikutnya akan diuraikan menyangkut konsep-konsep pemikiran Islam
Indonesia
C. Konsep-Konsep Pemikiran Islam
Indonesia
1.
Islam
Tradisional (Tradisionalisme Islam)
Konsep pemikiran ini adalah konsep yang umum
digunakan untuk membedakannya dengan konsep Islam modernis (Modernisme Islam).
Terkait dengan hal ini, ada baiknya jika kita membedakan antara istilah
“tradisi” dengan “tradisional”. Karena suatu “tradisi” belum tentu semua
unsurnya tidak baik, maka meski dipilah dan diperhatikan mana yang baik dan
yang tidak baik. Sedangkan “tradisionalis” memiliki kecendrungan tidak baik
karena memiliki sifat ekslusivitas atau pemutlakan terhadap tradisi secara
menyeluruh, yang tidak dibarengai dengan sikap kritis untuk memilah mana yang
baik dan yang kurang baik. Hal inilah yang menurut Cak Nur mengakibatkan
seringnya muncul anggapan dikotomis antara tradisi dan modernitas, yang
semestinya tidak perlu.[15]
Bagi para penganut Islam tradisional, Islam yang
otentik adalah Islam yang tradisional yang memiliki cita-cita untuk kembali
kejantung tradisi Islam, dalam merespon dan memberi tanggapan atas kebangkitan
kembali dunia Islam, sebagai suatu realitas yang dibutuhkan ditengah kekacauan
dan kegamangan dalam arus modernism. Para pengikut Islam tradisional ini
percaya bahwa semua yang ada dalam tradisi Islam harus diterima sepenuhnya,
baik warisan seni, ilmu pengetahuan, filsafat maupun sufisme yang dianggap
sebagai jantung dari satu kesatuan tubuh Islam. Disisi lain aspek syariat dan
metafisika Islam menjadi jawaban alternative terhadap berbagai problem
kemanusiaan yang ditimbulkan oleh ideology maupoun aliran-aliran modern,
seperti asionalisme, humanism, materialism, evolusionisme, psikologisme dan
lainnya.[16]
Sebagai lawan dari kelompok modernis, kelompok
tradisionalis ini sering digambarkan sebagai kelompok Islam yang anti-rasional,
fanatic, reaksioner dan lain-lain. Terkadang kelompok tradisionalis ini juga
sering disebut sebagai golongan salaf. Tokoh-tokoh yang sering dijadikan
sebagai pijakan kelompok tradisionalis antara lain al-Asy’ari, al-Ghazali,
‘Abdul Wahab dan lain-lain. Sebaliknya kelompok modernis dinilai sebagai
pelopor kemajuan, didirujuk kepada golongan Mu’tazilah dimasa al-Makmun dan
generasi sesudahnya.
Diantara beberapa karakteristik yang disematkan
kepada kelompok tradisionalis ini yakni kebiasaan dzikira atau wirid terutama
dalam tarekat, kepatuhan kepada guru (ulama/kiyai) secara kurang kritis
(taqlid), system belajar halaqah
(non-klasikal), acara-acara kenduru atau selamatan -tidak sedikit pula yang
mengarah kepada penyembahan, kuburan, kultus kepada para sesepuh- kepercayaan
kepada dukun dan sebagainya. Ciri lain yang tampak menonjol pula yakni kurang
terlatih dalam aspek managemen organisasi dan cenderung a politis.[17]
Namun
demikian dalam masa saat ini agaknya telah tampak memudar anggapan
menyangkut kaum tradisionalis ini, bahkan makin sulit untuk dapat
mengidentifikasi antara kelompok tradisionalis dan modernis dalam lingkungan
keagamaan (Islam) di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal kelompok yang tadinya
di anggap sebagai mainstream tradisionalis jauh lebih “liberal” dari keadaan
kaum modernis itu sendiri.
2.
Islam
Modernis (Modernisme Islam)
Gerakan kedua ini lebih merupakan anti-tesis
terhadap gerakan pertama di atas. Kelompok modernis ini ditengarai telah
mewarisi tradisi muslim era pertengahan berupa filsafat rasional dari
al-Farabi, Ibnu Sina dan lainnya. Jargon yang diusung adalah mengembangkan
ijtihad dan menolak taqlid. Kelompok modernis ini juga menerima secara terbuka
pengaruh Barat. Aspek pembaruan sosial, terutama dalam pengembangan lembaga
pendidikan modern, status kaum wanita, politikberupa pembaruan bentuk-bentuk
pemerintahan yang representative dan konstitusional merupakan bagaian dari
agenda kerja kelompok ini. Kelompok modernis ini juga berhasil mengaitkan
hubungan antara tradisi teks dalam Islam dengan tradisi Barat, semisal
pengembangan sains, demokrasi, termasuk kesetaraan gender dan lain sebagainya.[18]
Jargon tajdid
(pembaruan) yang diusung memiliki dua ciri yakni, bersifat pemurnian
(furifikasi) yang bergerak pada bidang akidah-ibadah dan rasionalisasi, lebih
pada aspek pemikiran, peningkatan nalar atau intelektualisme dalam Islam. Dalam
gerakannya di Indonesia aspek pertama lebih menonjol, meskipun dalam kadar
tertentu memberikan perhatian yang serius terhadap aspek yang kedua.
Beberapa ciri yang menonjol dalam kelompok modernis
ini yakni keyakinan bahwa Islam selalu relevan dengan poerkembangan zaman, Islam
identik dengan kemajuan, tidak menghambat pencarian ilmu dan sains serta
menghargai kedudukan dan posisi wanita setara dengan laki-laki. Dalam soal
agama mereka menekankan ibadah ritual juga sosial dan mereka juga beranggapab\n
bahwa setiap penambahan dalam aspek ibadah adalah bid’ah. Al-Qur’an dan al-hadis menurut kaum modernis mengajarkan
tentang kebebasan berfikir (berijtihad), namun kebebasan berfikir ini juga
dapat mengarah pada kesesatan seperti panteistis, bid’ah dalam ibadah,
penghormatan keramat dan kebiasaan baru dalam menghormati tokoh (semisal
pahlawan, wali dan sebagainya) yang semua itu tidak berdasarkan agama, namun
lebih mirip sebagai suatu peribadatan.
Jargon yang dilontarkan juga adalah kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah, namun hanya kepada isi dasar, prinsip-prinsip pokok
ybersifat universal. Prinsip keabadian dan ajaran Islam itulah yang dimaksud
dengan modern, karena senantiasa tetap dapat bertahan. Karena itulah keIslaman
kaum pembaharu ini disebut golongan modernis.
Disisi lain, golongan modernis juga menolak adanya
monopoli ajaran yang hanya dikuasai oleh para ulama (tokoh agama) yang mirip
dengan rahbaniyah dalam dunia
Kristen. Bagi mereka setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama dalam
memahami dan menyampaikan ajaran Islam.[19]
Jika kelompok tradisionalis mengambil jalur kultural
sebagai basis pemberdayaan masyarakat, maka kelompok modernis lebih menempuh
jalur struktur dalam upaya mewujududkan substansi nilai Islam. Namun demikian,
seperti yang disinggung di atas, benang merah yang cukup jelas tampaknya tidak
memberi pembeda antara golongan modernis dan tradisionali dewasa ini, hal ini
setidaknya juga diakibatkan oleh adanya kejumudan berfikir, atau ketatnya
system administrasi dan manajemen golongan modernis itu sendiri. Ditambah
adanya upaya “jalan bareng” untuk pemberdayaan masyarakat kedua kelompok ini,
hal inilah yang memperkuat bukti bahwa dewasa ini pembedaan antara kedau
kelompok ini tidak lagi relevan. Dan ditengah dua kutub inilah muncul sintesa
baru konsepsi pemikiran neomodernisme Islam.
3.
Neo-Modernisme
Islam
Neomodernisme Islam bercita-cita ingin merajut
kembali kekayaan tradisi muslim, yang dikemas secara metodologis untuk
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Rahman yang merupakan salah satu tokoh
gerakan ini menyatakan bahwa satu-satunya jalan yang mungkin dilakukan untuk
melakukan pembaharuan adalah dengan cara merombak kembali asal-usul dan
pengembangan seluruh tradisi Islam, dengan cara, dimana al-Qur’an dan as-Sunnah
didekati dan ditafsirkan.[20]
Rahman dengan demikian mengingatkan umat Islam untuk
dapat membedakan secara jeli antara Islam normative dan Islam historis. Dalam
memahami al-Qur’an, perlu dibedakan aspek ideal moral (sebagai tujuan) dengan
ketentuan legas-spesifik, dimana aspek ideal-morallah yang lebih pantas
diterapkan.[21]
Ciri lain dari neomodernisme Islam ini adalah metodologi penafsiran al-Qur’an
harus dilakukan dengan gerakan ganda (double
movement), dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali
kemasa kini.[22]
Sedangkan dalam konteks keindonesiaan, pemikiran
neomodernisme kurang begitu dikenal dan baru setelah Nurcholish Madjid dan
Ahmad Syafi’I Ma’arif pulang belajar dari Amerika Serika (Chicago University), dan karya-karya Rahman diterjemahkan ke dalam
edisi bahasa indonesia, ditambah dengan pengaruh beberapa institusi pendidikan
semisal Paramadina, Studi Agama dan Filsafat yang dimotori oleh Dawam Raharjo,
dan beberapa media seperti ‘Ulumul Qur’an, Islamika, Mizan dan lain-lain
pemikiran neomodernisme Islam ini mulai dikenal.
4.
Islam
Rasional
Kelompok Islam Rasional dimotori oleh Harun Nasution
dan Djohan Effendi. Harun dikenal sebagai “Abduhis” (pengagum Muhammad Abduh),[23]
yang dikenal memiliki etos rasionalitas dan ilmu pengetahuan serta sangat
menjunjung tinggi etos ilmiah. Dalam pemikirannya Harun lebih menekankan pada
aspek teologis, dari Islam non rasional kepada Islam rasional, dan dari pola
asy-Ariyah ke pola Mu’tazilah.
Teologi Islam rasional Harun memiliki beberapa pokok
ide pemikiran diantaranya yakni rasionalitas (bukan rasionalisme), kebebasan
kreatif manusia (free will, free act),
adanya pembedaan antara ajaran yang absolute (qath’iy) dan relative (zhanny),
al-Qur’an sempurna dalam hal-hal pokok (kulliyat),
dengan demikian ia harus dibedakan antara qath’iy
al-wurud (absolute benar dari Allah) dan qath’iy al-dlalalah (absolute dari satu artinya) dan dzanny al-dlalalah (mengandung banyak
arti).
Meskipun Harun menguasai filsafat Islam, tasawuf dan
kalam, namun tampaknya, bidang kalamlah yang menjadi konstruksi teoritik utama
dalam pembaruannya. Dalam hal ini Harun mengkaji lebih jauh tentang hubungan
antara wahyu dengan akal. Menurut Harun, terdapat empat katagori dalam kajian
kalam yakni, kemampuan manusia mengetahui tuhan, kewajiban mengetahui tuhan,
mengetahui yang baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang jahat. Islam rasional berpendapat bahwa akal mampu menjawab semua masalah
tersebut, dan kedudukan wahyu dan akal adalah sederajat dan saling mengisi
dalam mencapai kebenaran. Wahyu merupakan tanda keadilan, kebaikan dan
kewajiban tuhan terhadap manusia, maka iman merupakan tanggapan manusia atas
wahyu tuhan.[24]
Iman erat hubungannya dengan akal dan wahyu. Iman
yang didasarkan atas wahyu disebut tashdhiq.
Iman yang didasarkan atas akal disebut ma’rifah.
Iman tashdhiq berdasarkan
pemberitaan, iman ma’rifah
berdasarkan pengetahuan yang mendalam. Karena wahyu sejajar dengan akal, maka
akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia, dan yang membuat manusia menjadi
pencipta perbuatannya. Hal ini berarti iman merupakan ilmu yang bersandar pada
pengetahuan yang disebut iman haqiqi.
Dalam pandangan Harun, berbuat baik karena ia tahu bahwa perbuatan baik itu
adalah baik, dan menjauhi perbuatan jahat karena ia tahu bahwa perbuatan itu
jahat dan membawa akibat-akibat yang buruk. Iman haqiqi bukan karena ikut-ikutan kepada orang tua, misalnya namun
juga berupa dorongan untuk berbuat baik sebagai realisasi dari kebebasan
manusia.
Sebagaimana manusia, tuhan tahu wujud tuhan walaupun
tanpa bukti, maka manusia juga mengetahui perbuatannya sendiri berdasarkan
prinsip kemauan dan kebebasan. Ukuran bagi perbuatan ini menurut Harun adalah
pertimbangan, peniaian dan pemilihan atas suatu tindakan yang direncanakan.
Kebebasan manusia dibatasi oleh kelemahan dirinya sendiri (taqshir). Tetapi semua perbuatan tetap oleh dirinyasendiri (yakni
daya, kemampuan dan perbuatan), bukan berasal dari tuhan sebagaimana pendapat
Asy’ari, rincian penjelasan inilah yang dikembangkan oleh Djohan Effendi.[25]
Menurut Djohan, takdir memiliki dua sisi yakni
“keterikatan” dan ”kebebasan”. Berdasarkan analisisnya terhadapa Q.S. 36:
36-40, Q.S. 23: 18, Q.S. 43:11, Q.S. 13:8, takdir ilahi merupakan hukum ilahi,
(Din) yang berlaku diseluruh alam
semesta dan dunia peristiwa, baik jasmaniah maupun rohaniah. Namun ini tidak
berarti fatalism (perbuatan tiap individu telah ditetapkan oleh tuhan
sebelumnya). Takdir disini berarti “Hukum Kehidupan” dimana di dalamnya manusia
memiliki kebebasan memilih (free choice)
atau kebebasan moral (manusia sendiri yang bertanggungjawab atas perkembangan
kesadaran moralnya) dengan demikian setiap orang memiliki tanggungjawab yang
tidak dapat digantikan oleh orang lain. Tanggungjawab moral manusia sebanding
dengan kebebasan moralnya. Sifat aktif dan kreatif disini sangat menentukan.
Beriman kepada takdir berarti bekerja sesuai dengan sunnatullah dan hokum-hukum
yang mengatur alam semesta. Lebih jauh Djohan menyatakan bahwa Allah swt
melalui al-Qur’an secara sungguh-sungguh mengimbau manusia untuk bekerja sama
dengan tuhan dalam mewujudkan dunia, dimana keadilan dan kebajikan bukan
sekedar gagasan, namun suatu kenyataan.
Demikian halnya, menyangkut konsep keadilan,
keadilan menurut Harun adalah keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang
membuatnya menjadi lurus (hokum dengan benar dan adil). Sedangkan kedzaliman
adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan menurut Djohan, konsep
keadilan ini dapat dikaitkan dengan konsep syirik (sekutu, sembahan dan
saingan).[26]
Dengan hal ini, maka segala sikap yang bersifat ketaatan yang tidak kritis,
fanatisme golongan atau aliran juga organisasi secara berlebihan, cinta
keluarga, kerabat, bisnis, rumah mewah dan sebagainya merupakan bentuk
kemusrikan dan keserakahan yang melahirkan ketidakpedulian sosial.
Konsepsi Islam rasional setidaknya juga memiliki
kelemahan, diantaranya yakni:[27]
pertama, system-sistem dan orientasi-orientasi tersebut diadopsi dari
sumber-sumber luar, dimana struktur gagasan-gagasan dasarnya tidak diambil dari
al-Qur’an sendiri. Juga, agama tidak hanya cukup dirumuskan secara rasional
namun juga diamalkan dan dihayati. Salah satu bentuk penghayatan adalah dengan
bentuk persepsi ketuhanan menurut sifat-sifat yang mempunyai pengaruh langsung
pada hidup manusia. Kedua, perhatian kalangan Islam rasional terutama
menyangkut keadilan, masih dalam dataran filosofis dan bersifat mikro, artinya
keadilan masih dilihat sebagai masalah individual yang pelaksanaannya hanya
tergantung kepada kehendak baik. Padahal, dalam realitas sosial, ada
struktur-struktur ekonomi-politik, sosial-budaya dan ideology yang merusak
tatanan “keadilan makro” dan bukan sekedar soal individual.
5.
Islam
Peradaban
Islam peradaban dimotori oleh Nurcholish Madjid dan
Kuntowijoyo. Bila Nurcholish Madjid lebih banyak menggeluti kajian etika
al-Qur’an, dan pemikiran neomodernisme Islam, maka Kuntowijoyo lebih pada
sosiologi Islam, atau perekayasaan masyarakat Islam. Kedua pelopor Islam
peradaban ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat Islam
Indonesia yang modern.
Terkait dengan hal di atas, maka Nurcholish Madjid
merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi -bukan westernisasi- dan meyakini
perlunya tata piker dan tata kerja secara rasional agar lebih mendapatkan hasil
maksimal. Pemanfaatan hasil teknologi modern bagi Nurcholish sangat penting.
Bagi Nurcholish, sesuatu yang disebut modern jika ia bersifat ilmiah, dan
sesuai dengan hokum-hukum yang berlaku di alam. Ini berarti mopdernisasi merupakan
perintah tuhan. Konsekuensinya, keimanan dan keIslaman menjadi begitu identik,
dan modernisasi dipandang lebih sebagai suatu proses dalam upaya mencari
kebenaran. Karena berdasarkan fakta ilmiah, maka Islam peradaban berbeda dengan
Islam rasional (yang lebih rasional-murni), Islam peradaban lebih empiris,
karena ia berproses dalam pencarian empiric. Menurut Nurcholish peradaban Barat
saat ini merupakan warisan Islam yang memiliki dasar-dasar universalitas dan
kosmopolit sebagai warisan universal. Dengan demikian umat Islam harus
mengambil kembali warisan itu.
Selain itu, Islamperadaban juga didasari atas
prinsip tauhid dan etos kerja.[28]
Tauhid disini berarti pembebasan keyakinan dari unsure-unsur mitologis, baik
yang ateistik maupun yang politeistik. Pembebasan diri dari mitologi ini harus
diisi dengan kepercayaan yang benar, karena kebebasan yang tak terbatas akan
mengundang tirani. Hambatan untuk menemukan kebebasan ini biasanya adalah rasa
angkuh dan belenggu yang diciptakan untuk diri sendiri (hawa al-nafs), dari sini selanjutnya timbul pandangan subyektif
yang melahirkan manusia yang “menuhankan diri sendiri” (memutlakkan pandangan pikiran
sendiri atau terkungkung oleh tirani vested
interest), hal inilah yang menimbulkan sifat kufur yakni penolakan terhadap
kebenaran.[29]
Implikasi dari uraian di atas adalah bahwa manusia
yang beriman menjadi terbuka dan secara kritis selalu tanggap kepada
masalah-masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. Karenanya,
rasa keadilan dan sikap ihsan akan muncul dengan sendirinya. Menurut Nurcholish
tauhid individual inilah yang akan memunculkan tauhid sosial yang berprinsip
pada egalitarianism, menghendaki system sosial yang demokratis. Proses
demokratisasi bangsa merupakan implikasi dari gagasan ini. Dan ia juga
merupakan efek dari makmurnya perekonomian, dalam lain hal, Nurcholish
menyatakan bahwa demokrasi bukan tujuan, namun ia adalah cara.karena tujuan
demokrasi adalah keadilan sosial, keadilan sosial ini diiringi oleh pertumbuhan
ekonomi. Disinilah bagi Nurcholis peran kelas menengah menjadi penting dalam
upaya menymbyhkan etos kerja, dari sinilah setidaknya Nurcholis mengambil
manfaat dari tesis weberian menyangkut etika protestan,[30]
dengan menafsirkan al-Qur’an.
Dan yang menjadi permasalahan bagi Nurcholish adalah
menyangkut etika Islam dan etos kerja. Diantara beberapa prinsip yang
disumbangkan oleh cak Nur adalah niat (komitmen), ridha allah, ikhlas dan
ihsan. Menurut Cak Nur, jika semua ini dapat terwujud maka peradaban Indonesia
modern akan menjadi kenyataan di masa depan.[31]
Bila Nurcholish Madjid ingin membangun Islam
peradaban dengan lebih banyak menggeluti etika al-Qur’an, maka Kuntowijoyo
lebih pada sosiologi Islam, atau perekayasaan masyarakat Islam dalam
menerjemahkan kemajuan bangsa Indonesia, yang ingin menjembatani idealitas Islam
dan realitas sosial umat.
Kuntowijoyo bergerak dari ilmu sosial transformative
atau ilmu sosial profetik, yang lebih merupakan perwujudan rasa
ketidakpuasannya (crisis of academic)
dengan teori-teori sosial akademik yang ada selama ini. Kuntowijoyo meyakini
bahwa semua ilmu itu relative atau ‘paradigmatik’ (Thomas Kuhn),[32]
ideologis (Marx),[33]
dan bersifat cagar bahasa (Wittgenstein).[34]
Dengan demikian, menurut Kuntowijoyo bahwa membangun ilmu sosial yang Islami
adalah sah yang sesuai dengan tuntutan sosial umat.
Menurut Kunto, ilmu sosial transformative atau ilmu sosial
profetik ini harus dibangun dari paradigm al-Qur’an. Yang dimaksud dengan
paradigm disini adalah mode of thought,
mode of inquiry yang nantinya dapat menghasilkan mode of knowing. Disinilah Kunto melahirkan “Paradigma Islam
tentang Transformasi Sosial” yakni keinginan untuk mengubah masyarakat sesuai
dengan misi Islam. Beberapa cirri paradigm yang diajukan Kunto adalah
humanisasi (amar ma’ruf),
liberalisasi atau pembebasan (nahi munkar)
dan emansipasi dan transendensi.
Bila Nurcholish Madjid lebih Weberian, maka
Kuntowijoyo cenderung Durkheimian dan Parsonian (transformasi), dimana kedua
teori tersebut merupakan dparadigma besar dari teori modernisasi.
Namun demikian, beberapa kelemahan dari Islam
peradaban ini yakni karena teori dan teologi modernisasi hanya memberikan
penjelasan tentang keterbelakangan, lebih memperhatikan “factor dalam” yakni
sesuatu yang salah dalam anutan umat sehingga terkebelakang. Padahal terdapat
“factor luar” yang disebut “Imperialieme Barat” sebagai penyebab keterbelakangan
juga. Hal inilah yang mengilhami kajian Islam berikutnya.
6.
Islam
Transformatif
Teologi modernisasi Islam dalam arti Islam rasional
dan Islam peradaban banyak dikritik oleh konsepsi pemikiran ini. Hasil kritik
itulah yang merupakan salah satu upaya membangun “Islam alternatif” titik tekan
mereka adalah bagaimana melihat kelemahan yang ada dalam perspektif ekstrinsik,
dari luar. Menurut Islam transformative, factor keterbelakangan umat tidak
semata-mata persoalan internal teologis, namun lebih dari itu. Mereka
selanjutnya menganalisa hubungan antara dunia maju dan Negara berkembang yang
berwatak imperialis (tingkat global) maupun hubungan yang tidak adil dan
bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (di tingkat lokal) yang disebabkan oleh
system ekonomi yang berjalan. Cara berfikir kelompok ini lebih strukturalis,
pendekatannya juga bercorak demikian, structural-historis, juga dari kritik
ideologis ke kritik tafsir, sembari mencari tafsir alternative dalam tindakan
sosial sebagai praksis-teologis.[35]
Yang menarik dari gerakan ini adalah, upayanya dalam
usaha memanfaatkan sekaligus mensintesakan berbagai analisis sosial, dari
tafsir al-Qur’an yang dilanjutkan dengan transformasi masyarakat. Misalnya
membaca masyarakat dalam perspektif Harvey Cox yakni suatu ilustrasi menyangkut
skularisasi, dan kebangkitan agama di dunia ketiga, tentang kesangsian atau
kritik ideologis Karl Marx, khususnya kritik kapitalisme, tentang hubungan
antara etika agama dan transformasi sosial (Max Weber) dan menyangkut tafsir
yang kaya dari al-Qur’an menyangkut realitas sosial sebagaimana Abdullah Yusuf
Ali, Fazlur Rahman dan lainnya.[36]
Kelompok ini juga memiliki konsep pembangunan yang Islami
dengan memberikan santunan kepada kaum yang lemah (mustad’afin) dari hasil-hasil pertumbuhan. Dari sisi ekonomi,
kelompok ini juga hendak mengembangan konsep sosiologi al-Qur’an.[37]
Diantara beberapa pelopor gerakan ini di Indonesia adalah Adi Sasono dan Dawam
Raharjo, dapat juga dimasukkan dalam golongan ini Muslim Abdurrahman, masdar F.
Mas’udi, Mansour Faqih dan lainnya. Kelompok ini juga sering disebut sebagai
pengusung teologi pembebasan dalam Islam.[38]
7.
Pribumisasi
Islam
Istilah Islam pribumi dimotori oleh Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) sebagai penegasan hubungan yang erat antara keIslaman dan
keindonesiaan. Sebenarnya
gagasan Pribumisasi Islam yang ditawarkan Gus Dur dimaksudkan untuk mencairkan
pola dan karakter Islam sebagai sesuatu yang normative dan praktek keagamaan
menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam
sebagai ajaran yang normative berasal dari tuhan di akomodasikan kedalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpakehilangan identitasnya
masing-masing. Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur
Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu
cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, namun justru agar budaya itu
tidak hilang.[39]
Disini menurut Gus Dur, inti Pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk
menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian
memang tidak terhindarkan.
Gus Dur
juga pernah memberikan rincian pribumisasi Islam, berupa asas-asas pemahaman
ajaran Islam secara kontekstual. Menurut gus Dur, paling tidak ada delapan asas
yang harus dikembangkan umat Islam-khususnya Indonesia saat ini, yakni pertama,
asas keterbukaan, dalam arti kemampuan menerima warisan kesejarahan umat
manusia secara utuh (keseluruhan) dan memberikan penghargaan yang tulus
kepadanya, yakni kemauan untuk menerima warisan tersebut secara wajar. Kedua,
asas kontinuitas sejarah, dalam arti Islam mengambil dari kelompok dan paham
lain, sama banyak dengan yang diberikan kepada mereka. Jadi sumbangan tiap
kelompok manusia atau paham seluruhnya mengalami naik turun dalam pentas
sejarah serta memiliki saling hubungan interaktif antara satu dengan lainnya.
Ketiga,
asas delegalisasi ajaran, dalam arti diperlukan pemikiran dan upaya untuk
menekan porsi aspek legal dari kehidupan kaum muslim hingga ketitik terkecil
yang dapat diterima oleh norma-norma Islam sendiri. Keempat, asas
diinstitusionalisasi Islam, sejauh yang dapat diterima oleh inti ajaran Islam,
dan menyerahkan fungsi institusi-institusi Islam yang terkena asas ini kepada
lembaga-lembaga kemasyarakat yang tidak bersimbolkan keIslaman. Kelima, asas
depolitisasi Islam, dalam arti Islam tidak disajikan sebagai kekuatan politik,
melainkan sebagai sumber moral bagi perjuangan manusia untuk memperbaiki
kehidupan secara utuh. Islam harus mengambil jarakdari lembaga-lembaga politik.
Keenam, asas kesejarahan (historisitas) dalam arti Islam harus hidup dalam
kekinian dengan segala permasalahannya, jadi tidak menggunakan rekonstruksi keIslaman
secara utopis. Ketujuh, asas pluralitas, klaim Islam tidak dimungkinkan atas
nama satu orang, paham atau kelompok saja, namun harus terbuka untuk semua
orang. Jadi, tidak ada monopoli “kebenaran” dalam Islam. Kedelapan, asas
konvergensi, yakni adanya konvergensi begitu aneka ragam pemikiran dikalangan
kaum muslim.[40]
8.
Reaktualisasi
Ajaran Islam
Konsep ini diutarakan oleh Munawir Sjadzali, yang
dilator belakangi oleh sikap mendua umat Islam terhadap permasalahan riba dan
pembagian harta waris. Bagi Munawir, umat Islam menyatakan bahwa bunga bank itu
haram, namun dalam prakteknya masih saja berhubungan dengan bank
(konvensional). Demikian halnya dalam pembagian warisan yang tidak dilaksanakan
secara konsisten sesuai dengan system perundangan yang ada sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan agama.
Dari kegelisahan ini, Munawir selanjutnya
menampilkan isu reaktualisasi berupa pembagian yang sama antara pria-wanita
dalam soal harta warisan (1:1), setelah melalui penelaahan terhadap kasus nasakh dalam al-Qur’an.
Ketika ia dikecam menyangkut pandangannya itu,
Munawir berargumen bahwa dalam al-Qur’an, paling tidak, ada empat ayat yang
berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif
bagi kebutuhan biologis kaum pria disamping istri (lihat dalam Q.S. an-Nisa’
ayat 3, Q.S. al-Ma’arij ayat 30, Q.S. al-Mu’minun ayat 6, dan Q.S. al-Ahzab
ayat 52). Memang nabi saw menghimbau para pemilik budak untuk lebih berlaku
manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskannya sama sekali. Namun
yang jelas, hingga nabi saw wafat dan wahyu terakhir telah turun, Islam belum
secara tuntas menghapuskan perbudakan. Apakah dewasa ini, ayat tersebut, karena
alasan dalil-dalil qat’iy maka system
perbudakan masih dibenarkan?[41]
Argumen ini lebih napak sebagi apology Munawir.
Disamping itu Munawir juga berargumen bahwa betapa
ulama terdahulu juga telah berani mendahulukan akal dari pada wahyu, misalnya
al-Thufi dengan maslahat-nya jika nash
dan ijma’ dirasa kurang kontekstual.[42]
Muhammad Abduh juga mendahulukan nalar daripada naqly. Ide Munawir ini sering pula disebut sebagi Islam
Kontekstual.
9.
Membumikan
Islam
Konsep pemikiran ini banyak dikaitkan dengan Ahmad
Syafii Ma’arif untuk melihat peta bumi Islam, pendekatan yang digunakan lebih
bercorak induktif yang secara terus-menerus diuji dengan pengalaman empiric.
Dengan kata lain, doktrin Islam yang melangit meskilah dibawa turun ke bumi
guna memberikan jawaban-jawaban mendasar terhadap berbagai permasalahan umat
pada era saat ini dan di masa yang akan datang.
Menurut Ma’arif konsepsi pemikiran yang ia tawarkan
adalah pemikiran Islam yang memecahkan persoalan-persoalan keindonesiaan,
menurut Ma’arif diperlukan adanya kesatuan pandangan menyangkut system politik,
ekonomi, feminism dan lainnya. Lebih lanjut menurutnya, khazanah Islam tidak
perlu hanya mengulang-ulang khazanah klasik, dan pemikiran Islam tidak boleh
hanya berada pada dataran elit, namun perlu menembus kepada tataran masyarakat
awam. Umat juga harus cerdas, tidak hanya ulama dan pemikir, karena itulah
diperlukan agenda praktis dalam muatan pemikiran Islam.[43]
Bersamaan dengan itu, muncul pula konsep membumikan
al-Qur’an dari Quraish Shihab melalui eksperimen tafsir tematik datau maudlu’I sebagai suatu upaya praktis
dalam memenuhi tuntutan masyarakat dalam merespon perkembangan zaman.[44]
10. Beberapa Konsep Pemikiran Islam
Lainnya
Disamping beberapa konsepsi pemikiran yang telah
disebutkan di atasterdapat pula beberapa konsepsi pemikiran, namun belum tuntas
secara konseptual, namun memiliki signifikansi yang tak dapat diabaikan begitu
saja dalam turut mewarnai corak gagasan reformis intelsktual muslim di Indonesia.
Konsepsi itu yakni Konsepsi Teologi Kerukunan yang digagas oleh Mukti Ali yang
dikenal dengan ungkapan agree in
disagreement (setuju dalam perbedaan), idiom ini lahir dari adanya
perspektif keagamaan yang ada di Indonesia yang melahirkan adanya dialog antar
umat beragama di indonesia.
Ada juga jalaludin Rakhmat dengan Islam Aktual atau Islam
Alternatif. Dimana wilayah kajian yang ditawarkan Kang Jalal begitu luas yang
meliputi filsafat, tasawuf, fiqih, kalam hingga ke politik.[45]
Konsepsi Islam politik inilah (sebagaimana yang dianut para pemikir muslim
Indonesia era ideologis) ternyata melahirkan Islam cultural (sebagaimana di
anut para pemikir muslim pasca 1970-an, era intelektual Islam). Dari sintesis Islam
politik dan Islam cultural inilah yang selanjutnya menetaskan konsepsi politik Islam
yang digagas Dien Samsuddin yang dilandasi dengan pemikiran bahwa betapa
pentingnya alokasi kader-kader muslim kedalam stelsel politik kenegaraan di
tanah air, sebagaimana yang juga di anut oleh Mahfud MD,[46]
yang menginginkan umat Islam untuk berjuang dari dalam pemerintahan dan bukan
dari luar.
Adapun beberapa konsepsi pemikiran lainnya yakni Islam
Perdamaian dengan Habib Chirzin dan Gus Dur sebagai pelopornya, Pembaharuan
Pemikiran Islam dengan Ahmad Wahib, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dengan Ahmad
Baiquni dan Haidar Bagir, Menghidupkan Kembali Ilmu Agama oleh Hidayat
Nataadmadja.[47]
11. Beberapa Perkembangan Terakhir
Akhir-akhir ini muncul pula trend baru pemikiran Neo-Tradisionalisme Islam sebagai anti tesis
terhadap Neo-Modernisme Islam, seperti yang dipelopori oleh para alumni Timur
Tengah dengan jaringan trans nasional seperti misalnya yang tergabung dalam
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), atau kelompok fundamentalisme Islam seperti yang
tergabung dalam Fron Pembela Islam (FPI) atau dalam kadar tertentu oleh para
ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indoonesia (MUI) yang banyak mengambil
wilayah otoritas dalam bidang politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan
lainnya. Kelompok ini juga bercorak skripturalis yang merupakan anti tesis
terhadap corak Islam substansialis atau Islam cultural, seperti yang dipelopori
oleh angkatan muda Neo-Masyumi maupun Dewan Dakwah Islamiyah.
Ada juga kecendrungan munculnya kelompok liberalis,
yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang lebih merupakan sayap
kiri NU dan Jaringan Muda Muhammadiyah dalam organisasi Muhammadiyah.
Kebangkitan generasi penerus ini diiringi pula oleh kebangkitan neo-modernisme Islam,
beberapa pelopor yang dapat disebutkan yakni Wardah Hafidz dengan Feminisme Islam,
Mansour Fakih dengan Teologi Pembebasan, Abdul Munir Mulkhan dengan Teologi
Kebudayaan, Amin Abdullah dengan Epistemologi dan Hermeneutika KeIslaman, Sahal
Mahfudz dengan Tauhid Sosial dan berbagai isu pemberdayaan umat dewasa ini.[48]
Namun jika kita amati secara sepintas maka yang
menjadi menarik adalah fenomena dimana konsepsi Islam Kultural dimunculkan
kembali, dimana ia mesti memperebutkan tempat dengan Islam Politik, dan kita
akan menunggu konsepsi pemikiran yang manakah yang akan mendapatkan tempatnya
bagi tawaran dan gagasan-gagasan reformis intelektual muslim di Indonesia, dan
akankah ia kembali akan ber-metamorphosa sebagaimana alur sejarah corak-ragam
pemikiran Islam di tanah air.
D.
Agenda
Masa Depan
Dengan
memperhatikan peta pemikiran dan gagasan kelompok reformis intelektual muslim
Indonesia dalam upaya menemukan konsepsi pemikiran Islam pada alur historis-nya
masing-masing, maka ke depan sejumlah agenda setidaknya meski ditetapkan.
Jika kita mulai
beranjak dari aspek epistemologis-metodologis maka kedepan, dengan meminjam
konsepsi Shamsul Amri Baharuddin, dalam Yusuf A. Hasan,[49]
ilmu-ilmu sosial sebagai korp ilmu pengetahuan demi tujuan analisis di bagi
menjadi tiga komponen pokok yang masing-masing harus dilihat sebagai suatu
proses, pertama, konstruksi pengetahuan. Pada hakikatnya komponen ini
meliputi kegiatan penyusunan konsep pokok masalah dengan menggunakan berbagai
sarana dan perspektif pembahasan sehingga dapat menghimpun dan menciptakan
suatu bentuk pengetahuan.
Kedua, birokratisasi
pengetahuan meliputi cara-cara bagaimana akuisisi, akumulasi dan penyebaran
pengetahuan di organisasi dan dibiayai. Ketiga, konsumsi pengetahuan. Pada
komponen ini menyangkut pengguna terakhir ilmu sosial yang biasanya membentuk
cara tertentu bagaimana suatu konsepsi, paradigma dan ilmu pengetahuan di
kontekstualisasikan yang pada akhirnya akan mempengaruhi, baik proses
konstruksi maupun birokratisasi.
Sampai disini
akan terbayang, bahwa betapa tugas ke depan tidaklah ringan, dimana ia menuntut
sebuah rekonstruksi pengetahuan. Penyusunan teori dan konsep mengenai
pokok-pokok masalah pada ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, politik, ekonomi,
sosiologi, antropologi dengan menurunkan kandungan al-Qur’an -sebagai
paradigma- menjadi konsep-konsep yang mudah dibaca dan dipahami dalam
“memasarkan konsepsi pemikiran Islam” memang berbagai kendala akan dihadapi
dalam tahapan ini.
Persoalan
selanjutnya yang akan muncul, bisa jadi dalam aspek kelembagaan,
lembaga-lembaga dalam hal ini lembaga pendidikan Islam sebagai dapur akuisisi,
akumulasi, pengorganisasian dan sumber pembiayaan, bisa jadi akan menemui
kendala dalam birokratisasi, maupun pada tataran akademis yang cukup serius.
Berikutnya adalah pada tataran aksiologi, dimana ia membutuhkan waktu yang
sangat panjang.
Dan jika kita
beranjak dari aspek praksis-aksiologi, tawaran-tawaran multidisiplin dan
interdisiplin hendaknya dapat dipertimbangkan, tanpa terjebak dalam
dikotomi-dikotomi yang kurang perlu, semisal dalam hal kurikulum, kelembagaan
menyangkut pendidikan umum dan agama, keilmuan menyangkut ilmu eksak dan sosial.
Bagaimanapun
konsepsi-konsepsi pemikiran yang ditawarkan oleh para reformis intelektual
muslim di tanah air, merupakan suatu usaha untuk menemukan format yang tepat
dalam kontekstualisasi dan masa depan yang diharapkan, baik yang berangkat dari
keperihatainan dari dalam maupun dari luar dan keseluruhannya bertujuan untuk
mengkonstruk kembali peradaban Islam ke-indonesia-an. Konsulidasi tampaknya
sangat dibutuhkan dalam waktu dekat ini, hal ini setidaknya sebagai upaya awal
untuk merumuskan “yang pas” dengan “syura/musyawarah” dalam konteks ke-Indonesia-an,
baik dalam aspek esensial-fundamental, epistemologis-metodologis maupun
praksis-aksiologis.
Aksi dan studi
atas persoalan-persoalan konkrit yang telah, sedang maupun pridiksi kejadian
yang akan datang telah waktunya dikomunikasikan dan mesti mejadi prioritas yang
diutamakan, atas dasar ke-indonesia-an menomorduakan ideologi tampaknya patut
dilakukan dalam hal ini. Ini memang terdengar utopis, namun visi guna
merumuskan ukhuwah Islamiyah, guna
menemukan format ukhuwah wathaniyah, dan merealisasikan ukhuwah basyariyah akan menjadi benang
merah yang dapat dijadikan titik pijak menyangkut kontribusi apa yang dapat
diberikan dalam kerangka Islam sebagai rahmatan
lil’alamin .
E.
Penutup
Entah konsepsi
pemikiran apalagi yang akan dirumuskan para pemikir dan reformis intelektual muslim di negeri ini, namun
satu hal yang patut dicatat bahwa ia adalah merupakan hasil aktualisasi
terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat muslim, baik
terkait dengan dinamikanya secara interinsik maupun pergumulannya secara
eksterinsik dengan dunia luar (baca: Barat).
Berbagai macam
gagasan yang timbul itu tentu tidak dapat kita lepaskan dari keinginan umat muslim
untuk selalu hidup sesuai atau menyesuaikan diri secara total dengan ajaran Islam
(Islam Kaffah) dan hidup sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman (Islam
Rahmat). Tanpa didera oleh trauma psikologis yang tidak produktif dan
konstruktif dalam menatap masa depan.
Dalam tulisan
singkat ini setidaknya penulis ingin menunjukkan bahwa, latar belakang konsepsi
pemikiran yang dibangun oleh para pencetusnya (meski tidak secara tuntas penulis
uraikan) adalah merupakan respon atas perubahan dan aktualisasi Islam sebagai
agama rahmat yang sesuai untuk waktu dan tempat secara universal, dengan
demikian akan salah jika hasil ijtihad
tersebut dianggap sebagai kelompok yang westernized
(terbaratkan), agen Yahudi, aliran sesat dan sebagainya.
Dengan demikian,
akan menjadi tidak relevan lagi ketika kita membahas mengenai ke-universalan Islam-
jika kita masih dibayangi oleh trauma psikologi, dengan masih melihat hubungan
antara Islam dengan Barat hanya melulu persoalan antara bangsa terjajah dan
yang dijajah, antara dunia pertama dan dunia ketiga, dan melulu dengan bacaan
kolonial dan post kolonial, dengan tidak menafikan kenyataan tersebut -akan
menjadi sebuah warna tersendiri yang menarik jika itu juga kita baca dalam
perspektif oksidentalisme-nya Hasan Hanafi. Atau menemukan corak lain yang
lebih menarik terkait dengan isu-isu multikulturalisme dalam bingkai
antropologis-sosiologis atau multi dan inter disiplin dalam lingkungan lokal
dan global.
Namun ibarat
seekor ikan yang meloncat dari dalam akuarium. Seketika dia tersadar, dari luar dia bisa melihat bahwa dunia yang selama
ini dia tempati ternyata hanyalah sebuah kotak kecil berisi air yang ukurannya
sangat terbatas. Di luar, dia dapat melihat bahwa dunia ini tidak hanya seluas
aquarium.
Demikianlah, para reformis intelektual muslim Indonesia
masa depan tampaknya perlu meniru ulah si ikan. Mereka (generasi
reformis berikutnya) perlu mencoba untuk keluar
dari batasan-batasan konsepsi,
gagasan dan paradigmatik yang telah tersedia untuk menciptakan
alternatif-alternatif konsepsi,
gagasan dan paradigmatik yang lebih sesuai dengan kondisi
sosio-kultural masyarakat Indonesia ke depan.
Dengan mencoba keluar dari batasan konsepsi,
gagasan dan paradigma yang telah tersedia, kita dapat melihat keterbatasan paradigma, konsep dan
gagasan yang sudah ada sehingga mampu menawarkan sebuah
alternatif. Tentu saja ini perlu keberanian dan kerja keras sebagaimana sang ikan. Ikan yang keluar dari aquarium itu bisa jadi
menanggung resiko yang tidak ringan seperti tidak lagi mendapat jatah makan
dari tuannya. Tapi dia telah melakukan langkah berani dan itu juga mendapat
satu pahala.
Dartar
Pustaka
Abdallah M. al-Husayn al-Amiri. 2004. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam
Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi. (Alih Bahasa: Abdul Basir). Jakarta:
Gaya Media Pratama
Abdul Munir Mulkhan. 1995. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Abdullah Saeed, 2006. Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Neo-Revivalis (Terj. Arif Maftuhin). Jakarta: Paramadina
Akh. Minhaji. t.th. Strategies For Sosial Research: The Methodological Imagination In Islamic
Studies Yogyakarta: Suka Press
Aksin Wijaya 2009. Arah Baru Studi Ulum Al Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amin Abdullah 2007. Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta.
Yogyakarta: Suka Press
Aqib Suminto., dkk. 1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution.
Jakarta: LSAF.
Deliar Noer.
1994. Gerakan Modern Islam di Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Erich Fromm. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. (Terj. Agung Prihantoro).(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fachry Ali dan Bactiar Effendi. 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Orde Baru. Bandung: Mizan.
Fazlur Rahman, 1982. Islam and Modernity: Transformation
of an Intelektual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.
Harold H. Titus,
dkk.1984. Persoalan-Persoalan Filsafat.
Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution dan Azumardi Azra. 1985. Perkembangan Modern Dalam Islam.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harun Nasution. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1&2 cet. 6.
Jakarta UI Press.
Harun Nasution.
2001. Islam Rasional. Bandung: Mizan
Hidajat Nataadmadja. 1984. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik, Suatu Pengantar Menuju Citra
Ekonomi Agamawi. Yogyakarta PLP2M.
Iqbal Abdulrauf Saimima (ed). 1988. Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta:
Pustaka Panjimas
Irfan Noor.
Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu Atas
Pemikiran Peter L. Berger. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 No. 2
Juli 2008.
Kuntowijoyo, 1991. Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin
Press.
M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
M. Amin Abdullah. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Amin Abdullah. Dimensi Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. Jurnal Filsafat
Seri 21. Tahun 1995. Fakultas Filsafat UGM.
M. Imadadun Rahmat, 2003. Islam Pribumi Islam Indonesia, Kata pengatar pada buku Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca
Realitas.. Jakarta: Erlangga.
Mahfud MD. Hukum
Islam Dalam Kerangka Politik Hukum Nasional dalam Jurnal Al-Mawarid edisi
VI Desember 1997
Max Weber. Sekte-Sekte
Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan
LEKNAS-LIPI.
Muhammad Azhar. Kajian
Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia. Jurnal Studi Islam
dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5 Tahun IV/1998.
Mujiburrahman.
2008. Mengindonesiakan Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurcholis Madjid.2007.
Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurcholish
Madjid. 1992. Islam Doktrin dan
Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Quraish Shihab.
2007. Membumikan Al Qur’an. Bandung:
Mizan.
Rizal Mustansyir. 2001. Filsafat Analitik Sejarah, Perkambanmgan dan Peranan Para Tokohnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sahal Mahfud.
2007. Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta:
LKiS.
Taufik Adnan Amal. 1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung:
Mizan.
Toshihiko Izutsu.
1993. Konsep-Konsep Etika Religius
Dalam Al Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein dan A.E. Priyono. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana.
Toto Tasmara,
1994. Etos Kerja Pribadi Muslim.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Yusdani. 2000. Peranan
Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi. Yogyakarta: UII Press.
Yusuf A. Hasan. Ilmu
Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan. Jurnal Mukaddimah No. 6 Tahun
1998.
I n t e r n e t
Ahmad Suaedy dalam Peta Pemikiran dan Gerakan Islam
di Indonesia: Masa depan Islam Indonesia. Makalah disampaikan pada Pelatihan
Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe,
Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008 dapat dilihat pada http://gusdur.net/opimi/detail/?id=144/hl=1d/peta_pemikiran_dan_Gerakan_Islam_indonesia
di akses pada 11 Februari 2010
[1] Lihat Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hal. x
[2] Irfan Noor. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu
Atas Pemikiran Peter L. Berger. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 No.
2 Juli 2008, hal. 148.
[3] Yusuf A. Hasan. Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke
Depan. Jurnal Mukaddimah No. 6 Tahun 1998, hal. 22. Lihat juga M. Amin
Abdullah. Dimensi
Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. Jurnal Filsafat Seri 21. Tahun
1995. Fakultas Filsafat UGM, hal. 14-15
[4] Yusuf A. Hasan. Ilmu..hal. 23
[5] Lihat Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), hal. 507
[6] Lihat M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 39
[7] Lihat Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam
Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1987), hal. 18-19
[8] Gerakan neo-revivalis tumbuh
tepatnya mulai paruh pertama abad XX M, yang merupakan kelanjutan dari gerakan
kebangkitan Islam (Islamic revitalism) yang muncul pada abad XIX dan permulaan
abad XX M. munculnya gerakan neo-rivivalis sebagai reaksi terhadap gelombang
sekularisasi yang melanda dunia Islam. Gerakan ini memfokuskan perhatiannya
untuk menghadapi berbagai permasalahan penting yang sedang menggerogoti
kehidupan umat Islam, khususnya mengenai sikap perlawanan terhadap “westernisasi” yang sedang melanda
komunitas muslim mereka membentengi diri dengan menempatkan Islam sebagai way of life dan menolak upaya menginterpretasikan
al qur’an atau sunnah. Lihat Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Neo-Revivalis (Terj. Arif AMftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2006), hal. 4.
[9] Gerakan modernis muncul pada
paruh abad XIX M. Fokus utama gerakan ini ialah menekankan akan pentingnya
melakukan peyegaran pemikiran Islamdengan cara membangkitkan kembali gelombang
ijtihad yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan
dari al Qur’an dan sunnah. Dan juga berusaha memformulasikan kebutuhan hukum
berdasarkan pada prinsip-prinsip ini. Para modernis mengkritisi apa yang
disebut “otomistic”. Hal ini
dilakukan bertujuan untuk memperoleh aturan-aturan hukum secara langsung dari
Al Qur’an dengan mengesampiongkan keputusan dari ulama klasik, dalam pengertian
secara umum. Al Qur’an menurut mereka merupakan sebuah fenomena yang berada
dalam lintas sorotan sejarah dan juga melatarbelakangi setting sosial historis
tertentu. Para medernis dalam memahami setiap fenomena tertentu selalu
memperhatikan situasi dan kondisi yang
melatar belakangi munculnya fenomena tersebut, baik itu dari segi moral, agama,
maupun setting sosial histories dalam menjawab berbagai problematika kehidupan.
Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intelektual
Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 2-19.
Lihat juga Abdullah Saeed, Menyoal Bank…hal.
2
[10] Taufik Adnan Amal. Metode..hal. 18-19
[11] Lihat Fachry Ali dan Bactiar
Effendi. Merambah Jalan Baru Islam:
Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986)
[12] Lihat Ahmad Suaedy dalam Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di
Indonesia: Masa depan Islam Indonesia. Makalah disampaikan pada Pelatihan
Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe,
Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008 dapat dilihat pada http://gusdur.net/opimi/detail/?id=144/hl=1d/peta_pemikiran_dan_Gerakan_Islam_indonesia
di akses pada 11 Februari 2010
[13] Ibid
[14] Lihat Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia
(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. 4
[15] Lihat Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), hal. 554
[16] Lihat dalam Harun Nasution dan
Azumardi Azra. Perkembangan Modern Dalam Islam
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 65.
[17] Nurcholish Madjid. Islam Doktrin….hal. 543-557
[18] Harun Nasution dan Azumardi
Azra. Perkembangan…hal. 26-29
[19] Lihat Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 322-327.
[20] Fazlur Rahman, Islam..hal. 19
[21] Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif…hal. 163
[22] Rahman memperkenalkan teori
Double Movement, Ideal Moral dan Legal Sfesifik sebagai konsekuensi dari
Hermeneutika Al Qur’an yang hal ini lebih merupakan integrasi normative dan
empiris dalam mengkaji Al Qur’an. Teori ini dimulai dari dua langkah: langkah
pertamam ditempuh dengan dua cara: (1) mencari makna dari pernyataan Al Qur’an
dengan mengkaji situasi historis dimana pernyataan itu merupakan jawabannya.
Yang dimaksud dengan teori ini adalah Al Qur’an harus dilihat dari situasi
kelahirannya, tentunya melalui realitas, dimana ayat-ayat Al Qur’an turun dan
dalam sebab apa ayat-ayat Al Qur’an turun. (2)menggeneralisasikan
pernyataan-pernyataan yang bermula dari yang partikuler, dari situasi dan asbab
an nuzul masing-masing ayat, sebagai pernyataan yang bersifat universal, dalam
hal ini yang dicari adalah nilai-nilai etisnya yang bersifat universal. Langkah
kedua, dimulai dari hal-hal yang bersifat universal, yang dicapai dari langkah
pertama di atas, kepada hal-hal yang bersifat partikuler dalam situasi kekinian
di mana dan kapan Al Qur’an hendak diberlakukan . tujuan ini mensyaratkan
seorang pemikir untuk mengetahui bukan saja aspek tekstual ayat Al Qur’an
tetapi juga situasi kekinian yang particular, sehingga ketika mempraksiskan
yang universal ke dalam partikularitas kekinian tidak menemui jalan buntu.
Lihat Aksin Wijaya Arah Baru Studi Ulum
Al Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009)…hal. 194-195.
Lihat juga Akh. Minhaji. Strategies For Sosial
Research: The Methodological Imagination In Islamic Studies (Yogyakarta:
Suka Press, tt), hal. 46
[23] Lihat Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.
Jilid 1&2 cet. 6. (Jakarta UI Press, 1986).
[24] Lihat Harun Nasution. Islam Rasional (Bandung: Mizan, 2001)
[25] Lihat Aqib Suminto., dkk. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70
Tahun Prof. Harun Nasution. (Jakarta: LSAF, 1989)
[26] Lihat juga misalnya Toshihiko
Izutsu. Konsep-Konsep Etika Religius
Dalam Al Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein dan A.E. Priyono (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, 1993)
[27] Muhammad Azhar. Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam
di Indonesia. Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5
Tahun IV/1998, hal. 63
[28] Lihat juga dalam Nurcholis
Madjid. Islam Universal (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 166
[29] Toshihiko Izutsu. Konsep…hal. 183
[30] Lihat Max Weber. Sekte-Sekte Protestan dan Semangat
Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) 1982. Agama, Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI.
[31] Nurcholish Madjid. Islam Doktrin..hal. 414-415. Lihat juga
Toto Tasmara, Etos Kerja pribadi Muslim (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1994), hal. 21.
[32] Lihat M. Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hal. 41-43
[33] Lihat Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Marx. (Terj.
Agung Prihantoro). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
[34] Lihat Rizal Mustansyir. Filsafat Analitik Sejarah, Perkambanmgan dan
Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 99-112.
[35] Muhammad Azhar. Kajian…hal. 65
[36] Lihat Kuntowijoyo,
Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk
Aksi, (Bandung:
Mizan, 1991), hal.
286-291
[37] Ibid.
[38] Adi Sasono melalui CIDES-ICMI
hendak melakukan perjuangan membela kaum mustad’afin
dari dalam. Dawam Raharjo melalui LP3ES, LASF dan Majelis Ekonomi Muhammadiyah,
Muslim Abdurrahman dengan Islam yang Memihak, Masdar dengan Agama Keadilan
Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Mansour Fakih dengan manifesto organik dan
studi-studi pembangunan juga mencari teologi kaum tertindas. Dapat juga dilihat
dalam Aqib Suminto., dkk. 1989. Refleksi
Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution. Jakarta: LSAF
pada bagian “Mencari Teologi Kaum Tertindas”
[39] Lihat M. Imadadun Rahmat, Islam Pribumi Islam Indonesia, Kata
pengatar pada buku Islam Pribumi,
Mendialogkan Agama Membaca Realitas. (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. xx
[40] Muhammad Azhar. Kajian…hal. 67.
[41] Lihat dalam iIqal Abdulrauf
Saimima (ed). Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988),
hal. 1-3 dan hal. 6-9
[42] Abdallah M. al-husayn
al-Amiri. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi.
Alih Bahasa: Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 101 juga
lihat Yusdani. Peranan
Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin
al-Thufi.(Yogyakarta: UII Press,
2000).
[43] Muhammad Azhar. Kajian…hal. 69
[44] Lihat Quraish Shihab. Membumikan Al Qur’an, (Bandung: Mizan,
2007)
[45] Lihat karya Kang Jalal dalam Islam
Aktual yang diterbitkan oleh Mizan, Bandung.
[46] Lihat Mahfud MD. Hukum Islam Dalam Kerangka Politik Hukum
Nasional dalam Jurnal Al-Mawarid edisi VI Desember 1997
[47] Lihat dalam Hidajat Nataadmadja.
Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik,
Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. (Yogyakarta PLP2M, 1984).
Silahkan lihat pula beberapa hasil karya pelopor-pelopor pemikiran yang
disebutkan.
[48] Untuk Amin Abdullah, lihat Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies
Mazhab Yogyakarta (Yogyakarta: Suka Press, 2007), Wardah Hafidz, lihat
Feminisme: Agenda Baru Pemikiran Islam, untuk Abdul Munir Mulkhan, lihat
Teologi Kebudayaan dan Demi\okrasi Modernitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), untuk Sahal Mahfud, lihat Nuansa
Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 2007)
[49] Yusuf A. Hasan. Ilmu Sosial…hal. 25
0 Comments:
Post a Comment