Pendidikan menurut bahasa kamusnya diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pembelajaran. Terdapat beberapa faktor yang dapat kita perhatikan dari definisi Kamus tersebut yakni adanya proses perubahan yang berlangsung sepanjang waktu, dalam kerangka disadari atau tidak dan sepanjang hayat, sebagai upaya perubahan sikap baik itu dari sisi kognitif, efektif terlebih psikomotorik, dan selanjutnya bertujuan dalam pengembangan potensi dan keahlian (life skill).
Pendidikan dengan beragam faktornya, dalam zaman seperti sekarang ini dimana perubahan dan pertentangan tata nilai sosial menjadi suatu hal yang harus ada bagi tiap orang yang ingin tetap eksis akan menjadi salah satu faktor utama untuk tetap berada didepan sebagai seorang pemimpin. Merajuk pada tujuan pendidikan nasional kita akan dihadapkan pada seabrek kata-kata ‘ideal’ agar dapat ‘menjadi’, diterapkan dan dilakukan. Dalam kajian kali ini penulis akan mencoba menguraikan beberapa komponen pendidikan yang erat kaitannya dengan tujuan pendidikan.
Komponen pertama, yakni merujuk pada tujuan pendidikan baik secara nasional maupun institusional maupun derivasi tujuan pendidikan itu sendiri, yang hal ini secara nasional tentu diarahkan untuk meningkatkan SDM yang paripurna, namun pada dataran institusional tujuan ini akan terurai sesuai kebutuhan (kepentingan) yang diinginkan oleh institusi yang bersangkutan yang tak bias lepas dari jenis pendidikan yang dikembangkan.
Komponen Kedua, yakni peserta didik, terkait dengannya yakni lingkungan sebagai Komponen ke tiga yang secara operasional akan mewujudkan diri sesuai bentuk dan tujuan yang telah digariskan, dan dalam perjalanan ‘kependidikannya’ ia akan menjadi seperti layaknya Teori Konvergensi yang oleh William S. diidentifikasi terpengaruh oleh faktor hetereditas dan lingkungan yang dominant diman ia tumbuh dan berkembang, ini salah satu penyebab penulis menggandengkan faktor kedua dan ketiga sebagai satu kesatuan. Dalam proses ini ia akan merumuskan sendiri tujuan pendidikan yang diinginkan berbekal kebebasan memilih, apakah selanjutnya akan tercipta pribadi yang utuh atau pribadi yang runtuh, menjadi manusia yang memanusiakan manusia atau hanya sekedar sebagai manusia dengan predikat yang disandangnya.
Karena dalam perjalanan sejarah tidak cukup banyak dasar yang dapat dijadikan pijakan dan manusia modern kebingungan mencari figure yang dapat diteladaninya, baik dalam pengertian intelek ataupun para tokoh keagamaan yang selama ini secara tradisional kita pahami, dalam kajian berikutnya penulin mencoba membuktikan keadaan selama ini berlangsung. Manusia dalam lingkungan pendidikannya telah banyak mengetahui paradigma yang berbeda dalam sisi aplikasinya, memang untuk hal ini ada ungkapan kecil dari kang ujang bahwa teori ialah teori dan praktek berjalan sendiri keduanya tak dapat disatukan dalam arti dijadikan sama, dan selanjutnya sejauh mana hal itu akan terus dan turut berperan, antara sisi idealitas dan realitas dalam merajut keutuhan manusia.
Bagaimana tidak dijadikan pada suatu massa anda dihadapkan pada suatu keadaan dimana hasil pendidikan hanya dijadikan seperti sebutir partikel asing yang tersesat disegumpulan virus AIDS tak tau apa, mengapa dan mesti bagaimana, dan ia mesti menerima dimana keadaan ia mesti terpontang-panting oleh tawaran-tawaran modernitas yang menggiurkan namun arti fisial yang tiap hari harus dihadapkan pada mimpi-mimpi indah, kunci mobil, kredit card, kursi menejer, lelaki tampan atau wanita cantik yakni oleh pendidikan.
Intelektual yang selama ini kita pahami dan dapat kita jadikan pengisi etalase kebudayaan yang setiap saat dapat diturunkan, dan telah dipoles dan diukir dengan sederet angka-angka kuantitatif dan kualitas yang dikuantitatifkan, ternyata sulit laku ditawarkan, ditoko-toko, hotel, kantor pemerintah dan yayasan-yayasan tanpa disertai dengan ikatan kekeluargaan, kerebat atau sederet amplop tebal yang menyertainya, Bapak simpan saja hasil ‘intelektual’ itu dirak lemari agar diselimuti oleh debu tebalnya waktu.
Pemberhalaan benda (materialisme), manusia, kekuasaan (kolonialisme), modal (kapitalisme), kenikmatan (hedonisme) turut memberi andil terciptanya dunia pendidikan yang semakin suram dan buram. Semua faktor tersebut tidak sulit untuk kita buktikan andilnya dan para pembaca yang budiman tentu lebih dapat merincinya, bagaimana diantara salah satu faktor tersebut dapat menghilangkan derajat kemanusiaan (pendidikan) manusia.
Dan ketika itulah gelombang yang membingungkan akan menimpa anda, skeptisme, sinisme, panatisme, pragmatisme, akan silih berganti menimpa sukma, dalam keadaan demikian hasil pendidikan akan secara perlahan membentuk diri apakah akan rapuh dan runtuh, disinal ingkat pengendalian dibutuhkan dan keimanan akan menjadi benteng yang ampuh, ataukah akan terbawa oleh ‘mereka’ seperti ungkapan Radhar Panca Dhana membahasakan diri selalu dengan bahasa plural, kami atau kita padahal ia menunjuk personal tunggal. Akibatnya alienasi (keterasingan diri), jiwa yang makin tak berdaya, wajah yang retak yang akan meng-elem dirinya dengan tumpukan koran, film, komik, narkoba, dan lainnya. Disinilah yang menurut Radhar akan terlahir manusia untuk kedua kalinya berselempang gelar dan toga yang tak faham apa maksud dan fungsinya, anak terlahir kembali oleh ironi pendidikan modern, diaman rahim para ibu akan menjerit kehilangan anaknya. Pendidikan yang telah dibungkus kenyataan lewat kata-kata reforik saintik, dimana manusia bermuka dua kalah dan menyerah pada otoritas berskala global.
Dalam pengertian keagamaan yang secara tradisional kita fahami kita dihadapkan pada kenyataan ‘meniru’ membabi buta tanpa terlebih dahulu melakukan study komparatif, bukankah agama yang kita fahami memeiliki kebenaran yang bersifat universal, untuk segala waktu dan ruang? Terkadang manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia hanya sebagai homo safient, mahluk economicus dan sederet diferensia yang membedakannya dengan mahluk lain, dan ironi predikat itu justru ia tanamkan untuk dapat ‘di atas’ yang lain, hal inilah yang oleh Hidajat disebut sebagai situasi terbelenggunya kaum agamawan oleh fikirannya mengenai agama, orang yang baik, saleh hanya dinilai dari sisi ritualnya saja, tanpa mau tahu tentang aktivitas yang terkait dengan kesalehan sosialnya, bukankah Nabi Muhammad SAW terkenal sebagai orang yang sukses dalam misi agama dan keduniawiannya? (lihat Michael Hart dan Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah). Untuk itulah Cak Nur dalam karyanya Islam Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa seseorang yang berhubungan langsung dengan Allah SWT secara pribadi, hendaknya ia mampu memanifestasikan hubungan Ilahinya itu dalam hubungan insane secara sosial dalam kata lain disini dibutuhkan saleh ritual dan juga saleh sosial. Karena disadari atau tidak hal ini secara perlahan berdampak pada dikotomi teoritik-praktek, ritual-sosial, selanjutnya sistem pendidikan akan berubah menjadi pengajaran dengan menciptakan pribadi yang palsu.
Komponen Keempat, yakni isi pendidikan, dalam dunia pendidikan disebut kurikulum, berisi seperangkat pelajaran tentang bidang keahlian khusus, tentunya berbeda antara satu institusi dengan isntitusi lainnya yang disesuikan dengan jenjang dan jenis pendidikan. Ketika keinginan untuk menerapkan format sistem dan jenis pendidikan tersendiri hal ini akan diikuti oleh perbedaan mendasar dari segi kurikulum, sering kita saksikan, bahkan menjadi suatu ‘adat kebiasaan’ bahwa institusi yang memiliki format tersendiri dipaksa mengikuti sistem (biasa terjadi pada institusi pendidikan swasta) kalender (pendidikan nasional) dengan alasan agama, penyertaan misalnya, ujian umum bersama atau ujian Negara yang operasionalnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Perlu disadari bahwa untuk hal-hal tertentu mereka memiliki standar dan criteria penilaian tersendiri, menyikapi hal ini seharusnya pemerintah memberikan hak yang sama bagi tiap institusi pendidikan untuk mengelola, mengembangkan, mengatur rumah tangganya sendiri secara penuh sehingga kemampuan dan kelebihan local benar-benar tergali secara optimal sebagaimana UU Pers Nasional yang memberikan kebebasan berekspresi.
Selain hal itu secara sfesifik untuk beberapa bidang study yang menyangkut moral/etika justru cenderung dihafal diluar kepala, mengakibatkan munculnya ilmu reforika yang menjulang yang tak ada hubungannya dengan aplikasi seharian, demikian pula dengan diterapkannya standar untuk DIKMEN yang hanya menonjolkan sisi kognifnya saja tanpa disertai aspek afektif dan psikomotorik.
Komponen ke lima yakni strategi, metode, alat dalam proses pendidikan yang digunakan oleh pendidik sebagai penentu, dalam penerapan dan penetapan strategi ini sering kali tidak sesuai dengan tehnik yang bebar-benar diharapkan, atau kerap hasil tiru, malah terlalu dominan menggunakan strategi yang disenangi hal ini berakibat pada hasil transformasi pengetahuan tidak oftimal, selanjutnya berpengaruh terhadap cara pandang pendidik terhadap siswa apakah diperlukan sebagai obyek, subyek atau keduanya.
Disadari atau tidak proses transformasi akan berpengaruh pada sejauh mana para peserta didik memahami dan melakukan apa yang diperoleh, dari proses ini akan lahir apakah Guru Kencing Berdiri dan Murid Kencing Berlari atau tidak. Dan penempatan posisi peserta didik dalam pandangan penerapan SBM (strategi belajar mengajar) juga dapat bermakna bagaimana guru belajar dari murid tanpa mematikan kreatifitasnya menjadi guru benar-benar dapat meningkatkan keterampilan profesinya inilah arti “Pengalaman Sebagai Guru Terbaik” dimana penerapan strategi tersebut dapat merealisasikannya sehingga dapat mengurangi ketergantungan apda training yang kurang perlu. Dan pendidik dapat menerapkan tidak menjaga jarak psikologis dengan peserta didik dalam arti penerapan SBM dapat mempengaruhi ketiga aspek ajar.
Komponen ke enam yakni pendidik, terdapat beberapa sudut pandang yang dapat dijadikan gambaran. Dalam menjalankan profesinya sebagai ujung tombak penentuberhasil tidaknya hasil pendidikan, pendidik tidak hanya dituntut memiliki kecakapan intelektual, emosional juga spiritual demikian Ary G. Pendidik kerap dijadikan pegangan oleh peserta didik, namun kerap pula dalam keseharian, pendidik sering menerapkan pola ‘perladangan berpindah’ ini terjadi disadari gaju guru memang sedikit untuk peran yang dimainkan, akibatnya berdampak pada semakin berkurangnya mutu pendidikan, yang pada akhirnya sistem pendidikan akan mengarah ke pengajaran.
Dampak dari keadaan ini peserta didik mengalami semacam bias pengetahuan tentang yang baik dan buruk, terjadi kembali kerancuan nilai seakan-akan jalan keluar makin buntu diakibatnkan sistem sosial yang makin terbuka lebar tanpa adanya penyaring yang bermain plus gaya hidup yang makin membuat air menetes, memabukkan, disinilah seharusnya peran guru lebih optimal, disesuikan dengan perkembangan dan kebutuhan modernitas dalam menjaga keutuhan pribadi dan sosial peserta didik, dengan memilah dan memilih tiap budaya yang masuk apak sesuai atau tidak.
Permaslahan akan semakin menumpuk jika para pendidik lebih cenderung pada keegoannya menerapkan sistem pendidikan menurut maunya yang ditujuk oleh gaya gelap sinstink dan agresi yang berasal dari ide serta harapan utopis yang berasal dari super ego, demikian Freud. Pada sisi ini, kesdaran diperlukan tentang bagaimana mengemban amanah, karena menurut Musa Kazhim orang modern pada umumnya merasakan ada didunia (lingkungan) tapi tidak merasakan sebagai bagiqn dari dunia itu, mencakup orang lain, kerabat, dan lingkungan.
Kepekaan terhadap amanah apa, bagaimana, siap, mestinya direstrukturisasi. Selanjutnya dari karikatur ini apa yang kita harapkan? Dari pendidikan yang kembali melahirkan mumi-mumi hidup, atau badut-badut yang haus kekuasaan, terbuai oleh pupuk dan insektisida buatan, sayur mayurlah kamu, demikian WS. Rendra dalam gubahan puisinya yang berjudul Megatruh, atau para konsumeris, hedonis yang ironis tidak dapat membedakan jenis kelaminnya, atau pada kenyataan ini kita akan mengiba dan menoleh kembali pada generasi yang trauma dengan deraan sosial politik, gangguan psikologis yang membuat mereka kesulitan melihat realitas obyektif disekelilingnya, pada generasi yang sakit, tak mampu menjelaskan siapa diri, kelompok atau bangsanya karena ras percaya diri telah lenyap, dan pada generasi yang problem eksistensi yang tidak terpecahkan?
Jika demikian keadaannya, Indonesia yang sumber daya alamnya kian makin menipis yang diakibatkan oleh eksploitasi besar-besar para kaum kapitalis dan sumber daya itu kini tak dapat diharapkan lagi sebagai penentu keberlangsungan kehidupan rakyat, dan akankah kini Sumber Daya Manusia yang diciptakan sebagai manusia Indonesia yang palsu yang tak mengerti makna nasionalisme para founding father akan makin menjadi pribadi yang palsu, runtuk bak mumi hidup dipersimpangan tanduk raksasa buas dan bermodal tanpa kesadaran, lalu jika demikian mengapa perbaikan sistem pendidikan selalu menemui gang buntu, yang hanya mendendangkan kekalutan, kekhawatiran dimassa depan, yang selalu terkotak dengan logika biner, makin tinggi pendidikan makin tinggi kepentingan, pintar mengelabui, ironis memang keadaan ini jutru tidak teramati oleh pelaku pendidik sendiri, boleh jadi diakibatkan karena”kematian nurani manusia” dan hal ini akan terus bergulir hingga …”Bila tiba saatnya, mereka berkata, alangkah besarnya penyesalan terhadap kelalaian kami tentang saat ini sambil (terus saja) memikul dosa-dosa di atas punggung mereka. Ingatlah teramat buruk apa yang mereka pikul itu” (Q.S. Al An’am : 31).
Pendidikan dengan beragam faktornya, dalam zaman seperti sekarang ini dimana perubahan dan pertentangan tata nilai sosial menjadi suatu hal yang harus ada bagi tiap orang yang ingin tetap eksis akan menjadi salah satu faktor utama untuk tetap berada didepan sebagai seorang pemimpin. Merajuk pada tujuan pendidikan nasional kita akan dihadapkan pada seabrek kata-kata ‘ideal’ agar dapat ‘menjadi’, diterapkan dan dilakukan. Dalam kajian kali ini penulis akan mencoba menguraikan beberapa komponen pendidikan yang erat kaitannya dengan tujuan pendidikan.
Komponen pertama, yakni merujuk pada tujuan pendidikan baik secara nasional maupun institusional maupun derivasi tujuan pendidikan itu sendiri, yang hal ini secara nasional tentu diarahkan untuk meningkatkan SDM yang paripurna, namun pada dataran institusional tujuan ini akan terurai sesuai kebutuhan (kepentingan) yang diinginkan oleh institusi yang bersangkutan yang tak bias lepas dari jenis pendidikan yang dikembangkan.
Komponen Kedua, yakni peserta didik, terkait dengannya yakni lingkungan sebagai Komponen ke tiga yang secara operasional akan mewujudkan diri sesuai bentuk dan tujuan yang telah digariskan, dan dalam perjalanan ‘kependidikannya’ ia akan menjadi seperti layaknya Teori Konvergensi yang oleh William S. diidentifikasi terpengaruh oleh faktor hetereditas dan lingkungan yang dominant diman ia tumbuh dan berkembang, ini salah satu penyebab penulis menggandengkan faktor kedua dan ketiga sebagai satu kesatuan. Dalam proses ini ia akan merumuskan sendiri tujuan pendidikan yang diinginkan berbekal kebebasan memilih, apakah selanjutnya akan tercipta pribadi yang utuh atau pribadi yang runtuh, menjadi manusia yang memanusiakan manusia atau hanya sekedar sebagai manusia dengan predikat yang disandangnya.
Karena dalam perjalanan sejarah tidak cukup banyak dasar yang dapat dijadikan pijakan dan manusia modern kebingungan mencari figure yang dapat diteladaninya, baik dalam pengertian intelek ataupun para tokoh keagamaan yang selama ini secara tradisional kita pahami, dalam kajian berikutnya penulin mencoba membuktikan keadaan selama ini berlangsung. Manusia dalam lingkungan pendidikannya telah banyak mengetahui paradigma yang berbeda dalam sisi aplikasinya, memang untuk hal ini ada ungkapan kecil dari kang ujang bahwa teori ialah teori dan praktek berjalan sendiri keduanya tak dapat disatukan dalam arti dijadikan sama, dan selanjutnya sejauh mana hal itu akan terus dan turut berperan, antara sisi idealitas dan realitas dalam merajut keutuhan manusia.
Bagaimana tidak dijadikan pada suatu massa anda dihadapkan pada suatu keadaan dimana hasil pendidikan hanya dijadikan seperti sebutir partikel asing yang tersesat disegumpulan virus AIDS tak tau apa, mengapa dan mesti bagaimana, dan ia mesti menerima dimana keadaan ia mesti terpontang-panting oleh tawaran-tawaran modernitas yang menggiurkan namun arti fisial yang tiap hari harus dihadapkan pada mimpi-mimpi indah, kunci mobil, kredit card, kursi menejer, lelaki tampan atau wanita cantik yakni oleh pendidikan.
Intelektual yang selama ini kita pahami dan dapat kita jadikan pengisi etalase kebudayaan yang setiap saat dapat diturunkan, dan telah dipoles dan diukir dengan sederet angka-angka kuantitatif dan kualitas yang dikuantitatifkan, ternyata sulit laku ditawarkan, ditoko-toko, hotel, kantor pemerintah dan yayasan-yayasan tanpa disertai dengan ikatan kekeluargaan, kerebat atau sederet amplop tebal yang menyertainya, Bapak simpan saja hasil ‘intelektual’ itu dirak lemari agar diselimuti oleh debu tebalnya waktu.
Pemberhalaan benda (materialisme), manusia, kekuasaan (kolonialisme), modal (kapitalisme), kenikmatan (hedonisme) turut memberi andil terciptanya dunia pendidikan yang semakin suram dan buram. Semua faktor tersebut tidak sulit untuk kita buktikan andilnya dan para pembaca yang budiman tentu lebih dapat merincinya, bagaimana diantara salah satu faktor tersebut dapat menghilangkan derajat kemanusiaan (pendidikan) manusia.
Dan ketika itulah gelombang yang membingungkan akan menimpa anda, skeptisme, sinisme, panatisme, pragmatisme, akan silih berganti menimpa sukma, dalam keadaan demikian hasil pendidikan akan secara perlahan membentuk diri apakah akan rapuh dan runtuh, disinal ingkat pengendalian dibutuhkan dan keimanan akan menjadi benteng yang ampuh, ataukah akan terbawa oleh ‘mereka’ seperti ungkapan Radhar Panca Dhana membahasakan diri selalu dengan bahasa plural, kami atau kita padahal ia menunjuk personal tunggal. Akibatnya alienasi (keterasingan diri), jiwa yang makin tak berdaya, wajah yang retak yang akan meng-elem dirinya dengan tumpukan koran, film, komik, narkoba, dan lainnya. Disinilah yang menurut Radhar akan terlahir manusia untuk kedua kalinya berselempang gelar dan toga yang tak faham apa maksud dan fungsinya, anak terlahir kembali oleh ironi pendidikan modern, diaman rahim para ibu akan menjerit kehilangan anaknya. Pendidikan yang telah dibungkus kenyataan lewat kata-kata reforik saintik, dimana manusia bermuka dua kalah dan menyerah pada otoritas berskala global.
Dalam pengertian keagamaan yang secara tradisional kita fahami kita dihadapkan pada kenyataan ‘meniru’ membabi buta tanpa terlebih dahulu melakukan study komparatif, bukankah agama yang kita fahami memeiliki kebenaran yang bersifat universal, untuk segala waktu dan ruang? Terkadang manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia hanya sebagai homo safient, mahluk economicus dan sederet diferensia yang membedakannya dengan mahluk lain, dan ironi predikat itu justru ia tanamkan untuk dapat ‘di atas’ yang lain, hal inilah yang oleh Hidajat disebut sebagai situasi terbelenggunya kaum agamawan oleh fikirannya mengenai agama, orang yang baik, saleh hanya dinilai dari sisi ritualnya saja, tanpa mau tahu tentang aktivitas yang terkait dengan kesalehan sosialnya, bukankah Nabi Muhammad SAW terkenal sebagai orang yang sukses dalam misi agama dan keduniawiannya? (lihat Michael Hart dan Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah). Untuk itulah Cak Nur dalam karyanya Islam Doktrin dan Peradaban menyatakan bahwa seseorang yang berhubungan langsung dengan Allah SWT secara pribadi, hendaknya ia mampu memanifestasikan hubungan Ilahinya itu dalam hubungan insane secara sosial dalam kata lain disini dibutuhkan saleh ritual dan juga saleh sosial. Karena disadari atau tidak hal ini secara perlahan berdampak pada dikotomi teoritik-praktek, ritual-sosial, selanjutnya sistem pendidikan akan berubah menjadi pengajaran dengan menciptakan pribadi yang palsu.
Komponen Keempat, yakni isi pendidikan, dalam dunia pendidikan disebut kurikulum, berisi seperangkat pelajaran tentang bidang keahlian khusus, tentunya berbeda antara satu institusi dengan isntitusi lainnya yang disesuikan dengan jenjang dan jenis pendidikan. Ketika keinginan untuk menerapkan format sistem dan jenis pendidikan tersendiri hal ini akan diikuti oleh perbedaan mendasar dari segi kurikulum, sering kita saksikan, bahkan menjadi suatu ‘adat kebiasaan’ bahwa institusi yang memiliki format tersendiri dipaksa mengikuti sistem (biasa terjadi pada institusi pendidikan swasta) kalender (pendidikan nasional) dengan alasan agama, penyertaan misalnya, ujian umum bersama atau ujian Negara yang operasionalnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Perlu disadari bahwa untuk hal-hal tertentu mereka memiliki standar dan criteria penilaian tersendiri, menyikapi hal ini seharusnya pemerintah memberikan hak yang sama bagi tiap institusi pendidikan untuk mengelola, mengembangkan, mengatur rumah tangganya sendiri secara penuh sehingga kemampuan dan kelebihan local benar-benar tergali secara optimal sebagaimana UU Pers Nasional yang memberikan kebebasan berekspresi.
Selain hal itu secara sfesifik untuk beberapa bidang study yang menyangkut moral/etika justru cenderung dihafal diluar kepala, mengakibatkan munculnya ilmu reforika yang menjulang yang tak ada hubungannya dengan aplikasi seharian, demikian pula dengan diterapkannya standar untuk DIKMEN yang hanya menonjolkan sisi kognifnya saja tanpa disertai aspek afektif dan psikomotorik.
Komponen ke lima yakni strategi, metode, alat dalam proses pendidikan yang digunakan oleh pendidik sebagai penentu, dalam penerapan dan penetapan strategi ini sering kali tidak sesuai dengan tehnik yang bebar-benar diharapkan, atau kerap hasil tiru, malah terlalu dominan menggunakan strategi yang disenangi hal ini berakibat pada hasil transformasi pengetahuan tidak oftimal, selanjutnya berpengaruh terhadap cara pandang pendidik terhadap siswa apakah diperlukan sebagai obyek, subyek atau keduanya.
Disadari atau tidak proses transformasi akan berpengaruh pada sejauh mana para peserta didik memahami dan melakukan apa yang diperoleh, dari proses ini akan lahir apakah Guru Kencing Berdiri dan Murid Kencing Berlari atau tidak. Dan penempatan posisi peserta didik dalam pandangan penerapan SBM (strategi belajar mengajar) juga dapat bermakna bagaimana guru belajar dari murid tanpa mematikan kreatifitasnya menjadi guru benar-benar dapat meningkatkan keterampilan profesinya inilah arti “Pengalaman Sebagai Guru Terbaik” dimana penerapan strategi tersebut dapat merealisasikannya sehingga dapat mengurangi ketergantungan apda training yang kurang perlu. Dan pendidik dapat menerapkan tidak menjaga jarak psikologis dengan peserta didik dalam arti penerapan SBM dapat mempengaruhi ketiga aspek ajar.
Komponen ke enam yakni pendidik, terdapat beberapa sudut pandang yang dapat dijadikan gambaran. Dalam menjalankan profesinya sebagai ujung tombak penentuberhasil tidaknya hasil pendidikan, pendidik tidak hanya dituntut memiliki kecakapan intelektual, emosional juga spiritual demikian Ary G. Pendidik kerap dijadikan pegangan oleh peserta didik, namun kerap pula dalam keseharian, pendidik sering menerapkan pola ‘perladangan berpindah’ ini terjadi disadari gaju guru memang sedikit untuk peran yang dimainkan, akibatnya berdampak pada semakin berkurangnya mutu pendidikan, yang pada akhirnya sistem pendidikan akan mengarah ke pengajaran.
Dampak dari keadaan ini peserta didik mengalami semacam bias pengetahuan tentang yang baik dan buruk, terjadi kembali kerancuan nilai seakan-akan jalan keluar makin buntu diakibatnkan sistem sosial yang makin terbuka lebar tanpa adanya penyaring yang bermain plus gaya hidup yang makin membuat air menetes, memabukkan, disinilah seharusnya peran guru lebih optimal, disesuikan dengan perkembangan dan kebutuhan modernitas dalam menjaga keutuhan pribadi dan sosial peserta didik, dengan memilah dan memilih tiap budaya yang masuk apak sesuai atau tidak.
Permaslahan akan semakin menumpuk jika para pendidik lebih cenderung pada keegoannya menerapkan sistem pendidikan menurut maunya yang ditujuk oleh gaya gelap sinstink dan agresi yang berasal dari ide serta harapan utopis yang berasal dari super ego, demikian Freud. Pada sisi ini, kesdaran diperlukan tentang bagaimana mengemban amanah, karena menurut Musa Kazhim orang modern pada umumnya merasakan ada didunia (lingkungan) tapi tidak merasakan sebagai bagiqn dari dunia itu, mencakup orang lain, kerabat, dan lingkungan.
Kepekaan terhadap amanah apa, bagaimana, siap, mestinya direstrukturisasi. Selanjutnya dari karikatur ini apa yang kita harapkan? Dari pendidikan yang kembali melahirkan mumi-mumi hidup, atau badut-badut yang haus kekuasaan, terbuai oleh pupuk dan insektisida buatan, sayur mayurlah kamu, demikian WS. Rendra dalam gubahan puisinya yang berjudul Megatruh, atau para konsumeris, hedonis yang ironis tidak dapat membedakan jenis kelaminnya, atau pada kenyataan ini kita akan mengiba dan menoleh kembali pada generasi yang trauma dengan deraan sosial politik, gangguan psikologis yang membuat mereka kesulitan melihat realitas obyektif disekelilingnya, pada generasi yang sakit, tak mampu menjelaskan siapa diri, kelompok atau bangsanya karena ras percaya diri telah lenyap, dan pada generasi yang problem eksistensi yang tidak terpecahkan?
Jika demikian keadaannya, Indonesia yang sumber daya alamnya kian makin menipis yang diakibatkan oleh eksploitasi besar-besar para kaum kapitalis dan sumber daya itu kini tak dapat diharapkan lagi sebagai penentu keberlangsungan kehidupan rakyat, dan akankah kini Sumber Daya Manusia yang diciptakan sebagai manusia Indonesia yang palsu yang tak mengerti makna nasionalisme para founding father akan makin menjadi pribadi yang palsu, runtuk bak mumi hidup dipersimpangan tanduk raksasa buas dan bermodal tanpa kesadaran, lalu jika demikian mengapa perbaikan sistem pendidikan selalu menemui gang buntu, yang hanya mendendangkan kekalutan, kekhawatiran dimassa depan, yang selalu terkotak dengan logika biner, makin tinggi pendidikan makin tinggi kepentingan, pintar mengelabui, ironis memang keadaan ini jutru tidak teramati oleh pelaku pendidik sendiri, boleh jadi diakibatkan karena”kematian nurani manusia” dan hal ini akan terus bergulir hingga …”Bila tiba saatnya, mereka berkata, alangkah besarnya penyesalan terhadap kelalaian kami tentang saat ini sambil (terus saja) memikul dosa-dosa di atas punggung mereka. Ingatlah teramat buruk apa yang mereka pikul itu” (Q.S. Al An’am : 31).
0 Comments:
Post a Comment