Selasa, 04 November 2008

Beda Pemahaman : Tidak Boleh?

Ketika cendikiawan Nurcholish Madjid muncul dengan gagasan islam yang inklusif, toleran dan menghormati pluralisme (keanekaragaman suku, agama, etnis dan lainnya) banyak reaksi yang muncul, baik yang mendukung terlebih menolak. Hal yang sama juga dirasakan oleh mantan menteri agama munawir Sadjali dengan pemahamannya tentang pembagian waris, pada kasus pengrajin batik diberbagai daerah baik purwokerto, solo ataupun yogyakarta. Demikian halnya dengan Abdurrahman Wahid, Masdar F. Mas’udi dengan pemahaman tentang konsep pajak dan zakatnya yang dilatarbelakangi oleh ide agama.Keadilan yang menjadikan kemaslahatan ummat sebagai acuan utama syariat islam. Dan diantara beragam pendapat yang menolak kita pun selaku warga negara dan ummat muslim dibuat geger, dari berbagai kecaman kita dengar, mulai dari yang halus hingga yang kasar dan mengkafirkan.
Tidak jauh dari hal di atas, kita juga menjadi saksi saat terjadi reaksi keras sebagian warga nahdliyin atas aksi penurunan Gus Dur dan dengan beramai-ramainya warga nahdliyin ke ibu kota Jakarta karena beranggapan bahwa Gus Dur tidak patut untuk diturunkan. Meskipun kita menyaksikan hal tersebut sebagai bentuk pergulatan dan strategi politik namun demikian ternyata tak luput juga dari jaring keagamaan, yang pada akhirnya pernyataan salah seorang kyai nahdliyin di Jawa Barat yang menyatakan bahwa Ketua MPR yang saat itu dijabat oleh Amin Rais sebagai seorang yang dianggap kafir dan halal darahnya.
Namun pada perkembangannya, toh bagi mereka yang menawarkan ‘ide-ide berani’ tersebut tetap konsisten dengan pemikiran dan gerakan yang dilakukannya, walau diakui atau tidak pemahaman mereka secara perlahan telah mulai diterima masyarakat yang hal ini tentunya juga dilatarbelakangi oleh beragam faktor, semisal tingkat kedewasaan masyarakat, tingkat pemikiran, tingkat kejenuhan masyarakat hingga tingkat pemikiran dan interasksi masyarakat dalam keseharian.
Jika memperhatikan hal tersebut dengan lebih seksama, kita tentu akan mempertanyakan pula bahwa mengapa setiap kali terdapat pemahaman baru diluar tradisi atau pemahaman yang biasa dipahami selama ini sering terasa mengusik masyarakat, sebagai suatu hal yang berteantangan dengan kebiasaan atau pemahaman atau tradisi nenek moyang sebelumnya, dan hal tersebut sering kali disikapi dengan rasa curiga, atau sikap dan sifat berlebihan lain yang kontra produktif. Menganggap hal tersebut sebagai suatu yang bertentangan atrau malah mengancam. Hal ini setidaknya juga turut diakibatkan oleh adanya pemahaman bahwa kemapanan budaya dan pemahaman yang telah sekian lama dari zaman nenek moyang dan diterima secara turun temurun, tidak boleh terusik, terlebih dalm hal praktek keagamaan yang terkait dengan hubungan antar sesama manusia sedapat mungkin untuk dipagari agar jangan atau tidak terjadi perubahan (penafsiran baru).
Menurut Ibnu Qoyyim yang dimaksud kebiasaan (al adaat) yang harus dihindari ialah sesuatu yang dilakukan secara terus menerus oleh seseorang hingga pada tahap seseorang itu mendudukannya seperti sebuah hukum yang harus dilaksanakan, bahkan tambahkan tambah Ibnu Qoyyim sesuatu kebiasaan itu bisa saja dianggap lebih besar dari hukum-hukum yang ma’ruf bagi mereka yakni sesuatu yang sesuai dengan kebiasaan mereka, sedangkan kemungkaran ialah apa yang berlawanan dengan kebiasaan mereka.
Dengan demikian, dari pendapat Ibnu Qoyyim di atas ketika ada cara atau pemahaman lain yang berbeda dengan apa yang telah ada dan berlaku umum, jika hal itu tidak diterima, atau bahkan dimusuhi. Dan pada kenyataannya hal tersebut banyak kita temukan dalam hubungan kemasyarakatan, baik oleh masyarakat secara umum, atau bagi mereka yang berkuasa atau ditokohkan.
Dalam situasi tumbuhnya penolakan, pemojokan, hujatan hingga sikap mengkafirkan hal ini sepintas lalu mungkin diakibatkan oleh sifat dan sikap keegoaan atau tingkat pemahaman, mengkaji tidak seluruh akar permasalahan, atau dapat pula berupa perwakilan dan biasanya juga dilakukan dengan spontan atau bisa juga perintah atasan hingga pada tahap tiadanya pertimbangan terhadap unsur lain semisal keluhuran, kemaslahatan dan ber amar ma’ruf nahi munkar. Lalu bagaimana jika pemahaman baru tersebut ternyata terkait erat dengan atau membawa kemaslahatan tadi? Demikian pula bagaimana jika hal tersebut dilihat dari penalaran logis yang luhur dan mulia yang dapat dipertanggungjawabkan, baik itu bertitik tolak dari teks keagamaan (Al Qur’an dan Al Hadist), kelurusan nalar atau situasi dan kondisi serta latar tempat dimana pemahaman baru tersebut akan coba untuk ditawarkan atau bahkan diberlakukan.
Demikianlah, hal tersebut akan sangat penting untuk dikaji dan ditindaklanjuti dengan bijak yakni tentang bagaimana menerima perbedaan, menyadari akan adanya perubahan baik hal itu diakui atau tidak. Jug tentang islam sebagai rahmatan lilalamin agama yang bersifat universal untuk setiap waktu dan tempat, ruang juga jarak, jug hidup juga merupakan perubahan dan penghayatan terhadap suatu siklus panjang untuk mewujudkan tujuan hidup manusia semisal terwujudnya maqasid syari’ah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Dalam pandangan masyarakat secara umum, tentang bagaimana mereka meski menyikapi tiap bentuk pemahaman baru yang terus disesuaikan dengan perubahan, terlebih jika hal tersebut menyngkut hukum keagamaan, akankah para tokoh keagamaan akan memberikan pilihan untuk hal-hal yang ummat tidak mudah untuk melaksanakannya dalam pengertian yang tidak biasa dan sangat tidak sesuai untuk mereka lakukan jika hal tersebut dilihat dan dikaji dalam persfektif keadilan agama, namun sebaliknya justru para tokoh yang akan mengamalkan hal-hal yang dengan mudah dapat tertunaikan kewajiban atasnya, jika demikian benarkah keadaan ini jika kita kembali merujuk pada sumber hukum? Dan akhirnya bagaimana konsekuensi dari apa yang mereka lakukan dari keadaan hidup yang terus mengalami perubahan.
Dalam konteks kekuasaan, dalam sejarah fir’aun juga dapat disarikan tentunya kisah yang terjadi antara Nabi Musa as dan Fir’aun bukan hanya terjadi melulu karena sikap Fir’aun namun tentunya juga diakibatkan oleh orng-orang disekelilingnya, bukankah penghormatan yang dilakukan terhadap atasan bukan berarti menegasikan nilai-nilai keluhuran, akal budi dan kelurusan nalar? Nsmun benar-benar disebabkan oleh amar ma’ruf nahi munkar dan pemimpin tersebut layak dan patut untuk dihormati, bukan melulu karena ia sebagai pemimin?
Zaman turunnya wahyu memang telah lama berakhir dengan adanya aturan-aturan yang telah disempurnakan, baik itu yang bersumber dari kedua sumber hukum atau yang melalui konsensus dan ijtihat para ahli keagamaan. Dan meski tiap perubahan telah ditentukan hukumnya, tidak berarti sang Pemberi Syariat bermaksud untuk memberatkan dan menyiksa hambanya, bukankah setiap cobaan dan ujian yang diberikan kepada hambanya sesuai dengan kadar kemampuan hamba dalam menerima cobaan itu? Apa lagi memberatkan seperti yang tertuang dalam Q.S. Al Hajj ayat 78. Terlebih kesulitan yang tertuang dalam Q.S. Al Baqarah ayat 185-186, atau hal senada juga terdapat dalam QS. An Nisa’ ayat 28 dan QS. Al A’raf ayat 157.
Rasul swa pun menegaskan dalam sabda beliau yang artinya "sesungguhnya agama ini mudah, kalau ada yang memperberat agama ia pasti kalah" (HR. Bukhari dalam Shohih Bukhari I hal. 16). Selain itu dalam kesempatan lain nabi saw juga menunjukkan bahwa "Nabi saw tidak pernah dihadapkan pada dua pilihan, kecuali Beliau memilih yang lebih mudah, selama yang dipilih itu bukan dosa" (Shohih Bukhari IV, Hal. 173).
Dalam hal mu’amalah misalnya menarik untuk disimak pendapat Syaei’I Antonio, dalam bukunya Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan bahwa …… Hal ini sangat jelas, sebab selama islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata, diingat pada saat kelahiran bayi, ijab qabul pernikahan, serta penguburan mayat. sementara dimarginalkan dari urusan mu’amalah, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi ekspor impor, maka umat islam telah mengubur islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri"
Demikianlah dalam pandangan syafi’I dibutuhkan suatu bentuk pemahaman baru untuk menafsirkan, menggali kembali islam agar dapat menjawab tantangan zaman, kebutuhan dan perubahan masyarakat, memang tiap bentuk pemahaman baru tidak akan pernah terlepas dari sikap menerima dan menolak, namun demikian Nabi saw sebelumnya juga telah mewanti-wanti bahwa perbedaan itu sebagai suatu hal yang positif. "perbedaan dikalangan ummatku adalah rahmat", sabda Beliau.
Konsekuensi dari sabda Nabi saw tersebut yakni menyiratkan bahwa agar umat islam dibebaskan dari kebodohan, dapat menerima islam sebagai rahmatan lilalamin denmgan sifat ajarannya yang universal. Dengan pemahaman baru inilah umat akan semakin berpengetahuan dan memahami bahwa terdapat beragam pendapat dan tiap pendapat tidak mutlak kebenarannya, bukankah hal senada juga dicontohkan oleh Imam Syafi’i. Dengan demikian jika terdapat perbedaan pendapat atau adanya pemahaman baru tidak lantas harus dimusuhi terlebih bersikap kontra produktif, atau malah mengkafirkan. Demikian pula dalam pengaplikasian pemahaman atau pendapat baru. Jika terbentur dengan realitas sosial masyarakat maka ia harus bisa merespon dan mengakomodasikan realitas sosial tersebut yakni dengan menginterpretasikan nash guna mendapatkan pemecahan yang tepat.
Dari uraian di atas tampak bahwa perbedaan pendapat merupakan rahmat dan pendapat mana yang harus diikuti hal itu merupakan kebebasan prerogatif tiap orang tentunya setelah melalui tahap pencarian, menemukan maksud dan jawaban yang tentunya dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan demikian ummat akan terbiasa dengan perbedaaan dan tidak melulu menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, sehingga dengan hal ini perbedaan yang tampak bukan lagi menjadifaktor penghambat dan melemahkan apalagi menceraiberaikan.
Disamping itu dengan perbedaan, ummat juga belajar untuk makin rasional, mendasari keputusan pada akal budi, kelurusan nalar dan nurani, sehingga umat tidak selalu harus disuapi. Bukannya main mutlak-mutlakan.
Akhirnya, upaya memahami keberagaman pemahaman akan membawa umat semakin arif dalam lebih memahami kebenaran dan universalitas islam. wallahua'lam bissawab

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id