Selasa, 04 November 2008

Agama Orang Berakal

Predikat yang memisahkan manusia dari hewan adalah karena akalnya, sedangkan predikat inhern yang memisahkan manusia dengan benda lainnya (cair, padat dan gas) adalah karena keberkembangannya, selanjutnya diferensia yang memisahkan manusia dengan tumbuhan adalah karena keinginannya.
Tentang akal, misalnya sekarang kita berandai, dan kita juga mengetahui bahwa orang yang paling dihormati di negeri ini ialah Bapak Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, namun kemudian kita bayangkan jika tiba-tiba orang yang kita hormati itu gila, dia keluar rumah dan merobek-robek pakaiannya sambil berteriak tidak karuan. Bajunya kusut, kumal, banyak daki, rambutnya panjang, badannya hitam legam, berlumpur, bau sekali sambil berjalan ia cengingikan, senyam-senyum tertawa tak karuan. Jika demikian keadaannya kita lalu bertanya apa iya ada pengawal yang mau mengawalnya? Tidak kan? Memang, ia tidak perlu dikawal atau dijaga mengapa? Karena predikat inhern yang saat itu ia miliki tak ubahnya dengan seekor kucing dijalanan. Bukankah kita juga mengetahui bahwa ada juga sebagian ahli yang mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir?. Dengan hilangnya akal manusia, secara otomatis hilang pula harga dirinya sebagai manusia.
Dengan demikian kewajiban (agama) terlepas darinya. Karena Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa bagi mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar) mereka yang tidur (hingga bangun) anak kecil hingga ia baligh kewajiban (agama) terhapus darinya.
Demikian halnya jika anda atau saya tidak lagi menggunakan akal dengan baik, maka konsekuensinya maka anda atau saya hanya akan mengikuti kehendak emosi saja, karena bukankah kita menyadari bahwa akal dan hawa nafsu itu tidak pernah akur apalagi seiring sejalan, seiya sekata.
Jangan juga salahkan orang jika anda dianggap akalnya kurang atau tidak sempurna, karena anda tidak sanggup mengendlikan emosi, orang tersebut bernggapan demikian karena melihat ketidakstabilan emosi anda, marah, tertawa terbahak-bahak tanp sebab. Dalam konteks pekerjaan relevan apa yang disampaikan oleh Rahmat Abdullah (2004) bahwa jangan beri pekerjaan kepada orang yang usia semangatnya sudah larut senja atau kearifannya terlalu pagi, karena kerja atau amanah tersebut harus dihayati dengan semangat pemuda dalam bingkai kearifan orang tua dan tidak sebaliknya.
Mengapa anda harus marah-marah, tertawa keras-keras yang tidak jelas pokok pangkal penyebabnya? Mengapa anda harus nongkrong dan minum-minum dipinggir jalan tanpa memberi hak jalan bagi pengguna jalan? Terlebih jika ia dilakukan sambil berjalan, tertawa terbahak-bahak, apakah anda tidak malu? Mengapa pula anda harus merampas hak-hak orang lain yang bukan hak anda? Tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan lainnya dan lainnya yang hal tersebut tidak patut dilakukan oleh orang yang berakal.
Akal menimbulkan dan menentukan segalanya bagi manusia, karena akallah maka rasa malu itu timbul. Dengan akal manusia dapat merasa malu dan dapat menentukan alur pilihan hidupnya dalam berprilku, bertindak, berfikir dan berbuat terlebih beragama, tidak memiliki rasa tanggung jawab, menganggap waktu sebagai milik pribadi, tidak percaya terhadap kehidupan setelah mati atau kebangkitan kembali karena itulah mereka berbuat sekehendak hatinya. Mengapa rasa malu tidak dibudayakan saja?
Pilihan orang terhadap agama akan bergantung akalnya. Apakah anda berkehendak untuk meluangkan waktu sejenak untuk belajar perbandingan atau ajaran agama?apakah ia sesuai dengan fitrah dan akal manusia? Dengan menggunakan akal itulah anda juga dapat menemukan kebenaran.
Ada juga memang yang berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa digunakan secara total untuk meyakini atau mempelajari suatu ajaran atau keyakinan dalam agama, karena akal itu terbatas. Keterbatasan ini karena mereka beranggapan tentang adanya wilayah otoritas tertentu yang tidak boleh bahkan tidak dapat ditembus oleh akal, tentang takdir dan pelogikaan dzat tuhan misalnya, atau hal-hal gaib yang tidak bisa diungkap secara empirik oleh panca indra manusia.
Takdir misalnya, ketentuan tentang takdir ada dalam pengetahuan tuhan, ini adalah rukun keenam dalam islam, baik yang muhammadiyah, NU atau Persis, yang setuju Khomaini atau tidak semua mempercayai dan meyakininya. Untuk pelogikaan dzat tuhan tidak akan pernah bisa dilakukan karena akal kita tidak akan pernah dpt menjangkaunya, terlebih logika tuhan berbeda dengan logika manusia, tuhan tidak terbtas dan manusia terbatas, lalu apakah sama antara yang menciptakan dengan yang diciptakan? Atau malah sengaja dibuat rumit oleh tuhan, agar kita dituntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat tuhan. Walaupun itu tidak akan pernah tercapai yang penting upayanya, usahanya bukan main mutlak-mutlakan.
Yang mengatakan bahwa ada semacam ketakutan-ketakutan ketika menggunakan akal karena kekuatan akal tidak bisa dipertanggungjawabkan ketika ia berbenturan dengan kepercayaan kolektif masyarakat juga ada. Mereka beranggapan bahwa masyarakat kita sekarang ini lebih cenderung membahasakan diri dengan bahasa plural kami atau kita dari pada dengan bahasa tunggal aku atau saya. Seakan-akan legitimasi atas kebenaran telah didapatkan dengan pengakuan atas pendapat kolektif, benarkah demikian?
Untuk hal ini Ibnu Qoyyim (2002) pernah memperingatkan bahwa yang dimaksud kebiasaan (al adaat) yang harus dihindari ialah sesuatu yang dilakukan dengan terus menerus oleh seseorang hingga pada tahap seseorang mendudukkannya seperti hukum yang harus dilaksanakan. Bahkan tambah Ibnu Qoyyim sesuatu kebiasaan bisa saja dianggap lebih besar dari hukum-hukum yang ma’ruf bagi mereka ialah sesuatu yang sesuai dengan kebiasaan mereka, sedangkan kemungkaran adalah apa yang berlawanan dengan kekuasaan atau bahkan pemahaman mereka.
Pendapat yang menyatakan bahwa selama ini ajaran agama sering didapat melalui proses indoktrinisasi, sehingga tidak ada upaya untuk berfikir dan merenung juga berkembang. Hal inilah yang dalam realita menimbulkan kontradiksi dalam pemahaman akan kitab suci misalnya, karenanya dibutuhkan rasionalisasi dalam beragama.
Selanjutnya faktor yang tampaknya sangat dominan dalam pilihan terhadap agama dapat secara gamblang kita sebutkan yakni keluarga sebagai sutu entitas pertama yang mengajarkan tentang bagaimana meyakini sebuah agama dan hal tersebut juga dijelaskan dalam kitab suci. Namun demikian terkadang kita juga menyadari bahwa ada semacam ketakutan atau bahkan penolakan oleh sebagian masyarakat terhadap kebenaran yang kerap ditemuinya. Karena itulah akal dan agama memiliki korelasi yang sangat signifikan. Tiada agama bagi orang yang tak berakal, bukankah Nabi SAW menginformasikan demikian?
Lalu bagaimana dengan orang yang taklid buta yang tidak atau kurang menggunakan akalnya atau memang akalnya tidak memiliki kualitas untuk itu? Bukankah dalam bertaklid minimal orang harus mengetahui dan dapat membuktikan bahwa seseorang itu memang layak dan patut untuk diikuti?
Dalam kitab suci juga disebutkan bahwa orang yang berakal adalah orang yang menggunakan mata, telinga dan hatinya yang dikendalikan oleh akal, itulah sebabnya jika mata tidak dikendalikan ia dapat bertahan lebih lama untuk menikmati hal-hal yang kurang bahkan tidak bermnfaat, jika kita bandingkan dengan perbuatan yang mengandung manfaat dan bernuansa ibadah dan taqwa kepada tuhan, terlebih telinga dan hati, bukankah hati dengan jelas digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai gambaran baik dan buruknya agama (akhlak) seorang muslim yang tentunya akan berbanding lurus dengan amal perbuatannya.
Akhir kata, kita tidak dapat memungkiri tentang peran akal dalam menumbuhkembangkan kesadaran diri dalam bergama dan tentunya tidak hanya dari hasil doktrin semata. Bukankah penghormatan manusia terhadap manusia yang lain berbanding lurus dengan kadar akal yang sempurna?

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id