Jumat, 29 Agustus 2014

Paper Seminar Internasional Islam dan Tantangan Globalisasi


ARAH BARU MAQASHID SYARI’AH
SEBAGAI FILOSOFI POLITIK EKONOMI
PEMBANGUNAN DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Islam dan Tantangan Globalisasi 
yang diadakan oleh UII Yogyakarta pada 14-16 Maret 2014

Abstract
This research is motivated by the thought that most of the development in Muslim countries adopt western development strategy that is not the same characteristics of ideological and economic situation. The mistake often made ​​is what Muslim countries face a very difficult economic problems it faces. From the analysis, and then concluded that: First, the failure of development theories in the wake of the Western conception is caused due to the approach used partially. This approach implies the logical consequences that are often neglected, namely: (a) the emphasis on growth ignores the equitable distribution; (b) does not reflect a policy priority; (c) there is no strategy that touch economic problems directly, (d) policies that are run out of balance, so often lead to inequality and injustice. Secondly, one of the approaches used in assessing the performance of the construction of the Islamic perspective using maqashid analysis is an approach that uses concept development and a holistic approach in dealing with and touch all the existing problems and is one of the alternative approach as a form of revision of the economistic approach to development. Third, using the live view system in formulating political policy of economic development in Indonesia will open new perspectives in the list to the involvement maqashid development priorities and multiculturalism. The implication is that the conception of economic development may no longer shut away from the public space in which there are a variety of needs analysis and involves a multicultural society.

Keywords: Maqashid shari'ah, politics, development, multiculturalism
.


Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa sebagian besar pembangunan di Negara-negara muslim mengadopsi strategi pembangunan Barat yang tidak sama karakteristik ideologis dan situasi perekonomiannya. Kekeliruan inilah yang kerap kali menjadikan Negara-negara muslim sangat sulit menghadapi permasalahan ekonomi yang dihadapinya. Dari hasil analisis, kemudian disimpulkan bahwa: Pertama, kegagalan teori-teori pembangunan yang di bangun dalam konsepsi Barat adalah diakibatkan karena pendekatan yang digunakan secara parsial. Pendekatan ini mengimplikasikan pada konsekuensi-konsekuensi logis yang kerap terabaikan, yakni: (a) penekanan pada pertumbuhan yang mengabaikan distribusi berkeadilan; (b) tidak mencerminkan adanya prioritas kebijakan; (c) tidak terdapat strategi yang menyentuh masalah ekonomi secara langsung, (d) kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak seimbang, sehingga sering menimbulkan ketidakmerataan dan ketidakadilan. Kedua, salah satu pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja pembangunan dalam perspektif Islam dengan menggunakan analisis maqashid adalah pendekatan pembangunan yang menggunakan konsep dan pendekatan holistik dalam menangani dan menyentuh seluruh permasalahan yang ada serta merupakan salah satu pendekatan alternatif sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis. Ketiga, dengan menggunakan pandangan hidup sistem dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi politik di Indonesia akan membuka persfektif baru keterlibatan maqashid dalam dafar perioritas pembangunan dan multikulturalisme. Implikasinya adalah bahwa konsepsi ekonomi pembangunan tidak mungkin lagi menutup diri dari ruang publik yang didalamnya terdapat berbagai macam kebutuhan analisis dan melibatkan masyarakat yang multikultural.

Kata kunci: Maqashid syari’ah, politik, pembangunan, multikulturalisme.


A.          Pendahuluan
Paradigma tradisional tentang pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi.[12] Pembangunan dikatakan berhasil bila pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah relatif tinggi. Namun dewasa ini, definisi pembangunan yang banyak diterima adalah pembangunan merupakan suatu proses dimana pendapatan perkapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah “garis kemiskinan absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.[13]
Berangkat dari keinginan untuk menyempurnakan indikator kesejahteraan, dalam pembangunan maka banyak ahli ekonomi dan lembaga internasional mengembangkan indeks pembangunan dengan memasukkan indikator sosial.[14] Konesp Human Developmen Index (HDI) yang dikembangkan oleh United Nation Development Program (UNDP) memperioritaskan pada pencapaian tujuan pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai fokus perhatian. Beberapa pemikiran yang dikembangkan oleh UNDP diringkas sebagai berikut: (1) memfokuskan pembangunan pada manusia; (2) memadukan pendekatan ekonomi dan sosial dalam pencapaian tujuan pembangunan; (3) menyediakan alat analisis untuk perencanaan pembangunan; dan (4) memberikan anjuran kepada pemerintah dunia ketiga guna memperioritaskan distribusi hasil pembangunan.[15]
Di Indonesia, kondisi pembangunan fisik memang telah menghasilkan kemajuan yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi telah meningkat tajam pada awal 1980-an, tetapi tidak terjadi kesinambungan seperti yang diharapkan. Akibat dari kemajuan pembangunan fisik, terjadi pula pengrusakan alam lingkungan secara besar-besaran. Meskipun secara normatif, masalah-masalah kemiskinan, kesehatan, pengangguran, keadilan sosial telah termuat dalam naskah-naskah perencanaan pembangunan nasional namun implementasinya masih sangat jauh dari memusakan.[16]
Hasil-hasil pembangunan yang telah di capai dengan penerapan sejumlah teori dan asumsi kemudian menghadirkan banyak konsekuensi subjektif yang kemudian menjadi wacana perdebatan. Hal ini menjadi menarik, karena merupakan upaya pembongkaran terhadap substansi pemikiran yang berasal dari ideologi ilmu sosial yang bernama “pembangunanisme” (developmentalism). Sebuah konsep pembangunan yang berasal dari Barat yang serta merta dipaksakan pada hampir semua rakyat yang hidup di dunia ketiga, dan tidak lepas dari refleksi paradigma positivisme dan post-positivisme menyangkut perubahan sosial yang bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep pembangunan yang diproduksi oleh negara Barat dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga, dimana mereka awalnya dilabeli “kekurangan” tentang hal-hal yang dapat dipenuhi oleh teknologi dan keahlian professional.[17]
Diskursus pembangunan selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pengetahuan “non-positivisme”, sehingga cara-cara pertanian tradisional digusur dan segala bentuk formasi non-kapitalistik dihancurkan. Keragaman pemikiran yang berasal dari budaya etnik dilabeli sebagai tradisional yang menghambat pola fikir yang rasional. Dalam kondisi seperti ini akhirnya lahirlah banyak pemikir kritis yang bersikap bahkan menolak konsep pembangunan.
Pada penelitian ini pendekatan kesejahteraan dalam pembangunan dikaji dari konsep maqashid al-syariah, untuk selanjutnya akan disebut maqashid. Konsep al-maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia didunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan dan peningkatan mutu hidup terhadap unsur-unsur, yakni agama, keimanan, jiwa, akal, keturunan dan harta.[18] Sesuai dengan diskusi menyangkut maqashid, pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat berhubungan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.[19] Dengan demikian kewajiban-kewajiban dalam syariah yang menyangkut perlindungan maqashid pada gilirannya bertujuan untuk melindungi kemaslahatan manusia.[20]
Sementara itu, fokus permasalahan yang hendak diurai adalah tentang bagaimana maqashid dapat dijadikan filosofi politik ekonomi pembangunan dan multikulturalisme di Indonesia?

B.           Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan dalam dua pendekatan, yakni: pendekatan komparatif eksploratif[21] dan pendekatan sosiologis antropologis. [22] Sementaran jenis penelitian, yakni deskriptif kualitatif.[23] Untuk teknik pengumpulan data menggunakan litereir atau library research (studi pustaka). Sedangkan teknik analisis data menggunakan content analisys (analisis isi) dengan paradigma kritis.[24] Holsti sebagaimana dikutip Isnawijaya, mendefinisikan analisis isi sebagai teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.[25]

C.          Sumber dan Pembacaan Ulang Maqashid Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syar’iyah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshad yang berarti tujuan (goal).[26] Syar’iyah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air, dalam pengertian ini dapat pula dikatakan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan.[27]
Diantara beberapa prinsip yang mengatur tentang konsep maqashid, misalnya sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Anbiya’ (21) ayat 107. Ayat ini memiliki kandungan bahwa segala ketentuan syariat yang diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad Saw. bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat ini juga mengindikasikan tujuan syariat untuk mengatur kemaslahatan yang ada pada kehidupan manusia. Bahkan melalui ayat ini juga dipahami adanya perlakuan yang sama antara sikap Allah kepada Muslim dan non-Muslim dalam hal pemberian rahmat.[28] Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam begitu memperhatikan kemaslahatan manusia secara sosiologis dan psikologis.
Sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, as-Sunnah juga sering digunakan untuk melegitimasi dukungan nabi Muhammad Saw terhadap konsep maslahat adalah sabda nabi yang juga digunakan oleh al-Thufi sebagai dalil teori maslahat yang ia ciptakan.[29] Hadis tersebut artinya “Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“.[30]
Selain kedua sumber hukum di atas yang disepakati oleh para ulama kekuatan hujjahnya, terdapat juga beberapa ijtihad sahabat yang manjadi landasan kuat bagi maslahat dan secara rasional mengindikasikan bahwa maslahat pernah memainkan peranan yang cukup signifikan dalam sejarah Islam.[31]
Menurut Mohammad al Tahir Ibn Ashur, sebagaimana yang dikutip Syahbudi,[32] ada beberapa karakter maqashid dalam lingkungan epistemologi tradisional, misalnya: (1) ruang lingkupnya hanya membicarakan satu bidang saja, yakni hukum Islam. bahkan yang lebih spesifik lagi, bertumpu pada wacana fiqih. Artinya, maqashid tradisional lebih menyukai mendeduksinya dari studi fiqih dan tidak merujuk langsung pada teks atau sumber asli; (2) perhatiannya tertuju pada kepentingan individual, kurang bersinggungan dengan persoalan keluarga, sosial dan kemanusiaan. Apalagi terkait dengan perhatian keadilan dan kebebasan dalam konteks global.
Pada era modern dan postmodern, epistemologi maqashid harus membuka ruang yang selebarnya dengan memperhitungkan dan memperhatikan sains, teknologi dan ilmu-ilmu sosial, nilai-nilai kemanusiaan kontemporer serta perkembangan agama sendiri. Hal ini misalnya sebagaimana yang dengan baik diperlihatkan oleh Jasser Auda dengan menggunakan pendekatan sistem.[33]

D.          Filosofi Pandangan Hidup Sistem
Filosofi pandangan hidup sistem melihat dunia dalam pengertian hubungan dan integrasi.[34] Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi, yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil.[35] Pendekatan sistem tidak memusatkan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar melainkan lebih menekankan prinsip-prinsip organisasi dasar. Contoh-contoh sistem semacam ini terdapat dialam raya. Aspek-aspek keseluruhan juga ditunjukkan oleh sistem-sistem sosial, termasuk ekonomi.[36]
Menurut filosofi pandangan hidup sistem, kehidupan bukan merupakan suatu substansi atau kekuatan, dan jiwa bukan merupakan suatu entitas yang berinteraksi dengan materi. Baik kehidupan maupun jiwa merupakan manifestasi dari perangkat sifat-sifat sistemik yang sama, suatu perangkat proses yang merupakan dinamika tata diri.[37]
Dalam konsep sistem tentang pikiran, aktivitas mental, tidak hanya menjadi ciri khas organisme individual, melainkan juga sistem-sistem sosial dan ekologis. Sebagaimana menurut Bateson yang dikutip Pritjop Capra, bahwa jiwa itu bersifat imanen tidak hanya didalam tubuh tetapi juga didalam jalur dan pesan diluar tubuh. Terdapat manifestasi-manifestasi jiwa yang lebih besar, dimana jiwa individual kita hanya merupakan sub sistem. Karena setiap pemahaman apa yang kita sebut realitas, hanya merupakan masalah kognisi.[38]
Sehingga sistem biasanya digambarkan sebagai sebuah aliran: input-proses-output. Analisis sistemik terhadap filosofi pandangan hidup sistem akan melibatkan identifikasi unit-unit, elemen-elemen atau berbagai sub sistem serta bagaimana unit-unit ini saling terkait dan terpadu dalam proses atau fungsi untuk mencapai tujuan sistem.
Sistem dalam ekonomi akan menyangkut pengaturan dan kebijakan, yaitu pengaturan dan kebijakan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya, bank Islam dapat disebut sebagai unit (terbatas) dari beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang lingkup makro atau mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi Islam, khususnya doktrin larangan riba.[39]
Demikian halnya dengan sistem ekonomi politik pembangunan di Indonesia akan dilihat dari satu kesatuan sistem yang hidup dan saling terkait satu dengan yang lain yang terdiri atas manusia dan organisasi-organisasi sosial yang berada dalam interaksi terus menerus satu sama lain dan dengan ekosistem-ekosistem yang mengitarinya yang menjadi gantungan hidup manusia.
Pandangan hidup sistem merupakan suatu landasan yang kuat tidak hanya bagi ilmu-ilmu perilaku dan kehidupan melainkan juga bagi ilmu-ilmu sosial, dan terutama ilmu ekonomi. Penerapan konsep-konsep sistem untuk menggambarkan proses-proses dan aktivitas-aktivitas dalam pembangunan ekonomi benar-benar mendesak yang merupakan persoalan sistemik dan tidak lagi dapat dipahami dalam satu persfektif keilmuan saja.

E.           Ekonomi Politik Pembangunan di Indonesia
Ekonomi politik pembangunan yang selama ini diterima dan dilaksanakan di Indonesia telah banyak mendapat kritik, terutama karena bias yang terlalu besar pada pendekatan material-ekonomi. Kritik-kritik terhadap teori dan konsepsi ekonomi politik pembangunan yang “diekspor” dari Barat bermunculan, bukan terutama dari kalangan negara-negara berkembang, melainkan dari para ahli-ahli dan ekonom Barat sendiri. Akumulasi kritik itu pada akhirnya menimbulkan kesadaran adanya “konfrontasi antara konsep-konsep dan teori-teori ekonomi politik pembangunan Barat, disatu pihak dengan realitas sosial dinegara-negara berkembang dilain pihak”. Sebagai hasil dari konfrontasi itulah muncul seruan untuk melakukan “pribumisasi” dan “islamisasi” terhadap ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam teori-teori ekonomi politik pembangunan.[40]
Konsep ekonomi politik pembangunan (development) yang berasal dari Barat dengan serta merta dipaksakan pada hampir semua rakyat yang hidup dinegara-negara berkembang, lebih merupakan refleksi paradigma positivisme dan post-positivisme tentang ekonomi politik pembangunan yang bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep ekonomi politik pembangunan yang diproduksi Barat dan dikirimkan ke negara-negara berkembang, bukanlah pengetahuan yang netral, melainkan sarat dengan ideologi Barat, selain mengandung nafsu untuk menguasai.[41]
Melalui diskursus ekonomi politik pembangunan, negara-negara maju menetapkan kontrol mereka pada negara-negara berkembang, dimana negara-negara berkembang pada awalnya diberi label “tergantung” dan ”kekurangan” menyangkut hal-hal yang dapat dipenuhi oleh teknologi dan keahlian professional. Diskursus ekonomi politik pembangunan selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pengetahuan “non-positivisme”. Keragaman pemikiran yang berasal dari budaya etnik diberi label sebagai tradisional yang sangat menghambat pola berfikir rasional. Dalam kondisi yang seperti itu akhirnya lahirlah banyak pemikiran dan konsepsi kritis bahkan menolak konsep ekonomi politik pembangunan.[42]
Salah satu kritik terhadap konsep tersebut adalah penggunaan paradigma dan pendekatan ekonomi yang terlalu berlebihan, dimana keberhasilan pembangunan diukur atas indikator-indikator fisik ekonomi belaka. Dari sisi sosiologi-antropologi, dikatakan bahwa pendekatan pembangunan tersebut terlalu didominasi oleh “pendekatan material”, dimana perubahan struktur ekonomi pedesaan menjadi panduan utama dalam strategi tersebut.
Studi-studi yang dikerjakan selama ini cenderung memotret masalah (perbedaan) etnis sebagai sumber konflik, baik dalam lapangan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Padahal, dalam rangka proses pencarian tersebut, tidak tertutup kemungkinan antara pembangunan ekonomi dan etnisitas justeru terhubung nilai positif sehingga menghasilkan energy pembangunan yang besar.
Pembangunan dengan basis pertumbuhan ekonomi yang diusung oleh paradigma modernisme memiliki banyak kekurangan dan dampak negatif. Pendekatan ini hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan indikator GDP (Gross Domestic Product) yang tidak mencerminkan adanya pemerataan. Kesenjangan antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga indikator pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan keberhasilan semu. Akumulasi modal yang berhasil dihimpun sebagian besar merupakan investasi asing yang semakin memuluskan jalannya kapitalisme global.
Kondisi tersebut dimungkinkan, mengingat model pembangunan yang dilakukan berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang (capital) sebagai yang paling pokok.[43] Konsekuensinya lembaga-lembaga non-ekonomi seperti lembaga politik dan sosial juga harus digerakkan untuk mencapai tujuan ini. Jika ini bisa dilakukan maka tahap lepas landas dan kemudian tahap konsumsi masal yang tinggi (sebagaimana Rostow) akan dicapai. Namun demikian, langkah pertama seluruh proses yang panjang ini dimulai dengan menghilangkan hambatan pada masyarakat tradisional, agar masyarakat dapat memerdekakan dari nilai-nilai tradisinya, dan mulai bergerak maju. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Yang kondisi ini menyebabkan keresahan sosial dan berujung pada krisis multidimensi dan ancaman disintegrasi nasional.[44]
Pembangunan dikatakan berhasil, manakala pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada gilirannya akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) sehingga keberhasilan tersebut akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Kenyataan menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan tersebut, karena keberhasilan pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang, sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam angan dan harapan yang sampai berakhirnya masa Orde Baru (setelah 32 tahun berkuasa) masih menampakkan kesenjangan yang lebar. Hal ini dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, tahun 1993 mencapai 7,34% dengan PDB perkapita mencapai 919 dolar AS. Meskipun distribusi pendapatan sebagai indikator pemerataan untuk periode waktu yang sama belum ada angka pasti, tetapi jika melihat penguasaan ekonomi (omzet) 10 konglomerat yang menguasai sekitar 30% PDB atau 200 konglomerat yang menguasai 58% PDB, dapat dikatakan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia sangat memprihatinkan.[45]
Badai krisis (ekonomi dan politik) yang pada 1997 akhirnya membuktikan kekhawatiran para pengamat sosial-ekonomi terhadap pelaksanaan pembangunan yang sangat memihak kepada para konglomerat dan mengabaikan kekuatan masyarakat bawah sebagai sumber daya manusia yang sangat potensial. Padahal, mereka (golongan masyarakat ekonomi bawah) merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia.
Secara umum, di Indonesia saat ini, aspek kebudayaan masih belum mewarnai manajemen pembangunan. Dengan kata lain, pendekatan budaya masih berada di wilayahnya yang marjinal dibanding dominannya pendekatan ekonomi. Pendekatan kultural (cultural approach) dalam pembangunan merupakan salah satu pendekatan alternatif sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis tersebut. Di Indonesia, pendekatan ini relatif baru, dan sampai saat ini belum menemukan bentuknya.
Strategi pembangunan dengan pendekatan ekonomi selama ini, secara sepihak hanya melahirkan mesin produksi ekonomi. Akibatnya, eksistensi manusia kerap hanya dieksploitasi sebagai penghasil uang karena dianggap sebagai “mesin produksi”. Karena itu, kebijakan pembangunan perlu menggunakan pendekatan kebudayaan. Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan tidak sekedar melahirkan manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia sebagai sebuah entitas utuh dengan seluruh dimensinya.[46]
Perkembangan paradigma pembangunan alternatif sebagai bentuk kritik sekaligus perlawanan modernisme semakin pesat seiring dengan bergulirnya ide islamisasi. Ide ini, yang bermula pada awal tahun 1980-an, didasarkan pada kesadaran bahwa semua disiplin ilmu sosial merupakan konstruksi budaya peradaban Barat dan tidak memiliki makna dan relevansi bagi masyarakat muslim. Tujuan islamisasi pengetahuan, yang kini telah menjadi gerakan sedunia dan diskursus internasional, adalah melahirkan berbagai disiplin yang merupakan produk alami dari pandangan dunia dan peradaban Islam, dan untuk itu digunakanlah katagori dan pandangan islami untuk menggambarkan tujuan, cita-cita, pemikiran, perilaku, persoalan serta solusi masyarakat muslim.[47]

F.           Maqashid Syari’ah Sebagai Filosofi Sistem Ekonomi Politik Pembangunan dan Multikulturalisme di Indonesia
Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqashid pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat berhubungan dengan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.
Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah mengapa al-Syatibi dan para ulama lainnya menempatkan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan dalam suatu urutan yang berbeda secara radikal dari ilmu ekonomi konvensional, dimana keimanan tidak memiliki tempat dan jiwa, akal dan keturunan meskipun dianggap penting dikesampingkan keruang variabel eksogen. Sehingga, itu tidak mendapatkan perhatian yang layak.
Keimanan ditempatkan di urutan pertama[48] karena memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi keperibadian, yakni perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia, dan sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Ini sangat mempengaruhi sifat, kuantitas dan kualitas kebutuhan materi maupun kebutuhan psikologi juga metode pemuasannya. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial, dan mencegah berkembangnya anomie (suatu kondisi ketiadaan standar moral).[49]
Tetapi, keimanan saja tidak menghilangkan ketidakadilan sistem pasar. Akan menjadi tidak realistis untuk mengasumsikan bahwa semua individu sadar secara moral pada masyarakat manusia. Selanjutnya tiga tujuan lainnya (jiwa, akal dan keturunan) berhubungan dengan manusia, yang kesejahteraannya merupakan tujuan utama dari syariah. Ini mencakup kebutuhan fisik, moral, psikologi dan akal untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Jadi dengan memasukkan jiwa, akal dan keturunan dalam formulasi yang akan ditentukan, adalah mungkin untuk menciptakan tingkat kepuasan atau kesejahteraan yang seimbang dari berbagai kebutuhan manusia. Hal ini juga dapat membantu dalam menganalisa variabel-variabel ekonomi penting, seperti misalnya konsumsi, tabungan dan investasi, sedemikian rupa sehingga membantu mewujudkan kesejahteraan, yakni sesuatu yang tidak dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional karena pengagungan yang berlebihan terhadap pasar dan hasil-hasilnya.
Memang, sebagian orang mungkin akan keberatan dengan mengatakan bahwa dimasukkannya keimanan, kehidupan, akal dan keturunan akan menjadikan ilmu ekonomi pembanguanan dalam Islam menjadi tidak dapat dikelola (unmanageable). Menurut Chapra hal tersebut tidak meski demikian karena kepentingan utama dari seorang ahli ekonomi bukan aspek-aspek transendental dalam keimanan, tetapi lebih merupakan dampak dari sudut pandang dunia, nilai-nilai dan lembaga-lembaganya terhadap individu dan masyarakat dan terhadap variabel-variabel ekonomi.
Karena itu, beberapa rekomendasi yang diberikan Chapra terkait dengan tugas yang perlu dilakukan ilmu ekonomi Islam secara signifikan yakni: (1) mempelajari perilaku sebenarnya dari individu dan kelompok, perusahaan dan pemerintah; (2) menunjukkan jenis perilaku yang diperlukan bagi pencapaian tujuan dan (3) menjelaskan mengapa pranata ekonomi yang berbeda berperilaku sebagaimana mereka lakukan, dan bukan dengan cara yang seharusnya mereka lakukan serta (4) menyarankan suatu strategi yang peraktis untuk perubahan sosial ekonomi dan politik yakni suatu strategi yang dapat membantu mengarahkan semua perilaku pemain di pasar mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya sedekat mungkin dengan apa yang dibutuhkan bagi pencapain tujuan.[50]
Namun demikian juga akan dipertimbangkan beberapa hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, obyek yang tidak terlihat dan pertimbangan nilai yakni: pertama, sebagaimana yang dikatakan Chapra[51] bahwa mungkin dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari al-Qur’an dan as-Sunnah berhubungan dengan obyek yang tidak terlihat, seperti Allah, akhirat dan ketenangan jiwa. Semua ini tidak dapat diamati dan oleh karena itu tidak dapat menjadi dasar dari ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah sebuah argumentasi yang sahih karena meskipun obyek-obyek ini tidak terlihat, dampaknya terhadap perilaku manusia dari variabel-variabel ekonomi dapat diamati.
Kedua, bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah memberikan norma-norma mengenai bagaimana pranata ekonomi harus berperilaku dan kebijakan apa yang harus digunakan untuk mewujudkan kerjasama yang dimaksudkan oleh Islam. Ketiga, dapat dikatakan bahwa teori-teori yang diturunkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan literatur Islam lainnya tidak selalu dapat diuji, karena besarnya kesejahteraan yang ada sekarang ini di dunia Islam dan cara bagaimana seharusnya kaum muslim berperilaku dan cara sebenarnya mereka berperilaku. Karena itu, pengujian mungkin dilakukan dengan bantuan catatan sejarah di dalam masyarakat muslim maupun masyarakat non muslim.
Dengan demikian pembangunan secara otomatis didefinisikan oleh maqashid. Walaupun pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan manusia yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan, perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini, syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme dan persaudaraan serta keadilan sosial ekonomi dalam daftar maqashid. Namun demikian, masalah sosial dan ekonomi akan masih merupakan impian manakala sumber-sumber langka yang ada pada negara-negara muslim tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia seluruhnya melalui pemberantasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan umum dan penurunan ketidakseimbangan pendapatan dan kesejahteraan. Tujuan dari pemenuhan kebutuhan inilah yang harus direalisasikan melalui pembangunan kemampuan individu, kesempatan kerja dan kemandirian.[52]
Merumuskan konsep maslahat dalam menilai ekonomi politik pembangunan bukanlah persoalan mudah. Asumsi ini setidaknya dapat dilihat dari dua hal: Pertama, kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan, jangan sampai menimbulkan kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi, strategi dan model pembangunan mutlak dilakukan. Ini adalah upaya agar sistem poerekonomian yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan sesuai dengan karakteristik hukum dan ide dasar sistem perekonomian nasional yang dicita-citakan.
Sementara itu, melalui peran yang dimainkan oleh para ulama melalui produk fiqih yang ada di Indonesia dan dapat dijumpai formulasinya dalam kitab-kitab fikih klasik, konsepsi dan perumusan terhadap konsep kemaslahatan banyak dibangun berdasarkan ‘urf  Timur Tengah. Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dari penafsiran konsep maslahat yang mendapat sambutan kurang hangat dari masyarakat karena dianggap kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Hasbi sebagaimana dikutip Syaukani mengatakan bahwa seharusnya masyarakat muslim Indonesia mengambil mana yang lebih cocok dengan nusa dan bangsa ini, yaitu syariat Islam yang dapat menampung kemaslahatan masyarakat dan menjadi pendiri utama bagi pembangunan di tanah air.[53]
Relativitas pemaknaan maslahat yang terjadi selama ini cenderung menjadikan maslahat sebagai sebuah nilai yang diperebutkan. Pemikiran Islam konservatif dan liberal seringkali mempertentangkan aplikasi maslahat. Akibatnya, maslahat dijadikan alat legitimasi semua pemikiran yang mereka kembangkan. Hal ini yang penulis anggap melatarbelakangi perlunya pemberian batasan yang jelas tentang penggunaan maslahat sebagai sebuah dalil hukum dan sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam perekonomian.
Batasan yang selama ini dijabarkan oleh para ulama, seperti al-Syatibi menurut penulis berkaitan dengan maslahat dalam artian yang sangat luas. Padahal sebagaimana diungkap Syaltut, maslahat sama seperti ijtihad yang selalu berubah menyesuaikan kondisi waktu dan zaman.[54] Itu artinya, batasan untuk maslahat juga perlu dibuat lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan dimana maslahat tersebut akan digunakan. Dalam konteks Indonesia, maka batasan maslahat yang berbasis budaya Indonesia mutlak untuk direalisasikan.
Usaha memberikan batasan maslahat dalam konteks Indonesia juga telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL). MUI melalui fatwa kriteria maslahat, sedang JIL melalui pemikiran dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat. Hanya saja dalam pandangan penulis, batasan yang diberikan keduanya masih belum merepresentasikan dialog yang seimbang antara maslahat sebagai bagian dari hukum Islam dan kondisi realitas Indonesia serta maslahat sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam politik ekonomi pembangunan. Dan selama ini masih terkesan aspek hukum dalam perumusan kemaslahatan sangat jauh bahkan berkorelasi negatif dengan pemahaman dalam hal konsepsi pembangunan ekonomi yang diukur dengan pencapaian-pencapaian ekonometrik positivistik. Padahal dalam konteks pembangunan, dengan mengikuti pandangan hidup sistem, hal tersebut ibarat satu keeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Substansi nilai yang berasal dari perumusan konsepsi maslahat hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.
Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis. Untuk mencapai tujuan proses-proses demokratisasi yang sedang dijalani, pluralisme budaya harus digeser menjadi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme.[55] Dalam kasus ekonomi politik pembangunan multikulturalisme di Indonesia, pembangunan bisa dijalankan dalam tiga level sekaligus:[56] (1) memberi ruang yang sama bagi semua individu (apapun kelompok etniknya) untuk memilih jenis pekerjaan yang diinginkan, baik disektor swasta maupun pemerintah, lokasi pedesaan maupun perkotaan, dan pertanian maupun industri atau jasa; (2) memberikan keseimbangan kebutuhan dasar (dharuriyyat) misalnya pendidikan, kesehatan dan akses ekonomi antar pelaku ekonomi. Maksudnya, harus disadari pula bahwa selama ini, ‘kekalahan’ etnik pribumi dalam bersaing dengan etnik pendatang (misalnya Cina) tidak selalu akibat kebijakan pemerintah yang salah, melainkan berlangsung karena kemampuan kewirausahaan yang berbeda maupun intensitas ‘kerja keras’ yang berlainan. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan adalah kemampuan pemerintah untuk memberikan infrastruktur ‘kemampuan’ yang sepadan sehingga mereka bisa bersaing secara adil (fair competition); (3) menyerap nilai-nilai lokal yang berbasis etnis untuk diadopsi dalam strategi atau konsep pembangunan ekonomi. Pemerintah harus menyadari bahwa tidak ada konsep pembangunan universal, melainkan harus selalu mengalami ‘lokalisasi’ sesuai dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Dengan cara pandang semacam ini setiap kebijakan pembangunan yang diintrodusir lebih berpotensi untuk berhasil ketimbang konsep pembangunan yang ‘kedap’ budaya.
Pluralitas pemaknaan maslahat dewasa ini dalam konteks pembangunan ekonomi politik di Indonesia harus diletakkan pada porsi seperti ini. Pemaknaan maslahat sebagai nilai universal dalam merumuskan kebijakan pembangunan dengan demikian tidak bisa diserahkan pada perspektif apa yang dipahami dalam konteks pertumbuhan ekonomi saja dengan mengabaikan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran kemaslahatan.

G.          Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat diuraikan beberapa penekanan dalam kajian ini yakni sebagai berikut: pertama, kegagalan teori-teori pembangunan yang di bangun dalam konsepsi Barat adalah diakibatkan karena pendekatan yang digunakan secara parsial. Pendekatan ini mengimplikasikan pada konsekuensi-konsekuensi logis yang kerap terabaikan, yakni: (a) penekanan pada pertumbuhan yang mengabaikan distribusi berkeadilan, hal ini diindikasikan pada kebijakan yang lebih menekankan pada akumulasi kapital dengan orientasi pada pertumbuhan cepat; (b) tidak mencerminkan adanya prioritas kebijakan, pembangunan satu sektor kerap kali mengakibatkan pengabaian terhadap sektor lain; (c) tidak terdapat strategi yang menyentuh masalah ekonomi secara langsung, seperti penanganan ketimpangan dengan menerapkan trickle down effect; (d) kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak seimbang, sehingga sering menimbulkan ketidakmerataan dan ketidakadilan. Hal ini mengindikasikan tidak adanya tujuan yang diarahkan pada perwujudan maqahsid.
Kedua, dalam diskursus ekonomi Islam terdapat kajian yang menarik menyangkut kemaslahatan, karena erat terkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan dalam pembangunan yakni maqashid al-syariah, dimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menetapkan beberapa variabel penting yang sangat menentukan kesejahteraan atau kesengsaraan manusia. Dengan demikian pembangunan didefinisikan oleh al-maqashid yang saling melengkapi, yang meliputi aspek primer (daruriyat), sekunder (hajiyat) dan tertier (tahsiniyat). Walaupun pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang baik (fallah). Hal ini harus pula diikuti oleh peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap individu, keadilan, perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai dengan hal ini, syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan spiritualisme, persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi dalam daftar maqashid.
Ketiga, dengan menggunakan pandangan hidup sistem dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi politik di Indonesia akan membuka persfektif baru keterlibatan maqashid dalam dafar perioritas pembangunan dan multikulturalisme. Implikasinya adalah bahwa konsepsi ekonomi pembangunan tidak mungkin lagi menutup diri dari ruang publik yang didalamnya terdapat berbagai macam kebutuhan analisis dan melibatkan masyarakat yang multikultural.

Bibliography
Adiwarman A. Karim. 2004. Sejarah Ekonomi Islam, Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Al-Amiri, Abdallah M. al-Husayn. 2004. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi. Alih Bahasa: Abdul Basir. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ali, M. Sayuthi. 2002. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ansari, Javed. 1985. Gerakan Islamisasi Sebuah Pangantar dalam A.E. Priyono. Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi & Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M.
Arief, Abd. Salam. 2003. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: Lesfi.
Asmuni. Aktualisasi Teori Maqasid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam Mengembangkan Produk Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. 2008. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah. Yogyakarta: MSI & Safiria Insania Press.
Auda, Jasser. 2008. Maqasid al-Syariah as Philosofhy of Islamic Law London: IIIT
Azis D., Abdul, (ed), 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Chapra, M. Umer, 2001. The Future Of Economics: An Islamic Persfective. Jakarta: Syariah Economic Banking Institut.
Chapra, M. Umer. 2005. “Strategi Pembangunan Ekonomi di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam. dalam Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam Equilibrium. Yogyakarta: STEI.
Erani, Ahmad Yustika, 2011. Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fazlurrahman. 1984. Islam. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Isnawijayani. “Analisis Isi Film Ayat-Ayat Cinta dalam Memasyarakatkan Pendidikan Islam Jurnal Pembangunan Manusia. Yogyakarta: FISIB UGM.
Iswadi, Muhammad. “Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. dalam Jurnal Mazahib. Yogyakarta.
Jogiyanto, 1993. Analisis & Disain Sistem Informasi. Yogyakarta: ANDI.
Karim, Adiwarman A. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Krippendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi. Jakarta: Rajawali Press.
M. Amin Abdullah, 2012. “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi” dalam Jurnal Asy Syir’ah. Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Ma’ruf, Ahmad. 2001. “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, dalam Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah.
Madjid, Nurcholish, dkk.2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Paramadina.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nataatmadja, Hidajat. 1984. Pemikiran Kearah Ekonomi Humanistik Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. Yogyakarta: PLP2M
Nawawi, Imam., Hadis ‘Arbain al-Nawawi, hadis ke-32 dalam software Hadits Arba'in An­Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil ‘Ied versi 0.1
Raharjo, Dawam. 1985. Esei-Esei Ekonomi Politik. Yogyakarta: LP3ES.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Shiddiqi, Nouruzzaman. 1997. Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi, 2005. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Al Fabeta.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: LPS-STKS.
Syahbudi, “Arah Baru Maqashid Syari’ah Sebagai Filosofi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem” dalam Jurnal Istinbath. Mataram: Fakultas Syariah IAIN Mataram.
Syaukanie, Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional.  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Todaro, Michael P.  1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar. Jakarta: Erlangga.
Tulus T.H. Tambunan. Transformasi Ekonomi di Indonesia Teori dan Penemuan Empiris. tt. Jakarta: Salemba Empat.



[12] Todaro, Michael P.  Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar (Jakarta: Erlangga, 1998), hal. 16
[13] Ahmad Ma’ruf, “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, Jurnal IESP Vol. 2 No. 1, April 2001, hal. 69-88.
[14] Misalnya UNRISD (United Nation Research Institute on Sosial Development) dengan 16 indikator sosial ekonomi, pada 1970 Morris D. Morris memperkenalkan Physical Quality of Life Index (PQLI). UNDP (United Nation Development Program) dengan IPM atau Human Development Index pada 1990. Selain itu sejak 1995 UNDP mengembangkan pula alat ukur yang ditujukan untuk menilai keberhasilan pembangunan disuatu negara misalnya Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index/HPI) dan Indeks Pembangunan Jender (Gender Development Index/GDI). Todaro, Michael P.  Pembangunan... hal. 73-80
[15] Ahmad Ma’ruf, “Analisis Kinerja …., hal. 69-88
[16] Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Al Fabeta. 2005), hal. 15-16
[17] Agus Salim. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), hal. 266
[18] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 380
[19] Chapra, M. Umer, The Future Of Economics: An Islamic Persfective. (Jakarta: SEBI, 2001), hal. 124-125
[20] Adiwarman A. Karim. Sejarah… hal. 381
[21] Nouruzzaman Shiddiqi, Fikih Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 71
[22] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 39
[23] Ali, M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 47
[24] Klaus Krippendorff. Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. 15
[25] Isnawijayani. “Analisis Isi Film Ayat-Ayat Cinta Dalam Memasyarakatkan Pendidikan Islam Jurnal Pembangunan Manusia. Vol. 7 No. 1 April Tahun 2009, hal. 3
[26] Asmuni. Aktualisasi Teori Maqasid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam Mengembangkan Produk Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah (Yogyakarta: MSI & Safiria Insania Press, 2008), hal. 140. Lihat juga Jasser Auda dengan Maqasid al-Syariah as Philosofhy of Islamic Law (London: IIIT, 2008), hal. 2
[27] Fazlurrahman. Islam. Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 140
[28] Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1147
[29] Abdallah M. al-Husayn al-Amiri. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi. Alih Bahasa: Abdul Basir. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal. 33
[30] Imam Nawawi, Hadis ‘Arbain al-Nawawi, hadis ke-32 dalam software Hadits Arba'in An­Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil ‘Ied versi 0.1
[31] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 6-7
[32] Syahbudi, “Arah Baru Maqashid Syari’ah Sebagai Filosofi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem” Jurnal Istinbath Vol. 10 No. 2 Juni 2012, hal. 199.
[33] M. Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi” Jurnal Asy Syir’ah Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012, hal. 327-330
[34] Jasser Auda, Maqashid…hal. 26
[35] Lihat Jogiyanto, Analisis & Disain Sistem Informasi (Yogyakarta: ANDI, 1993), hal. 1-6
[36] Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hal. 319
[37] Ibid, hal. 352
[38] Jasser Auda, Maqashid…hal. 31.
[39] Lihat Muhammad Iswadi. “Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan”. Mazahib Vol. IV, No. 1, Juni 2007.
[40] Dawam Raharjo. Esei-Esei Ekonomi Politik (Yogyakarta: LP3ES, 1985), hal. 209
[41] Agus Salim. Perubahan…..hal. 266
[42] Ibid.
[43] Arief Budiman. Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 25-31
[44] Tulus T.H. Tambunan. Transformasi Ekonomi di Indonesia Teori dan Penemuan Empiris. (Jakarta: Salemba Empat, tt), hal. 1
[45] Lihat Edi Suharto. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. (Bandung: LPS-STKS, 1997)
[46] Lihat Hidajat Nataatmadja. Pemikiran Kearah Ekonomi Humanistik Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hal. 225-231
[47] Javed Ansari. Gerakan Islamisasi Sebuah Pangantar Dalam A.E. Priyono. Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi & Prosfek Gerakan Perekonomian Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 12-13
[48] Al-Syatibi selanjutnya menekankan bahwa: “kepentingan keimanan (dien) lebih penting dari pada kehidupan duniawi” Lihat Adiwarman A. Karim. Sejarah Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 380.
[49] Chapra, M. Umer, The Future,…hal. 125
[50] Ibid. hal. 132-133
[51] Ibid. hal. 143
[52] M. Umer Chapra. “Strategi Pembangunan Ekonomi Di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam Equilibrium Vol. 01 No. 1 Tahun 2005, hal. 2.
[53] Imam Syaukanie. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia & Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 92-93.
[54] Abd. Salam Arief. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hal. 155
[55] Akar kata multkulturalisme menurut Parsudi adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik.
[56] Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 340

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id