Selasa, 04 Januari 2011

Generasi Yang Tidak Bisa Diharapkan

Dalam sebuah diskusi rutin mingguan yang kami adakan di Praya, tepatnya pada 02 Januari 2011, seorang rekan diskusi menanyakan pada saya, mengapa saya bersikap skeptis terhadap keadaan politik bangsa bahkan daerah yang sebenarnya sedikit tidak membutuhkan respon politik? Ia juga memperkuat argumennya dengan masuknya masa reformasi di Negara kita yang sedikit banyak telah mendatangkan angin segar bagi demokratisasi di Negara kita.

Saya tersenyum dan menjawab bahwa saya masih menunggu generasi pasca 70-80an dalam perpolitikan daerah dan nasional yang akan memimpin bangsa dan daerah kita. Rekan saya sedikit mengerutkan kening yang bagi saya ia membutuhkan argumen lebih jauh dari apa yang saya maksudkan.

Kemudian saya uraikan, bahwa bagaimana kita akan berani berharap pada generasi yang merupakan sekumpulan pasien rumah sakit jiwa, yang tidak normal akan membawa kita kepada keadaan yang lebih baik?

Pertimbangan saya begini.

Argumen ini diutarakan berdasarkan pertimbangan sejarah, karenanya tidak perlu dilihat sebagai sebuah pendekatan ilmiah yang kaku. Pertama, jika kita menaruh harapan berlebih pada generasi sebelum 70-80an maka kita akan mendapati beberapa babakan dalam sejarah bangsa kita yakni pada 1908 dimana “Indonesia” belum ada secara definitive, dalam tingkat gagasan masih kabur. Karena saat itu nasionalisme tengah bangkit, dengan demikian ia tidak bisa langsung diterjemahkan sebagai Negara, apatah lagi Indonesia.

Kedua, pada 1928, gagasan kebangsaan menghasilkan ungkapan yang ekspresif dan dramatis. Kata Indonesia lahir secara de facto dan dengan segera diterima oleh banyak kalangan. Namun kata Indonesia ini belum memiliki makna yang jelas sebagai satu kesatuan Negara. Pada 1930an kita ingat akan adanya polemik kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana dan Dr. Sutomo cs.

Ketiga, pada 1945 rumah Indonesia baru berhasil dibangun, disini juga sudah dirumuskan Pancasila dan UUD 1945. Dalam masa ini para tokoh (intelektual) masih disibukkan dengan berbagai persoalan eksistensial Negara, sehingga Indonesia acapkali disibukkan dengan persoalan ideology, mulai dari UUD RIS menggantikan UUD 1945 pada 1949, UUDS 1950 menggantikan UUD 1949, dan akhirnya kembali pada UUD 1945 dengan dekrit presiden pada 5 Juli 1959.

Berikutnya pada 1965 yang mencoba menjawab kekaburan dan kerancuan konsep dan praktek ideologis dari masa dua dekade sebelumnya. Disini satu interpretasi yang tunggal terhadap dasar nilai (ideologi) diberikan sebagai sarapan pagi masyarakat. Ditetapkannya p4 dan program sosialisainya, GBHN, fusi parpol, diterapkannya asas tunggal adalah sebagaian dari beberapa tindak lanjut usaha di atas selama hamper seperempat abad.

Ditambah lagi dengan masuknya arus kebudayaan Barat, dan Timur (Islam) telah menambah tawaran persoalan menjadi tidak lagi mudah untuk dipecahkan. Dan generasi yang lahir sebelumnya, yakni era 1960an (yang saat ini tengah memimpin) harus menghadapai semua situasi itu, dimana mereka terlihat repot menghadapinya. Yang keadaan tersebut mengakibatkan hal yang sebenarnya sangat berat untuk diutarakan

Pertama, generasi pasca 60an atau kaum muda era 80an ini telah mendapat deraan dan tekanan sosial-politik yang telah diuraikan sebelumnya dengan kondisi psikologis yang membuat mereka kesulitan dalam mengidentifikasi dan melihat realitas objektif disekitar mereka. Standar nilai yang tidak cukup memuaskan mereka yang hanya sampai pada tingkat permukaan dan menjadi formalitas yang sering kali digunakan untuk memberi legitimasi bagi pilihan-pilihan pembangunan yang tengah dijalankan saat ini.

Kedua, generasi yang tidak lagi memiliki konsep pembangunan secara konfrehensif, karena mereka tidak lagi dapat mengidentifikasi siapa diri, kelompok dan bangsanya secara membanggakan. Dimana formalitas dan artifisialitas seakan menjadi nada utama dalam pembentukan sikap dan perbuatan mereka.

Lalu bagaimanakah kita akan menaruh harapan sepenuhnya pada generasi demikian? Bagaimanakah mereka akan membawa negeri ini kehadapan dunia internasional yang berubah dalam hitungan detik dan berlari meninggalkan mereka, ke modernitas dan teknologi yang kian kencang? Dan bagaimana mereka akan mempertanggungjawabkan keadaan ini pada para pendiri bangsa ini?

Saat ini penulis mengidentifikasi mereka sebagai generasi yang tidak bisa diharapkan, generasi yang meninggalkan persoalan pada tataran eksistensial, ideology, dendam sejarah dan manajemen tata pemerintahan dengan KKN serta pengrusakan lingkungan alam yang tidak bisa dimaafkan.

Lalu pada gilirannya kita harus kembali menengok dan berharap pada generasi lain yang lahir pasca 70-80an. Mereka yang tidak lagi memiliki trauma-trauma sosial politik yang mengganggu jiwa dan pikirannya. Mereka adalah generasi yang lahir dari rahim Indonesia dalam situasi yang sarat dengan kehendak “baik”, perubahan, suasana progresif, hi-tech, globalisasi kebudayaan, interdependensi antar bangsa di dunia.

Namun demikian, bukan berarti generasi sebelumnya tidak dapat memberi peran yang berarti dengan berupaya keras menyiapkan dasar bagi kerja-kerja generasi berikutnya yang jauh lebih rumit dan banyak tantangannya. Saya rasa hanya dengan sikap rendah hati, mau mengintrospeksi diri, melaksanakan peran dan tugasnya, meningkatkan nilai-nilai religiusitas generasi sebelum 70-80an lah dengan baik maka peran dan kerja-kerja generasi pasca 70-80an akan melaksanakan tugasnya dengan baik.

Memang kondisi perpolitikan dinegara kita dan berbagai daerah di Indonesia telah membenarakan bagaimana politik pada akhirnya menjadi tujuan utama yang menenggelamkan hampir semua lapisan masyarakat. Sebuah kecendrungan yang membuat banyak professional lalai pada disiplinnya masing-masing dan “perubahan” Negara dan bangsa ini hanya diartikan melulu secara politik. Ironi ini membawa akibat berantai. Bukan saja kemudian kehidupan, budaya dan tujuan dunia politik diisi dan ditumbuhkan oleh para politisi yang kurang “matang” tapi juga banyak kepentingan atau lembaga diluar politik terseret dan dijadikan alat tujuan-tujuan politik tertentu.

Beberapa alasan diatas memang hanya sebagian, namun ia secara jelas dapat menunjukkan bahwa kita tidak harus banyak berharap pada generasi 60-an yang saat ini tengah memegang kendali politik. Namun solusi tak pernah didengar. Kata-kata, ide dan tulisan kini tinggal menjadi puing-puing yang tak penting! Makin juga tidak mempan. Mentalitas orang yang tidak bisa diharapkan memang demikian. Namun tidak mengapa jika kita juga tidak memperdulikan usulan berikut ini.

Pertama, dalam keadaan yang memang tidak bisa diharapkan ini, kita meski berani “mengganti seluruh lapisan pertama dengan lapisan kedua atau ketiga”. Artinya mereka yang sudah terlanjut tidak kita harapkan secara ikhlas untuk bergeser dan memberi ruang bagi lapisan berikutnya untuk menggantikan mereka, dalam semua bidang dan aspek, bukannya justru tambah memperburuk keadaan. Disini kita jangan terlalu banyak berharap juga pada upaya tambal sulam dari mereka yang sudah tidak dapat kita harapkan karena sudah terlampau membatu, kita berharap ada estafet total.

Kedua, konsekuensi atas point pertama adalah dimana elit politik baru “tidak lagi memperlakukan masa lalu dengan rasa dendam” hal ini membutuhkan pembuktian dan kepercayaan, agar masa lalu dapat dilihat sebagai pelajaran untuk menatap masa depan dengan lebih jernih. Semua meski dilakukan dengan proporsional.

Ketiga, untuk mendapatkan sinergi dari semua lapisan dan kekuatan “para professional disemua lapisan dan semua bidang kembali pada disiplin dan wilayahnya masing-masing” tentu saja dengan tidak menyia-nyiakan waktu tahunan yang dihabiskan oleh studi dan kerja mereka, selain itu juga dibutuhkan kontribusi intelektual dan professional semua bidang untuk menemukan esensi masalah dan jalan keluar dari situasi yang telah meresap kesemua dimensi.

Namun pada akhirnya, usulan ini tetaplah hanya sebuah tulisan, karena saya juga menyadari ia terlahir dari sebuah pertanyaan dan kondisi statis penulis. Penulis juga menyadari dari usulan itu bahwa tidak ada lapisan “pertama” akan merasa bersalah apalagi sampai berani mananggung konsekuensi. Namun tetaplah ia harus dinyatakan, setidaknya sebagai ajang pertanggungjawaban bahwa terdapat suatu masa dalam sejarah perpolitikan Negara dan daerah di Indonesia dimana para politikus kita begitu bebal dan bermuka tebal, memalukan sejarah, meninggalkan dosa yang tidak bisa dimaafkan dan generasi yang tidak bisa diharapkan!

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id