ARAH
BARU MAQASHID SYARI’AH
SEBAGAI
FILOSOFI POLITIK EKONOMI
PEMBANGUNAN
DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA
Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Islam dan Tantangan Globalisasi
yang diadakan oleh UII Yogyakarta pada 14-16 Maret 2014
Abstract
This research is motivated
by the thought that most of the development in Muslim countries adopt western
development strategy that is not the same characteristics of ideological and
economic situation. The mistake often made is what Muslim countries face a
very difficult economic problems it faces. From the analysis, and then
concluded that: First, the failure of development theories in the wake of the
Western conception is caused due to the approach used partially. This approach
implies the logical consequences that are often neglected, namely: (a) the
emphasis on growth ignores the equitable distribution; (b) does not reflect a
policy priority; (c) there is no strategy that touch economic problems
directly, (d) policies that are run out of balance, so often lead to inequality
and injustice. Secondly, one of the approaches used in assessing the
performance of the construction of the Islamic perspective using maqashid
analysis is an approach that uses concept development and a holistic approach
in dealing with and touch all the existing problems and is one of the
alternative approach as a form of revision of the economistic approach to
development. Third, using the live view system in formulating political policy
of economic development in Indonesia will open new perspectives in the list to
the involvement maqashid development priorities and multiculturalism. The
implication is that the conception of economic development may no longer shut
away from the public space in which there are a variety of needs analysis and
involves a multicultural society.
Keywords: Maqashid shari'ah, politics, development, multiculturalism.
Abstrak
Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa sebagian besar pembangunan di
Negara-negara muslim mengadopsi strategi pembangunan Barat yang tidak sama
karakteristik ideologis dan situasi perekonomiannya. Kekeliruan inilah yang
kerap kali menjadikan Negara-negara muslim sangat sulit menghadapi permasalahan
ekonomi yang dihadapinya. Dari
hasil analisis, kemudian disimpulkan bahwa: Pertama,
kegagalan teori-teori pembangunan yang di
bangun dalam konsepsi Barat adalah diakibatkan karena pendekatan yang digunakan
secara parsial. Pendekatan ini mengimplikasikan pada konsekuensi-konsekuensi
logis yang kerap terabaikan, yakni: (a) penekanan pada pertumbuhan yang
mengabaikan distribusi berkeadilan; (b) tidak mencerminkan adanya prioritas
kebijakan; (c) tidak terdapat strategi yang menyentuh masalah ekonomi secara
langsung, (d) kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak seimbang, sehingga
sering menimbulkan ketidakmerataan dan ketidakadilan. Kedua, salah satu pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja
pembangunan dalam perspektif Islam dengan menggunakan analisis maqashid adalah pendekatan pembangunan
yang menggunakan konsep dan pendekatan holistik dalam menangani dan menyentuh
seluruh permasalahan yang ada serta merupakan salah satu pendekatan alternatif
sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis. Ketiga, dengan menggunakan pandangan hidup sistem
dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi politik di Indonesia akan
membuka persfektif baru keterlibatan maqashid dalam dafar perioritas pembangunan
dan multikulturalisme. Implikasinya adalah bahwa konsepsi ekonomi pembangunan
tidak mungkin lagi menutup diri dari ruang publik yang didalamnya terdapat
berbagai macam kebutuhan analisis dan melibatkan masyarakat yang multikultural.
Kata kunci: Maqashid syari’ah, politik, pembangunan, multikulturalisme.
A.
Pendahuluan
Paradigma tradisional tentang
pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi.[12] Pembangunan
dikatakan berhasil bila pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah relatif tinggi.
Namun dewasa ini, definisi pembangunan yang banyak diterima adalah pembangunan
merupakan suatu proses dimana pendapatan perkapita suatu negara meningkat
selama kurun waktu yang panjang dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup
di bawah “garis kemiskinan absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan
tidak semakin timpang.[13]
Berangkat dari keinginan untuk
menyempurnakan indikator kesejahteraan, dalam pembangunan maka banyak ahli
ekonomi dan lembaga internasional mengembangkan indeks pembangunan dengan
memasukkan indikator sosial.[14]
Konesp Human Developmen Index (HDI) yang
dikembangkan oleh United Nation
Development Program (UNDP) memperioritaskan pada pencapaian tujuan
pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai fokus perhatian. Beberapa
pemikiran yang dikembangkan oleh UNDP diringkas sebagai berikut: (1)
memfokuskan pembangunan pada manusia; (2) memadukan pendekatan ekonomi dan
sosial dalam pencapaian tujuan pembangunan; (3) menyediakan alat analisis untuk
perencanaan pembangunan; dan (4) memberikan anjuran kepada pemerintah dunia
ketiga guna memperioritaskan distribusi hasil pembangunan.[15]
Di Indonesia, kondisi pembangunan
fisik memang telah menghasilkan kemajuan yang menggembirakan. Pertumbuhan
ekonomi telah meningkat tajam pada awal 1980-an, tetapi tidak terjadi
kesinambungan seperti yang diharapkan. Akibat dari kemajuan pembangunan fisik,
terjadi pula pengrusakan alam lingkungan secara besar-besaran. Meskipun secara
normatif, masalah-masalah kemiskinan, kesehatan, pengangguran, keadilan sosial
telah termuat dalam naskah-naskah perencanaan pembangunan nasional namun
implementasinya masih sangat jauh dari memusakan.[16]
Hasil-hasil pembangunan yang telah
di capai dengan penerapan sejumlah teori dan asumsi kemudian menghadirkan
banyak konsekuensi subjektif yang kemudian menjadi wacana perdebatan. Hal ini
menjadi menarik, karena merupakan upaya pembongkaran terhadap substansi
pemikiran yang berasal dari ideologi ilmu sosial yang bernama “pembangunanisme”
(developmentalism). Sebuah konsep
pembangunan yang berasal dari Barat yang serta merta dipaksakan pada hampir
semua rakyat yang hidup di dunia ketiga, dan tidak lepas dari refleksi
paradigma positivisme dan post-positivisme menyangkut perubahan sosial yang
bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep pembangunan yang
diproduksi oleh negara Barat dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga, dimana
mereka awalnya dilabeli “kekurangan” tentang hal-hal yang dapat dipenuhi oleh
teknologi dan keahlian professional.[17]
Diskursus pembangunan selanjutnya
tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pengetahuan “non-positivisme”,
sehingga cara-cara pertanian tradisional digusur dan segala bentuk formasi
non-kapitalistik dihancurkan. Keragaman pemikiran yang berasal dari budaya
etnik dilabeli sebagai tradisional yang menghambat pola fikir yang rasional.
Dalam kondisi seperti ini akhirnya lahirlah banyak pemikir kritis yang bersikap
bahkan menolak konsep pembangunan.
Pada penelitian ini pendekatan
kesejahteraan dalam pembangunan dikaji dari konsep maqashid al-syariah, untuk selanjutnya akan disebut maqashid. Konsep al-maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan
kesejahteraan manusia didunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan dan
peningkatan mutu hidup terhadap unsur-unsur, yakni agama, keimanan, jiwa, akal,
keturunan dan harta.[18]
Sesuai dengan diskusi menyangkut maqashid,
pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua
upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat
berhubungan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan
ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.[19]
Dengan demikian kewajiban-kewajiban dalam syariah yang menyangkut perlindungan maqashid pada gilirannya bertujuan untuk
melindungi kemaslahatan manusia.[20]
Sementara
itu, fokus permasalahan yang hendak diurai adalah tentang bagaimana maqashid dapat dijadikan filosofi
politik ekonomi pembangunan dan multikulturalisme di Indonesia?
B.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini digolongkan dalam dua pendekatan, yakni:
pendekatan komparatif eksploratif[21]
dan pendekatan sosiologis antropologis. [22]
Sementaran jenis penelitian, yakni deskriptif kualitatif.[23] Untuk teknik pengumpulan data menggunakan litereir atau library research (studi pustaka). Sedangkan
teknik analisis data menggunakan content analisys (analisis isi) dengan paradigma
kritis.[24] Holsti sebagaimana dikutip Isnawijaya,
mendefinisikan analisis isi sebagai teknik apapun yang digunakan untuk menarik
kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara
objektif dan sistematis.[25]
C.
Sumber dan Pembacaan Ulang Maqashid
Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata
yakni maqashid dan al-syar’iyah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshad yang
berarti tujuan (goal).[26]
Syar’iyah secara bahasa berarti jalan
menuju sumber air, dalam pengertian ini dapat pula dikatakan sebagai jalan
menuju sumber pokok kehidupan.[27]
Diantara beberapa prinsip yang
mengatur tentang konsep maqashid,
misalnya sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Anbiya’ (21) ayat 107. Ayat ini memiliki kandungan bahwa segala ketentuan
syariat yang diturunkan
oleh Allah melalui nabi Muhammad Saw. bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ayat ini juga mengindikasikan tujuan syariat
untuk mengatur kemaslahatan yang ada pada kehidupan manusia. Bahkan melalui ayat ini juga dipahami adanya
perlakuan yang sama antara sikap
Allah kepada Muslim dan non-Muslim dalam hal pemberian rahmat.[28]
Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam begitu memperhatikan kemaslahatan manusia
secara sosiologis dan psikologis.
Sebagai sumber hukum kedua setelah
al-Qur’an, as-Sunnah juga sering digunakan untuk melegitimasi dukungan nabi Muhammad Saw terhadap konsep maslahat
adalah sabda nabi yang
juga digunakan oleh al-Thufi sebagai dalil teori maslahat yang ia ciptakan.[29]
Hadis tersebut artinya “Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“.[30]
Selain kedua sumber hukum di atas yang disepakati oleh para ulama
kekuatan hujjahnya, terdapat juga beberapa ijtihad sahabat yang manjadi
landasan kuat bagi maslahat dan secara rasional mengindikasikan bahwa maslahat
pernah memainkan peranan yang cukup signifikan dalam sejarah
Islam.[31]
Menurut Mohammad al Tahir Ibn Ashur, sebagaimana yang
dikutip Syahbudi,[32]
ada beberapa karakter maqashid dalam lingkungan epistemologi
tradisional, misalnya: (1) ruang lingkupnya hanya membicarakan satu bidang
saja, yakni hukum Islam. bahkan yang lebih spesifik lagi, bertumpu pada wacana
fiqih. Artinya, maqashid tradisional lebih menyukai mendeduksinya dari studi
fiqih dan tidak merujuk langsung pada teks atau sumber asli; (2) perhatiannya
tertuju pada kepentingan individual, kurang bersinggungan dengan persoalan
keluarga, sosial dan kemanusiaan. Apalagi terkait dengan perhatian keadilan dan
kebebasan dalam konteks global.
Pada era modern dan postmodern, epistemologi maqashid
harus membuka ruang yang selebarnya dengan memperhitungkan dan memperhatikan
sains, teknologi dan ilmu-ilmu sosial, nilai-nilai kemanusiaan kontemporer
serta perkembangan agama sendiri. Hal ini misalnya sebagaimana yang dengan baik
diperlihatkan oleh Jasser Auda dengan menggunakan pendekatan sistem.[33]
D.
Filosofi Pandangan Hidup Sistem
Filosofi
pandangan hidup sistem melihat dunia dalam pengertian hubungan dan integrasi.[34]
Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi, yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi
menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil.[35]
Pendekatan sistem tidak memusatkan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat
dasar melainkan lebih menekankan prinsip-prinsip organisasi dasar.
Contoh-contoh sistem semacam ini terdapat dialam raya. Aspek-aspek keseluruhan
juga ditunjukkan oleh sistem-sistem sosial, termasuk ekonomi.[36]
Menurut filosofi pandangan hidup sistem, kehidupan bukan
merupakan suatu substansi atau kekuatan, dan jiwa bukan merupakan suatu entitas
yang berinteraksi dengan materi. Baik kehidupan maupun jiwa merupakan
manifestasi dari perangkat sifat-sifat sistemik yang sama, suatu perangkat
proses yang merupakan dinamika tata diri.[37]
Dalam konsep sistem tentang pikiran, aktivitas mental,
tidak hanya menjadi ciri khas organisme individual, melainkan juga
sistem-sistem sosial dan ekologis. Sebagaimana menurut Bateson yang dikutip
Pritjop Capra, bahwa jiwa itu bersifat imanen tidak hanya didalam tubuh tetapi
juga didalam jalur dan pesan diluar tubuh. Terdapat manifestasi-manifestasi
jiwa yang lebih besar, dimana jiwa individual kita hanya merupakan sub sistem.
Karena setiap pemahaman apa yang kita sebut realitas, hanya merupakan masalah
kognisi.[38]
Sehingga sistem biasanya digambarkan sebagai sebuah
aliran: input-proses-output. Analisis
sistemik terhadap filosofi pandangan hidup sistem akan melibatkan identifikasi
unit-unit, elemen-elemen atau berbagai sub sistem serta bagaimana unit-unit ini
saling terkait dan terpadu dalam proses atau fungsi untuk mencapai tujuan
sistem.
Sistem dalam ekonomi akan menyangkut pengaturan dan kebijakan, yaitu
pengaturan dan kebijakan kegiatan ekonomi dalam suatu
masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya,
bank Islam dapat disebut sebagai unit (terbatas) dari
beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang lingkup makro atau
mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi Islam, khususnya doktrin larangan
riba.[39]
Demikian halnya dengan sistem ekonomi politik pembangunan di Indonesia
akan dilihat dari satu kesatuan sistem yang hidup dan saling terkait satu
dengan yang lain yang terdiri atas manusia dan organisasi-organisasi sosial
yang berada dalam interaksi terus menerus satu sama lain dan dengan
ekosistem-ekosistem yang mengitarinya yang menjadi gantungan hidup manusia.
Pandangan
hidup sistem merupakan suatu landasan yang kuat tidak hanya bagi ilmu-ilmu
perilaku dan kehidupan melainkan juga bagi ilmu-ilmu sosial, dan terutama ilmu
ekonomi. Penerapan konsep-konsep sistem untuk menggambarkan proses-proses dan
aktivitas-aktivitas dalam pembangunan ekonomi benar-benar mendesak yang
merupakan persoalan sistemik dan tidak lagi dapat dipahami dalam satu
persfektif keilmuan saja.
E.
Ekonomi Politik Pembangunan di Indonesia
Ekonomi politik pembangunan yang selama ini diterima dan dilaksanakan di Indonesia telah banyak mendapat kritik, terutama karena
bias yang terlalu besar pada pendekatan material-ekonomi. Kritik-kritik
terhadap teori dan konsepsi ekonomi politik pembangunan yang “diekspor” dari Barat
bermunculan, bukan terutama dari kalangan negara-negara berkembang, melainkan
dari para ahli-ahli dan ekonom Barat sendiri. Akumulasi kritik itu pada
akhirnya menimbulkan kesadaran adanya “konfrontasi antara konsep-konsep dan
teori-teori ekonomi politik pembangunan Barat, disatu pihak dengan realitas
sosial dinegara-negara berkembang dilain pihak”. Sebagai hasil dari konfrontasi
itulah muncul seruan untuk melakukan “pribumisasi” dan
“islamisasi” terhadap ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam teori-teori ekonomi
politik pembangunan.[40]
Konsep ekonomi
politik pembangunan (development)
yang berasal dari Barat dengan serta merta dipaksakan pada hampir semua rakyat
yang hidup dinegara-negara berkembang, lebih merupakan refleksi paradigma
positivisme dan post-positivisme tentang ekonomi politik pembangunan yang
bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep ekonomi politik pembangunan
yang diproduksi Barat dan dikirimkan ke negara-negara berkembang, bukanlah
pengetahuan yang netral, melainkan sarat dengan ideologi Barat, selain
mengandung nafsu untuk menguasai.[41]
Melalui
diskursus ekonomi politik pembangunan, negara-negara maju menetapkan kontrol
mereka pada negara-negara berkembang, dimana negara-negara berkembang pada
awalnya diberi label “tergantung” dan ”kekurangan” menyangkut hal-hal yang
dapat dipenuhi oleh teknologi dan keahlian professional. Diskursus ekonomi
politik pembangunan selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk
pengetahuan “non-positivisme”. Keragaman pemikiran yang berasal dari budaya
etnik diberi label sebagai tradisional yang sangat menghambat pola berfikir
rasional. Dalam kondisi yang seperti itu akhirnya lahirlah banyak pemikiran dan
konsepsi kritis bahkan menolak konsep ekonomi politik pembangunan.[42]
Salah
satu kritik terhadap konsep tersebut adalah penggunaan paradigma dan pendekatan
ekonomi yang terlalu berlebihan, dimana keberhasilan pembangunan diukur atas
indikator-indikator fisik ekonomi belaka. Dari sisi sosiologi-antropologi,
dikatakan bahwa pendekatan pembangunan tersebut terlalu didominasi oleh
“pendekatan material”, dimana perubahan struktur ekonomi pedesaan menjadi
panduan utama dalam strategi tersebut.
Studi-studi
yang dikerjakan selama ini cenderung memotret masalah (perbedaan) etnis sebagai
sumber konflik, baik dalam lapangan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.
Padahal, dalam rangka proses pencarian tersebut, tidak tertutup kemungkinan
antara pembangunan ekonomi dan etnisitas justeru terhubung nilai positif
sehingga menghasilkan energy pembangunan yang besar.
Pembangunan
dengan basis pertumbuhan ekonomi yang diusung oleh paradigma modernisme
memiliki banyak kekurangan dan dampak negatif. Pendekatan ini hanya
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan indikator GDP (Gross
Domestic Product) yang tidak mencerminkan adanya pemerataan. Kesenjangan
antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga indikator pertumbuhan ekonomi
hanya mencerminkan keberhasilan semu. Akumulasi modal yang berhasil dihimpun
sebagian besar merupakan investasi asing yang semakin memuluskan jalannya
kapitalisme global.
Kondisi
tersebut dimungkinkan, mengingat model pembangunan yang dilakukan berorientasi
pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang (capital) sebagai yang paling pokok.[43]
Konsekuensinya lembaga-lembaga non-ekonomi seperti lembaga politik dan sosial
juga harus digerakkan untuk mencapai tujuan ini. Jika ini bisa dilakukan maka
tahap lepas landas dan kemudian tahap konsumsi masal yang tinggi (sebagaimana
Rostow) akan dicapai. Namun demikian, langkah pertama seluruh proses yang
panjang ini dimulai dengan menghilangkan hambatan pada masyarakat tradisional,
agar masyarakat dapat memerdekakan dari nilai-nilai tradisinya, dan mulai
bergerak maju. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses
maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Yang
kondisi ini menyebabkan keresahan sosial dan berujung pada krisis multidimensi
dan ancaman disintegrasi nasional.[44]
Pembangunan
dikatakan berhasil, manakala pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada gilirannya
akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) sehingga
keberhasilan tersebut akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Kenyataan
menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan tersebut, karena keberhasilan
pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang, sementara sebagian
besar masyarakat hidup dalam angan dan harapan yang sampai berakhirnya masa
Orde Baru (setelah 32 tahun berkuasa) masih menampakkan kesenjangan yang lebar.
Hal ini dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, tahun 1993 mencapai 7,34%
dengan PDB perkapita mencapai 919 dolar AS. Meskipun distribusi pendapatan
sebagai indikator pemerataan untuk periode waktu yang sama belum ada angka
pasti, tetapi jika melihat penguasaan ekonomi (omzet) 10 konglomerat yang
menguasai sekitar 30% PDB atau 200 konglomerat yang menguasai 58% PDB, dapat
dikatakan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia sangat memprihatinkan.[45]
Badai
krisis (ekonomi dan politik) yang pada 1997 akhirnya membuktikan kekhawatiran
para pengamat sosial-ekonomi terhadap pelaksanaan pembangunan yang sangat
memihak kepada para konglomerat dan mengabaikan kekuatan masyarakat bawah
sebagai sumber daya manusia yang sangat potensial. Padahal, mereka (golongan
masyarakat ekonomi bawah) merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia.
Secara
umum, di Indonesia saat ini, aspek kebudayaan masih belum mewarnai manajemen
pembangunan. Dengan kata lain, pendekatan budaya masih berada di wilayahnya
yang marjinal dibanding dominannya pendekatan ekonomi. Pendekatan kultural (cultural approach) dalam pembangunan
merupakan salah satu pendekatan alternatif sebagai bentuk revisi dari
pendekatan pembangunan yang ekonomistis tersebut. Di Indonesia, pendekatan ini
relatif baru, dan sampai saat ini belum menemukan bentuknya.
Strategi
pembangunan dengan pendekatan ekonomi selama ini, secara sepihak hanya
melahirkan mesin produksi ekonomi. Akibatnya, eksistensi manusia kerap hanya
dieksploitasi sebagai penghasil uang karena dianggap sebagai “mesin produksi”.
Karena itu, kebijakan pembangunan perlu menggunakan pendekatan kebudayaan.
Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan tidak sekedar melahirkan
manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia sebagai sebuah entitas
utuh dengan seluruh dimensinya.[46]
Perkembangan
paradigma pembangunan alternatif sebagai bentuk kritik sekaligus perlawanan
modernisme semakin pesat seiring dengan bergulirnya ide islamisasi. Ide ini,
yang bermula pada awal tahun 1980-an, didasarkan pada kesadaran bahwa semua
disiplin ilmu sosial merupakan konstruksi budaya peradaban Barat dan tidak
memiliki makna dan relevansi bagi masyarakat muslim. Tujuan islamisasi
pengetahuan, yang kini telah menjadi gerakan sedunia dan diskursus
internasional, adalah melahirkan berbagai disiplin yang merupakan produk alami
dari pandangan dunia dan peradaban Islam, dan untuk itu digunakanlah katagori
dan pandangan islami untuk menggambarkan tujuan, cita-cita, pemikiran, perilaku,
persoalan serta solusi masyarakat muslim.[47]
F.
Maqashid Syari’ah Sebagai
Filosofi Sistem Ekonomi Politik Pembangunan dan Multikulturalisme di Indonesia
Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqashid pengayaan keimanan, jiwa,
akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun
cara, sangat berhubungan dengan dan tergantung pada proses sebab akibat
berantai. Realisasi tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan
realisasi tujuan.
Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah mengapa
al-Syatibi dan para ulama lainnya menempatkan keimanan, jiwa, akal, keturunan
dan kekayaan dalam suatu urutan yang berbeda secara radikal dari ilmu ekonomi
konvensional, dimana keimanan tidak memiliki tempat dan jiwa, akal dan
keturunan meskipun dianggap penting dikesampingkan keruang variabel eksogen.
Sehingga, itu tidak mendapatkan perhatian yang layak.
Keimanan ditempatkan di urutan pertama[48]
karena memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi keperibadian,
yakni perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia, dan sikap terhadap
manusia, sumber daya dan lingkungan. Ini sangat mempengaruhi sifat, kuantitas
dan kualitas kebutuhan materi maupun kebutuhan psikologi juga metode
pemuasannya. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan
material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial, dan
mencegah berkembangnya anomie (suatu
kondisi ketiadaan standar moral).[49]
Tetapi, keimanan saja tidak menghilangkan ketidakadilan
sistem pasar. Akan menjadi tidak realistis untuk mengasumsikan bahwa semua
individu sadar secara moral pada masyarakat manusia. Selanjutnya tiga tujuan
lainnya (jiwa, akal dan keturunan) berhubungan dengan manusia, yang
kesejahteraannya merupakan tujuan utama dari syariah. Ini mencakup kebutuhan
fisik, moral, psikologi dan akal untuk generasi sekarang dan generasi yang akan
datang.
Jadi dengan memasukkan jiwa, akal dan keturunan dalam
formulasi yang akan ditentukan, adalah mungkin untuk menciptakan tingkat
kepuasan atau kesejahteraan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia. Hal
ini juga dapat membantu dalam menganalisa variabel-variabel ekonomi penting,
seperti misalnya konsumsi, tabungan dan investasi, sedemikian rupa sehingga
membantu mewujudkan kesejahteraan, yakni sesuatu yang tidak dilakukan oleh ilmu
ekonomi konvensional karena pengagungan yang berlebihan terhadap pasar dan
hasil-hasilnya.
Memang, sebagian orang mungkin akan keberatan dengan mengatakan
bahwa dimasukkannya keimanan, kehidupan, akal dan keturunan akan menjadikan
ilmu ekonomi pembanguanan dalam Islam menjadi tidak dapat dikelola (unmanageable). Menurut Chapra hal
tersebut tidak meski demikian karena kepentingan utama dari seorang ahli
ekonomi bukan aspek-aspek transendental dalam keimanan, tetapi lebih merupakan
dampak dari sudut pandang dunia, nilai-nilai dan lembaga-lembaganya terhadap
individu dan masyarakat dan terhadap variabel-variabel ekonomi.
Karena itu, beberapa rekomendasi yang diberikan Chapra
terkait dengan tugas yang perlu dilakukan ilmu ekonomi Islam secara signifikan
yakni: (1) mempelajari perilaku sebenarnya dari individu dan kelompok,
perusahaan dan pemerintah; (2) menunjukkan jenis perilaku yang diperlukan bagi
pencapaian tujuan dan (3) menjelaskan mengapa pranata ekonomi yang berbeda
berperilaku sebagaimana mereka lakukan, dan bukan dengan cara yang seharusnya
mereka lakukan serta (4) menyarankan suatu strategi yang peraktis untuk
perubahan sosial ekonomi dan politik yakni suatu strategi yang dapat membantu
mengarahkan semua perilaku pemain di pasar mempengaruhi alokasi dan distribusi
sumber daya sedekat mungkin dengan apa yang dibutuhkan bagi pencapain tujuan.[50]
Namun demikian juga akan dipertimbangkan beberapa hal yang
terkait dengan ilmu pengetahuan, obyek yang tidak terlihat dan pertimbangan
nilai yakni: pertama, sebagaimana
yang dikatakan Chapra[51]
bahwa mungkin dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari al-Qur’an dan as-Sunnah
berhubungan dengan obyek yang tidak terlihat, seperti Allah, akhirat dan
ketenangan jiwa. Semua ini tidak dapat diamati dan oleh karena itu tidak dapat
menjadi dasar dari ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah sebuah argumentasi yang
sahih karena meskipun obyek-obyek ini tidak terlihat, dampaknya terhadap
perilaku manusia dari variabel-variabel ekonomi dapat diamati.
Kedua, bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah memberikan
norma-norma mengenai bagaimana pranata ekonomi harus berperilaku dan kebijakan
apa yang harus digunakan untuk mewujudkan kerjasama yang dimaksudkan oleh
Islam. Ketiga, dapat dikatakan bahwa
teori-teori yang diturunkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan literatur Islam
lainnya tidak selalu dapat diuji, karena besarnya kesejahteraan yang ada
sekarang ini di dunia Islam dan cara bagaimana seharusnya kaum muslim
berperilaku dan cara sebenarnya mereka berperilaku. Karena itu, pengujian mungkin
dilakukan dengan bantuan catatan sejarah di dalam masyarakat muslim maupun
masyarakat non muslim.
Dengan demikian pembangunan secara otomatis didefinisikan
oleh maqashid. Walaupun pertumbuhan
ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan manusia yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh
peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan,
perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini,
syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme dan
persaudaraan serta keadilan sosial ekonomi dalam daftar maqashid. Namun demikian, masalah sosial dan ekonomi akan masih
merupakan impian manakala sumber-sumber langka yang ada pada negara-negara
muslim tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia seluruhnya melalui
pemberantasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan umum dan penurunan
ketidakseimbangan pendapatan dan kesejahteraan. Tujuan dari pemenuhan kebutuhan
inilah yang harus direalisasikan melalui pembangunan kemampuan individu,
kesempatan kerja dan kemandirian.[52]
Merumuskan konsep maslahat dalam menilai ekonomi politik pembangunan
bukanlah persoalan mudah. Asumsi ini setidaknya dapat dilihat dari dua hal: Pertama, kondisi obyektif bangsa
Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan, jangan sampai menimbulkan
kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi, strategi dan model pembangunan
mutlak dilakukan. Ini adalah upaya agar sistem poerekonomian yang dihasilkan
tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan sesuai dengan karakteristik hukum
dan ide dasar sistem perekonomian nasional yang dicita-citakan.
Sementara itu, melalui peran yang dimainkan oleh para ulama
melalui produk fiqih yang ada di Indonesia dan dapat dijumpai formulasinya
dalam kitab-kitab fikih klasik, konsepsi dan perumusan terhadap konsep
kemaslahatan banyak dibangun berdasarkan ‘urf Timur
Tengah. Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dari penafsiran konsep
maslahat yang mendapat sambutan kurang hangat dari masyarakat karena dianggap
kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Hasbi sebagaimana dikutip Syaukani
mengatakan bahwa seharusnya masyarakat muslim Indonesia mengambil mana yang lebih
cocok dengan nusa dan bangsa ini, yaitu syariat Islam yang dapat menampung
kemaslahatan masyarakat dan menjadi pendiri utama bagi pembangunan di tanah
air.[53]
Relativitas pemaknaan maslahat yang terjadi selama ini
cenderung menjadikan maslahat sebagai sebuah nilai yang diperebutkan. Pemikiran
Islam konservatif dan liberal seringkali mempertentangkan aplikasi maslahat.
Akibatnya, maslahat dijadikan alat legitimasi semua pemikiran yang mereka
kembangkan. Hal ini yang penulis anggap melatarbelakangi perlunya pemberian
batasan yang jelas tentang penggunaan maslahat sebagai sebuah dalil hukum dan
sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam perekonomian.
Batasan yang selama ini dijabarkan oleh para ulama, seperti
al-Syatibi menurut penulis berkaitan dengan maslahat dalam artian yang sangat
luas. Padahal sebagaimana diungkap Syaltut, maslahat sama seperti ijtihad yang
selalu berubah menyesuaikan kondisi waktu dan zaman.[54]
Itu artinya, batasan untuk maslahat juga perlu dibuat lebih spesifik sesuai
dengan kebutuhan dimana maslahat tersebut akan digunakan. Dalam konteks
Indonesia, maka batasan maslahat yang berbasis budaya Indonesia mutlak untuk
direalisasikan.
Usaha memberikan batasan maslahat dalam konteks Indonesia
juga telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Jaringan Islam
Liberal (JIL). MUI melalui fatwa kriteria maslahat, sedang JIL melalui
pemikiran dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat. Hanya saja dalam
pandangan penulis, batasan yang diberikan keduanya masih belum
merepresentasikan dialog yang seimbang antara maslahat sebagai bagian dari
hukum Islam dan kondisi realitas Indonesia serta maslahat sebagai sebuah tujuan
pembangunan dalam politik ekonomi pembangunan. Dan selama ini masih terkesan
aspek hukum dalam perumusan kemaslahatan sangat jauh bahkan berkorelasi negatif
dengan pemahaman dalam hal konsepsi pembangunan ekonomi yang diukur dengan
pencapaian-pencapaian ekonometrik positivistik. Padahal dalam konteks
pembangunan, dengan mengikuti pandangan hidup sistem, hal tersebut ibarat satu
keeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Substansi nilai yang berasal dari
perumusan konsepsi maslahat hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan
secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.
Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada
keanekaragaman suku bangsa tidak mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang
demokratis. Untuk mencapai tujuan proses-proses demokratisasi yang sedang dijalani,
pluralisme budaya harus digeser menjadi keanekaragaman budaya atau
multikulturalisme.[55]
Dalam kasus ekonomi politik pembangunan multikulturalisme di Indonesia,
pembangunan bisa dijalankan dalam tiga level sekaligus:[56]
(1) memberi ruang yang sama bagi semua individu (apapun kelompok etniknya)
untuk memilih jenis pekerjaan yang diinginkan, baik disektor swasta maupun
pemerintah, lokasi pedesaan maupun perkotaan, dan pertanian maupun industri
atau jasa; (2) memberikan keseimbangan kebutuhan dasar (dharuriyyat)
misalnya pendidikan, kesehatan dan akses ekonomi antar pelaku ekonomi.
Maksudnya, harus disadari pula bahwa selama ini, ‘kekalahan’ etnik pribumi
dalam bersaing dengan etnik pendatang (misalnya Cina) tidak selalu akibat kebijakan
pemerintah yang salah, melainkan berlangsung karena kemampuan kewirausahaan
yang berbeda maupun intensitas ‘kerja keras’ yang berlainan. Dalam konteks ini,
yang dibutuhkan adalah kemampuan pemerintah untuk memberikan infrastruktur
‘kemampuan’ yang sepadan sehingga mereka bisa bersaing secara adil (fair
competition); (3) menyerap nilai-nilai lokal yang berbasis etnis untuk
diadopsi dalam strategi atau konsep pembangunan ekonomi. Pemerintah harus
menyadari bahwa tidak ada konsep pembangunan universal, melainkan harus selalu
mengalami ‘lokalisasi’ sesuai dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Dengan
cara pandang semacam ini setiap kebijakan pembangunan yang diintrodusir lebih
berpotensi untuk berhasil ketimbang konsep pembangunan yang ‘kedap’ budaya.
Pluralitas pemaknaan maslahat dewasa ini dalam konteks
pembangunan ekonomi politik di Indonesia harus diletakkan pada porsi seperti
ini. Pemaknaan maslahat sebagai nilai universal dalam merumuskan kebijakan pembangunan
dengan demikian tidak bisa diserahkan pada perspektif apa yang dipahami dalam
konteks pertumbuhan ekonomi saja dengan mengabaikan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam ajaran kemaslahatan.
G.
Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat diuraikan beberapa
penekanan dalam kajian ini yakni sebagai berikut: pertama, kegagalan teori-teori
pembangunan yang di bangun dalam konsepsi Barat adalah diakibatkan karena
pendekatan yang digunakan secara parsial. Pendekatan ini mengimplikasikan pada
konsekuensi-konsekuensi logis yang kerap terabaikan, yakni: (a) penekanan pada
pertumbuhan yang mengabaikan distribusi berkeadilan, hal ini diindikasikan pada
kebijakan yang lebih menekankan pada akumulasi kapital dengan orientasi pada
pertumbuhan cepat; (b) tidak mencerminkan adanya prioritas kebijakan, pembangunan
satu sektor kerap kali mengakibatkan pengabaian terhadap sektor lain; (c) tidak
terdapat strategi yang menyentuh masalah ekonomi secara langsung, seperti
penanganan ketimpangan dengan menerapkan trickle
down effect; (d) kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak seimbang,
sehingga sering menimbulkan ketidakmerataan dan ketidakadilan. Hal ini mengindikasikan tidak adanya tujuan yang
diarahkan pada perwujudan maqahsid.
Kedua, dalam diskursus ekonomi Islam terdapat kajian
yang menarik menyangkut kemaslahatan, karena erat terkait dengan tujuan yang
hendak diwujudkan dalam pembangunan yakni maqashid
al-syariah, dimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menetapkan beberapa
variabel penting yang sangat menentukan kesejahteraan atau kesengsaraan
manusia. Dengan demikian pembangunan didefinisikan oleh al-maqashid yang saling melengkapi, yang meliputi aspek primer (daruriyat), sekunder (hajiyat) dan tertier (tahsiniyat). Walaupun pertumbuhan
ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh
peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan,
perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini,
syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme,
persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi dalam daftar maqashid.
Ketiga, dengan menggunakan pandangan hidup sistem
dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi politik di Indonesia akan
membuka persfektif baru keterlibatan maqashid dalam dafar perioritas
pembangunan dan multikulturalisme. Implikasinya adalah bahwa konsepsi ekonomi
pembangunan tidak mungkin lagi menutup diri dari ruang publik yang didalamnya
terdapat berbagai macam kebutuhan analisis dan melibatkan masyarakat yang multikultural.
Bibliography
Adiwarman
A. Karim. 2004. Sejarah Ekonomi Islam, Edisi
Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Al-Amiri,
Abdallah M. al-Husayn. 2004. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum
Najm ad-Din Thufi. Alih Bahasa: Abdul Basir. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ali, M. Sayuthi. 2002.
Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ansari,
Javed. 1985. Gerakan Islamisasi Sebuah
Pangantar dalam A.E. Priyono. Islamisasi
Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi & Prosfek Gerakan Perekonomian Islam.
Yogyakarta: PLP2M.
Arief,
Abd. Salam. 2003. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita;
Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: Lesfi.
Asmuni.
Aktualisasi Teori Maqasid as-Syatibi
(Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam Mengembangkan Produk
Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. 2008. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah. Yogyakarta: MSI & Safiria
Insania Press.
Auda, Jasser. 2008. Maqasid al-Syariah as
Philosofhy of Islamic Law London: IIIT
Azis
D., Abdul, (ed), 1996. Ensiklopedi Hukum
Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Budiman,
Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia
Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Capra,
Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Chapra,
M. Umer, 2001. The Future Of Economics:
An Islamic Persfective. Jakarta: Syariah Economic Banking Institut.
Chapra,
M. Umer. 2005. “Strategi Pembangunan
Ekonomi di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam”. dalam Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Islam Equilibrium. Yogyakarta: STEI.
Erani,
Ahmad Yustika, 2011. Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fazlurrahman.
1984. Islam. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung:
Pustaka.
Isnawijayani.
“Analisis Isi Film Ayat-Ayat Cinta dalam
Memasyarakatkan Pendidikan Islam”
Jurnal Pembangunan Manusia. Yogyakarta: FISIB UGM.
Iswadi,
Muhammad. “Ekonomi Islam: Kajian
Konsep dan Model Pendekatan”. dalam Jurnal Mazahib. Yogyakarta.
Jogiyanto,
1993. Analisis & Disain Sistem Informasi. Yogyakarta: ANDI.
Karim,
Adiwarman A. 2004. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Krippendorff,
Klaus. 1993. Analisis Isi Pengantar Teori
dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi. Jakarta: Rajawali Press.
M.
Amin Abdullah, 2012. “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam
dalam Merespon Globalisasi” dalam Jurnal Asy Syir’ah. Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Ma’ruf, Ahmad. 2001. “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks
Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, dalam Jurnal
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Muhammadiyah.
Madjid,
Nurcholish, dkk.2004. Fiqih Lintas Agama.
Jakarta: Paramadina.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nataatmadja,
Hidajat. 1984. Pemikiran Kearah Ekonomi
Humanistik Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. Yogyakarta: PLP2M
Nawawi, Imam., Hadis ‘Arbain
al-Nawawi, hadis ke-32 dalam software Hadits Arba'in AnNawawi dengan Syarah Ibnu
Daqiqil ‘Ied versi 0.1
Raharjo,
Dawam. 1985. Esei-Esei Ekonomi Politik.
Yogyakarta: LP3ES.
Salim,
Agus. 2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori
dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Shiddiqi, Nouruzzaman. 1997. Fikih Indonesia;
Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto,
Edi, 2005. Analisis Kebijakan Publik,
Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Al Fabeta.
Suharto,
Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung:
LPS-STKS.
Syahbudi,
“Arah Baru Maqashid Syari’ah Sebagai Filosofi Hukum Islam Melalui Pendekatan
Sistem” dalam Jurnal Istinbath. Mataram: Fakultas Syariah IAIN Mataram.
Syaukanie,
Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia &
Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Todaro,
Michael P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar.
Jakarta: Erlangga.
Tulus
T.H. Tambunan. Transformasi Ekonomi di Indonesia Teori dan Penemuan Empiris. tt. Jakarta:
Salemba Empat.
[12] Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.
Edisi VI. Terj. Haris Munandar (Jakarta: Erlangga, 1998), hal. 16
[13] Ahmad Ma’ruf, “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi
Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, Jurnal IESP Vol. 2 No. 1, April
2001, hal. 69-88.
[14] Misalnya UNRISD (United
Nation Research Institute on Sosial Development) dengan 16 indikator sosial
ekonomi, pada 1970 Morris D. Morris memperkenalkan Physical Quality of Life Index (PQLI). UNDP (United Nation Development Program) dengan IPM atau Human Development Index pada 1990.
Selain itu sejak 1995 UNDP mengembangkan pula alat ukur yang ditujukan untuk
menilai keberhasilan pembangunan disuatu negara misalnya Indeks Kemiskinan
Manusia (Human Poverty Index/HPI) dan
Indeks Pembangunan Jender (Gender
Development Index/GDI). Todaro, Michael P.
Pembangunan... hal. 73-80
[15] Ahmad Ma’ruf, “Analisis
Kinerja …., hal. 69-88
[16] Suharto, Edi, Analisis
Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial
(Bandung: Al Fabeta. 2005), hal. 15-16
[17] Agus Salim. Perubahan Sosial
Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, 2002), hal. 266
[18] Adiwarman A. Karim. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 380
[19] Chapra, M. Umer, The Future
Of Economics: An Islamic Persfective. (Jakarta: SEBI, 2001), hal. 124-125
[20] Adiwarman A. Karim. Sejarah…
hal. 381
[21] Nouruzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 71
[22] Abudin
Nata, Metodologi
Studi Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 39
[23] Ali, M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.
47
[24] Klaus Krippendorff. Analisis
Isi Pengantar Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi (Jakarta: Rajawali
Press, 1993), hal. 15
[25] Isnawijayani. “Analisis
Isi Film Ayat-Ayat Cinta Dalam Memasyarakatkan Pendidikan Islam” Jurnal Pembangunan Manusia. Vol.
7 No. 1 April Tahun 2009, hal. 3
[26] Asmuni. Aktualisasi Teori
Maqasid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam
Mengembangkan Produk Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah
(Yogyakarta: MSI & Safiria Insania Press, 2008), hal. 140. Lihat juga Jasser Auda dengan Maqasid al-Syariah as Philosofhy of Islamic Law (London:
IIIT, 2008), hal. 2
[27] Fazlurrahman. Islam. Terj.
Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 140
[28] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi
Hukum Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1147
[29] Abdallah M. al-Husayn al-Amiri. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam
Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi. Alih Bahasa: Abdul Basir. (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004), hal. 33
[30] Imam Nawawi,
Hadis ‘Arbain al-Nawawi, hadis ke-32 dalam software Hadits Arba'in AnNawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil
‘Ied versi 0.1
[31] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih
Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 6-7
[32] Syahbudi, “Arah Baru Maqashid Syari’ah Sebagai Filosofi Hukum Islam
Melalui Pendekatan Sistem” Jurnal Istinbath Vol. 10 No. 2 Juni 2012,
hal. 199.
[33] M. Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum
Islam dalam Merespon Globalisasi” Jurnal Asy Syir’ah Vol. 46 No. II,
Juli-Desember 2012, hal. 327-330
[34] Jasser Auda, Maqashid…hal. 26
[35] Lihat Jogiyanto, Analisis & Disain Sistem Informasi
(Yogyakarta: ANDI, 1993), hal. 1-6
[36] Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban. (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2002), hal. 319
[37] Ibid, hal. 352
[38] Jasser Auda, Maqashid…hal. 31.
[39] Lihat Muhammad Iswadi. “Ekonomi
Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol. IV, No.
1, Juni 2007.
[40] Dawam Raharjo. Esei-Esei
Ekonomi Politik (Yogyakarta: LP3ES, 1985), hal. 209
[41] Agus Salim. Perubahan…..hal.
266
[42] Ibid.
[43] Arief Budiman. Teori
Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal.
25-31
[44] Tulus T.H. Tambunan. Transformasi
Ekonomi di Indonesia Teori dan Penemuan Empiris. (Jakarta:
Salemba Empat, tt), hal. 1
[45] Lihat Edi Suharto. Pembangunan,
Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. (Bandung: LPS-STKS, 1997)
[46] Lihat Hidajat Nataatmadja. Pemikiran
Kearah Ekonomi Humanistik Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. (Yogyakarta:
PLP2M, 1984), hal. 225-231
[47] Javed Ansari. Gerakan
Islamisasi Sebuah Pangantar Dalam A.E. Priyono. Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi & Prosfek Gerakan
Perekonomian Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 12-13
[48] Al-Syatibi selanjutnya menekankan bahwa: “kepentingan keimanan (dien) lebih penting dari pada kehidupan
duniawi” Lihat Adiwarman A. Karim. Sejarah
Ekonomi Islam,
Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 380.
[49] Chapra, M. Umer, The Future,…hal.
125
[50] Ibid. hal. 132-133
[51] Ibid. hal. 143
[52] M. Umer Chapra. “Strategi
Pembangunan Ekonomi Di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam
Equilibrium Vol. 01 No. 1 Tahun 2005, hal. 2.
[53] Imam Syaukanie. Rekonstruksi
Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya bagi Pembangunan Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 92-93.
[54] Abd. Salam Arief. Pembaruan Pemikiran
Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud
Syaltut. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hal. 155
[55] Akar kata multkulturalisme menurut Parsudi adalah kebudayaan.
Secara etimologis, multikultiuralisme dibentuk
dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran atau paham). Secara hakiki, dalam kata
itu terkandung pengakuan
akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya
yang unik.
[56] Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan
Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 340
0 Comments:
Post a Comment