Selasa, 04 Januari 2011

Masjid dan Kemerosotan Peradaban Umat


Repormasi yang telah berjalan di Republik Indonesia lebih dari tiga belas tahun belum mampu membasmi “penyakit” korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Otonomi daerah sebagai buah reformasi banyak disinyalir memicu desentralisasi penyakit KKN dari pusat (Jakarta) ke daerah. Abdurrahman Wahid misalnya pernah menyatakan bahwa reformasi bukannya mengikis penyakit masyarakat seperti KKN, tapi justru menyuburkannya. Selain itu, tindak kriminal merajalela sementara aparat kemanan dan penegak hukum tidak mampu mengatasinya. Situasi demikian berlarut hingga pada satu titik masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah. Kini, obrolan disobidience people banyak kita dengarkan dari perbincangan masyarakat. Disisi lain, pemerintah kesulitan mengatasi kompleksitas permasalahan yang harus diselesaikan.

Berbagai pendapat telah dilontarkan para ahli dalam rangka mencari solusi keluar dari kompleksitas permasalahan bangsa. Umumnya mereka berpijak pada potensi dan asset yang dimiliki republik ini. Diantaranya yang telah diformulasikan dalam scenario “Pasca IMF Indonesia Bangkit” (Ramli dkk, 2000). Selain itu, bagi sebagaian umat muslim optimalisasi potensi masjid banyak terlupakan dalam perbincangan para ahli. Padahal pada situasi krisis demikian, optimalisasi segenap potensi dan asset bangsa benar-benar dibutuhkan. Padahal setidaknya jika kita kaji terdapat potensi masjid yang dapat dikembangkan. Pertama, masjid sebagai sarana pembina iman. Jika iman umat terpatri dalam sanu bari, maka tindakan kriminal maupun amoral akan terkurangi. Kedua, masjid sebagai sarana pembina masyarakat islami. Ketiga, masjid sebagai sarana pengokoh ukhuwah islamiyah. Keempat, masjid sebagai sarana perjuangan. Kelima, masjid sebagai sarana tarbiyah (pendidikan).

Disamping itu, secara empiris berbagai potensi yang dmiliki masjid tersebut tentulah tidak dapat terwujud apabila persyaratan lain belum terpenuhi. Misalnya pertama, berhubungan dengan fisik masjid, dalam hal ini sisi arsitektural dengan segala syarat ikutannya seperti kenyamanan, kebersihan, keindahan memainkan peranan penting. Kedua, berhubungan dengan aktivitas masjid dimana manajemen masjid dengan berbagai aspeknya seperti perencanaan, pengendaian, monitoring dan sebagainya, memainkan peranan penting. Ketiga, berhubungan dengan pengeloala masjid, dimana kualifikasi dan kompetensi pengelola masjid memegang peranan penting (Tuhulelley, 2004;4).

Dari sirah Nabi Muhammad SAW dapat diketahui bahwa gerakan nubuwwah yang dilakukan oleh Rasulullah dimulai dari masjid. Pertama nabi membangun masjid. Dari masjid itulah Nabi menggerakkan masyarakatnya menuju masyarakat yang adil sejahtera, lahir dan batin. Ketika membangun Madinah pun, Nabi memulainya dengan membangun masjid. Kebudayaan dan peradaban Islam Madinah, dikembangkan oleh Rasulullah SAW dari dalam masjid sebagai pusat kebudayaan. Masalah ekonomi, tertib keamanan, kebijakan politik dan militer, pendidikan, dinamika sosial dan keluarga, hukum dan implementasinya, dakwah islamiyah, balai harta dan warisan, social charity, diplomatic affair, korespondensi, penyelesaian hukum, penerangan dan pertanian, perkawinan, kematian dan kegiatan kemasyarakatan lainnya saat itu, dikendalikan dan dikembangkan dari dalam masjid (Saefudin, 1985;25).

Peran dan fungsi masjid mengalami pasang surut sepanjang sejarah Islam. Makin jauh dari zaman nabi, makin berkurang peran dan fungsinya. Lambat laun makin melemah, yang akhirnya hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Peran kebudayaan keluar dari engsel masjid ketika kehidupan Islam berkembang pesat. Peran politis lepas dari masjid ketika arus kehidupan umat berporos ke istana pada masa Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah dan Turki Usmani (Saefudin, 1985;26).

Ketika peran politik lepas, otomatis peran-peran lainnya ikut terangkut ke pusat kekuasaan seperti ekonomi, keamanan, sosial budaya dan lain-lain. Yang terakhir lepas dari engsel masjid adalah aspek pendidikan. Pendidikan tidak bersinggungan lagi dengan masjid ketika muncul bentuk madrasah nidzhamiyah di dunia Islam. Akhirnya, masjid hanya menangani ibadah dan dakwah islamiyah. Ketika dakwah dikelola secara professional dan diambil alih oleh organisasi keagamaan, fungsi dakwahpun lepas dari masjid. Masjid secara praktis hanya mengelola ibadah shalat lima waktu. Ketika umat semakin sibuk, fungsi masjid hanya sebagai penyelenggara shalat jum’at, yakni shalat mingguan dan shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha, itupun kalau shalat Ied-nya tidak dilakukan dilapangan.

Saya khawatir, tampaknya masjid-masjid kita disisi lain juga kini bukan lagi tempat umat bisa menambah wawasan keagamaannya dengan cerdas, tapi justru menjadi tempat untuk merawat “kesemenjanaan” atau mediokrisi. Dari hari ke hari, umat dijejali dengan demagogi, ceramah yang sarat dengan klise, repetisi materi yang membosankan, dan kadang caci-maki yang menyuburkan rasa benci.

Sedih rasanya melihat masjid kita seperti itu. Rupanya penyakit itu bukan hanya menjangkiti daerah kita, namun juga seluruh Indonesia. Saya jadi ingat Prof. Fathi Osman yang pernah berujar bahwa peradaban adalah suatu keseluruhan. Ketika suatu peradaban merosot, maka yang merosot bukan hanya salah satu aspek di dalamnya, tetapi juga merembet ke seluruh aspeknya. Kemerosotan peradaban Islam, jika dibaca melalui cara pandang Prof. Fathi itu, juga tampak hingga ke perkara sepele seperti khutbah Jumat.

Saya tidak bisa seluruhnya sepakat dengan kalangan yang menyebut dirinya “tradisionalis” seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa peradaban Barat sudah mengalami kebangkrutan secara spiritual, meski secara material tampak gemerlap dan cemerlang. Pandangan ini, saya kira, diikuti pula oleh banyak kalangan umat Islam. Saya juga tidak bisa sepakat dengan pandangan seperti ini dengan alasan sangat sederhana yakni bahwa bukankah kecemerlangan lahiriah menandakan suatu vitalitas rohaniah. Jika seseorang mengalami kebangkrutan secara rohani, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan tampak pula pada aspek-aspek jasmani?

Peradaban yang memproduksi ratusan pemenang Nobel dalam segala bidang setiap tahunnya, jelas menandakan bahwa peradaban itu sehat jasmaniah dan rohaniah. Peradaban yang menghasilkan ratusan film bermutu dan produk-produk hiburan bermutu lainnya setiap tahun (ada juga yang tidak bermutu), jelas manandakan bahwa peradaban itu subur dan maju, lahir dan batin. Peradaban yang menghasilkan ribuan judul buku bermutu setiap tahun (sebagaimana bisa dilihat melalui jurnal review buku seperti The New York Review of Books atau Times Literary Supplement), jelas menandakan bahwa ia segar bugar, luar-dalam.

Sebaliknya, peradaban yang di dalamnya terdapat khutbah-khutbah Jumat yang sarat demagogi dan caci-maki; apa yang bisa kita katakan selain ia sedang merosot?

Lihatlah ironi berikut ini. Siapa penulis muslim yang dapat mengarang biografi tentang nabi mereka sendiri sememikat biografi yang ditulis Karen Armstrong, seorang mantan biarawati, tentang Nabi Muhammad? Siapakah sarjana Muslim yang dapat melahirkan karya tentang sejarah sosial umat Islam (sejak masa klasik hingga modern) secemerlang yang ditulis Prof. Ira M. Lapidus, “The History of Islamic Societies”?

Dalam bidang-bidang yang menyangkut agama Islam pun, ”orang lain” bahkan dapat melahirkan karya yang lebih baik daripada umat Islam sendiri. Apakah peradaban Barat yang sakit secara rohaniah, seperti dikatakan kalangan tradisionalis itu, akan dapat menghasilkan karya-karya besar yang terus mengucur setiap tahun dalam setiap bidang ilmu pengetahuan?

Bagaimana peradaban yang sakit secara “spiritual” dan rohani bisa melahirkan karya-karya besar seperti “The City in History” karya Lewis Mumford, misalnya? Dengan Qur’an dan hadis, umat Islam merasa telah “unggul” di atas umat-umat lain. Namun sayang “kuunggulannya” itu membuatnya melupakan menangkap api spirit yang ada didalamnya.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id