PRIVATISASI AIR DI
INDONESIA
(KAJIAN
UNDANG-UNDANG SUMBERDAYA AIR
DAN EKONOMI ISLAM)
Tulisan ini telah disampaikan pada The 13th
Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS XIII) dengan Tema
“Distinctive Paradigm Of Indonesian Islamic Studies: Towards Renaissance Of
Islamic Civilization” dan meraih Best Paper dalam Sub Theme: Islamic Economics:
Balancing Prosperity & Social Justice, Senggigi Lombok, Date: 18th-21st
November 2013.
Abstract
This research of
background by idea that water is God creation to fulfill requirement of human
life in world, hence exploiting of clean water have to be based by feeling
responsibility and fully for the prosperity of mankind. Pursuant to the
mentioned hence management of water also have to in harmony with natural law,
holding responsible, powered and fair of society.
Some regions in
Indonesia feel difficulty get to access clean water for agriculture, plantation
even for everyday requirement. Policy of government with reference to water
right of tenure by long lease can be told do not in line with Section
commendation 33 UUD 1945. Delivering birth of number code of law 7 year 2004
about water resource, very have contribution to clean water crisis, because giving
opportunity of ready sector privat of drinking water, and domination is source
of water (ground water, irrigate surface, and some of river body) by body is
effort and individual. As a result, rights of water for every threatened
individual with right of tenure by long lease agenda irrigate and
commercialisation irrigate in Indonesia.
Water right of
tenure by long lease represent effort of[is ownership of commercially of water
resource vanishing the existence of governmental intervention and also social
security function, on the basis of that thing is, economic system of Islam pass
concept is ownership of arranging that water is not including object had
perfectly, because there proprietary rights each and everyone stick without
aside from, and resource irrigate the including into ownership of public. With
existence of definition is ownership of to water resource, hence right of
tenure by long lease of water represent form grind of human right of resource
irrigate because opposing against al-syariah maqasid which is hifz al-mal.
Keyword: Right Of Tenure By Long Lease, Water, Privatisation,
Islamic Economics.
A.
Pendahuluan
Sebagai agama
yang mempunyai predikat rahmatan lil
‘alamin, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu berinteraksi
dengan lingkungan secara baik. Sebab Allah Swt telah menciptakan alam semesta
untuk manusia agar dipergunakan sebaik-baiknya demi perbaikan kualitas dan
kesejahteraan kehidupan.[12] Berdasarkan
hal itu maka pengelolaan air juga harus selaras dengan hukum alam, bertanggung
jawab, adil dan memberdayakan.[13]
Pendayagunaan sumber daya air bersih harus ditujukan sebesarnya untuk
kesejahteraan dan kemakmuran, sehingga ketersediaan dan distribusi potensi
sumber air bersih harus direncanakan secara konprehensif dan memenuhi asas-asas
kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan.[14]
Namun, saat
ini air bersih mulai langka di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1998, 28
negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan
akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Di Indonesia, krisis air bersih
mulai dirasakan oleh penduduk ibu kota dan beberapa wilayah di Pulau Jawa.
Kenyataan ini sangat ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan
470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh Indonesia. Beberapa wilayah di
Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses air bersih untuk keperluan
pertanian dan perkebunan bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Di banyak wilayah
pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air-mata air tercemar
dan persediaan menurun secara drastis. Selain faktor kerusakan ekologis,
beberapa pakar berpendapat bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi
pelayanan air dan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumberdaya air. Sekitar
95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor
publik, yang kemudian diserahkan pada pihak swasta.[15]
Hal ini tentu
sangat merugikan masyarakat, karena tidak memiliki akses untuk air minum,
bahkan air bersih dalam jumlah yang memadai. Karena itu, penyediaan kebutuhan
pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan pasar.[16] Kencangnya
isu privatisasi sumber daya air menjadi persoalan pelik yang menghadapkan
komunitas publik versus sekelompok pemilik modal. Ini sama halnya dengan
menghadapkan sumber daya yang menguasai hajat hidup manusia versus
subyek kepemilikan untuk diperdagangkan. Hal ini seakan mendapat justifikasinya
ketika undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air telah
diundangkan. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan
agenda privatisasi dan komersialisasi air.[17]
Dalam sejarah
soal air, yang ditemukan dalam komunitas tradisional sebagai bagian pranata
sosial yang lebih dahulu lahir sebelum negara, memandang hubungan manusia dengan
air sebagai relasi alamiah dan tidak bisa lepas dari nilai etik keagamaan yang
diyakini dan menjadi satu kesatuan dalam interaksi masyarakat dengan sumber
daya air.[18] Namun,
pola interaksi lembaga negara justru menempatkan hubungan manusia dan air secara
tidak etis, dengan menempatkan ‘ownership politic’ melalui kebijakan
perundang-undangan. Sehingga dalam perspektif etika lingkungan, fiqih
lingkungan dan sistem ekonomi Islam persoalan “hak atas air” tidak dapat
diterima dengan mudah, karena pengetahuan dari hujan kosmik pun yang telah
berlangsung milyaran tahun, agak susah menyebut klaim air sebagai “milik”
siapapun, meski telah dikonstruksi dalam politik perundangan negara, apalagi
hak milik segelintir kelompok. Hal ini dikarenakan air telah demikian mengakar
tradisi pengelolaannya dalam masyarakat melalui pelestarian kearifan
sosial-ekonomi-keagamaan yang menyejarah, dan ini bisa dijawab secara jelas
berbasiskan pandangan keagamaan dan budaya masyarakat tersebut.[19]
B.
Privatisasi Air Bersih dalam
UU Sumber Daya Air (SDA)
Kelangkaan
air baik kuantitas maupun kualitasnya telah sering menjadi pemicu perselisihan
yang berakhir pada perkelahian. Pengakuan hak atas air menjadi sangat penting,
karena air adalah hak azasi, tanpa air manusia akan mati.[20] Privatisasi
sebenarnya sudah dilaksanakan pada awal 1990-an tetapi baru mempunyai dasar
hukum dalam bentuk undang-undang pada tahun 2003, yaitu dengan diterbitkannya
UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. UU ini sekarang menjadi acuan dalam
melaksanakan proses privatisasi. Dan untuk lebih detail peraturan pelaksanaan
undang-undang ini juga telah diterbitkan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.
33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan.[21]
Konsepsi hak atas air dalam UU Sumber Daya Air (SDA) telah mengatur Hak Guna Air yang terdiri
atas Hak Guna Pakai (HGP) air dan Hak Guna Usaha (HGU) air (pasal 7). HGP air
diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi
perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi
(pasal 8). Bagi para investor kepastian akan ketersedian bahan baku menjadi
sangat penting, oleh karena itu keberadaan HGU air yang dapat diberikan kepada
perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya (pasal 9), menjadi bagian penting langkah
privatisasi pengelolaan sumber daya air. Penerbitan ketentuan tentang HGP dan HGU
air dianggap telah mencederai deklarasi Hak Azasi Manusia (HAM) dan UUD 1945
pasal 33.[22]
UU No.7
Tahun 2004 membatasi peran negara semata sebagai pembuat dan pengawas regulasi
atau sebagai regulator. Negara sebatas sebagai regulator dan swasta
sebagai penyelenggara sistem air (privatisasi) merupakan penjabaran dari
penerapan sistem ekonomi liberal. Negara sebatas regulator akan kehilangan
kontrol atas setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan terjaminnya
keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna air. Negara tidak
dapat menjamin dan memberikan perlindungan pada kelompok tidak mampu dan rentan
dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau. Peran sosial tersebut tidak dapat digantikan oleh
swasta yang memiliki orientasi keuntungan sebagai tujuan utama. Penyelenggaran
air minum dan pengelolaan air oleh swasta berpengaruh kepada biaya dan tarif
yang ditanggung pengguna. Keuntungan perusahaan, biaya eksternal, biaya
operasional dan investasi menjadi biaya total yang ditanggung oleh pengguna
air. Inilah yang disebut pengenaan full
cost recovery.[23]
UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA, meskipun dikatakan
tidak mengatur tentang privatisasi, namun membuka secara lebar peluang
tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (4), yang
kemudian telah dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9, dan Pasal 64 PP
No. 16 Tahun 2005. Meskipun dikatakan hanya menyangkut Sistem Pengembangan Air
Minum (SPAM) pada daerah, wilayah, atau kawasan yang belum terjangkau pelayanan
BUMD/BUMN, akan tetapi HGU air yang dapat diberikan pada swasta dan perorangan,
adalah merupakan peluang bagi privatisasi dimaksud. Walaupun Pasal 7 ayat (2)
menyatakan bahwa hak guna air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan
sebagian atau seluruhnya, akan tetapi dengan bentuk kapitalisasi usaha melalui
saham di bursa, mobilisasi kapital demikian menjadi terbuka luas, meskipun
tanpa memindahtangankan HGU yang diperoleh satu badan hukum. Oleh
karenanya pintu atau peluang demikian tidak dapat dikesampingkan hanya karena
secara ekplisit tidak menyebut privatisasi.[24]
Usaha swasta yang mengelola air (minum) akan selalu profit-oriented. Pelayanan atau public service bukan merupakan orientasinya
bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan watak dasarnya, sehingga tidak dapat
diharapkan bahwa badan usaha swasta akan mengabdikan dirinya bagi pelayanan
publik yang bersifat sosial.
C.
Bentuk-Bentuk dan Dampak Privatisasi
Air
Proses privatisasi air terdiri dari berbagai
bentuk. Bentuk pertama adalah pengambilalihan (swastanisasi) Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) milik pemerintah atau negara (BUMN) oleh pihak swasta. Contoh
untuk bentuk ini adalah: (1) PT. Adhitya Tirta Batam; (2) PDAM Kota Palembang
Tirta Musi; (3) PDAM DKI Jakarta; (4) PDAM Kota Tangerang; (5) PDAM Kab. Bekasi;
(6) PAM Kota Ambon; (7) PDAM Kab. Maluku Utara; (8) PDAM Kab. Sidoarjo; (9) PDAM
Kab. Bandung; dan (10) PDAM Kota Semarang.[25]
Disamping PDAM tersebut di atas, masih terdapat
sejumlah PDAM yang sedang dalam proses privatisasi, diantaranya: (1) PDAM Kota
Yogyakarta Tirta Marta; (2) PDAM Kota Banjarmasin; (3) PDAM Kota Bitung; (4)
PDAM Kota Minahasa; (5) PDAM Kota Tabanan; (6) PDAM Kab. Lombok Barat Giri
Menang Mataram; (7) PDAM Kota Bandung; (8) PDAM Kab.Sumedang.[26]
Dalam pelaksanaan privatisasi PDAM tersebut,
terdapat enam skema privatisasi yang melibatkan peran swasta dalam PDAM yakni:[27] pertama, servis kontrak, yakni swasta mengerjakan tugas-tugas
memasang atau membaca meteran, memonitor angka kehilangan air, memperbaiki
jaringan pipa, dan menagih rekening. Servis kontrak biasanya untuk jangka waktu
antara 6 bulan sampai 1 tahun. Kedua,
manajemen kontrak, yakni manajemen PDAM ditangani oleh pihak swasta. Dengan
manajemen kontrak ini, diharapkan membuat kinerja PDAM lebih efesien dan
membantu PDAM untuk menentukan target-target pendapatan dan layanan. Kontrak
ini biasanya berlaku untuk jangka waktu 3 sampai 5 tahun. Dalam hal ini pihak
swasta mendapat fee yang tetap untuk melakukan kerja manajerial.
Ketiga, lease (leasing) yakni skema privatisasi dalam bentuk sektor swasta menyewa
asset PDAM dan mengambil tanggungjawab mengoperasikan dan melakukan
pemeliharaan. Penyewa membeli hak PDAM, sebagai imbalannya ia memperoleh
pendapatan. Hak swasta dengan demikian hanya melakukan konsolidasi kerja
sehingga lebih sehat. Keempat,
konsesi, yakni privatisasi dimana pihak swasta tidak hanya bertanggungjawab
untuk pengoperasian dan pemeliharaan aset, tapi juga berinvestasi dalam PDAM
tersebut. Konsesi biasanya berlangsung selama 25-30 tahun dan selama masa itu
pihak swasta dapat menggunakan secara penuh aset PDAM. Namun setelah kontrak
berakhir semua aset PDAM diserahkan kepada pemerintah. Kelima, Built Operator Transfer (BOT) yakni privatisasi yang pihak
swasta membangun tempat penampungan air atau pengelolaan air serta
mengoperasikan selama jangka waktu tertentu sesuai kontrak. Pemerintah membayar
perusahaan pemegang BOT. Jadi, skema privatisasi ini sekedar alih teknologi
dari swasta kepada pemerintah. Keenam,
joint venture. Yakni privatisasi dalam bentuk kerjasama dalam
permodalan.
Bentuk kedua
adalah penguasaan hak mengambil air dari satu kawasan atau pengkaplingan
suatu wilayah dengan penguasaan hak untuk mengambil air di wilayah tersebut.
Hal ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan
(AMDK).[28] Sebagai contohnya adalah
PT. Aqua Tirtainvestama atau PT. Aqua Golden Misissipi Danone di Klaten. Bentuk
ketiga adalah penguasaan irigasi. Di
Indonesia, privatisasi air bentuk yang ketiga ini relatif belum berkembang,
namun kemungkinan berkembangnya telah diakomodasi oleh UU No. 7 tahun 2004. Di
beberapa negara Asia, seperti India privatisasi air bentuk ketiga ini sudah
berjalan.[29]
Privatisasi bentuk ketiga ini melibatkan pembangunan bendungan dan
saluran-saluran irigasi yang dibiayai dan dikelola oleh swasta. Sebagai
kompensasinya, perusahaan swasta yang mengelola irigasi tersebut akan memungut
biaya dari para pengguna jasa irigasi
(petani). Dengan demikian jika PDAM dan perusahaan AMDK memperdagangkan
air untuk konsumsi, perusahaan pengelola bendungan dan irigasi memperdagangkan
air untuk pengairan sawah, persamaan keduanya adalah sama-sama menekankan nilai
ekonomi air.
Selanjutnya dampak
privatisasi adalah mengeringnya beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari 470
DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak
64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dalam kondisi sangat kritis. Diprediksi,
angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumber daya air terus
berlangsung. Pada 1984, hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis; tahun 1992
meningkat menjadi 29 DAS kritis; tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis; tahun 1998
menjadi 42 DAS kritis; tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis; tahun 2002 menjadi 60
DAS kritis dan tahun 2008 meningkat menjadi 64 DAS kritis.[30]Selain
mengancam kebutuhan primer (daruriyat)
rakyat, yakni kebutuhan untuk minum, mandi, memasak dan mencuci. Privatisasi
air juga mengancam kebutuhan sekunder (hajiyat)
rakyat yakni kebutuhan untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan. Juga akan
berdampak pada kebangkrutan dan menyengsarakan petani.
D. Privatisasi Air Menurut Tinjauan Ekonomi Islam dan
Hak Asasi Manusia (HAM)
1.
Hak Milik Pengelolaan Sumber
Daya Air Dalam Ekonomi Islam dan Perlindungan Maqasid al-Syari’ah
Kepemilikan menurut
pandangan ekonomi Islam dibedakan menjadi tiga, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah), kepemilikan
umum (al-milkiyah al-‘aamah) dan
kepemilikan negara (al-milkiyah ad-daulah). Pembagian jenis kepemilikan menjadi
tiga kelompok semata-mata di dasarkan ketentuan nash-nash syarak yang telah
menetapkan pembagian tersebut.[31]
Jika kita mengkaji dan mendalami hukum-hukum syarak yang berkaitan
dengan cara-cara seseorang mendapatkan harta yang sah, maka akan nampak bahwa
sebab-sebab kepemilikan harta terbatas pada lima sebab, yaitu: (1) Bekerja; (2)
Warisan; (3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup; (4) Harta pemberian
negara yang diberikan kepada rakyat; (5) Harta yang diperoleh dengan tanpa
mengeluarkan harta atau tenaga apapun.[32]
Sedangkan kepemilikan umum adalah izin al-Syarik kepada suatu komunitas
untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda yang termasuk dalam
kategori kepemilikan umum adalah benda yang telah dinyatakan oleh al-Syarik
bahwa benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka saling membutuhkan,
dan al-Syarik melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau
sekelompok kecil orang.[33]
Dari pengertian di atas maka benda yang termasuk
dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: Pertama, fasilitas umum yang
merupakan kebutuhan umum dan dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum.
Apabila barang tersebut tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan
menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Dalam
hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan air, padang
rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk memilikinya. Namun
perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum
adalah adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan umum. Namun
jika jumlahnya terbatas seperti sumur-sumur kecil di perkampungan dan sejenisnya,
maka dapat dimiliki oleh individu dan dalam kondisi demikian air sumur tersebut
merupakan milik individu. Rasulullah Saw telah membolehkan air di Thaif dan
Khaibar untuk dimiliki oleh individu-individu penduduk.[34]
Kedua, bahan tambang yang tidak terbatas.[35] Bahan tambang diklasifikasikan
menjadi bahan tambang yang terbatas jumlahnya dan bahan tambang yang tidak
terbatas jumlahnya. Bahan tambang yang terbatas jumlahnya dapat dimiliki secara
pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%)
darinya. Bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya termasuk milik umum (collective property) dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi.
Ketiga,
benda-benda yang sifat pembentukannya
menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan. Sedangkan
benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah dimiliki oleh pribadi, maka
benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum. Maka, meskipun
benda-benda tersebut termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan
fasilitas umum, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang
pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh
individu. Berbeda dengan kelompok
pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Zat air, misalnya, mungkin
saja dimiliki oleh individu, namun individu tersebut dilarang memilikinya,
apabila suatu komunitas membutuhkannya.
Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Sebenarnya pembagian ini -meskipun dalilnya bisa
diberlakukan illat syar’iyah, yaitu
keberadaannya sebagai kepentingan umum- esensi faktanya menunjukkan, bahwa
benda-benda tersebut merupakan milik umum. Ini meliputi jalan, sungai, laut,
danau, tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan
adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan,
tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
Pengelolaan terhadap
kepemilikan umum pada prinsipnya dilakukan oleh negara, sedangkan dari sisi
pemanfaatannya dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat bisa secara langsung
memanfaatkan sekaligus mengelola barang-barang 'umum' tadi, jika barang-barang
tersebut bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus mengeluarkan dana yang besar
seperti, pemanfaatan air disungai atau sumur, mengembalakan ternak di padang
penggembalaan dan sebagainya. Sedangkan jika pemanfaatannya membutuhkan
eksplorasi dan eksploitasi yang sulit, pengelolaan milik umum ini dilakukan
hanya oleh negara untuk seluruh rakyat dengan cara diberikan gratis atau dengan
harga murah sehingga rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan
murah.
Hubungan negara dengan kepemilikan umum sebatas mengelola, dan
mengaturnya untuk kepentingan masyarakat. Negara tidak boleh menjual aset-aset
milik umum. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang
individu tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang dan jasa yang bukan
miliknya. Demikian pula negara, tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang
yang bukan miliknya. Laut adalah milik umum, bukan milik negara. Pabrik-pabrik
umum, tambang, dan lain-lain adalah milik umum, bukan milik negara. Atas dasar
ini, negara tidak boleh menjual asset yang bukan menjadi miliknya kepada
individu-individu masyarakat.
Sementara milik negara
adalah harta yang merupakan hak seluruh rakyat yang pengelolaannya menjadi
wewenang Negara, dimana Negara dapat mengkhususkan sesuatu kepada sebagian
rakyat, sesuai dengan kebijakannya. Makna
pengelolaan oleh Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki Pemerintah
untuk mengelola semisal harta pajak dan sebagainya. Meski harta milik umum dan
milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara
kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya
tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan
kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak
milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada
individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.[36] Sebagai
contoh terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan lain-lain tidak
boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua
orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya.
Jika dilihat dari dimensi
kebijakan dalam sistem ekonomi Islam, maka sumber daya air, sebagaimana
dijelaskan di atas, merupakan hak milik umum (publik). Kepemilikan umum adalah
izin dari Allah Swt, kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda.
Sedangkan benda-benda yang termasuk ke dalam katagori kepemilikan umum adalah
benda-benda yang dinyatakan oleh Allah Swt bahwa benda-benda tersebut adalah
untuk umum, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan dan melarang benda
tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang, sebagaimana
dalam hadis Nabi Saw yang dikutip di atas.
Sistem ekonomi Islam dengan
demikian telah memberikan batasan yang jelas tentang sumber daya air yang
merupakan kepemilikan umum. Dengan batasan itu, ekonomi Islam yang tidak lain
adalah fiqh muamalah,[37] dapat memberikan status
hukum atas industri atau pabrik yang akan mengelola kepemilikan umum. Misalnya,
pompa air. Hukum pompa air berbeda-beda sesuai dengan perbedaan status hukum
air. Jika airnya termasuk dalam kepemilikan individu, seperti sumur khusus yang
dimiliki perorangan, maka termasuk kepemilikan individu. Masing-masing orang
dapat membuat alat di atas sumur yang dimiliki, kemudian air dikeluarkan dan
dijual kepada orang lain. Karena airnya kepemilikan individu, maka status hukum
alatnyapun (pompa air) juga demikian. Hanya saja individu tersebut tidak boleh
memasang pipa dijalan umum untuk aliran air, karena jalan termasuk kepemilikan
umum. Sehingga tidak boleh selamanya ada seseorang secara individu memilikinya,
yang dapat menghalangi orang lain. Sebab jalan umum termasuk jenis fasilitas
yang harus dipelihara bersama-sama, sehingga memilikinya secara khusus tidak
diperbolehkan.[38]
Sedangkan jika airnya
termasuk kepemilikan umum, seperti sumur umum, sumber mata air umum, sungai dan
danau maka alat yang digunakan mengeluarkan air termasuk barang kepemilikan
umum, karena air merupakan kepemilikan umum. Dikecualikan sungai-sungai besar
seperti sungai Kapuas, maka bagi setiap orang boleh memasang alat di atasnya,
dan dengan perantaraan alat itu, mengambil air untuk dirinya. Orang tersebut
juga boleh dengan alat itu memberi minum manusia dengan upah. Sebab pengambilan
air itu tidak menghalangi siapapun untuk mengambil air dari sungai, juga tidak
menghalangi siapapun membuat alat di atas sungai sehingga eksistensi air
sebagai kepemilikan umum tidak akan hilang.[39]
Disamping itu, Islam
memperkenalkan apa yang disebut dengan maqasid
al-syariah. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa segala petunjuk agama,
baik berupa perintah maupun larangan, pada akhirnya akan mengantarkan manusia
pada tujuan tersebut. Hal ini juga berarti bahwa dalam Islam, masalah air
bersih memperoleh legitimasi yang sangat kuat untuk dilestarikan dan dikelola,
karena ia erat terkait dengan maqasid
al-syariah.
Dengan paradigma al-maqasid
al-Syatibi terhadap air kita berharap setiap orang bahkan mahluk lainnya pun
dapat menikmati dan mengakses air tanpa halangan oleh siapapun, karena akses
terhadap air merupakan bagian dari kewajiban individu untuk menjaga
kemaslahatan. Dengan
demikian kebutuhan akan air merupakan masalah kebutuhan daruriyat yang harus dipenuhi karena jika tidak manusia akan
terancam dehidrasi (kekurangan air) bahkan mati. Efek lain dengan adanya
privatisasi adalah menciptakan kekacauan sosial yang dapat menimbulkan biaya
sosial (social cost) yang tinggi hal
ini dikarenakan, setiap masyarakat, tidak terkecuali yang miskin akan gelisah
dan kesulitan mendapatkan air bersih karena air merupakan kebutuhan dasar yang
diberikan Tuhan secara gratis dan kini guna mendapatkannya harus dengan uang
(membayar) karena nilai air telah dimutilasi menjadi barang komersil.[40]
Kebutuhan akan air
sebagai maslahah al-ammah harus
diartikan bahwa manusia tidak dapat membiarkan sumber daya air dijadikan
komoditi personal dan memasuki wilayah suplay
and demand oleh personal atau kelompok tertentu yang dijual kepada penawar
tertinggi, karena air merupakan kebutuhan daruriyat dan merupakan hak
asasi yang sangat fundamental. Setiap generasi untuk tujuan kemaslahatan hidup
harus menjamin jumlah dan kualitas air agar tidak merosot sebagai akibat
komersialisasi dan privatisasi.
Dari penjelasan atas
kepemilikan umum (publik) di atas, menjadi jelas bahwa Allah Swt menjadikan air
untuk manusia sebagai milik umum.[41] Semua air yang ada di
sungai, danau, laut ataupun air tanah yang berasal dari hujan bukanlah ciptaan
manusia. Tugas manusia hanyalah membersihkan air, meningkatkan kualitasnya,
melestarikan keberadaannya dan mendistribusikan dengan adil.
Atas dasar paradigma inilah,
sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa negara (yang mewakili rakyat) mengatur
produksi dan distribusi air untuk rakyat. Negara tidak boleh memungut harga
dari rakyat, karena air merupakan milik umum (rakyat), namun demikian negara
hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi produksi dan distribusi
barang-barang milik umum, tapi bukan untuk memperoleh keuntungan dari rakyat.[42]
2.
Privatisasi Sumber Daya Air
dan Krisis Hak Asasi Rakyat
Air merupakan matrik budaya,
dasar kehidupan yang dalam bahasa Arab, Urdu dan Hindusta, ia disebut ab, abad ruho, adalah salam untuk
kemakmuran dan kelimpahan.[43] Hak atas air mengandung
makna tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karenanya hak atas air adalah
suatu yang mutlak dan telah memunculkan kewajiban bagi negara untuk
mengakuinya. Kesadaran akan hal itu, sejak awal telah diadopsi dalam kehidupan bernegara.
Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi.
Dengan kata lain, sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan
dasar, termasuk air bersih, dijamin dalam konstitusi negara Indonesia, sebagai
sebuah kontrak sosial kenegaraan antara warga bangsa dan pemerintah. Kontrak
sosial antara pemerintah dengan rakyat dibangun atas dua premis dasar yakni
bahwa pemerintah harus bertanggung jawab menyediakan jasa kebutuhan dasar dan
bahwa rakyat harus melatih hak-hak kewarganegaraan mereka untuk memastikan tersedianya
jasa kebutuhan dasar.[44]
Dalam perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM) atas penyediaan kebutuhan dasar juga dipertegas pada level global
yakni pada November 2002, komite PBB untuk hak ekonomi, sosial dan budaya mendeklarasikan
akses terhadap air merupakan hak dasar (a
fundamental right). Dijelaskan bahwa air adalah benda sosial dan budaya,
dan tidak hanya komoditi ekonomi. Komite ini juga menekankan bahwa 145 negara
telah meratifikasi Konvenan Internasional untuk hak ekonomi, sosial dan budaya
yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses air secara
setara tanpa diskriminasi.[45]
Patut dicatat bahwa jaminan
bagi hak atas air ini tidak terbatas hanya pada kebutuhan personal dan domestik
melainkan hak atas air guna memenuhi kebutuhan produksi yang terkait dengan hak
asasi atas pangan yang layak, guna menjamin kesehatan lingkungan, menyangkut
juga hak atas kesehatan dan untuk menjamin penghidupan sebagai pemenuhan atas
hak penghidupan yang layak. Khusus mengenai hak atas air, terkait dengan
ketahanan pangan (food scurity) General
Comment poin 15 dari komite ekonomi PBB sebagai badan pengawas implementasi
ECSR (Economics Sosial and Cultural
Rights) memberikan penekanan bagi para petani marginal.[46]
Pengadopsian hak asasi atas
air oleh semua negara anggota PBB memunculkan beberapa kewajiban bagi setiap
negara di dunia, yang secara umum bisa dikatagorisasikan sebagai menghormati,
melindungi dan memenuhi. Kewajiban menghormati berarti setiap negara
disyaratkan untuk tidak melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak,
yang dapat mengancam seseorang atau sekelompok orang untuk menikmati hak asasi
atas air yang mereka miliki. Kewajiban melindungi mensyaratkan setiap negara
untuk mencegah pihak ketiga (semisal sektor swasta atau korporasi) melakukan
upaya-upaya (dalam bentuk apapun) yang mengancam pemenuhan hak asasi atas air. Dan
kewajiban memenuhi berarti setiap negara disyaratkan untuk mengadopsi upaya
atau langkah yang diperlukan dalam rangka merealisasikan sepenuhnya hak asasi
atas air bagi warga negaranya.[47]
Dapat dibayangkan jika pola
pikir yang eksploitatif, kapitalistik dan materialistik diberi tempat dalam
pengelolaan sumber daya air dalam bentuk privatisasi, maka disinilah krisis air
kemudian akan menjadi sebuah krisis HAM yang paling mendasar. Tanpa air bersih
dan buruknya sanitasi, manusia kurang layak mempertahankan kemanusiaannya. Air
merupakan hajat hidup orang banyak. Masalah kekurangan air dapat menimbulkan
bencana bagi manusia dan kelalaian dalam pengelolaan sumber daya air juga dapat
berakibat bencana. Pemenuhan kebutuhan akan air, adalah pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup, karena kebutuhan dasar merupakan HAM,
maka pemenuhan kebutuhan akan air adalah pemenuhan atas HAM.
Manusia memiliki hak atas
sesuatu melalui dua cara, yaitu: (a) Atas dasar hakikatnya; dan (b) atas dasar
kegunaanya. Pertama adalah hak yang dimiliki manusia di luar
kewenangannya. Manusia memiliki hak ini atas dasar “perintah ilahi”. Kedua
adalah hak yang dimiliki atas dasar akal budi dan kehendak, dalam arti bahwa
manusia memiliki hak atas sesuatu karena ia mampu menggunakannya. Masyarakat
(dalam hal ini negara) sebagai sumber hak positif menetapkan pembagian atas
barang-barang dan jasa bagi warganya, dan ini hanya akan sah jika didasarkan
atas “hak kodrat”, yaitu hak yang lebih dasar yang dimiliki oleh semua manusia.
Karenanya tidak tepat untuk mengatur akses atas sumber daya air dalam dua hak
yang setara yaitu HGP air yang sifatnya asasi dan HGU air, yang bersumber dari
hukum positif berdasar kedaulatan negara, yang pada dasarnya memberi
kemungkinan HGU air menjadi diutamakan dari HGP air yang bersifat asasi,
meskipun dinyatakan bahwa pengaturan yang dilakukan bukan dimaksudkan demikian.
Pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya air sebagai komoditas ekonomi dan barang yang menjadi kebutuhan
dasar dan asasi manusia memerlukan pengaturan yang harus mempertimbangkan dan
mendorong negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhinya. Meskipun akan
selalu dipersoalkan kondisi saat ini yang tidak memungkinkan Negara untuk
melaksanakan kewajibannya memenuhi kebutuhan asasi manusia akan air, sehingga
memerlukan mobilisasi dana dan daya, maka tidak tertutup kemungkinan untuk
melakukan pengaturan melalui sistem perizinan, meskipun tetap diakui bahwa hak
milik sekalipun, dapat dicabut untuk kepentingan umum.
E.
Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat diuraikan beberapa
penekanan dalam kajian ini yakni sebagai berikut: Pertama, privatisasi air merupakan upaya kepemilikan atas air yang
menghapus adanya intervensi pemerintah serta fungsi jaminan sosial, atas dasar
hal itu, sistem ekonomi Islam melalui konsep kepemilikan mengatur bahwa air
adalah bukan termasuk benda yang dimiliki secara sempurna, karena disitu hak
kepemilikan setiap orang melekat tanpa terkecuali, dan sumber daya air termasuk
ke dalam kepemilikan umum. Dengan adanya batasan kepemilikan terhadap sumber
daya air, maka privatisasi atas air merupakan bentuk penindasan HAM atas sumber
daya air karena bertentangan dengan maqasid
al-syariah yang menitikberatkan pada hifz
al-mal. Kedua, hak guna air
merupakan konsep yang menjiwai keseluruhan isi undang-undang sumber daya air.
Pemerintah dengan telah disahkannya undang-undang ini memindahkan dan atau
melepaskan ”hak mengusai hajat hidup rakyat” atas air sebagai cabang produksi
penting yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada perseorangan, badan
hukum atau perusahaan dengan motif komersial. Dengan dikeluarkannya
undang-undang ini maka pihak swasta, kelompok dan individu memiliki peluang
untuk menguasai sumber daya air.
Bibliography
Adnan Harahap, dkk. 1987. Islam dan Lingkungan Hidup. Jakarta:
Yayasan Swarna Bumi.
Afzalur Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 1. Terj.
Soeroyo dan Nastangin. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf
Ari Handriatni, “Peran Islam Dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup”. Jurnal Studi
Agama, Millah. Volume VI, Nomor 2, Tahun 2007.
Atyanto Dharoko. “Model Arahan Pemanfaatan Lahan Untuk Konservasi Sumber Daya Air di
Kabupaten Sleman”. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Volume 13 nomor 2 Juli
2006.
Aziz Ghufron dan Saharani, “Islam dan Konservasi Lingkungan”. Jurnal
Studi Agama Millah, Volume VI, Nomor 2 Tahun 2007.
Budi Wignyosukarta. “Aroma privatisasi Dalam UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”. Makalah
Seminar Bulanan ke-31 PUSTEP-UGM, 2 Agustus 2005. Lihat pada www.ekonomipascasila.org diakses pada 10 Oktober 2010
Hasbi Ash Shiddieqy. 1974. Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
Henry Heyneardi dan Savio Wermasubun.
2003. Dagang Air. Perihal Peran Bank
Dunia dalam Komersialisasi Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia.
Salatiga: Widya Sari Press.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru.
M. Sholahuddin. 2007. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Majalah Flamma yang diterbitkan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yogyakarta. Edisi 21 volume 10/Juli – Agustus 2004.
Marwan Batubara. “Menggugat
Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm.
diakses pada 10 Oktober 2010.
Munawar Khalil. “Privatisasi Privatisasi Sumber Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam”.
Jurnal Pemikiran Islam Afkaruna. Vol. 1. No. 1 Januari – Juni 2006.
P. Raja Siregar, dkk. 2004. Politik Air: Penguasaan Asing Melalui Utang.
Jakarta: Walhi
Qodri Azizy. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Umat. Meneropong Prosfek Berkembangnya
Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robert J. Kodoatie, dkk. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Andi.
Taqiyuddin An Nabhani. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektf Islam. Jakarta: Risalah Gusti.
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Vandhana Shiva. 2003. Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi.
Terj. Achmad Uzair. Yogyakarta: Insist Press
Walhi. “Kebutuhan Dasar Merupakan Hak Asasi Manusia”. Dalam http://www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/priv_air diakses pada 10 Oktober 2010.
[12] Ari
Handriatni, “Peran Islam Dalam
Penyelamatan Lingkungan Hidup”. Jurnal Studi Agama, Millah. Volume VI,
Nomor 2, Tahun 2007, hlm. 35
[13] Lihat
Aziz Ghufron dan Saharani, “Islam dan
Konservasi Lingkungan”. Jurnal Studi Agama Millah, Volume VI, Nomor 2 Tahun
2007, hlm. 60
[14] Atyanto
Dharoko. “Model Arahan Pemanfaatan Lahan
Untuk Konservasi Sumber Daya Air di Kabupaten Sleman”. Jurnal Manusia dan
Lingkungan. Volume 13 nomor 2 Juli 2006. hlm. 92
[15] Marwan Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan
Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm.
diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[16] Robert
J. Kodoatie, dkk. Pengelolaan Sumber Daya
Air dalam Otonomi Daerah. (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2001), hlm. 56-57
[17] Marwan Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan
Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm.
diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[18] Adnan
Harahap, dkk. Islam dan Lingkungan Hidup.
(Jakarta: Yayasan Swarna Bumi, 1987), hlm. 29
[19]
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu
Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm. 182
[20] Hal ini
misalnya Nampak pada kasus Umbul Wadon di Yogyakarta. Lihat majalah Flamma yang
diterbitkan oleh Institute for Research
and Empowerment (IRE) Yogyakarta. Edisi 21 volume 10/Juli – Agustus 2004,
hlm.14-23
[21] Lihat UU
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
[22] Budi
Wignyosukarta. “Aroma privatisasi Dalam
UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”. Makalah Seminar Bulanan ke-31
PUSTEP-UGM, 2 Agustus 2005. Lihat pada www.ekonomipascasila.org
diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[23]Henry
Heyneardhi dan Savio Wermasubun. Dagang
Air. Perihal Peran Bank Dunia dalam
Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia (Salatiga:
Widya Sari Press, 2004), hlm. ii
[24]
Budi Wignyosukarta. “Aroma Privatisasi
Dalam UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”. Makalah Seminar Bulanan
ke-31 PUSTEP-UGM, 2 Agustus 2005. Lihat pada www.ekonomipascasila.org diakses
pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[25] P. Raja
Siregar, dkk. Politik Air: Penguasaan
Asing Melalui Utang (Jakarta: Walhi, 2004), hlm. 46-47
[26] Ibid.
hlm. 109
[27] Ibid.
hlm. 104-105
[28] Ibid.
hlm. 94-96
[29] P. Raja
Siregar, dkk. Politik….hlm. 94-96 dan
lihat juga Vandana Shiva. Water…hlm. 59-80.
[30] Marwan
Batubara. “Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi”. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-denganmodus-privatisasi-2.htm.
diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[31] Hasbi
Ash Shiddieqy. Pengantar Fiqh Muamalah.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 171-175
[32] An Nabhani, Taqiyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektf Islam. (Jakarta:
Risalah Gusti, 1996), hlm. 71
[33] Hasbi
Ash Shiddieqy. Pengantar…. hlm. 173
[34] M.
Sholahuddin. Asas-Asas Ekonomi Islam.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 106
[35] Ibid.
hlm. 108
[36] M.
Sholahuddin. Asas…hlm. 120-121
[37] Ekonomi
Islam adalah fiqh muamalah, hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Qodri
Azizy. Lihat dalam Qodri Azizy. Membangun
Fondasi Ekonomi Umat. Meneropong Prosfek berkembangnya Ekonomi Islam.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 175-199
[38] Munawar
Khalil. “Privatisasi Privatisasi Sumber
Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam”. Jurnal Pemikiran Islam Afkaruna. Vol.
1. No. 1 Januari – Juni 2006,.hlm. 5
[39] Ibid
[40] Munawar
Khalil. Privatisasi…hlm. 12
[41] Lihat
Q.S. al-Waqi’ah (56) ayat 68-69. Lihat
juga Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi
Islam. Jilid 1. Terj. Soeroyo dan Nastangin (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995), hlm. 241
[42] Munawar
Khalil. Privatisasi….hlm. 6
[43]
Vandhana Shiva. Water Wars: Privatisasi,
Profit dan Polusi. Terj. Achmad Uzair (Yogyakarta: Insist Press, 2003), hlm.
1
[44]P. Raja
Siregar, dkk. Politik….hlm. 33
[45] Walhi. “Kebutuhan Dasar Merupakan Hak Asasi Manusia”.
Dalam http://www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/priv_air
diakses pada 10 Oktober 2010, pukul 20.00 WIB.
[46] Henry
Heyneardi dan Savio Wermasubun. Dagang
Air. Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi Privatisasi Layanan Atas Air
di Indonesia (Salatiga: Widya Sari Press, 2003), hlm.71
[47] Ibid.
hlm. 72
0 Comments:
Post a Comment