Selasa, 04 November 2008

Rasionalisasi Pendidikan Tanpa Mitos&Kekerasan Terhadap Anak

Tidak lagi dapat dibayangkan, bagaimana perasaan dan cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya, hingga untuk hal tersebut kita pernah mendengar sebuah pernyataan bahwa tiada hal yang dapat begitu menyentuh perasaan kita selaku manusia selain tangisan dan ratap tangis seorang ibu yang berharap dan mendoakan atau melihat apa yang dialami oleh anaknya.
Meski ungkapan itu harus diwujudkan dalam perilaku memukul atau mencubit sang buah hati. Dan kita juga menyadari bahwa tindakan tersebut tidak selalu terbukti menimbulkan akibat yang tidak baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan sang anak.
Disisi lain kita seakan terbangun dari keterbuaian akan realitas yang kita hadapi, bagaimana tidak jika akhir-akhir ini media massa dengan gencarnya terus memberitakan kasus gizi buruk yang secara riil melanda daerah ini. Penulis terkait dengan hal ini seakan bertanya dengan apa yang kita pahami, mitos yang kita lestarikan, atau laku perbuatan yang kita praktekkan.
Dimana korelasi sesungguhnya akan kasus yang dialami oleh anak-anak penderita gizi buruk dengan daerah yang terkenal dengan daerah lumbung padi, dengan system goranya, atau dengan seribu masjidnya?. Adakah apa yang kita tawarkan dengan beragam program yang telah dianggarkan hanya bersifat seremonial belaka, tanpa menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat, ataukah seperangkat pengetahuan yang diperuntukkan untuk tujuan menghegemoni, kebutuhan praktis dan jangka pendek atau malah untuk melanggengkan apa yang orang biasa sebut dengan kemapanan, status quo atau suatu keadaan untuk menciptakan kesenjangan dengan dalih kedermawanan.
Dalam kultur masyarakat patriakhi, begitu kuat masyarakat memitoskan bahwa jatah makanan seorang anak bergantung dari jatah (sisa) makanan yang telah dikonsumsi orang tuanya (terutama sang ayah). Adakah hal tersebut memiliki korelasi yang cukup signifikan? Atau adakah korelasi positif hal tersebut dengan harapan para pasangan muda yang menginginkan anak keturunan pertama mereka adalah seorang anak laki-laki, yang dapat menjawab semua keinginan sang ayah, semisal membantu membajak sawah, mengangkat gabah, dan beragam jenis pekerjaan lain yang tampaknya kurang tepat dikerjakan oleh anak perempuan, dalam pengertian harapan pasangan muda tersebut berbanding lurus dengan harapan dominan sang ayah terhadap perkembangan kemapanan ekonomi keluarga dengan lahirnya anak laki-laki dan berpengaruh terhadap perlakuan keluarga terhadap pertumbuhan dan perkembangan sang anak.
Dalam hal pendidikan anak, masyarakat masih memiliki pemahaman bahwa pendidikan anak laki-laki cenderung “berumur panjang” dibandingkan dengan anak perempuan, hal ini berakibat pada tingkat pemahaman sebagian masyarakat untuk tidak menyekolahkan anak perempuannya “terlalu tinggi” cukuplah sampai tingkat sekolah menengah saja, karena toh mereka akan ikut suami demikian kira-kira anggapan mereka. Pemahaman ini sadar atau tidak sedikitnya akan berpengaruh pada tingkat kedewasaan dan pola pikir, terlebih dalam keluarga, semisal beragam kasus kawin cerai yang dapat berakibat buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Kita juga dapat menyebutkan secara sederhana beragam faktor yang memiliki hubungan erat dengan keadaan tersebut semisal tingkat pendidikan, kesadaran akan kesehatan, pengetahuan akan gizi, keadaan ekonomi dan lainnya.
Susan Gaschke dalam bukunya Ende Der Kindbeit (dalam Said Tuhuleley, 2003) pernah menulis, bahwa anak-anak adalah “sebuah penemuan dari zaman pencerahan” dalam pengertian bahwa dunia anak-anak ‘baru’ ditemukan ketika manusia menemukan kedewasaan, kerasionalan dari belenggu mitos dan keirrasionalan.
Terkait dengan beragam kasus dan pertanyaan di atas, kita patut mempertanyakan apa benar kita telah “temukan”? karena bagaimanapun kita meski mengkaji dan menyadari bagaimana pola interaksi keseharian kita dalam keterkaitannya dengan anak. Mitos-mitos yang kita pelihara seperti beberapa hal tersebut di atas.
Dalam dunia pendidikan kita lebih cenderung untuk menerapkan pola pendidikan kearah “pendidikan keras” dari pada kearah pola “pendidikan lembut” dalam mengasuh dan mendidik anak, apalagi dalam keluarga kedua orang tua lebih cenderumg menerapkan “cinta keras” dari pada “cinta lembut” pada sang buah hati.
Seakan-akan tidak mau ketinggagalan, bahkan media massa pun hampir setiap waktu menyuguhkan kebuasan hawa nafsu manusia, orientasi berlebihan terhadap materi, ketidakempatian terhadap sesama dan berita-berita yang menyesakkan dan tidak dapat diterima dalam dunia homoluden sang anak.
Jika demikian keadaannya, lantas dimana sang anak akan dapat secara ideal merasakan proses tumbuh dan berkembangnya? Lingkungan keluargakah? dengan masih mengakarnya pengaruh-pengaruh mitos dan “hukum sang ayah” dan dengan pengaruh media elektronik dan beragam tekanan dan kebuasan nafsu sang pemilik modal. Atau dalam lingkungan sekolah? Dengan segala keterbatasannya, penerapan kurikulum pendidikan yang masih sangat diskriminatif (hasil survey yang dilakukan Diknas Provinsi NTB terhadap Kurikulum dan buku-buku pelajaran di Sekolah Dasar), strategi, metode dan alat pembelajaran yang dilakukan oleh para tenaga kependidikan, baik dalam sekolah umum, kejuruan maupun pondok pesantren.
Meski dengan beberapa catatan dan secara jujur kita juga menyadari bahwa pilihan akan jatuh pada sekolah, paling tidak untuk beberapa jam anak-anak akan dapat mengaktualisasikan diri untuk dapat membedakan mana alasan, pilihan dan suasana hidup yang ideal menurut penilaian dunianya dan mana yang tidak harus mereka terima.
Terkait dengan hal tersebut, tepatnya pada 23 September 2002 UU Perlindungan Anak telah disahkan oleh DPR dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 22 oktober 2002.
Setidaknya terdapat beberapa hal penting yang terkait dengan perlindungan terhadap anak, baik itu terkait dengan para orang tua, pemerintah, terlebih bagi para hakim yakni menyangkut perkosaan terhadap anak, sanksi pidana adalah 15 tahun menurut undang-undang ini, namun jika merujuk pada UU KUHP paling berkisar hanya 4 – 5 tahun.
Jika terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya dalam hal ini tetangga boleh melapor dan anak dapat menuntut. Hal ini misalnya tercantum dalam pasal 80 yang menyatakan bahwa siapapun yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak akan dikenai sangsi pidana maksimal 3 tahun 6 bulan penjara. Jika anak mengalami luka berat maka hukumannya dapat menjadi 5 tahun penjara dan jika sang anak sampai meninggal dunia maka hukumannya dapat menjadi 10 tahun penjara dan jika hal itu dilakukan oleh orang tua maka hukumannya akan ditambah 1/3 dari vonis hukuman.
Adalah John Gray (dalam Achmad Mudjakir, 2003) yang lebih dari 30 tahun berkecimpung dalam bidang psikologi anak mengungkapkan bahwa anak telah dilahirkan dengan sikap kooperatif bawaan sehingga perlu dipukul, dicubit atau dihukum untuk menciptakan sikap kooperatif (kerjasama). Namun sepertinya akan sangat tidak baik jika dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya seorang anak meski dipaksakan untuk mengikuti tanpa berfikir dan berasa atas apa yang diinginkan oleh orang tuanya.bukankah dalam pandangan hidup keberagamaan, kita juga menyadari bahwa anak saat dilahirkan adalah fitrah dan ia manjadi baik atau buruk adalah akibat pengaruh yang ditanamkan oleh kedua orang tuannya, lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang dan makanan yang ia konsumsi.
Dan jikalau kesalahan terjadi pada tingkah laku dan sikap hidup mereka bukankah alangkah baiknya jika kita kembali mengkaji dan memikirkan apa yang menjadi penyebab mereka melakukan hal itu. Bukankah kita juga menerima bahwa jika orang tua / guru kencing berdiri maka konsekuensinya kita akan menerima hal yang lebih yakni anak / murid akan berak berlari?
Banyak diantara para orang tua atau para pendidik yang menyadari betapa tidak baiknya bersikap atau mendidik dengan pola “pendidikan keras” atau “cinta keras” dan jika itu telah terlanjur terjadi maka tidak sedikit pula diantara mereka yang tidak tahu meski melakukan apa, akhirnya pilihan dengan pola “pendidikan keras” atau “cinta keras” tetap saja dilakukan baik itu dengan menjewer telinga, memukul telapak tangan dengan mistar, push up, dan bentuk hukuman fisik lainnya terlebih jika itu disertai dengan cacian dan ucapan-ucapan yang tidak pantas untuk mereka dengar dan terima.
Dalam aktivitas keseharian kita banyak belajar bahwa disaat kita melarang anak untuk melakukan suatu aktivitas yang kemudian kita cegah meski sebatas kata ‘jangan’ justru hal tersebut akan makin membuatnya berhasrat untuk melanjutkan perbuatan yang sama yang kita larang, namun kita juga melupakan bahwa perhatian mereka dapat beralih jika kita berusaha untuk mengalihkan perhatian mereka atau dengan suatu ungkapan dan mimic tanda ketidaksetujuan kita terhadap apa yang hendak mereka lakukan.
Demikian halnya dalam dunia pendidikan menghadapi prilaku anak didik misalnya yang suka bolos, membuat gaduh dalam kelas dan sikap yang tidak mengenakkan bagi pendidik yang keadaan tersebut memberi peluang bagi para pendidik untuk mendidik dengan “pendidikan keras” dengan maksud memberi dampak jera, namun disaat itu juga pernahkah terlintas dalam pikiran kita untuk sedikitnya meminimalisir atau menghilangkan pikiran tersebut dengan mencari beberapa alternative lain semisal dengan membuat kesepakatan dengan para wali kelas, peserta didik untuk tidak memberikan nilai untuk beberapa sikap yang tidak bisa dimaafkan.
Jika hal tersebut telah ia lakukan pernahkah kita menanamkan sikap untuk mau memaafkan, memperbaiki kesalahan, yang dengan itu mereka akan menyadari bahwa kesalahan dalam hidup bukanlah suatu akhir dari segalanya. Menyadari akan kekurangan dan kesulitan usaha tersebut penulis juga beranggapan bahwa jika hal tersebut tidak kita coba dan mulai sedini mungkin maka hal tersebut akan makin menyulitkan dan makin mengakar kuat, disamping itu hal terpenting yang dapat juga dilakukan yakni suatu bentuk pelayanan yang memadai, kerjasama dari berbagai pihak dan kesanggupan dari lingkungan terdekat untuk mendukung proses tersebut.
Akhirnya, mudah-mudahan kesuksesan hidup anak-anak kita kelak tidak akan terhambat hanya karena kenangan buruk bahwa ia makan dari sisa makanan orang tuanya yang menyebabkan ia menderita gizi buruk atau karena para guru dan orang tua mereka adalah orang-orang yang sering memukul telapak tangannya dengan mistar, sapu lidi, rotan dan ikat pinggang, atau malah karena pengaruh terik sinar matahari saat ia dihukum jemur!

1 Comment:

Herman said...

seharusnya demikia, jangan pernah ada kekerasan dalam dunia anak yang homoluden

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id