Karena Aku Juga Seorang Pemimpi
Malam itu selesai sholat isya dipondok seorang kerabat, di Desa Jorong dekat kampung Bermi Pancor Lombok Timur 1977, semangat seorang santri tergugah demikian kerasnya. Sesaat setelah mendengar kabar wafatnya seorang guru, Mujahid Islam, pendiri NW, NWDI, NBDI dan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi dialah TGKH M. Zaenuddin Abdul Majid.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, sehabis sholat isya biasanya semua santri beramai-ramai untuk mengaji, mengisi aktivitas sebelum istirahat malam, seperti mengaji Al Qur’an, kitab kuning, wiridan atau kegiatan lainnya yang lazim dilakukan dilingkungan pondok pesanteren. Namun tidak untuk malam ini, sayup-sayup suara saling memberitakan, atau seolah memberitahukan dengan keraguan dan ketidakpercayaan bahwa sang ‘Ninik’ telah meninggalkan kita, para santri dimalam itu.
Larut dalam suasana dan keadaan, atau entah memang keadaan alam yang seakan-akan turut merasakan dan turut mengabarkan bahwa malam itu seorang mujahid Islam telah tiada dan kembali kesisi Rabbnya. Taman langit yang awalnya begitu terang benderang oleh gemerlap gemintang secara perlahan menjadi hitam dan makin pekat dalam kegelapan, berderet awan hitam yang makin menggumpal, berarak menyaksikan keadaan tersebut, seolah-oleah hendak mengatakan bahwa kami turut berduka, kami juga merasa sedih dan juga kehilangan. Penulis tidak hendak membawa pembaca kealam hyperial untuk menggambarkan seorang mujahid namun sekedar mendeskripsikan keadaan pada saat itu, dan bahkan yang mungkin lebih dari keadaan yang penulis gambarkan dalam tulisan ini.
Tanpa memikirkan hal lain aku dan seorang teman yang juga santri berlalu dari kamar untuk bergegas membuktikan apakah berita yang kami dengar benar adanya, apakah benar Allah SWT telah memanggil mahluk yang dicintainya itu. Tidak lebih satu kilometer aku berjalan, rintihan tangis dan lautan jilbab dengan pakaian putih-putih yang berada disekelilingku seakan turut mengatakan bahwa berita itu benar. Inilah kenyataan. Tidak itu saja jalan trotoar yang lebarnya lebih kurang dua meter juga ikut penuh sesak oleh hiruk pikuk keadaan malam itu.
Sesaat setelah sampai di Musholla Al Abror, dimana setiap harinya ninik memberikan pengajian, barulah terdengar kembali olehku dari seorang syekh yang ditugaskan untuk memberi informasi kepada para santri bahwa ninik telah menghadap Rabbnya. Detak jantungku seakan berhenti berdetak, telah tergambar dalam benakku kemungkinan yang akan terjadi, keadaan para santri, keadaan ummat ini yang telah ditinggal oleh seorang mujahid Islam.
Bagaimana tidak jika kita membuka kembali lembar sejarah tokoh kharismatik ini yang dulunya sering disalahfahami oleh berbagai kalangan masyarakat saat itu dikarenakan gerakan keagamaan yang dibawanya. Tokoh ini dikenal sebagai formalistic pada tataran konsep dan tranformatif pada tataran aplikasi. Inilah salah satu aspek pemikiran yang selalu ia gagas dalam setiap konsep-konsep pemikiran. Misalnya dalam konsep politik Beliau dengan tegas menyatakan bahwa Al Qur’an dan Al Hadist adalah landasan utama bagi aktivitas politik, namun jika dalam pengaplikasiannya terbenturdengan realitas sosial masyarakat maka politik harus bias merespon dan mengakomodasikan realitas sosial tersebut yakni dengan menginterpretasikan nash guna mendapatkan pemecahan yang teapt. Fleksibilitas Beliau tidak hanya terbatas konsep atau teori akan tetapi realitas gerakan politik dalam partai Beliau menunjukkan hal tersebut.
Namun sayangnya oleh sebagian kalangan masyarakat Beliau dianggap bukan golongan mereka, berbagai macam tuduhan dan fitnah yang Beliau terima. Diantaranya yakni Beliau dituduh sebagai pengikut Khawarij, Mu’tazilah, bahkan Beliau dituduh tidak bermazhab dan menyebarkan ajaran sesat serta digembar-gemborkan sebagai pengikut Wahabi. Begitulah kira-kira berbagai jalan fikiran yang menentang Beliau.
Dan akhirnya sejarah jualah yang akan membuktikan bahwa sesungguhnya Beliau adalah merupakan salah satu contoh figure muslim tulen. Dalam impian dan perjuangannya untuk lebih mencerdaskan ummat banyak hambatan dan tantangan yang meski Beliau hadapi misalnya pada saat Beliau dihadapkan pada pilihan yakni menjadi imam dan khatib atau meski memilih membangun dan mendirikan sekolah (madrasah). Yang pada akhirnya Beliau menetapkan pilihan untuk mendirikan sekolah dengan konsekuensi berhenti menjadi imam dan khatib. Hal ini tentunya dilandasi oleh alas an Beliau yang menyatakan bahwa menjadi imam dan khatib hukumnya fardhu kifayah karena masih banyak orang yang bias melakukannya, sedangkan mendirikan madrasah hukumnya fardhu ‘ain karena tidak ada yang mau dan mampu melakukannya.
Kini, dari sejarah bangsa-bangsa dunia kita dapat belajar, bahwa naik dan tenggelamnya suatu peradaban banyak ditentukan oleh pendidikan suatu bangsa, bukankah untuk ini Baginda Rasulullah SAW juga mewajibkan kita untuk berpendidikan, menuntut ilmu, meski kita harus ke negeri Cina, dari lahir hingga keliang lahat.
Dan jika Zanuddin dapat bermimpi besar dengan menghadapi masyarakatnya untuk mewujudkan impian terssbut, lalu mengapakah generasi kita tidak mampu bermimpi besar seperti itu? Ataukah hal itu diakibatkan oleh kepulan asap didapur yang tidak menyala sehari, ataukah biaya pendidikan yang tidak semurah harga cabe satu kilo dipasar Mandalike. Itu juga yang merupakan pertanyaan sekaligus impian yang aku belum bias jawab dan uraikan satu per satu dengan panjang lebar. Karena mungkin diakibatkan oleh keinginan kita untuk memiliki ke-pribadi-an dalam hidup atau karena tuntutan dari keluarga yang menghendaki kita, kamu dan aku untuk kaya dulu? Untuk menjadi bansa yang mampu berhitung berapa jumlah mobil yang terpakir di gedung dewan, berpa jumlah lokalisasi yang telah dibuat dan berapa jumlah taman kota yang telah dipugar, atau berapa ratus kepala keluarga yang telah digusur secara paksa tanpa diberikan hak mereka?
Atau mungkin kita masih puas dengan banyaknya kuantitatif yang telah kita peroleh secara sektoral yang tetap hanya sepotong. Mungkin sekali. Atau kita terlena oleh kemajuan makin banyaknya para selebritis yang tampak Islami memasuki awal Ramadhan, mungkin saja hal-hal itu bukan merupakan salah satu hal penting dan bukan pula prioritas.
Mengapa kita tidak menjadi seorang pemimpi, tidak bercita-cita tinggi, atau mungkinkah itu diakibatkan oleh cacing pita dalam tubuh kita masih belum gemuk. Mengapa kita bercita-cita bermimpi seperti polosnya bocah Palestina yang memimpikan kemerdekaan, atau tuntutan rakyat Teluk Buyat memimpikan dan menuntut keadilan, bahkan mengapa tidak bak impian burung garuda yang hendak mencerdaskan anak-anaknya. Ya melalui pendidikan.
Dan kini aku hanya bias terdiam, bukan berarti larut, itu busuk pikirku, lalu? Keterdiamanku akarenakan aku tidak bias menjawab dan menguaraikan satu persatu jawaban dari pertanyaan dengan jawaban yang memuaskan. Seperti ilmu pasti yang satu tambah satu sama dengan dua dank arena aku juga merasa sepi. Sendiri. Terasing. Adakah yang ingin ikut bermimpi dalam kesendirian pikirku.
Menjadi pemimpi saja terkadang takut, berteriak sekeras-kerasnya nanti disangka kriminal, propokator, kemuadian berumah dibui, karena ada pasukan tandingan pikirku. Menyuarakan hak tanah petani nanti dikira suara titipan. Dan kini aku hanya bisa terdiam, walau sebenarnya aku juga seorang pemimpi. Impianku juga besar, sebesar gunung Rinjani, seperti impian Zaenuddin, seperti impian Hasan Al Bana, Al Afghani, Rasyid Ridho, Muhammad Abduh, mungkin juga sebesar impian Nabi dalam mentauhidkan masyarakat Quraisyi yang jahili untuk membebaskan dari belenggu.
Aku terdiam sejenak, bahwa tulisan yang aku buat untuk mengantar ke kedewasaan berfikir, berbeda pendapat, tidak membunuh sesama muslim, untuk para pak tani, para pelajar dan mahasiswa, para pedagang, para nelayan untuk bekal melaut untuk menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari keluarga.
Memimpikan untuk sekedar bertemu muka dan berkeluh kesah dengan para petani, pedagang, ojek, makelar, sopir, buruh, kenek, terasa sangat begitu berarti, seperti berartinya perjanjian Hudaibiyah, pertemuan Jenewa, Swiss, Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda dan beragam pertemuan lain yang memimpikan hal senada.
Menjadi seorang pemimpi begitu sulit untuk menjelaskan kepada para pegawai negeri, dosen, tentara, guru, bahkan mahasiswa, terlebih pada mereka yang pro kemapanan, kemungkianan besar dikira pemimpi selebrity.
Dan akhirnya biarlah aku bermimpi dalam kesendirianku, tak perlu terlalu banyak teriakan, atau petunjuk dari yang tak mengerti. Ditemani teman sejati, pena dan kertas, diterangi rembulan dan gemercik bintang, dibawah sinar mentari yang menghangatkan badan dipagi hari dengan udara sejuk dan embun bening menetes, tentu dengan tidak melupakan gerai tikar untuk menyembah. Dan semoga kita juga turut menjadi pemimpi. Dan selamat bermimpi, apapun itu.
Malam itu selesai sholat isya dipondok seorang kerabat, di Desa Jorong dekat kampung Bermi Pancor Lombok Timur 1977, semangat seorang santri tergugah demikian kerasnya. Sesaat setelah mendengar kabar wafatnya seorang guru, Mujahid Islam, pendiri NW, NWDI, NBDI dan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi dialah TGKH M. Zaenuddin Abdul Majid.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, sehabis sholat isya biasanya semua santri beramai-ramai untuk mengaji, mengisi aktivitas sebelum istirahat malam, seperti mengaji Al Qur’an, kitab kuning, wiridan atau kegiatan lainnya yang lazim dilakukan dilingkungan pondok pesanteren. Namun tidak untuk malam ini, sayup-sayup suara saling memberitakan, atau seolah memberitahukan dengan keraguan dan ketidakpercayaan bahwa sang ‘Ninik’ telah meninggalkan kita, para santri dimalam itu.
Larut dalam suasana dan keadaan, atau entah memang keadaan alam yang seakan-akan turut merasakan dan turut mengabarkan bahwa malam itu seorang mujahid Islam telah tiada dan kembali kesisi Rabbnya. Taman langit yang awalnya begitu terang benderang oleh gemerlap gemintang secara perlahan menjadi hitam dan makin pekat dalam kegelapan, berderet awan hitam yang makin menggumpal, berarak menyaksikan keadaan tersebut, seolah-oleah hendak mengatakan bahwa kami turut berduka, kami juga merasa sedih dan juga kehilangan. Penulis tidak hendak membawa pembaca kealam hyperial untuk menggambarkan seorang mujahid namun sekedar mendeskripsikan keadaan pada saat itu, dan bahkan yang mungkin lebih dari keadaan yang penulis gambarkan dalam tulisan ini.
Tanpa memikirkan hal lain aku dan seorang teman yang juga santri berlalu dari kamar untuk bergegas membuktikan apakah berita yang kami dengar benar adanya, apakah benar Allah SWT telah memanggil mahluk yang dicintainya itu. Tidak lebih satu kilometer aku berjalan, rintihan tangis dan lautan jilbab dengan pakaian putih-putih yang berada disekelilingku seakan turut mengatakan bahwa berita itu benar. Inilah kenyataan. Tidak itu saja jalan trotoar yang lebarnya lebih kurang dua meter juga ikut penuh sesak oleh hiruk pikuk keadaan malam itu.
Sesaat setelah sampai di Musholla Al Abror, dimana setiap harinya ninik memberikan pengajian, barulah terdengar kembali olehku dari seorang syekh yang ditugaskan untuk memberi informasi kepada para santri bahwa ninik telah menghadap Rabbnya. Detak jantungku seakan berhenti berdetak, telah tergambar dalam benakku kemungkinan yang akan terjadi, keadaan para santri, keadaan ummat ini yang telah ditinggal oleh seorang mujahid Islam.
Bagaimana tidak jika kita membuka kembali lembar sejarah tokoh kharismatik ini yang dulunya sering disalahfahami oleh berbagai kalangan masyarakat saat itu dikarenakan gerakan keagamaan yang dibawanya. Tokoh ini dikenal sebagai formalistic pada tataran konsep dan tranformatif pada tataran aplikasi. Inilah salah satu aspek pemikiran yang selalu ia gagas dalam setiap konsep-konsep pemikiran. Misalnya dalam konsep politik Beliau dengan tegas menyatakan bahwa Al Qur’an dan Al Hadist adalah landasan utama bagi aktivitas politik, namun jika dalam pengaplikasiannya terbenturdengan realitas sosial masyarakat maka politik harus bias merespon dan mengakomodasikan realitas sosial tersebut yakni dengan menginterpretasikan nash guna mendapatkan pemecahan yang teapt. Fleksibilitas Beliau tidak hanya terbatas konsep atau teori akan tetapi realitas gerakan politik dalam partai Beliau menunjukkan hal tersebut.
Namun sayangnya oleh sebagian kalangan masyarakat Beliau dianggap bukan golongan mereka, berbagai macam tuduhan dan fitnah yang Beliau terima. Diantaranya yakni Beliau dituduh sebagai pengikut Khawarij, Mu’tazilah, bahkan Beliau dituduh tidak bermazhab dan menyebarkan ajaran sesat serta digembar-gemborkan sebagai pengikut Wahabi. Begitulah kira-kira berbagai jalan fikiran yang menentang Beliau.
Dan akhirnya sejarah jualah yang akan membuktikan bahwa sesungguhnya Beliau adalah merupakan salah satu contoh figure muslim tulen. Dalam impian dan perjuangannya untuk lebih mencerdaskan ummat banyak hambatan dan tantangan yang meski Beliau hadapi misalnya pada saat Beliau dihadapkan pada pilihan yakni menjadi imam dan khatib atau meski memilih membangun dan mendirikan sekolah (madrasah). Yang pada akhirnya Beliau menetapkan pilihan untuk mendirikan sekolah dengan konsekuensi berhenti menjadi imam dan khatib. Hal ini tentunya dilandasi oleh alas an Beliau yang menyatakan bahwa menjadi imam dan khatib hukumnya fardhu kifayah karena masih banyak orang yang bias melakukannya, sedangkan mendirikan madrasah hukumnya fardhu ‘ain karena tidak ada yang mau dan mampu melakukannya.
Kini, dari sejarah bangsa-bangsa dunia kita dapat belajar, bahwa naik dan tenggelamnya suatu peradaban banyak ditentukan oleh pendidikan suatu bangsa, bukankah untuk ini Baginda Rasulullah SAW juga mewajibkan kita untuk berpendidikan, menuntut ilmu, meski kita harus ke negeri Cina, dari lahir hingga keliang lahat.
Dan jika Zanuddin dapat bermimpi besar dengan menghadapi masyarakatnya untuk mewujudkan impian terssbut, lalu mengapakah generasi kita tidak mampu bermimpi besar seperti itu? Ataukah hal itu diakibatkan oleh kepulan asap didapur yang tidak menyala sehari, ataukah biaya pendidikan yang tidak semurah harga cabe satu kilo dipasar Mandalike. Itu juga yang merupakan pertanyaan sekaligus impian yang aku belum bias jawab dan uraikan satu per satu dengan panjang lebar. Karena mungkin diakibatkan oleh keinginan kita untuk memiliki ke-pribadi-an dalam hidup atau karena tuntutan dari keluarga yang menghendaki kita, kamu dan aku untuk kaya dulu? Untuk menjadi bansa yang mampu berhitung berapa jumlah mobil yang terpakir di gedung dewan, berpa jumlah lokalisasi yang telah dibuat dan berapa jumlah taman kota yang telah dipugar, atau berapa ratus kepala keluarga yang telah digusur secara paksa tanpa diberikan hak mereka?
Atau mungkin kita masih puas dengan banyaknya kuantitatif yang telah kita peroleh secara sektoral yang tetap hanya sepotong. Mungkin sekali. Atau kita terlena oleh kemajuan makin banyaknya para selebritis yang tampak Islami memasuki awal Ramadhan, mungkin saja hal-hal itu bukan merupakan salah satu hal penting dan bukan pula prioritas.
Mengapa kita tidak menjadi seorang pemimpi, tidak bercita-cita tinggi, atau mungkinkah itu diakibatkan oleh cacing pita dalam tubuh kita masih belum gemuk. Mengapa kita bercita-cita bermimpi seperti polosnya bocah Palestina yang memimpikan kemerdekaan, atau tuntutan rakyat Teluk Buyat memimpikan dan menuntut keadilan, bahkan mengapa tidak bak impian burung garuda yang hendak mencerdaskan anak-anaknya. Ya melalui pendidikan.
Dan kini aku hanya bias terdiam, bukan berarti larut, itu busuk pikirku, lalu? Keterdiamanku akarenakan aku tidak bias menjawab dan menguaraikan satu persatu jawaban dari pertanyaan dengan jawaban yang memuaskan. Seperti ilmu pasti yang satu tambah satu sama dengan dua dank arena aku juga merasa sepi. Sendiri. Terasing. Adakah yang ingin ikut bermimpi dalam kesendirian pikirku.
Menjadi pemimpi saja terkadang takut, berteriak sekeras-kerasnya nanti disangka kriminal, propokator, kemuadian berumah dibui, karena ada pasukan tandingan pikirku. Menyuarakan hak tanah petani nanti dikira suara titipan. Dan kini aku hanya bisa terdiam, walau sebenarnya aku juga seorang pemimpi. Impianku juga besar, sebesar gunung Rinjani, seperti impian Zaenuddin, seperti impian Hasan Al Bana, Al Afghani, Rasyid Ridho, Muhammad Abduh, mungkin juga sebesar impian Nabi dalam mentauhidkan masyarakat Quraisyi yang jahili untuk membebaskan dari belenggu.
Aku terdiam sejenak, bahwa tulisan yang aku buat untuk mengantar ke kedewasaan berfikir, berbeda pendapat, tidak membunuh sesama muslim, untuk para pak tani, para pelajar dan mahasiswa, para pedagang, para nelayan untuk bekal melaut untuk menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari keluarga.
Memimpikan untuk sekedar bertemu muka dan berkeluh kesah dengan para petani, pedagang, ojek, makelar, sopir, buruh, kenek, terasa sangat begitu berarti, seperti berartinya perjanjian Hudaibiyah, pertemuan Jenewa, Swiss, Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda dan beragam pertemuan lain yang memimpikan hal senada.
Menjadi seorang pemimpi begitu sulit untuk menjelaskan kepada para pegawai negeri, dosen, tentara, guru, bahkan mahasiswa, terlebih pada mereka yang pro kemapanan, kemungkianan besar dikira pemimpi selebrity.
Dan akhirnya biarlah aku bermimpi dalam kesendirianku, tak perlu terlalu banyak teriakan, atau petunjuk dari yang tak mengerti. Ditemani teman sejati, pena dan kertas, diterangi rembulan dan gemercik bintang, dibawah sinar mentari yang menghangatkan badan dipagi hari dengan udara sejuk dan embun bening menetes, tentu dengan tidak melupakan gerai tikar untuk menyembah. Dan semoga kita juga turut menjadi pemimpi. Dan selamat bermimpi, apapun itu.
0 Comments:
Post a Comment