Selasa, 04 November 2008

Mempertanyakan Hubungan Masyarakat, Pemda dan Investor

Inti pelajaran politik adalah terbentuknya suatu pemerintahan yang dibangun untuk melindungi, menyejahterakan warganya. Karenanya dibutuhkan beberapa prasyarat untuk dapat menjamin keberlangsungan keadaan tersebut yakni misalnya dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat merumuskan apa yang menjadi kebutuhan mereka, mengaspirasikan hingga mengusahakan untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau penentuan kebijakan.
Dan pada kenyataannya hal tersebut dapat terbentur jika lembaga-lembaga pemerintahan tidak dapat menjamin apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Hal ini berarti untuk menuju tatanan yang lebih baik dibutuhkan kesadaran untuk dapat saling menjamin dari msing-masing pihak, disamping juga menumbuhkan sikap dapat memberi (take) dan bukan hanya menerima (give) dari satu pihak dengan pihak lain.
Karena disadari atau tidak sikap tidak mau mengalah dari masing-masing pihak dapat menimbulkan ‘biaya sosial’ yang tidak sedikit dan bahwa keadaan tersebut dapat dilihat dari kaca mata mengedepankan tujuan jangka panjang dan lebih rasional.
Selanjutnya bagaimana melihat hubungan antara masyarakat, pemda dan investor dalam keterkaitannya dengan pembangunan di daerah dalam upaya mencapai target kemajuan dan pembangunan daerah? Persoalan apa yang ditimbulkan? Berikut penulis akan mencoba menguraikan dari persfektif rencana pembangunan yang mengemuka di Kabupaten Lombok Tengah yakni mega proyek pembangunan Bandara Internasional Lombok Baru.
Konflik selalu berawal dari sana, saat posisi tawar terhadap civil society mulai melemah. Penyebabnya dapat disebabkan karena keterbatasan sumber daya atau tersumbatnya komunikasi, dapat juga diakibatkan oleh perbedaan persepsi maupun berkembangnya rasa ketidakadilan atau ketidakpercayaan, terlebih jika tidak terselesaikannya permasalahan dimasa lalu dan hilangnya respek terhadap yang lain.
Pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) secara sederhana memiliki orientasi pada kemajuan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi, peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja hingga pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) disamping faktor prestisius lainnya jika hal tersebut kita bandingkan dengan daerah lain. Namun demikian mega proyek tersebut juga meninggalkan permasalahan seputar berkurangnya lahan pertanian, mencuatnya permasalahan seputar sistem ganti rugi, kekhawatiran terhadap ekses sarana dan prasarana, infrastruktur yang masih belum memadai, sumber daya manusia yang masih sangat rendah hingga beragam interpretasi kepentingan yang dilakukan daerah lain, baik antar kabupaten/kota, provinsi bahkan kepentingan pribadi, kelompok dengan beragam sudut pandang yang berbeda yang baik itu secara langsung atau tidak langsung turut menciptakan ketidakharmonisan hubungan antara masyarakat, pemda dan pihak investor.
Mega proyek tersebut juga mampu mempengaruhi harga tanah disekitar kawasan bandara, namun harus diakui juga bahwa pengurangan jumlah lahan pertanian di kabupaten ini akan cukup signifikan dan dengannya dapat mempengaruhi kebutuhan akan stock beras untuk tahun-tahun dimasa yang akan datang. Apapun motif yang melatarbelakangi akan tidak bijak juga jikalau kita melupakan insiden bentrokan yang terjadi pada tanggal 18 september 2005 meski hal tersebut dilihat dari refleksi sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah dengan harapan agar para pengambil kebijakan dapat lebih akomodatif dalam menyerap aspirasi dan mengakomodasikannya.
Ditataran advokasi kebijakan para politisi yang duduk dibangku legislatif seakan masih mengambil langkah "wait and see" perkembangan dan belum memainkan peranan penting dan berpihak pada konstituennya dengan melakukan advokasi. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa para politisi masih berjalan diatas logikanya sendiri dan kemungkinan akan merespons jika gejolak telak meledak.
Meski kita juga mengetahui bahwa pada tanggal 19 januari 2003 dalam koran lokal terbitan mataram, para anggota dewan kabupaten Lombok Tengah telah bersepakat untuk mendukung rencana pembangunan bandara dan terhadap para pihak yang menolak akan dilakukan kajian, namun demikian hingga tulisan ini ditulis masih belum ada hasil advokasi yang dilakukan oleh para anggota dewan.
Keadaan ini seakan-akan makin menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dengan bergulirnya otonomi daerah juga bukannya semakin memperkuat komitmen para pemegang kebijakan didaerah untuk lebih memperhatikan masyarakat dengan kata lain kurang atau tidak diikuti dengan penguatan piranti kebijakan dan strategi pembangunan. Terlebih jika itu erat kaitannya dengan kebijakan pembangunan sosial yang kemungkinan besar justru diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa dengan adanya desentralisasi beragam kepentingan justru makin ramai membanjiri daerah yang memiliki potensi. Dengan kekuatan modal dan sumber daya ekonomi lainnya akan dengan mudah menciptakan jaringan kekuasaan terlebih secara struktural.
Kita tidak lagi dapat membedakan secara jelas antara spekulan dan usahawan, politisi daan makelar. Dan yang jelas jaringan tersebut hanya dapat teridentifikasi dalam kerangka merebut kesadaran masyarakat secara sistematis, legal dan konspiratif.
Dalam sudut pandang investor, patokan tindakan akan bercorak utilitarianistik asas ‘sebesar-besarnya manfaat dan sekecil-kecilnya pengorbanan’ manfaat disini kerap merosot maknanya menjadi sekedar ‘konsumerisme – materialisme’ dan pengorbanan sering terpeleset menjadi penindasan terselubung ‘si kuat terhadap yang lemah’, ‘majikan terhadap buruh’, ‘penguasa terhadap yang dikuasai’. Produktivitas, efesiensi, dan pertumbuhan dipuja-puja sementara itu solidaritas, efektivitas dan kesetaraan ditiadakan.
Persoalan inilah yang justru mengemuka disaat para investor menanamkan komodifikasinya didaerah dengan jargon market friendly intervention dan good governance dengan membayang-bayangi pemda dan pengusaha daerah dengan konsep bahwa kemakmuran harus bisa dinyatakan dengan cara-cara apapun tanpa pertimbangan objek kultur yang harus termarginalkan.
Diantara beberapa kriteria investasi utama luar negeri yang dapat kita cermati yakni menurut Jhon D Sullivan –Direktur Eksecutive Center For International Private Enterprise (2002) - karakteristik pasar lokal, akses pasar, kekuatan buruh, resiko keuangan, pengembalian modal, proteksi terhadap hak-hak kekayaan intelektual, kebijakan perdagangan, peran pemerintah, nilai pajak dan insentif, stabilitas politik, kerangka kebijakan makro ekonomi dan pelayanan terhadap infrastruktur dan bantuan.
Sedangkan diantara beberapa faktor yang mempengaruhi putusan investasi kerja sama yakni meliputi faktor bisnis (ukuran besar pasar, potensi buruh dan lainnya), faktor wilayah kebijakan termasuk berbagai isu diseputar manajemen ekonomi, kebebasan pengaturan, distribusi keuangan dan lainnya. Dan terakhir berbagai isu pemerintahan semisal resiko politik, keamanan dan lainnya.
Kiranya atas beberapa analisa tersebut telah menunjukkan bahwa beberapa kriteria dan faktor tersebut telah dimiliki (untuk tidak menyebutkan seluruhnya) oleh kabupaten Lombok Tengah yang pada giliranya -mau tidak mau- program pembangunan tersebut akan menempatkan daerah ini sebagai salah satu bentuk imlementasi kekuasaan korporasi yang langsung menghantam jantung sumber daya ekonomi dan kognisi kultural masyarakat.
Dan akan lebih bijak jikalau dengan arif kita dapat belajar dari pengalaman bahwa jika suatu negra menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka hal itu bukan berarti pemerintah harus ‘cuci tangan’ dalam penanganan berbagai masalah pembangunan sosial di daerah ini, bukankah sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang sedangkan pembangunan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata. Karena kita juga menyadari bahwa kaum neoliberal selalu mengajukan pembatasan peran pemerintah dalam ekonomi, distribusi harga murah dalam pasar dan strategi produksi berorientasi pasar, demikian Balassa (1986).
Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis akan tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah terutama terhadap anggota yang memerlukan perlindungan khusus seperti anak balita, anak cacat atau para lansia (Edi Suharto, 2005). Disamping perlindungan terhadap pendidikan dan kesehatan tentunya.
Akhirnya kita dapat merangkum kembali contoh David Morell ketika menganalisis cleintelism negara dan kelompok bisnis di Tailand tahun 1975 David mengatakan bahwa tanpa uang tidak ada jaringan, tanpa jaringan tidak ada kekuasaan, dan tanpa kekuasaan tidak ada uang (M. Faishal, 2005). Jika demikian haruskah masyarakat kembali menanyakan hubungannya dengan pemda dan investor dalam keterkaitannya dengan pembangunan bandara internasional lombok baru. Bagaimana pemda? Bagaimana investor?

1 Comment:

lombok paradise said...

saya adalah seorang usaha property yang menyalurkan investasi kepada orang luar (investmen),banyak tamu yang kecewa akan pemerintahan kita di lombok ini, salah satu temen saya berasal dari australia mencoba investasi membuat dock kapal di mana alat2 nya ada yang salah satunya tidak bisa masuk indonesia. karena beacukai menahannya. padahal jelas2 itu ada dokument dan sertifikat ijin untuk investasi di lombok dimana kiata sudah berusaha maksimal untuk kemajuan lombok dan peluang lapangan kerja bagi masyarakat.bagaimana ini? kita sudah bayar pajak dll! tapi pemda dan propinsi hanya diam.

http://www.lombok-paradise-property.com/

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id