Sabtu, 22 Februari 2014

Gagasan-Gagasan Reformis Intelektual Muslim Indonesia




Gagasan-Gagasan Reformis Intelektual Muslim Indonesia
(Suatu Upaya Menemukan Konsepsi Pemikiran Islam Masa Depan)


Tulisan ini telah terbit di Jurnal eL_Huda (Jurnal Pengembangan Studi Islam) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAI Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah Volume X, Nomor 1 Edisi Januari-Juni 2013 hal. 85-114.





Abstract
In general, there are two trends that developed in Islamic studies so far, first, studies that focus on a character, especially biographies and thoughts and second, studies that focus on the dynamics that occur within the Muslim community with regard to issues of social, cultural, economic and politics. This study is intended as an attempt to find a conception of Islamic thought in the face of modernization, namely a wide variety of illustration, common sense or ideas concerning thought as been made by the Indonesian Muslim intellectual reformers. The study is a historical study, given the breadth of the study area, only the author will try to reveal things that are associated with ideas of thought intended. This study also can not be separated from the study of character and ideas, along with the demands of his day. Furthermore, to better focus on the intent of this study the author will try to outline the first conception of thought regarding the idea and continued with the concepts of Islamic thought in Indonesia in an effort to find the conception of thought as a response to an agenda for the future development of Islamic thought.

Keywords: Concept, thought, Islam

Abstrak
Secara umum, terdapat dua kecendrungan yang berkembang dalam kajian keIslaman selama ini, pertama, kajian yang memfokuskan pada seorang tokoh, terutama biografi dan pemikirannya dan kedua, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kajian ini dimaksudkan sebagai suatu upaya menemukan konsepsi pemikiran Islam dalam menghadapi modernisasi, yakni berbagai ragam gambaran, pengertian atau ide umum menyangkut pemikiran sebagaimana pernah dilontarkan oleh para reformis intelektual muslim Indonesia. Kajian merupakan kajian historis, mengingat begitu luasnya wilayah kajian ini, penulis hanya akan mencoba mengungkap hal-hal yang terkait dengan berbagai gagasan pemikiran dimaksud. Kajian ini juga tidak terlepas dari kajian tokoh dan gagasannya, disertai tuntutan zamannya. Selanjutnya untuk lebih memfokuskan pada maksud kajian ini penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu menyangkut gagasan dan konsepsi pemikiran dilanjutkan dengan konsep-konsep pemikiran Islam di Indonesia dalam upaya menemukan konsepsi pemikiran sebagai respon terhadap pengembangan bagi agenda masa depan pemikiran Islam.

Kata Kunci: Konsep, pemikiran, Islam

A.    Pendahuluan
Dalam kajian akademis, Islam umumnya dipelajari sebagai kenyataan sosial historis dengan menggunakan berbagai pendekatan dan teori yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Secara umum, terdapat dua kecendrungan yang berkembang dalam kajian keIslaman selama ini, pertama, kajian yang memfokuskan pada seorang tokoh, terutama biografi dan pemikirannya dan kedua, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik.[1]
Berbeda dengan kajian tokoh, kajian yang memfokuskan pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat muslim berkaitan dengan isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik dapat memberikan kepada kita gambaran yang kompleks dari realitas sosial kaum muslim. Kajian sosial akan membantu kita memahami dinamika yang tengah terjadi dengan mencoba mencari solusi yang lebih realistik bagi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.
Terkait dengan hal inilah, maka setelah keluar dari masa kolonial, akselerasi dan korelasi antara agama (Islam) disatu pihak dan perubahan (baca: modernisasi) di lain pihak, menjadi ruang tembak yang terus didialektikakan oleh para reformis muslim, tak terkecuali di Indonesia. Pada sisi ini terdapat kecendrungan dimana agama dan modernisasi selalu dihadapkan secara diametral, dan hasil akhirnya, agama tampaknya selalu menjadi pihak yang kalah.
Meminjam kata Berger bahwa agama adalah langit suci, sedang modernisasi telah mendorong manusia melompat dari langit suci atau langit relijius ke langit tidak suci atau langit tidak relijius. Dalam akselerasi inilah -dimana pluralism, nilai, norma, makna, symbol yang menjurus pada segmentasi budaya dan heterogenitas pandangan hidup menjadi ciri penting- lompatan ini telah menimbulkan disorientasi dan nestapa manusia, dimana akhirnya manusia harus kehilangan langitnya.[2]
Adalah menjadi kajian yang menarik, manakala menengok sebagaian pendapat antropolog menyangkut tiga model yang diambil agama dalam menyikapi modernitas, pertama, model deduksi. Pada model ini agama selalu menegaskan otoritas tradisinya dalam menghadapi modernisasi (baca: perubahan). Firman Tuhan adalah jawaban atas seluruh persoalan yang muncul pada dan dari kawasan realitas sosio-kultural. Ekspresi keagamaan lebih menampakkan wajahnya yang normative dan skriptual. Kedua, model reduksi, dimana agama mengalami demitologisasi, dibingkai dalam kerangka sekuler agar memiliki kemampuan adaptif dan bermakna bagi manusia dalam zaman yang terus berubah. Bermakna disini lebih bersifat pragmatis, sehingga ekspresi keagamaan kaum reduksionis cenderung menempatkan agama sebagai kuda tunggangan. Ketiga, model induksi dimana model ini pada dasarnya merupakan proses pencarian nilai-nilai transenden dalam pengalaman manusiawi. Pada dasarnya, dari balik pengalaman manusiawi inilah dapat ditemukan gejala-gejala transendensi atau yang adikodrati (signal of transendence).[3]
Model pertama oleh Berger disebut sebagai anti antropologi, dan model kedua menyebabkan kehilangan daya kritis terhadap modernisasi, dan pada model ketiga menurut Berger memperoleh keyakinan bahwa dari sinilah dapat dijumpai kebenaran relijius dalam konteks lebih luas yang membuka kemungkinan teologi di masa sekarang.[4]
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dalam tulisan sederhana ini penulis akan mencoba menguraikan tentang gagasan-gagasan reformis intelektual muslim Indonesia sebagai suatu upaya menemukan konsepsi pemikiran Islam dalam menghadapi modernisasi, yakni berbagai ragam gambaran, pengertian atau ide umum menyangkut pemikiran itu sendiri sebagaimana pernah dilontarkan oleh para reformis intelektual muslim Indonesia, seperti Islam Tradisional, Islam Modernis, Neo-modernisme Islam dan berbagai gagasan-gagasan pemikiran lainnya.
Kajian ini lebih pada kajian historis, dan karena mengingat begitu luasnya wilayah kajian ini, penulis hanya akan mencoba mengungkap hal-hal yang terkait dengan berbagai gagasan pemikiran dimaksud. Kajian ini juga tidak terlepas dari kajian tokoh dan gagasannya, disertai tuntutan zamannya.
Selanjutnya untuk lebih memfokuskan pada maksud tema kajian ini penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu menyangkut gagasan dan konsepsi pemikiran dilanjutkan dengan konsep-konsep pemikiran Islam di Indonesia dalam upaya menemukan konsepsi pemikiran sebagai respon terhadap pengembangan bagi agenda masa depan pemikiran Islam    

B.     Konsepsi Pemikiran
Konsepsi berasal dari kata conception yang mengandung makna gambaran, pengertian. Konsepsi ini memiliki akar kata ‘concept’ yang berarti ide umum, yang berbeda dengan persepsi ’percept’. Terdapat konsep tentang manusia dan kemanusiaan, konsep tentang benda dan konsep lainnya.[5]
Sedangkan istilah pemikiran merujuk pada kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari sesuatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap sesuatu wujud, baik materi maupun esensinya, maka dapat diungkapkan hubungan hubungan sebab akibat dari sesuatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya, serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran.[6] Istilah pemikiran disini lebih mencakup bidang-bidang kajian filsafat, kalam, sejarah, fiqih, politik dan lainnya.
Pada bagian berikut ini, penulis akan mengemukakan berbagai konsepsi pemikiran Islam dari para reformis muslim di Indonesia, dan pembahasan lebih terfokus pada tinjauan tematik. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, akan diuraikan hasil pengamatan Fazlur Rahman menyangkut tipologi pemikiran Islam secara global. Disamping hasil pengamatan Fachry Ali dan Bachtiar Effendi tentang tipologi pemikiran Islam Indonesia, karena hasil pengamatan tersebut sangat relevan untuk dikemukakan.
Menurut Rahman, paling tidak terdapat empat tipologi pemikiran keIslaman yang pernah berkembang di dunia Islam, yakni:[7] pertama, gerakan pemikiran revivalisme pra modernis yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-ciri umum yakni: a) keperihatinan yang mendalam menyangkut degradari sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya; b) imbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme popular, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad; c) imbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; d) imbauan untuk melaksanakan pembaharuan melalui kekuatan bersenjata (jihat) jika perlu.
Menurut Rahman, bahwa dasar pembaruan revivalisme pra-modernis ini kemudian diambil alih oleh gerakan kedua, yakni modernism klasik, yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti hubungan antara akal dengan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representative serta konstitusional lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Usaha modernism klasik dalam menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Sunnah Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artificial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah Historis’ yakni (biografi nabi) sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah Teknis’ (yakni yang terdapat dalam hadis-hadis). Mereka umumnya skeptis terhadap hadis, namun skeptisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.
Modernism klasik ini selanjutnya memberi pengaruh pada gerakan ketiga, yakni neo-revivalisme[8] atau revivalisme pasca modernis, seperti dalam mendukung gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisir. Bahkan gerakan ini telah mendasari dirinya pada basis pemikiran modernism klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neo-revivalisme merupakan reaksi terhadap modernism klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat modernisasi klasik, namun sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan psosisinya, selain upaya membedakan Islam dengan Barat.
Dibawah pengaruh neo-revivalisme, dan sebagai tantangan terhadapnya, neomodernisme Islam muncul.[9] Dan Rahman termasuk di dalamnya. Dengan tegas Rahman menyatakan bahwa neo-modernisme Islam harus mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslim harus mengkaji dunia Barat serta gagasan-gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri. Bila hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern merupakan kemustahilan, bahkan keberlangsungan hidup sebagai muslim patut dipertanyakan.[10]
Selanjutnya Facry Ali dan Bachtiar Effendi secara historis membagi empat tahapan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yakni:[11] pertama tahap pemikiran Islam tradisional (Islam Sinkretis), kedua, tahap pemikiran Islam modern (Islam Puritan), ketiga, tahap pemikiran Islam politik (Islam Nasionalis) dan keempat, tahap pemikiran intelektual (Islam Intelektual).
Sementara itu Mark Woodward (2001), sebagaimana dikutip oleh Ahmad Suaedy,[12] mengelompokkan respon Islam atas perubahan pasca Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini dengan melihat dari sudut pandang doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.
Pertama, indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.
Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keIslaman sehari-hari.
Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.
Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.
Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.
Sementara itu, Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru runtuh.[13]
Sebagai telaah perbandingan, ada baiknya juga dikemukakan pendapat Kuntowijoyo dalam konteks sosiologis pemikiran Islam Indonesia secara umum Kuntowijoyo menyatakan bahwa secara sosio-historis umat Islam Indonesia telah melewati tiga fase kesejarahan yakni fase mitos, ideologis-politis dan saat ini tengah berada pada fase ide (ilmu).[14] Pada bagian berikutnya akan diuraikan menyangkut konsep-konsep pemikiran Islam Indonesia

C.    Konsep-Konsep Pemikiran Islam Indonesia
1.      Islam Tradisional (Tradisionalisme Islam)
Konsep pemikiran ini adalah konsep yang umum digunakan untuk membedakannya dengan konsep Islam modernis (Modernisme Islam). Terkait dengan hal ini, ada baiknya jika kita membedakan antara istilah “tradisi” dengan “tradisional”. Karena suatu “tradisi” belum tentu semua unsurnya tidak baik, maka meski dipilah dan diperhatikan mana yang baik dan yang tidak baik. Sedangkan “tradisionalis” memiliki kecendrungan tidak baik karena memiliki sifat ekslusivitas atau pemutlakan terhadap tradisi secara menyeluruh, yang tidak dibarengai dengan sikap kritis untuk memilah mana yang baik dan yang kurang baik. Hal inilah yang menurut Cak Nur mengakibatkan seringnya muncul anggapan dikotomis antara tradisi dan modernitas, yang semestinya tidak perlu.[15]
Bagi para penganut Islam tradisional, Islam yang otentik adalah Islam yang tradisional yang memiliki cita-cita untuk kembali kejantung tradisi Islam, dalam merespon dan memberi tanggapan atas kebangkitan kembali dunia Islam, sebagai suatu realitas yang dibutuhkan ditengah kekacauan dan kegamangan dalam arus modernism. Para pengikut Islam tradisional ini percaya bahwa semua yang ada dalam tradisi Islam harus diterima sepenuhnya, baik warisan seni, ilmu pengetahuan, filsafat maupun sufisme yang dianggap sebagai jantung dari satu kesatuan tubuh Islam. Disisi lain aspek syariat dan metafisika Islam menjadi jawaban alternative terhadap berbagai problem kemanusiaan yang ditimbulkan oleh ideology maupoun aliran-aliran modern, seperti asionalisme, humanism, materialism, evolusionisme, psikologisme dan lainnya.[16]
Sebagai lawan dari kelompok modernis, kelompok tradisionalis ini sering digambarkan sebagai kelompok Islam yang anti-rasional, fanatic, reaksioner dan lain-lain. Terkadang kelompok tradisionalis ini juga sering disebut sebagai golongan salaf. Tokoh-tokoh yang sering dijadikan sebagai pijakan kelompok tradisionalis antara lain al-Asy’ari, al-Ghazali, ‘Abdul Wahab dan lain-lain. Sebaliknya kelompok modernis dinilai sebagai pelopor kemajuan, didirujuk kepada golongan Mu’tazilah dimasa al-Makmun dan generasi sesudahnya.
Diantara beberapa karakteristik yang disematkan kepada kelompok tradisionalis ini yakni kebiasaan dzikira atau wirid terutama dalam tarekat, kepatuhan kepada guru (ulama/kiyai) secara kurang kritis (taqlid), system belajar halaqah (non-klasikal), acara-acara kenduru atau selamatan -tidak sedikit pula yang mengarah kepada penyembahan, kuburan, kultus kepada para sesepuh- kepercayaan kepada dukun dan sebagainya. Ciri lain yang tampak menonjol pula yakni kurang terlatih dalam aspek managemen organisasi dan cenderung a politis.[17]
Namun  demikian dalam masa saat ini agaknya telah tampak memudar anggapan menyangkut kaum tradisionalis ini, bahkan makin sulit untuk dapat mengidentifikasi antara kelompok tradisionalis dan modernis dalam lingkungan keagamaan (Islam) di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal kelompok yang tadinya di anggap sebagai mainstream tradisionalis jauh lebih “liberal” dari keadaan kaum modernis itu sendiri.

2.      Islam Modernis (Modernisme Islam)
Gerakan kedua ini lebih merupakan anti-tesis terhadap gerakan pertama di atas. Kelompok modernis ini ditengarai telah mewarisi tradisi muslim era pertengahan berupa filsafat rasional dari al-Farabi, Ibnu Sina dan lainnya. Jargon yang diusung adalah mengembangkan ijtihad dan menolak taqlid. Kelompok modernis ini juga menerima secara terbuka pengaruh Barat. Aspek pembaruan sosial, terutama dalam pengembangan lembaga pendidikan modern, status kaum wanita, politikberupa pembaruan bentuk-bentuk pemerintahan yang representative dan konstitusional merupakan bagaian dari agenda kerja kelompok ini. Kelompok modernis ini juga berhasil mengaitkan hubungan antara tradisi teks dalam Islam dengan tradisi Barat, semisal pengembangan sains, demokrasi, termasuk kesetaraan gender dan lain sebagainya.[18]
Jargon tajdid (pembaruan) yang diusung memiliki dua ciri yakni, bersifat pemurnian (furifikasi) yang bergerak pada bidang akidah-ibadah dan rasionalisasi, lebih pada aspek pemikiran, peningkatan nalar atau intelektualisme dalam Islam. Dalam gerakannya di Indonesia aspek pertama lebih menonjol, meskipun dalam kadar tertentu memberikan perhatian yang serius terhadap aspek yang kedua.
Beberapa ciri yang menonjol dalam kelompok modernis ini yakni keyakinan bahwa Islam selalu relevan dengan poerkembangan zaman, Islam identik dengan kemajuan, tidak menghambat pencarian ilmu dan sains serta menghargai kedudukan dan posisi wanita setara dengan laki-laki. Dalam soal agama mereka menekankan ibadah ritual juga sosial dan mereka juga beranggapab\n bahwa setiap penambahan dalam aspek ibadah adalah bid’ah. Al-Qur’an dan al-hadis menurut kaum modernis mengajarkan tentang kebebasan berfikir (berijtihad), namun kebebasan berfikir ini juga dapat mengarah pada kesesatan seperti panteistis, bid’ah dalam ibadah, penghormatan keramat dan kebiasaan baru dalam menghormati tokoh (semisal pahlawan, wali dan sebagainya) yang semua itu tidak berdasarkan agama, namun lebih mirip sebagai suatu peribadatan.
Jargon yang dilontarkan juga adalah kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, namun hanya kepada isi dasar, prinsip-prinsip pokok ybersifat universal. Prinsip keabadian dan ajaran Islam itulah yang dimaksud dengan modern, karena senantiasa tetap dapat bertahan. Karena itulah keIslaman kaum pembaharu ini disebut golongan modernis.
Disisi lain, golongan modernis juga menolak adanya monopoli ajaran yang hanya dikuasai oleh para ulama (tokoh agama) yang mirip dengan rahbaniyah dalam dunia Kristen. Bagi mereka setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama dalam memahami dan menyampaikan ajaran Islam.[19]  
Jika kelompok tradisionalis mengambil jalur kultural sebagai basis pemberdayaan masyarakat, maka kelompok modernis lebih menempuh jalur struktur dalam upaya mewujududkan substansi nilai Islam. Namun demikian, seperti yang disinggung di atas, benang merah yang cukup jelas tampaknya tidak memberi pembeda antara golongan modernis dan tradisionali dewasa ini, hal ini setidaknya juga diakibatkan oleh adanya kejumudan berfikir, atau ketatnya system administrasi dan manajemen golongan modernis itu sendiri. Ditambah adanya upaya “jalan bareng” untuk pemberdayaan masyarakat kedua kelompok ini, hal inilah yang memperkuat bukti bahwa dewasa ini pembedaan antara kedau kelompok ini tidak lagi relevan. Dan ditengah dua kutub inilah muncul sintesa baru konsepsi pemikiran neomodernisme Islam.

3.      Neo-Modernisme Islam
Neomodernisme Islam bercita-cita ingin merajut kembali kekayaan tradisi muslim, yang dikemas secara metodologis untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Rahman yang merupakan salah satu tokoh gerakan ini menyatakan bahwa satu-satunya jalan yang mungkin dilakukan untuk melakukan pembaharuan adalah dengan cara merombak kembali asal-usul dan pengembangan seluruh tradisi Islam, dengan cara, dimana al-Qur’an dan as-Sunnah didekati dan ditafsirkan.[20]
Rahman dengan demikian mengingatkan umat Islam untuk dapat membedakan secara jeli antara Islam normative dan Islam historis. Dalam memahami al-Qur’an, perlu dibedakan aspek ideal moral (sebagai tujuan) dengan ketentuan legas-spesifik, dimana aspek ideal-morallah yang lebih pantas diterapkan.[21] Ciri lain dari neomodernisme Islam ini adalah metodologi penafsiran al-Qur’an harus dilakukan dengan gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali kemasa kini.[22]
Sedangkan dalam konteks keindonesiaan, pemikiran neomodernisme kurang begitu dikenal dan baru setelah Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafi’I Ma’arif pulang belajar dari Amerika Serika (Chicago University), dan karya-karya Rahman diterjemahkan ke dalam edisi bahasa indonesia, ditambah dengan pengaruh beberapa institusi pendidikan semisal Paramadina, Studi Agama dan Filsafat yang dimotori oleh Dawam Raharjo, dan beberapa media seperti ‘Ulumul Qur’an, Islamika, Mizan dan lain-lain pemikiran neomodernisme Islam ini mulai dikenal.

4.      Islam Rasional
Kelompok Islam Rasional dimotori oleh Harun Nasution dan Djohan Effendi. Harun dikenal sebagai “Abduhis” (pengagum Muhammad Abduh),[23] yang dikenal memiliki etos rasionalitas dan ilmu pengetahuan serta sangat menjunjung tinggi etos ilmiah. Dalam pemikirannya Harun lebih menekankan pada aspek teologis, dari Islam non rasional kepada Islam rasional, dan dari pola asy-Ariyah ke pola Mu’tazilah.
Teologi Islam rasional Harun memiliki beberapa pokok ide pemikiran diantaranya yakni rasionalitas (bukan rasionalisme), kebebasan kreatif manusia (free will, free act), adanya pembedaan antara ajaran yang absolute (qath’iy) dan relative (zhanny), al-Qur’an sempurna dalam hal-hal pokok (kulliyat), dengan demikian ia harus dibedakan antara qath’iy al-wurud (absolute benar dari Allah) dan qath’iy al-dlalalah (absolute dari satu artinya) dan dzanny al-dlalalah (mengandung banyak arti).
Meskipun Harun menguasai filsafat Islam, tasawuf dan kalam, namun tampaknya, bidang kalamlah yang menjadi konstruksi teoritik utama dalam pembaruannya. Dalam hal ini Harun mengkaji lebih jauh tentang hubungan antara wahyu dengan akal. Menurut Harun, terdapat empat katagori dalam kajian kalam yakni, kemampuan manusia mengetahui tuhan, kewajiban mengetahui tuhan, mengetahui yang baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Islam rasional berpendapat bahwa akal mampu menjawab semua masalah tersebut, dan kedudukan wahyu dan akal adalah sederajat dan saling mengisi dalam mencapai kebenaran. Wahyu merupakan tanda keadilan, kebaikan dan kewajiban tuhan terhadap manusia, maka iman merupakan tanggapan manusia atas wahyu tuhan.[24]
Iman erat hubungannya dengan akal dan wahyu. Iman yang didasarkan atas wahyu disebut tashdhiq. Iman yang didasarkan atas akal disebut ma’rifah. Iman tashdhiq berdasarkan pemberitaan, iman ma’rifah berdasarkan pengetahuan yang mendalam. Karena wahyu sejajar dengan akal, maka akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia, dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya. Hal ini berarti iman merupakan ilmu yang bersandar pada pengetahuan yang disebut iman haqiqi. Dalam pandangan Harun, berbuat baik karena ia tahu bahwa perbuatan baik itu adalah baik, dan menjauhi perbuatan jahat karena ia tahu bahwa perbuatan itu jahat dan membawa akibat-akibat yang buruk. Iman haqiqi bukan karena ikut-ikutan kepada orang tua, misalnya namun juga berupa dorongan untuk berbuat baik sebagai realisasi dari kebebasan manusia.
Sebagaimana manusia, tuhan tahu wujud tuhan walaupun tanpa bukti, maka manusia juga mengetahui perbuatannya sendiri berdasarkan prinsip kemauan dan kebebasan. Ukuran bagi perbuatan ini menurut Harun adalah pertimbangan, peniaian dan pemilihan atas suatu tindakan yang direncanakan. Kebebasan manusia dibatasi oleh kelemahan dirinya sendiri (taqshir). Tetapi semua perbuatan tetap oleh dirinyasendiri (yakni daya, kemampuan dan perbuatan), bukan berasal dari tuhan sebagaimana pendapat Asy’ari, rincian penjelasan inilah yang dikembangkan oleh Djohan Effendi.[25]
Menurut Djohan, takdir memiliki dua sisi yakni “keterikatan” dan ”kebebasan”. Berdasarkan analisisnya terhadapa Q.S. 36: 36-40, Q.S. 23: 18, Q.S. 43:11, Q.S. 13:8, takdir ilahi merupakan hukum ilahi, (Din) yang berlaku diseluruh alam semesta dan dunia peristiwa, baik jasmaniah maupun rohaniah. Namun ini tidak berarti fatalism (perbuatan tiap individu telah ditetapkan oleh tuhan sebelumnya). Takdir disini berarti “Hukum Kehidupan” dimana di dalamnya manusia memiliki kebebasan memilih (free choice) atau kebebasan moral (manusia sendiri yang bertanggungjawab atas perkembangan kesadaran moralnya) dengan demikian setiap orang memiliki tanggungjawab yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Tanggungjawab moral manusia sebanding dengan kebebasan moralnya. Sifat aktif dan kreatif disini sangat menentukan. Beriman kepada takdir berarti bekerja sesuai dengan sunnatullah dan hokum-hukum yang mengatur alam semesta. Lebih jauh Djohan menyatakan bahwa Allah swt melalui al-Qur’an secara sungguh-sungguh mengimbau manusia untuk bekerja sama dengan tuhan dalam mewujudkan dunia, dimana keadilan dan kebajikan bukan sekedar gagasan, namun suatu kenyataan.
Demikian halnya, menyangkut konsep keadilan, keadilan menurut Harun adalah keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus (hokum dengan benar dan adil). Sedangkan kedzaliman adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan menurut Djohan, konsep keadilan ini dapat dikaitkan dengan konsep syirik (sekutu, sembahan dan saingan).[26] Dengan hal ini, maka segala sikap yang bersifat ketaatan yang tidak kritis, fanatisme golongan atau aliran juga organisasi secara berlebihan, cinta keluarga, kerabat, bisnis, rumah mewah dan sebagainya merupakan bentuk kemusrikan dan keserakahan yang melahirkan ketidakpedulian sosial.
Konsepsi Islam rasional setidaknya juga memiliki kelemahan, diantaranya yakni:[27] pertama, system-sistem dan orientasi-orientasi tersebut diadopsi dari sumber-sumber luar, dimana struktur gagasan-gagasan dasarnya tidak diambil dari al-Qur’an sendiri. Juga, agama tidak hanya cukup dirumuskan secara rasional namun juga diamalkan dan dihayati. Salah satu bentuk penghayatan adalah dengan bentuk persepsi ketuhanan menurut sifat-sifat yang mempunyai pengaruh langsung pada hidup manusia. Kedua, perhatian kalangan Islam rasional terutama menyangkut keadilan, masih dalam dataran filosofis dan bersifat mikro, artinya keadilan masih dilihat sebagai masalah individual yang pelaksanaannya hanya tergantung kepada kehendak baik. Padahal, dalam realitas sosial, ada struktur-struktur ekonomi-politik, sosial-budaya dan ideology yang merusak tatanan “keadilan makro” dan bukan sekedar soal individual.

5.      Islam Peradaban
Islam peradaban dimotori oleh Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. Bila Nurcholish Madjid lebih banyak menggeluti kajian etika al-Qur’an, dan pemikiran neomodernisme Islam, maka Kuntowijoyo lebih pada sosiologi Islam, atau perekayasaan masyarakat Islam. Kedua pelopor Islam peradaban ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat Islam Indonesia yang modern.
Terkait dengan hal di atas, maka Nurcholish Madjid merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi -bukan westernisasi- dan meyakini perlunya tata piker dan tata kerja secara rasional agar lebih mendapatkan hasil maksimal. Pemanfaatan hasil teknologi modern bagi Nurcholish sangat penting. Bagi Nurcholish, sesuatu yang disebut modern jika ia bersifat ilmiah, dan sesuai dengan hokum-hukum yang berlaku di alam. Ini berarti mopdernisasi merupakan perintah tuhan. Konsekuensinya, keimanan dan keIslaman menjadi begitu identik, dan modernisasi dipandang lebih sebagai suatu proses dalam upaya mencari kebenaran. Karena berdasarkan fakta ilmiah, maka Islam peradaban berbeda dengan Islam rasional (yang lebih rasional-murni), Islam peradaban lebih empiris, karena ia berproses dalam pencarian empiric. Menurut Nurcholish peradaban Barat saat ini merupakan warisan Islam yang memiliki dasar-dasar universalitas dan kosmopolit sebagai warisan universal. Dengan demikian umat Islam harus mengambil kembali warisan itu.
Selain itu, Islamperadaban juga didasari atas prinsip tauhid dan etos kerja.[28] Tauhid disini berarti pembebasan keyakinan dari unsure-unsur mitologis, baik yang ateistik maupun yang politeistik. Pembebasan diri dari mitologi ini harus diisi dengan kepercayaan yang benar, karena kebebasan yang tak terbatas akan mengundang tirani. Hambatan untuk menemukan kebebasan ini biasanya adalah rasa angkuh dan belenggu yang diciptakan untuk diri sendiri (hawa al-nafs), dari sini selanjutnya timbul pandangan subyektif yang melahirkan manusia yang “menuhankan diri sendiri” (memutlakkan pandangan pikiran sendiri atau terkungkung oleh tirani vested interest), hal inilah yang menimbulkan sifat kufur yakni penolakan terhadap kebenaran.[29]
Implikasi dari uraian di atas adalah bahwa manusia yang beriman menjadi terbuka dan secara kritis selalu tanggap kepada masalah-masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. Karenanya, rasa keadilan dan sikap ihsan akan muncul dengan sendirinya. Menurut Nurcholish tauhid individual inilah yang akan memunculkan tauhid sosial yang berprinsip pada egalitarianism, menghendaki system sosial yang demokratis. Proses demokratisasi bangsa merupakan implikasi dari gagasan ini. Dan ia juga merupakan efek dari makmurnya perekonomian, dalam lain hal, Nurcholish menyatakan bahwa demokrasi bukan tujuan, namun ia adalah cara.karena tujuan demokrasi adalah keadilan sosial, keadilan sosial ini diiringi oleh pertumbuhan ekonomi. Disinilah bagi Nurcholis peran kelas menengah menjadi penting dalam upaya menymbyhkan etos kerja, dari sinilah setidaknya Nurcholis mengambil manfaat dari tesis weberian menyangkut etika protestan,[30] dengan menafsirkan al-Qur’an.
Dan yang menjadi permasalahan bagi Nurcholish adalah menyangkut etika Islam dan etos kerja. Diantara beberapa prinsip yang disumbangkan oleh cak Nur adalah niat (komitmen), ridha allah, ikhlas dan ihsan. Menurut Cak Nur, jika semua ini dapat terwujud maka peradaban Indonesia modern akan menjadi kenyataan di masa depan.[31]
Bila Nurcholish Madjid ingin membangun Islam peradaban dengan lebih banyak menggeluti etika al-Qur’an, maka Kuntowijoyo lebih pada sosiologi Islam, atau perekayasaan masyarakat Islam dalam menerjemahkan kemajuan bangsa Indonesia, yang ingin menjembatani idealitas Islam dan realitas sosial umat.
Kuntowijoyo bergerak dari ilmu sosial transformative atau ilmu sosial profetik, yang lebih merupakan perwujudan rasa ketidakpuasannya (crisis of academic) dengan teori-teori sosial akademik yang ada selama ini. Kuntowijoyo meyakini bahwa semua ilmu itu relative atau ‘paradigmatik’ (Thomas Kuhn),[32] ideologis (Marx),[33] dan bersifat cagar bahasa (Wittgenstein).[34] Dengan demikian, menurut Kuntowijoyo bahwa membangun ilmu sosial yang Islami adalah sah yang sesuai dengan tuntutan sosial umat.
Menurut Kunto, ilmu sosial transformative atau ilmu sosial profetik ini harus dibangun dari paradigm al-Qur’an. Yang dimaksud dengan paradigm disini adalah mode of thought, mode of inquiry yang nantinya dapat menghasilkan mode of knowing. Disinilah Kunto melahirkan “Paradigma Islam tentang Transformasi Sosial” yakni keinginan untuk mengubah masyarakat sesuai dengan misi Islam. Beberapa cirri paradigm yang diajukan Kunto adalah humanisasi (amar ma’ruf), liberalisasi atau pembebasan (nahi munkar) dan emansipasi dan transendensi.
Bila Nurcholish Madjid lebih Weberian, maka Kuntowijoyo cenderung Durkheimian dan Parsonian (transformasi), dimana kedua teori tersebut merupakan dparadigma besar dari teori modernisasi.
Namun demikian, beberapa kelemahan dari Islam peradaban ini yakni karena teori dan teologi modernisasi hanya memberikan penjelasan tentang keterbelakangan, lebih memperhatikan “factor dalam” yakni sesuatu yang salah dalam anutan umat sehingga terkebelakang. Padahal terdapat “factor luar” yang disebut “Imperialieme Barat” sebagai penyebab keterbelakangan juga. Hal inilah yang mengilhami kajian Islam berikutnya.

6.      Islam Transformatif
Teologi modernisasi Islam dalam arti Islam rasional dan Islam peradaban banyak dikritik oleh konsepsi pemikiran ini. Hasil kritik itulah yang merupakan salah satu upaya membangun “Islam alternatif” titik tekan mereka adalah bagaimana melihat kelemahan yang ada dalam perspektif ekstrinsik, dari luar. Menurut Islam transformative, factor keterbelakangan umat tidak semata-mata persoalan internal teologis, namun lebih dari itu. Mereka selanjutnya menganalisa hubungan antara dunia maju dan Negara berkembang yang berwatak imperialis (tingkat global) maupun hubungan yang tidak adil dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (di tingkat lokal) yang disebabkan oleh system ekonomi yang berjalan. Cara berfikir kelompok ini lebih strukturalis, pendekatannya juga bercorak demikian, structural-historis, juga dari kritik ideologis ke kritik tafsir, sembari mencari tafsir alternative dalam tindakan sosial sebagai praksis-teologis.[35]
Yang menarik dari gerakan ini adalah, upayanya dalam usaha memanfaatkan sekaligus mensintesakan berbagai analisis sosial, dari tafsir al-Qur’an yang dilanjutkan dengan transformasi masyarakat. Misalnya membaca masyarakat dalam perspektif Harvey Cox yakni suatu ilustrasi menyangkut skularisasi, dan kebangkitan agama di dunia ketiga, tentang kesangsian atau kritik ideologis Karl Marx, khususnya kritik kapitalisme, tentang hubungan antara etika agama dan transformasi sosial (Max Weber) dan menyangkut tafsir yang kaya dari al-Qur’an menyangkut realitas sosial sebagaimana Abdullah Yusuf Ali, Fazlur Rahman dan lainnya.[36]
Kelompok ini juga memiliki konsep pembangunan yang Islami dengan memberikan santunan kepada kaum yang lemah (mustad’afin) dari hasil-hasil pertumbuhan. Dari sisi ekonomi, kelompok ini juga hendak mengembangan konsep sosiologi al-Qur’an.[37] Diantara beberapa pelopor gerakan ini di Indonesia adalah Adi Sasono dan Dawam Raharjo, dapat juga dimasukkan dalam golongan ini Muslim Abdurrahman, masdar F. Mas’udi, Mansour Faqih dan lainnya. Kelompok ini juga sering disebut sebagai pengusung teologi pembebasan dalam Islam.[38]

7.      Pribumisasi Islam
Istilah Islam pribumi dimotori oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai penegasan hubungan yang erat antara keIslaman dan keindonesiaan. Sebenarnya gagasan Pribumisasi Islam yang ditawarkan Gus Dur dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai sesuatu yang normative dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normative berasal dari tuhan di akomodasikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpakehilangan identitasnya masing-masing. Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, namun justru agar budaya itu tidak hilang.[39] Disini menurut Gus Dur, inti Pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
Gus Dur juga pernah memberikan rincian pribumisasi Islam, berupa asas-asas pemahaman ajaran Islam secara kontekstual. Menurut gus Dur, paling tidak ada delapan asas yang harus dikembangkan umat Islam-khususnya Indonesia saat ini, yakni pertama, asas keterbukaan, dalam arti kemampuan menerima warisan kesejarahan umat manusia secara utuh (keseluruhan) dan memberikan penghargaan yang tulus kepadanya, yakni kemauan untuk menerima warisan tersebut secara wajar. Kedua, asas kontinuitas sejarah, dalam arti Islam mengambil dari kelompok dan paham lain, sama banyak dengan yang diberikan kepada mereka. Jadi sumbangan tiap kelompok manusia atau paham seluruhnya mengalami naik turun dalam pentas sejarah serta memiliki saling hubungan interaktif antara satu dengan lainnya.
Ketiga, asas delegalisasi ajaran, dalam arti diperlukan pemikiran dan upaya untuk menekan porsi aspek legal dari kehidupan kaum muslim hingga ketitik terkecil yang dapat diterima oleh norma-norma Islam sendiri. Keempat, asas diinstitusionalisasi Islam, sejauh yang dapat diterima oleh inti ajaran Islam, dan menyerahkan fungsi institusi-institusi Islam yang terkena asas ini kepada lembaga-lembaga kemasyarakat yang tidak bersimbolkan keIslaman. Kelima, asas depolitisasi Islam, dalam arti Islam tidak disajikan sebagai kekuatan politik, melainkan sebagai sumber moral bagi perjuangan manusia untuk memperbaiki kehidupan secara utuh. Islam harus mengambil jarakdari lembaga-lembaga politik. Keenam, asas kesejarahan (historisitas) dalam arti Islam harus hidup dalam kekinian dengan segala permasalahannya, jadi tidak menggunakan rekonstruksi keIslaman secara utopis. Ketujuh, asas pluralitas, klaim Islam tidak dimungkinkan atas nama satu orang, paham atau kelompok saja, namun harus terbuka untuk semua orang. Jadi, tidak ada monopoli “kebenaran” dalam Islam. Kedelapan, asas konvergensi, yakni adanya konvergensi begitu aneka ragam pemikiran dikalangan kaum muslim.[40]

8.      Reaktualisasi Ajaran Islam
Konsep ini diutarakan oleh Munawir Sjadzali, yang dilator belakangi oleh sikap mendua umat Islam terhadap permasalahan riba dan pembagian harta waris. Bagi Munawir, umat Islam menyatakan bahwa bunga bank itu haram, namun dalam prakteknya masih saja berhubungan dengan bank (konvensional). Demikian halnya dalam pembagian warisan yang tidak dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan system perundangan yang ada sebagaimana ditentukan dalam ketentuan agama.
Dari kegelisahan ini, Munawir selanjutnya menampilkan isu reaktualisasi berupa pembagian yang sama antara pria-wanita dalam soal harta warisan (1:1), setelah melalui penelaahan terhadap kasus nasakh dalam al-Qur’an.
Ketika ia dikecam menyangkut pandangannya itu, Munawir berargumen bahwa dalam al-Qur’an, paling tidak, ada empat ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria disamping istri (lihat dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 3, Q.S. al-Ma’arij ayat 30, Q.S. al-Mu’minun ayat 6, dan Q.S. al-Ahzab ayat 52). Memang nabi saw menghimbau para pemilik budak untuk lebih berlaku manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskannya sama sekali. Namun yang jelas, hingga nabi saw wafat dan wahyu terakhir telah turun, Islam belum secara tuntas menghapuskan perbudakan. Apakah dewasa ini, ayat tersebut, karena alasan dalil-dalil qat’iy maka system perbudakan masih dibenarkan?[41] Argumen ini lebih napak sebagi apology Munawir.
Disamping itu Munawir juga berargumen bahwa betapa ulama terdahulu juga telah berani mendahulukan akal dari pada wahyu, misalnya al-Thufi dengan maslahat-nya jika nash dan ijma’ dirasa kurang kontekstual.[42] Muhammad Abduh juga mendahulukan nalar daripada naqly. Ide Munawir ini sering pula disebut sebagi Islam Kontekstual.

9.      Membumikan Islam
Konsep pemikiran ini banyak dikaitkan dengan Ahmad Syafii Ma’arif untuk melihat peta bumi Islam, pendekatan yang digunakan lebih bercorak induktif yang secara terus-menerus diuji dengan pengalaman empiric. Dengan kata lain, doktrin Islam yang melangit meskilah dibawa turun ke bumi guna memberikan jawaban-jawaban mendasar terhadap berbagai permasalahan umat pada era saat ini dan di masa yang akan datang.
Menurut Ma’arif konsepsi pemikiran yang ia tawarkan adalah pemikiran Islam yang memecahkan persoalan-persoalan keindonesiaan, menurut Ma’arif diperlukan adanya kesatuan pandangan menyangkut system politik, ekonomi, feminism dan lainnya. Lebih lanjut menurutnya, khazanah Islam tidak perlu hanya mengulang-ulang khazanah klasik, dan pemikiran Islam tidak boleh hanya berada pada dataran elit, namun perlu menembus kepada tataran masyarakat awam. Umat juga harus cerdas, tidak hanya ulama dan pemikir, karena itulah diperlukan agenda praktis dalam muatan pemikiran Islam.[43]
Bersamaan dengan itu, muncul pula konsep membumikan al-Qur’an dari Quraish Shihab melalui eksperimen tafsir tematik datau maudlu’I sebagai suatu upaya praktis dalam memenuhi tuntutan masyarakat dalam merespon perkembangan zaman.[44]

10.  Beberapa Konsep Pemikiran Islam Lainnya
Disamping beberapa konsepsi pemikiran yang telah disebutkan di atasterdapat pula beberapa konsepsi pemikiran, namun belum tuntas secara konseptual, namun memiliki signifikansi yang tak dapat diabaikan begitu saja dalam turut mewarnai corak gagasan reformis intelsktual muslim di Indonesia. Konsepsi itu yakni Konsepsi Teologi Kerukunan yang digagas oleh Mukti Ali yang dikenal dengan ungkapan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), idiom ini lahir dari adanya perspektif keagamaan yang ada di Indonesia yang melahirkan adanya dialog antar umat beragama di indonesia.
Ada juga jalaludin Rakhmat dengan Islam Aktual atau Islam Alternatif. Dimana wilayah kajian yang ditawarkan Kang Jalal begitu luas yang meliputi filsafat, tasawuf, fiqih, kalam hingga ke politik.[45] Konsepsi Islam politik inilah (sebagaimana yang dianut para pemikir muslim Indonesia era ideologis) ternyata melahirkan Islam cultural (sebagaimana di anut para pemikir muslim pasca 1970-an, era intelektual Islam). Dari sintesis Islam politik dan Islam cultural inilah yang selanjutnya menetaskan konsepsi politik Islam yang digagas Dien Samsuddin yang dilandasi dengan pemikiran bahwa betapa pentingnya alokasi kader-kader muslim kedalam stelsel politik kenegaraan di tanah air, sebagaimana yang juga di anut oleh Mahfud MD,[46] yang menginginkan umat Islam untuk berjuang dari dalam pemerintahan dan bukan dari luar.
Adapun beberapa konsepsi pemikiran lainnya yakni Islam Perdamaian dengan Habib Chirzin dan Gus Dur sebagai pelopornya, Pembaharuan Pemikiran Islam dengan Ahmad Wahib, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dengan Ahmad Baiquni dan Haidar Bagir, Menghidupkan Kembali Ilmu Agama oleh Hidayat Nataadmadja.[47]

11.  Beberapa Perkembangan Terakhir
Akhir-akhir ini muncul pula trend baru pemikiran Neo-Tradisionalisme Islam sebagai anti tesis terhadap Neo-Modernisme Islam, seperti yang dipelopori oleh para alumni Timur Tengah dengan jaringan trans nasional seperti misalnya yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), atau kelompok fundamentalisme Islam seperti yang tergabung dalam Fron Pembela Islam (FPI) atau dalam kadar tertentu oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indoonesia (MUI) yang banyak mengambil wilayah otoritas dalam bidang politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya. Kelompok ini juga bercorak skripturalis yang merupakan anti tesis terhadap corak Islam substansialis atau Islam cultural, seperti yang dipelopori oleh angkatan muda Neo-Masyumi maupun Dewan Dakwah Islamiyah.
Ada juga kecendrungan munculnya kelompok liberalis, yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang lebih merupakan sayap kiri NU dan Jaringan Muda Muhammadiyah dalam organisasi Muhammadiyah. Kebangkitan generasi penerus ini diiringi pula oleh kebangkitan neo-modernisme Islam, beberapa pelopor yang dapat disebutkan yakni Wardah Hafidz dengan Feminisme Islam, Mansour Fakih dengan Teologi Pembebasan, Abdul Munir Mulkhan dengan Teologi Kebudayaan, Amin Abdullah dengan Epistemologi dan Hermeneutika KeIslaman, Sahal Mahfudz dengan Tauhid Sosial dan berbagai isu pemberdayaan umat dewasa ini.[48]
Namun jika kita amati secara sepintas maka yang menjadi menarik adalah fenomena dimana konsepsi Islam Kultural dimunculkan kembali, dimana ia mesti memperebutkan tempat dengan Islam Politik, dan kita akan menunggu konsepsi pemikiran yang manakah yang akan mendapatkan tempatnya bagi tawaran dan gagasan-gagasan reformis intelektual muslim di Indonesia, dan akankah ia kembali akan ber-metamorphosa sebagaimana alur sejarah corak-ragam pemikiran Islam di tanah air.

D.    Agenda Masa Depan
Dengan memperhatikan peta pemikiran dan gagasan kelompok reformis intelektual muslim Indonesia dalam upaya menemukan konsepsi pemikiran Islam pada alur historis-nya masing-masing, maka ke depan sejumlah agenda setidaknya meski ditetapkan.
Jika kita mulai beranjak dari aspek epistemologis-metodologis maka kedepan, dengan meminjam konsepsi Shamsul Amri Baharuddin, dalam Yusuf A. Hasan,[49] ilmu-ilmu sosial sebagai korp ilmu pengetahuan demi tujuan analisis di bagi menjadi tiga komponen pokok yang masing-masing harus dilihat sebagai suatu proses, pertama, konstruksi pengetahuan. Pada hakikatnya komponen ini meliputi kegiatan penyusunan konsep pokok masalah dengan menggunakan berbagai sarana dan perspektif pembahasan sehingga dapat menghimpun dan menciptakan suatu bentuk pengetahuan.
Kedua, birokratisasi pengetahuan meliputi cara-cara bagaimana akuisisi, akumulasi dan penyebaran pengetahuan di organisasi dan dibiayai. Ketiga, konsumsi pengetahuan. Pada komponen ini menyangkut pengguna terakhir ilmu sosial yang biasanya membentuk cara tertentu bagaimana suatu konsepsi, paradigma dan ilmu pengetahuan di kontekstualisasikan yang pada akhirnya akan mempengaruhi, baik proses konstruksi maupun birokratisasi.
Sampai disini akan terbayang, bahwa betapa tugas ke depan tidaklah ringan, dimana ia menuntut sebuah rekonstruksi pengetahuan. Penyusunan teori dan konsep mengenai pokok-pokok masalah pada ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, politik, ekonomi, sosiologi, antropologi dengan menurunkan kandungan al-Qur’an -sebagai paradigma- menjadi konsep-konsep yang mudah dibaca dan dipahami dalam “memasarkan konsepsi pemikiran Islam” memang berbagai kendala akan dihadapi dalam tahapan ini.
Persoalan selanjutnya yang akan muncul, bisa jadi dalam aspek kelembagaan, lembaga-lembaga dalam hal ini lembaga pendidikan Islam sebagai dapur akuisisi, akumulasi, pengorganisasian dan sumber pembiayaan, bisa jadi akan menemui kendala dalam birokratisasi, maupun pada tataran akademis yang cukup serius. Berikutnya adalah pada tataran aksiologi, dimana ia membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Dan jika kita beranjak dari aspek praksis-aksiologi, tawaran-tawaran multidisiplin dan interdisiplin hendaknya dapat dipertimbangkan, tanpa terjebak dalam dikotomi-dikotomi yang kurang perlu, semisal dalam hal kurikulum, kelembagaan menyangkut pendidikan umum dan agama, keilmuan menyangkut ilmu eksak dan sosial.
Bagaimanapun konsepsi-konsepsi pemikiran yang ditawarkan oleh para reformis intelektual muslim di tanah air, merupakan suatu usaha untuk menemukan format yang tepat dalam kontekstualisasi dan masa depan yang diharapkan, baik yang berangkat dari keperihatainan dari dalam maupun dari luar dan keseluruhannya bertujuan untuk mengkonstruk kembali peradaban Islam ke-indonesia-an. Konsulidasi tampaknya sangat dibutuhkan dalam waktu dekat ini, hal ini setidaknya sebagai upaya awal untuk merumuskan “yang pas” dengan “syura/musyawarah” dalam konteks ke-Indonesia-an, baik dalam aspek esensial-fundamental, epistemologis-metodologis maupun praksis-aksiologis.
Aksi dan studi atas persoalan-persoalan konkrit yang telah, sedang maupun pridiksi kejadian yang akan datang telah waktunya dikomunikasikan dan mesti mejadi prioritas yang diutamakan, atas dasar ke-indonesia-an menomorduakan ideologi tampaknya patut dilakukan dalam hal ini. Ini memang terdengar utopis, namun visi guna merumuskan ukhuwah Islamiyah, guna menemukan format ukhuwah  wathaniyah, dan merealisasikan ukhuwah basyariyah akan menjadi benang merah yang dapat dijadikan titik pijak menyangkut kontribusi apa yang dapat diberikan dalam kerangka Islam sebagai rahmatan lil’alamin .

E.     Penutup
Entah konsepsi pemikiran apalagi yang akan dirumuskan para pemikir dan reformis intelektual muslim di negeri ini, namun satu hal yang patut dicatat bahwa ia adalah merupakan hasil aktualisasi terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat muslim, baik terkait dengan dinamikanya secara interinsik maupun pergumulannya secara eksterinsik dengan dunia luar (baca: Barat).
Berbagai macam gagasan yang timbul itu tentu tidak dapat kita lepaskan dari keinginan umat muslim untuk selalu hidup sesuai atau menyesuaikan diri secara total dengan ajaran Islam (Islam Kaffah) dan hidup sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman (Islam Rahmat). Tanpa didera oleh trauma psikologis yang tidak produktif dan konstruktif dalam menatap masa depan.
Dalam tulisan singkat ini setidaknya penulis ingin menunjukkan bahwa, latar belakang konsepsi pemikiran yang dibangun oleh para pencetusnya (meski tidak secara tuntas penulis uraikan) adalah merupakan respon atas perubahan dan aktualisasi Islam sebagai agama rahmat yang sesuai untuk waktu dan tempat secara universal, dengan demikian akan salah jika hasil ijtihad tersebut dianggap sebagai kelompok yang westernized (terbaratkan), agen Yahudi, aliran sesat dan sebagainya.
Dengan demikian, akan menjadi tidak relevan lagi ketika kita membahas mengenai ke-universalan Islam- jika kita masih dibayangi oleh trauma psikologi, dengan masih melihat hubungan antara Islam dengan Barat hanya melulu persoalan antara bangsa terjajah dan yang dijajah, antara dunia pertama dan dunia ketiga, dan melulu dengan bacaan kolonial dan post kolonial, dengan tidak menafikan kenyataan tersebut -akan menjadi sebuah warna tersendiri yang menarik jika itu juga kita baca dalam perspektif oksidentalisme-nya Hasan Hanafi. Atau menemukan corak lain yang lebih menarik terkait dengan isu-isu multikulturalisme dalam bingkai antropologis-sosiologis atau multi dan inter disiplin dalam lingkungan lokal dan global.
Namun ibarat seekor ikan yang meloncat dari dalam akuarium. Seketika dia tersadar, dari luar dia bisa melihat bahwa dunia yang selama ini dia tempati ternyata hanyalah sebuah kotak kecil berisi air yang ukurannya sangat terbatas. Di luar, dia dapat melihat bahwa dunia ini tidak hanya seluas aquarium.
Demikianlah, para reformis intelektual muslim Indonesia masa depan tampaknya perlu meniru ulah si ikan. Mereka (generasi reformis berikutnya) perlu mencoba untuk keluar dari batasan-batasan konsepsi, gagasan dan paradigmatik yang telah tersedia untuk menciptakan alternatif-alternatif konsepsi, gagasan dan paradigmatik yang lebih sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia ke depan.
Dengan mencoba keluar dari batasan konsepsi, gagasan dan paradigma yang telah tersedia, kita dapat melihat keterbatasan paradigma, konsep dan gagasan yang sudah ada sehingga mampu menawarkan sebuah alternatif. Tentu saja ini perlu keberanian dan kerja keras sebagaimana sang ikan. Ikan yang keluar dari aquarium itu bisa jadi menanggung resiko yang tidak ringan seperti tidak lagi mendapat jatah makan dari tuannya. Tapi dia telah melakukan langkah berani dan itu juga mendapat satu pahala.

Dartar Pustaka
Abdallah M. al-Husayn al-Amiri. 2004. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi. (Alih Bahasa: Abdul Basir). Jakarta: Gaya Media Pratama
Abdul Munir Mulkhan. 1995. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah Saeed, 2006. Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis (Terj. Arif Maftuhin). Jakarta: Paramadina
Akh. Minhaji. t.th. Strategies For Sosial Research: The Methodological Imagination In Islamic Studies Yogyakarta: Suka Press
Aksin Wijaya 2009. Arah Baru Studi Ulum Al Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amin Abdullah 2007. Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: Suka Press
Aqib Suminto., dkk. 1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution. Jakarta: LSAF.
Deliar Noer. 1994. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Erich Fromm. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. (Terj. Agung Prihantoro).(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Fachry Ali dan Bactiar Effendi. 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru. Bandung: Mizan.
Fazlur Rahman, 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.
Harold H. Titus, dkk.1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution dan Azumardi Azra. 1985. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harun Nasution. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1&2 cet. 6. Jakarta UI Press.
Harun Nasution. 2001. Islam Rasional. Bandung: Mizan
Hidajat Nataadmadja. 1984. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik, Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. Yogyakarta PLP2M.
Iqbal Abdulrauf Saimima (ed). 1988. Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas
Irfan Noor. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu Atas Pemikiran Peter L. Berger. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 No. 2 Juli 2008.
Kuntowijoyo, 1991. Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press.
M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
M. Amin Abdullah. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Amin Abdullah. Dimensi Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. Jurnal Filsafat Seri 21. Tahun 1995. Fakultas Filsafat UGM.
M. Imadadun Rahmat, 2003. Islam Pribumi Islam Indonesia, Kata pengatar pada buku Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas.. Jakarta: Erlangga.
Mahfud MD. Hukum Islam Dalam Kerangka Politik Hukum Nasional dalam Jurnal Al-Mawarid edisi VI Desember 1997
Max Weber. Sekte-Sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI.
Muhammad Azhar. Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia. Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5 Tahun IV/1998.
Mujiburrahman. 2008. Mengindonesiakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurcholis Madjid.2007.  Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurcholish Madjid. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Quraish Shihab. 2007. Membumikan Al Qur’an. Bandung: Mizan.
Rizal Mustansyir. 2001. Filsafat Analitik Sejarah, Perkambanmgan dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sahal Mahfud. 2007. Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta: LKiS.
Taufik Adnan Amal. 1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.
Toshihiko Izutsu. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein dan A.E. Priyono. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Toto Tasmara, 1994. Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Yusdani.  2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi. Yogyakarta: UII Press.
Yusuf A. Hasan. Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan. Jurnal Mukaddimah No. 6 Tahun 1998.

I n t e r n e t
Ahmad Suaedy dalam Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia: Masa depan Islam Indonesia. Makalah disampaikan pada Pelatihan Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe, Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008 dapat dilihat pada http://gusdur.net/opimi/detail/?id=144/hl=1d/peta_pemikiran_dan_Gerakan_Islam_indonesia di akses pada 11 Februari 2010  





[1] Lihat Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. x
[2] Irfan Noor. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris: Kajian Filsafat Ilmu Atas Pemikiran Peter L. Berger. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, Volume 7 No. 2 Juli 2008, hal. 148.
[3] Yusuf A. Hasan. Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan. Jurnal Mukaddimah No. 6 Tahun 1998, hal. 22. Lihat juga M. Amin Abdullah. Dimensi Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam. Jurnal Filsafat Seri 21. Tahun 1995. Fakultas Filsafat UGM, hal. 14-15
[4] Yusuf A. Hasan. Ilmu..hal. 23
[5] Lihat Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 507
[6] Lihat M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 39
[7] Lihat Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1987), hal. 18-19
[8] Gerakan neo-revivalis tumbuh tepatnya mulai paruh pertama abad XX M, yang merupakan kelanjutan dari gerakan kebangkitan Islam (Islamic revitalism) yang muncul pada abad XIX dan permulaan abad XX M. munculnya gerakan neo-rivivalis sebagai reaksi terhadap gelombang sekularisasi yang melanda dunia Islam. Gerakan ini memfokuskan perhatiannya untuk menghadapi berbagai permasalahan penting yang sedang menggerogoti kehidupan umat Islam, khususnya mengenai sikap perlawanan terhadap “westernisasi” yang sedang melanda komunitas muslim mereka membentengi diri dengan menempatkan Islam sebagai way of life dan menolak upaya menginterpretasikan al qur’an atau sunnah. Lihat Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis (Terj. Arif AMftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2006), hal. 4.
[9] Gerakan modernis muncul pada paruh abad XIX M. Fokus utama gerakan ini ialah menekankan akan pentingnya melakukan peyegaran pemikiran Islamdengan cara membangkitkan kembali gelombang ijtihad yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan dari al Qur’an dan sunnah. Dan juga berusaha memformulasikan kebutuhan hukum berdasarkan pada prinsip-prinsip ini. Para modernis mengkritisi apa yang disebut “otomistic”. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh aturan-aturan hukum secara langsung dari Al Qur’an dengan mengesampiongkan keputusan dari ulama klasik, dalam pengertian secara umum. Al Qur’an menurut mereka merupakan sebuah fenomena yang berada dalam lintas sorotan sejarah dan juga melatarbelakangi setting sosial historis tertentu. Para medernis dalam memahami setiap fenomena tertentu selalu memperhatikan situasi dan kondisi  yang melatar belakangi munculnya fenomena tersebut, baik itu dari segi moral, agama, maupun setting sosial histories dalam menjawab berbagai problematika kehidupan. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 2-19. Lihat juga Abdullah Saeed, Menyoal Bank…hal. 2
[10] Taufik Adnan Amal. Metode..hal. 18-19
[11] Lihat Fachry Ali dan Bactiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986)
[12] Lihat Ahmad Suaedy dalam Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia: Masa depan Islam Indonesia. Makalah disampaikan pada Pelatihan Kader Lanjutan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKL-PMII) di Pondok Cabe, Cireundeu Tangerang Banten, Ahad, 13 Juli 2008 dapat dilihat pada http://gusdur.net/opimi/detail/?id=144/hl=1d/peta_pemikiran_dan_Gerakan_Islam_indonesia di akses pada 11 Februari 2010  
[13] Ibid
[14] Lihat Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. 4
[15] Lihat Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 554
[16] Lihat dalam Harun Nasution dan Azumardi Azra. Perkembangan Modern Dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 65.
[17] Nurcholish Madjid. Islam Doktrin….hal. 543-557
[18] Harun Nasution dan Azumardi Azra. Perkembangan…hal. 26-29
[19] Lihat Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 322-327.
[20] Fazlur Rahman, Islam..hal. 19
[21] Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif…hal. 163
[22] Rahman memperkenalkan teori Double Movement, Ideal Moral dan Legal Sfesifik sebagai konsekuensi dari Hermeneutika Al Qur’an yang hal ini lebih merupakan integrasi normative dan empiris dalam mengkaji Al Qur’an. Teori ini dimulai dari dua langkah: langkah pertamam ditempuh dengan dua cara: (1) mencari makna dari pernyataan Al Qur’an dengan mengkaji situasi historis dimana pernyataan itu merupakan jawabannya. Yang dimaksud dengan teori ini adalah Al Qur’an harus dilihat dari situasi kelahirannya, tentunya melalui realitas, dimana ayat-ayat Al Qur’an turun dan dalam sebab apa ayat-ayat Al Qur’an turun. (2)menggeneralisasikan pernyataan-pernyataan yang bermula dari yang partikuler, dari situasi dan asbab an nuzul masing-masing ayat, sebagai pernyataan yang bersifat universal, dalam hal ini yang dicari adalah nilai-nilai etisnya yang bersifat universal. Langkah kedua, dimulai dari hal-hal yang bersifat universal, yang dicapai dari langkah pertama di atas, kepada hal-hal yang bersifat partikuler dalam situasi kekinian di mana dan kapan Al Qur’an hendak diberlakukan . tujuan ini mensyaratkan seorang pemikir untuk mengetahui bukan saja aspek tekstual ayat Al Qur’an tetapi juga situasi kekinian yang particular, sehingga ketika mempraksiskan yang universal ke dalam partikularitas kekinian tidak menemui jalan buntu. Lihat Aksin Wijaya Arah Baru Studi Ulum Al Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)hal. 194-195. Lihat juga Akh. Minhaji. Strategies For Sosial Research: The Methodological Imagination In Islamic Studies (Yogyakarta: Suka Press, tt), hal. 46
[23] Lihat Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1&2 cet. 6. (Jakarta UI Press, 1986).
[24] Lihat Harun Nasution. Islam Rasional (Bandung: Mizan, 2001)
[25] Lihat Aqib Suminto., dkk. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution. (Jakarta: LSAF, 1989)
[26] Lihat juga misalnya Toshihiko Izutsu. Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein dan A.E. Priyono (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993)
[27] Muhammad Azhar. Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia. Jurnal Studi Islam dan Informasi PTAIS Mukaddimah. No. 5 Tahun IV/1998, hal. 63
[28] Lihat juga dalam Nurcholis Madjid. Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 166
[29] Toshihiko Izutsu. Konsep…hal. 183
[30] Lihat Max Weber. Sekte-Sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme dalam buku Taufik Abdullah, (ed) 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI.
[31] Nurcholish Madjid. Islam Doktrin..hal. 414-415. Lihat juga Toto Tasmara, Etos Kerja pribadi Muslim (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1994), hal. 21.
[32] Lihat M. Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.  41-43
[33] Lihat Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Marx. (Terj. Agung Prihantoro). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). 
[34] Lihat Rizal Mustansyir. Filsafat Analitik Sejarah, Perkambanmgan dan Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.  99-112.
[35] Muhammad Azhar. Kajian…hal. 65
[36] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma. Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 286-291
[37] Ibid.
[38] Adi Sasono melalui CIDES-ICMI hendak melakukan perjuangan membela kaum mustad’afin dari dalam. Dawam Raharjo melalui LP3ES, LASF dan Majelis Ekonomi Muhammadiyah, Muslim Abdurrahman dengan Islam yang Memihak, Masdar dengan Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Mansour Fakih dengan manifesto organik dan studi-studi pembangunan juga mencari teologi kaum tertindas. Dapat juga dilihat dalam Aqib Suminto., dkk. 1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Harun Nasution. Jakarta: LSAF pada bagian “Mencari Teologi Kaum Tertindas”
[39] Lihat M. Imadadun Rahmat, Islam Pribumi Islam Indonesia, Kata pengatar pada buku Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas. (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. xx
[40] Muhammad Azhar. Kajian…hal. 67.
[41] Lihat dalam iIqal Abdulrauf Saimima (ed). Reaktualisasi Ajaran Islam. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal. 1-3 dan hal. 6-9
[42] Abdallah M. al-husayn al-Amiri. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi. Alih Bahasa: Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 101 juga lihat Yusdani.  Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi.(Yogyakarta: UII Press, 2000).
[43] Muhammad Azhar. Kajian…hal. 69
[44] Lihat Quraish Shihab. Membumikan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007)
[45] Lihat karya Kang Jalal dalam Islam Aktual yang diterbitkan oleh Mizan, Bandung.
[46] Lihat Mahfud MD. Hukum Islam Dalam Kerangka Politik Hukum Nasional dalam Jurnal Al-Mawarid edisi VI Desember 1997
[47] Lihat dalam Hidajat Nataadmadja. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik, Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. (Yogyakarta PLP2M, 1984). Silahkan lihat pula beberapa hasil karya pelopor-pelopor pemikiran yang disebutkan.
[48] Untuk Amin Abdullah, lihat Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (Yogyakarta: Suka Press, 2007), Wardah Hafidz, lihat Feminisme: Agenda Baru Pemikiran Islam, untuk Abdul Munir Mulkhan, lihat Teologi Kebudayaan dan Demi\okrasi Modernitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), untuk Sahal Mahfud, lihat Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 2007)
[49] Yusuf A. Hasan. Ilmu Sosial…hal. 25

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id