Tulisan telah terbit pada Jurnal
Iqtishaduna Fakultas Syariah dan Ekonomi Syariah IAIN Mataram
Edisi 4 Tahun 2013. Hal. 33-62. ISSN: 2076-1234.
Abstract
This
research of background by idea that most development in Nations moslem adopt
development strategy Western countries of ideological characteristic and its
economist situation. Frequent this by mistake of times, rill make Nations
moslem very difficult to face problems of faced economist. From result of
analysis that is later, then concluded that is: First, failure of development
theorys which in awaking up in West conception is resulted because used
approach by parsial. This approach of implication at uncared frequent logical consequences,
namely: (a) emphasis at growth disregarding distribution with justice; (b) do
not express the existence of policy priority; (c) do not there are strategy
touching the problem of economics directly, (d) uneven run policys, so that
often generate and do not flatten and is
inequitable. Both, one of the approach which is used in assessing development
performance in is in perspective of Islam by using analysis of al-maqasid is
cultural approach in anthropological frame of development representing one of
the alternative approach as form revise from approach of development of which
totally in handling and touching entire/all existing problems which is
overemphasize economic aspect.
Keyword: Approach, Maqasid al-Syariah, Performance, Development.
A. Pendahuluan
Paradigma tradisional
tentang kinerja pembangunan cenderung mengidentikkan kinerja pembangunan dengan
pertumbuhan ekonomi.[1]
Kinerja pembangunan dikatakan berhasil bila pertumbuhan ekonomi di suatu
wilayah relatif tinggi. Namun dewasa ini, definisi kinerja pembangunan yang
banyak diterima adalah kinerja pembangunan merupakan suatu proses dimana
pendapatan perkapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang
dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah “garis kemiskinan
absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.[2]
Berangkat dari keinginan
untuk menyempurnakan indikator kesejahteraan, maka banyak ahli ekonomi dan
lembaga internasional mengembangkan indeks pembangunan dengan memasukkan
indikator sosial.[3] Konesp Human Developmen Index yang dikembangkan
oleh United Nation Development Program (UNDP)
memperioritaskan pada pencapaian tujuan pembangunan yang menjadikan masyarakat
sebagai fokus perhatian. Beberapa pemikiran yang dikembangkan oleh UNDP diringkas
sebagai berikut: (1) memfokuskan pembangunan pada manusia; (2) memadukan
pendekatan ekonomi dan sosial dalam pencapaian tujuan pembangunan; (3)
menyediakan alat analisis untuk perencanaan pembangunan; dan (4) memberikan
anjuran kepada pemerintah dunia ketiga guna memperioritaskan distribusi hasil
pembangunan.[4]
Di Indonesia, kondisi
pembangunan fisik memang telah menghasilkan kemajuan yang menggembirakan.
Pertumbuhan ekonomi telah meningkat tajam pada awal 1980-an, tetapi tidak
terjadi kesinambungan seperti yang diharapkan. Akibat dari kemajuan pembangunan
fisik, terjadi pula pengrusakan alam lingkungan secara besar-besaran. Meskipun
secara normatif, masalah-masalah kemiskinan, kesehatan, pengangguran, keadilan
sosial telah termuat dalam naskah-naskah perencanaan pembangunan nasional namun
implementasinya masih sangat jauh dari memusakan.[5]
Hasil-hasil pembangunan
yang telah di capai dengan penerapan sejumlah teori dan asumsi kemudian
menghadirkan banyak konsekuensi subjektif kemudian menjadi wacana perdebatan.
Hal ini menjadi menarik, karena merupakan upaya pembongkaran terhadap substansi
pemikiran yang berasal dari ideologi ilmu sosial yang bernama “pembangunan” (developmentalism). Sebuah konsep
pembangunan yang berasal dari Barat yang serta merta dipaksakan pada hampir
semua rakyat yang hidup di dunia ketiga, dan tidak lepas dari refleksi
paradigma positivisme dan post-positivisme menyangkut perubahan sosial yang
bersifat reduksionis. Ilmu pengetahuan yang memuat konsep pembangunan yang
diproduksi oleh negara Barat dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga, dimana
mereka awalnya dilabeli “kekurangan” tentang hal-hal yang dapat dipenuhi oleh
teknologi dan keahlian professional.[6]
Diskursus pembangunan
selanjutnya tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pengetahuan
“non-positivisme”, sehingga cara-cara pertanian tradisional digusur dan segala
bentuk formasi non-kapitalistik dihancurkan. Keragaman pemikiran yang berasal
dari budaya etnik dilabeli sebagai tradisional yang menghambat pola fikir yang
rasional. Dalam kondisi seperti ini akhirnya lahirlah banyak pemikir kritis
yang bersikap bahkan menolak konsep pembangunan.
Pada penelitian ini
kinerja pembangunan dikaji dari konsep maqasid
al-syariah, untuk selanjutnya akan disebut al-maqasid. Konsep al-maqasid
ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia
didunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan dan peningkatan mutu hidup
terhadap unsur-unsur, yakni agama, keimanan, jiwa, akal, keturunan dan harta.[7]
Sesuai dengan diskusi menyangkut al-maqasid,
pengayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua
upaya manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat
berhubungan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi tujuan
ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.[8]
Dengan demikian kewajiban-kewajiban dalam syariah yang menyangkut perlindungan al-maqasid pada gilirannya bertujuan
untuk melindungi kemaslahatan manusia.[9]
Sementara
itu, fokus permasalahan yang hendak dipecahkan adalah tentang bagaimana
mengetahui kinerja pembangunan dalam perspektif Islam? Dan bagaimana menentukan
pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja pembangunan dalam perspektif
Islam dengan menggunakan analisis al-maqasid?
B. Metode
Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini digolongkan dalam dua pendekatan, yakni: pendekatan komparatif eksploratif[10] dan pendekatan
antropologis. [11] Sementaran jenis penelitian, yakni deskriptif kualitatif.[12] Untuk teknik pengumpulan data
menggunakan litereir atau library research (studi pustaka). Data yang digunakan
adalah data sekunder yang
terdiri atas: pertama, data primer,
yakni al-Qur’an, Hadis
dan Fatwa MUI tentang
kriteria maslahat; kedua, data
skunder, yakni terdiri
dari bahan-bahan pustaka lainnya, seperti buku, artikel, jurnal, ensiklopedi, software kitab-kitab Islam, dan data internet yang berisikan
pendapat para pakar atau praktisi dan hal-hal yang memiliki relevansi dengan
permasalahan yang menjadi obyek kajian;
ketiga data tersier, yaitu data
hasil penelitin, kamus hukum dan kamus ekonomi. Sedangkan teknik
analisis data menggunakan content
analisys (analisis isi) dengan
paradigma kritis.[13] Holsti
sebagaimana dikutip Isnawijaya, mendefinisikan analisis isi sebagai teknik
apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.[14]
C. Hasil
dan Pembahasan
Kinerja Pembangunan
Berbagai
definisi dikemukakan menyangkut kinerja pembangunan, misalnya dimana kinerja
lebih merupakan suatu istilah umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh
tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode yang dicapai,
kemampuan kerja atau prestasi yang diperlihatkan.[15]
Menurut Fiske sebagaimana dikutip Sri Handayani menjelaskan bahwa kinerja
merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut
kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan.[16]
Menurut
Wiklund ukuran kinerja adalah pertumbuhan (growh),
menurut Widodo, secara fungsional kinerja organisasi tercermin dari baiknya
tingkat kinerja sumber daya manusia seperti tingginya tingkat produktivitas,
tingkat kreativitas dan inovasi, juga tercermin pada manajemen operasi produksi
seperti tingginya tingkat efesiensi, tingginya mutu produk dan mutu layanan,
disamping tingginya kinerja manajemen keuangan, seperti ketersediaan dana,
penggunaan dana yang efektif dan efesien.[17]
Dari definisi
tersebut di atas, maka kinerja adalah merupakan hasil kerja pembangunan yang
dicapai oleh suatu organisasi, daerah dan atau negara selama periode tertentu.
Menurut Todaro kinerja pembangunan dapat dimaknai sebagai suatu proses
multidimensi yang melibatkan perubahan-perubahan dalam suatu struktur sosial,
sikap dan faktor kelembagaan, juga percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakadilan dan penghapusan kemiskinan absolut.[18]
Setidaknya
terdapat tiga nilai dasar yang harus diperhatikan dalam kinerja pembangunan
yakni:[19]
(1) sustenance yakni kemampuan untuk
menyediakan kebutuhan dasar yang meliputi pangan, papan dan rasa aman; (2) self-estem yakni berupa kebutuhan untuk
dihargai dimana suatu perasaan akan dinilai atau martabat dan hormat terhadap
diri pribadi, sehingga tidak dimanfaatkan semata-mata sebagai alat untuk
mencapai tujuan orang lain; (3) freedom
from servitude yakni kebebasan untuk dapat memilih. Kebebasan disini
hendaknya tidak dipahami dalam makna politik atau ideologi, melainkan dalam
pengertian yang lebih mendasar mengenai kebebasan atau emansipasi dari
perampasan kondisi material kehidupan, dari penjajahan sosial atas manusia oleh
alam, kebodohan, penderitaan, lembaga-lembaga dan keyakinan-keyakinan dogmatik.
Sejak akhir
tahun 1940-an pembangunan telah menjadi perhatian bagi penelitian akademik yang
penting terutama di negara-negara yang baru merdeka (post colonial states).
Sejak itu istilah pembangunan diasosiasikan dengan kondisi dan situasi ekonomi,
politik, dan perubahan sosial. Permasalahan klasik pembangunan adalah
kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang masih terus terjadi. Tantangan
studi pembangunan adalah menjembatani kesenjangan dan ketidakadilan,
mempromosikan penanganan konflik dengan jalan yang damai, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.[20]
Berbagai
teori pembangunan yang muncul seolah-olah tak mampu mengatasi persoalan yang
dihadapi masyarakat dunia. Teori-teori ekonomi sejak dari neo-klasik ekonomi
konvensional sampai liberalisasi dan deregulasi juga tidak membuat
bangsa-bangsa di dunia menjadi sejahtera seperti yang dicita-citakan. Teori
pembangunan terus mengalami perkembangan termasuk bertambah luasnya kajian dan
bidang ilmu yang memberikan kontribusi. Salah satunya adalah masuknya ilmu
filsafat, etika dan keagamaan dalam mengkaji teori dan praktek pembangunan.
Pembahasan tentang etika pembangunan dan peran nilai-nilai keagamaan semakin
relevan dengan kondisi bangsa yang belum begitu menggembirakan. Kebijakan
pembangunan masih lebih menekankan pada dimensi ekonomi dan fisik, belum
menyentuh dimensi lain terutama moralitas dan religiusitas.
Dalam
kepustakaan menyangkut konsep kinerja pembangunan, konsep kinerja pembangunan
muncul seiring dengan kajian tentang teori dan studi pembangunan. Diantara
konsep kinerja pembangunan yang paling sering disinggung adalah konsep
modernisasi (Modernization Concept), konsep ketergantungan (Dependency
Concept). Kemudian diikuti dengan berkembangnya konsep sistem dunia (World
System Concept). Sampai saat ini berbagai konsep dan paradigma yang muncul
diseputar kinerja pembangunan adalah variasi ketiga konsep tersebut.[21]
Konsep terakhir
yang tidak dapat dilepaskan dari konsep dan paradigma pembangunan dan berbagai
pandangan di dalamnya adalah konsep pembangunan manusia. Menurut konsep ini,
tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang
memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan
berumur panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh
keinginan untuk meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman
pembangunan menunjukkan bahwa kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
manusia tidak terjadi dengan sendirinya. Pengalaman-pengalaman tersebut
mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya
merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya.
Pembangunan
manusia bertujuan untuk memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini
mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti
tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan
kemampuan yang telah dimiliki untuk bekerja, menikmati kehidupan atau aktif
dalam kegiatan budaya, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang
disebut sebagai sebuah konsep holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1)
peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan
pembangunan; dan (4) pemberdayaan manusia.[22]
Pembangunan
selalu menunjukan pada manusia, dimana manusia adalah subjek pembangunan. Hal
itu berarti bahwa di satu pihak manusia adalah pelaksana, di lain pihak ia
adalah tujuan pembangunan. Suatu pembangunan akhirnya tidak akan berhasil jika
tidak memperhatikan para manusia pelakunya. Sebab pada manusia-lah pembangunan
benar-benar mempunyai akar yang kuat. Produksi hanya dapat dihasilkan dan dapat
diberikan secara kontinu, sepanjang manusia sanggup melaksanakannya.
Pembangunan secara struktural berarti membangun manusia pembangunan.[23]
Di Indonesia,
pembangunan adalah sebuah istilah yang populer dalam kehidupan bangsa
Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Kata ini seakan-akan menjadi suatu
kekuatan besar yang memberikan energi dan motivasi kepada bangsa Indonesia
untuk meraih keberhasilan dan kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan.
Kebijakan pembangunan di Indonesia selama masa Orde Baru dirumuskan dalam
program Pembangunan Jangka Panjang (PJP), telah berhasil mengangkat angka
pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan pada saat itu.[24]
Namun di sisi lain, keterlibatan masyarakat baik dalam proses maupun
pemanfaatan hasil, belum mencapai tingkatan yang merata (adil). Sebaliknya
proses dan hasil pembangunan masih sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil
masyarakat, terutama para pemilik modal.
Kondisi
tersebut dimungkinkan, mengingat model pembangunan berorientasi pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang (capital) sebagai yang paling pokok.[25]
Konsekuensinya lembaga-lembaga non-ekonomi seperti lembaga politik dan sosial
juga harus digerakkan untuk mencapai tujuan ini. Jika ini bisa dilakukan maka
tahap lepas landas dan kemudian tahap konsumsi masal yang tinggi (sebagaimana
Rostow) akan dicapai. Namun demikian, langkah pertama seluruh proses yang
panjang ini dimulai dengan menghilangkan hambatan pada masyarakat tradisional,
agar masyarakat dapat memerdekakan dari nilai-nilai tradisinya, dan mulai
bergerak maju. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses
maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Yang
kondisi ini menyebabkan keresahan sosial dan berujung pada krisis multidimensi
dan ancaman disintegrasi nasional.[26]
Makna dan
hakikat pembangunan nasional di Indonesia yang dirumuskan dalam GBHN (Garis-garis
Besar Haluan Negara) yang merupakan rangkaian upaya pembangunan
berkesinambungan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti
ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan (hankam). Rangkaian
pembangunan dalam seluruh aspek tersebut diupayakan untuk mencapai tujuan
nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni kesejahtraan umum dan
keadilan sosial.[27]
Kebijakan dan
program pembangunan yang disusun setiap lima tahun (Repelita) sekali dengan
GBHN sebagai landasan operasionalnya telah “membius” dan menambah keyakinan
masyarakat akan kehebatan pembangunan. Hal ini diperkuat dengan
laporan-laporan, data statistik, dan dukungan dunia internasional yang menunjukkan
kesuksesan pelaksanaan pembangunan serta indikator sosial-ekonomi lainnya
semakin menambah kepercayaan bangsa Indonesia akan keampuhan dan “kesaktian”
kata pembangunan, meskipun dalam kenyataannya sebagian besar mereka hidup dalam
kesulitan dan kebodohan karena kemiskinan.[28]
Pembangunan
dikatakan berhasil, manakala pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada gilirannya
akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) sehingga
keberhasilan tersebut akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Kenyataan
menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan tersebut, badai krisis (ekonomi dan
politik) pada 1997 akhirnya membuktikan pelaksanaan pembangunan yang memihak
para konglomerat dan mengabaikan kekuatan masyarakat bawah sebagai sumber daya
yang sangat potensial dan merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia.
Pemihakan
tersebut sangat dimungkinkan karena paradigma pembangunan yang diterapkan lebih
mengacu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang mengutamakan
uang (capital) sebagai
yang paling utama (capital centered development). Pemihakan ini
sebenarnya bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional yang menekankan pada
pembangunan untuk seluruh dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pasal
33 UUD 1945. Tetapi dalam prakteknya, porsi yang terbesar diberikan kepada
swasta (konglomerat) sementara BUMN terlebih lagi koperasi, hanya menjalankan
peran yang marjinal.[29]
Konsep
pembangunan yang berkembang di Indonesia dirumuskan melalui sebuah sistem yang
biasa disebut sistem ekonomi Pancasila. Secara konseptual, setidaknya terdapat
4 (empat) ciri khas sistem ekonomi Pancasila yakni:[30]
(1) peranan dominan koperasi bersama dengan perusahaan negara dan perusahaan
swasta. Semua bentuk badan usaha didasarkan pada asas kekeluargaan dan prinsip
harmoni dan bukan pada asas kepentingan pribadi dan prinsip konflik
kepentingan; (2) memandang manusia secara utuh. Manusia bukan semata-mata homo economicusi tetapi juga social man and religious man; (3) adanya
kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan
sosial; dan (4) prioritas utama terhadap terciptanya suatu perekonomian
nasional yang tangguh.
Adapun panca
ajaran ekonomi Pancasila yang dapat diturunkan dalam setiap sila sebagaimana
yang telah dimasyarakatkan pada tahun 1981, yakni:[31]
(1) roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2)
kehendak kuat rakyat akan adanya kemerataan sosial; (3) peroioritas
kebijaksanaan ekonomi pada pengembangan ekonomi nasional yang tangguh; (4)
koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional; (5) keseimbangan antara
perencanaan nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi di
daerah-daerah.
Secara
yuridis implementasi konsep pembangunan di Indonesia yang dirumuskan dalam
sistem ekonomi Pancasila ini selalu didasarkan pada hukum dan melaksanakan
demokrasi ekonomi. Demokrasi yang menjadi tujuan untuk tercapainya masyarakat
adil dan makmur material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Dengan demikian
dalam ekonomi Pancasila dan implementasi konsep pembangunnanya, yang primer
atau yang predominan adalah Pancasilanya sebagai falsafah hidup bangsa. Selain
itu, faktor-faktor sosio-kultural sebagai keperibadian bangsa juga bersifat
predominan dan menentukan nilai-nilai serta faktor-faktor ekonomi yang
dijunjung tinggi serta digunakan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Maqasid al-Syariah
Secara bahasa maqasid al-syariah terdiri
dari dua kata yakni maqasid dan al-syar’iyah. Maqasid adalah
bentuk jamak dari
maqshad yang berarti tujuan (goal).[32]
Syar’iyah secara bahasa berarti jalan
menuju sumber air, dalam pengertian ini dapat pula dikatakan sebagai jalan
menuju sumber pokok kehidupan.[33]
Diantara beberapa
prinsip yang mengatur tentang konsep maqashid
al-syariah, misalnya sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Anbiya’ (21) ayat 107.
Ayat ini memiliki
kandungan bahwa segala ketentuan syariat yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw.
bertujuan untuk membawa manusia pada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat ini juga mengindikasikan
tujuan syariat untuk mengatur kemaslahatan yang ada pada kehidupan manusia. Bahkan melalui ayat ini juga
dipahami adanya perlakuan yang sama
antara sikap Allah kepada Muslim dan non-Muslim dalam hal pemberian rahmat.[34]
Disamping
itu, ayat-ayat dalam al-Qur’an
juga menunjukkan adanya konsep tadrijiy (gradual) dalam menetapkan syariat Islam, seperti
ayat-ayat yang menunjukkan proses haramnya riba.[35]
Graduasi pengharaman riba tersebut
mempertimbangkan kebiasaan umat yang ada saat itu, sehingga perubahan tidak dilakukan dengan serta merta. Hal
ini menunjukkan bahwa syariat Islam
begitu memperhatikan kemaslahatan manusia secara sosiologis dan psikologis.
Beberapa
ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan misalnya dalam merumuskan konsep maslahat
ini misalnya:[36] dalam hal keagamaan yakni
Q.S. al-Dzariat (51): 56, Q.S. Ali Imran (3): 103. Dalam hal memelihara jiwa
yakni Q.S. al-Nisa’ (4): 29-30, Q.S. al-Ma’idah (5): 32, Q.S. al-Nisa’ (4): 92.
Dalam hal memelihara akal dan berpendidikan yakni Q.S. al-Ma’idah (5): 90, Q.S.
ar-Rahman (55): 33. Dalam hal keturunan yakni kelangsungan hidup manusia dari
generasi kegenerasi yakni Q.S. al-Nisa’(4) : 3, Q.S. an-Nur (24): 32, Q.S.
ar-Ruum (30) : 21. Dalam hal kehidupan yang layak dan sejahtera yakni Q.S.
al-Qashash (28): 77, dan Q.S. al-Baqarah (2): 201.[37]
Sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an, as-Sunnah juga sering digunakan untuk melegitimasi dukungan Nabi Muhammad saw
terhadap konsep maslahat adalah sabda Nabi yang juga digunakan oleh al-Thufi sebagai dalil teori
maslahat yang ia ciptakan.[38] Hadis
tersebut artinya “Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang
mencelakakan diri sendiri dan orang lain“.[39]
Selain kedua sumber hukum di atas yang disepakati oleh
para ulama kekuatan hujjahnya (almuttafaq ‘alaihima), terdapat juga
beberapa ijtihad sahabat yang menjadi landasan
kuat bagi maslahat dan secara rasional mengindikasikan bahwa maslahat pernah memainkan peranan yang cukup signifikan dalam
sejarah Islam.[40]
Beberapa kebijakan-kebijakan yang dituangkan para sahabat Nabi yang
mengindikasikan peran pertimbangan maslahat, diantaranya adalah: pertama, kebijakan yang ditempuh oleh
hasil Ijtihad
Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an yang terpencar. Ijtihad ini atas inisiatif Umar yang
berkeyakinan dan berhasil meyakinkan Abu
Bakar bahwa pengumpulan mushaf akan membawa maslahat.[41] Kedua, hasil ijtihat Umar menyangkut talak, hukuman bagi pencuri
dan pembagian zakat kepada muallaf. Dimana hasil Ijtihad Umar tentang
ketiga hal tersebut sering dijadikan rujukan dalam penetapan maslahat.[42]
Ketiga, hasil ijtihat Umar
menyangkut pembagian harta rampasan perang (ghanimah)
dan hukuman bagi pelaku zina, dimana Umar dalam pembagian ghanimah ini, Umar lebih memilih untuk tidak melaksanakan ketentuan
dalam al-Qur’an yakni Q.S. al-Anfal ayat 41 yang menyatakan bahwa ghanimah
itu, setelah dikurangi seperlima untuk kegiatan keagamaan dan sosial, maka
sisanya empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang, dalam hal
ini Umar lebih memilih untuk memberikan kepada baitul mal guna
perbendaharaan negara.[43] Menyangkut hukuman bagi
pelaku zina, telah menjadi ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw bahwa
hukuman yang dikenakan kepada seorang laki-laki pelaku zina yang masih lajang
adalah 100 kali cambuk dan kemudian diasingkan selama satu tahun. Pada waktu
Umar, pelaku zina tidak diasingkan, karena dikhawatirkan akan bergaul dan
terpengaruh dengan musuh-musuhnya.[44]
Sementara itu maqasid al-syariah menurut
al-Fasi yakni tujuan syariah dan rahasia-rahasia dibalik penetapan hukum oleh
Allah. Maksudnya disini adalah tujuan-tujuan umum (maqasid al-ammah). Sedangkan rahasia hukum adalah maqasid al-khassah atau al-juz’iyah (tujuan khusus dari
penetapan suatu hukum). Tujuan umum syariah menurut al-Fasi yakni membangun
dunia, menjaga sistem kehidupan dan keutuhannya sesuai dengan kebutuhan manusia
serta melaksanakan apa yang ditugaskan kepada mereka seperti berbuat adil,
keselamatan akal, pekerjaan, mendistribusikan kekayaan dan lainnya.[45]
Ibnu
‘Asyur mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan tujuan umum dalam syariah yakni
makna dan hikmah yang disimpulkan dari semua atau sebagaian situasi penetapan
hukum yang tidak hanya dapat disimpulkan dalam bentuk khusus dari hukum-hukum
syariah. Ibnu ‘Asyur selanjutnya menjelaskan bahwa al-maqasid al-ammah antara lain meliputi perlindungan terhadap
aturan, menarik kemaslahatan, mencegah kerusakan, menegakkan kebersamaan antara
umat beragama, menjadikan umat lebih berdaya dalam bidang ekonomi dan lainnya.
Sedangkan al-mawasid al-khassah
meliputi cara-cara legal untuk mewujudkan kemaslahatan umat, atau memelihara
kemaslahatan umum dalam interaksi khusus. Termasuk didalamnya semua hikmah
penetapan berbagai hukum dalam transaksi ekonomi.
Terkait
dengan hal ini, al-Syatibi membagi ijtihad
menjadi dua bentuk, yakni ijtihad istinbati
dan ijtihad tatbiqi. Dalam kajian al-maqasid ijtihad istinbati dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah
yang dikandung oleh nash. Inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan tolak
ukur terhadap suatu kasus yang akan ditentukan hukumnya. Kemudian untuk
menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu
permasalahan yang konkrit, diperlukan suatu bentuk ijtihad lain, yakni ijtihad tatbiqi atau disebut juga dengan tahqiq al-manat (ilat). Ijtihad seperti
inilah yang berperan penting dalam mengantisipasi perubahan sosial disepanjang
zaman dan tempat.[46]
Selanjutnya, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan
dengan al-maqasid. Kata-kata itu
ialah maqasid al-syariah, al-maqasid
al-syar’iyyah, dan maqasid min syar’I
al-hukm. Meskipun demikian menurut Asafri, walau dengan kata-kata yang
berbeda mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh
Allah swt. Apabila ditelaah pernyataan al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan
bahwa kandungan al-maqasid atau
tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.[47]
Dimana
al-Syatibi mendefinisikan maslahat sebagai sesuatu yang
dipahami untuk memeliharanya sebagai suatu hak hamba, dalam bentuk meraih
kemaslahatan dan menolak kemudaratan yang untuk mengetahuinya tidak didasarkan
pada akal semata, jika Allah tidak memberikan penegasan terhadapnya, bahkan
menolaknya, maka kaum muslimin sepakat menolaknya sebagai kemaslahatan.[48]
Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa menurut al-Syatibi bahwa yang dimaksud
dengan al-maslahah dalam pengertian syari’ (Allah swt) mengambil manfaat dan
menolak kemafsadatan yang tidak hanya berdasarkan kepada akal sehat semata,
tapi dalam rangka memelihara hak hamba.
Al-Syatibi menyatakan bahwa tidak semua kemaslahatan
duniawi dapat diketahui oleh akal, namun hanya sebagian, dan lainnya diketahui
melalui syariat. Jika akal dapat mengetahui segala kemaslahatan duniawi secara
mutlak, syariat hanya berfungsi sebagai pedoman ukhrawi, padahal syariat
bermaksud menegakkan keduanya, kehidupan duniawi dan ukhrawi.[49]
Sehubungan dengan hal inilah, justifikasi pendapat
al-Syatibi patut dikemukakan bahwa akal itu tidak dapat menentukan baik dan
jahatnya sesuatu, maksudnya adalah akal tidak dapat mengatasi syariat dalam
menilai baik jahatnya sesuatu sehingga akal harus tunduk kepada wahyu, akal
tidak memiliki lahan berfikir kecuali dalam hal yang telah diberikan melalui
wahyu. Dengan kata lain akal tidak boleh menjadi subjek atas syariat. Disini
sebenarnya dapat dipahami bahwa al-Syatibi dalam membicarakan maslahat
memberikan dua dlawabith al-maslahat (kriteria maslahat) sebagai
batasan: Pertama, maslahat itu harus
bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang akan membuatnya
tunduk pada hawa nafsu. Kedua,
maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak
bertentangan dengan sebagian juziyat-nya.[50]
Sedangkan definisi maslahat secara terminologi atau
istilah syarak telah banyak dikemukakan oleh
para ulama ushul. Di antaranya adalah: Imam Ghazali, memberikan definisi maslahat sebagai sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya (usaha) mengambil manfaat dan menolak mudarat dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syarak.[51] Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu kemasalahatan menurut
manusia dan kemaslahatan menurut
syari’at. Kemasalahatan menurut manusia ukurannya adalah akal dan perasaan, sedangkan kemaslahatan menurut
syari’at ukuranya adalah wahyu.[52]
Dalam kitabnya al‑Muwafaqat,
al-Syatibi menghabiskan
lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai al-maqasid. Dalam
pembahasannya, Syatibi membagi al-maqasid dalam dua bagian penting,
yakni maksud syari’ (qashdu asy-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu
al-mukallaf) yang mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya
maksud Tuhan dalam menetapkan hukum?” Al-Syatibi ketika berbicara mengenai maslahat dalam
konteks al-maqasid mengatakan bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (Syari’)
adalah tahqiq
masalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), dan bahwa kewajiban-kewajiban syari’at
dimaksudkan untuk memelihara al-maqasid.[53]
Menurut Syatibi, Allah
menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain untuk mengambil kemaslahatan dan
menghindari kemudaratan (jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan
bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri. Syatibi kemudian membagi maslahat ini kepada
tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder)
dan tahsinat (tertier, luxs).
Imam al-Qarafy, salah seorang penganut madzhab Maliki
pernah menegaskan bahwa aturan
yang wajib diperhatikan oleh ahli fiqih dan fatwa ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari
hari ke hari, sambil memperhatikan tradisi dan
kebiasaan, dengan perubahan waktu dan tempat. Senada dengan al-Qarafy, Yusuf
Qardawi juga menjelaskan bahwa
di antara hukum-hukum hasil ijtihad
terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan,
berarti harus ada perubahan hukum yang
menyertainya.[54]
Senada dengan hal tersebut menurut al-Syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menerapkan
hukum yang telah digalinya dari
al-Qur’an atau Sunnah sebagaimana adanya. Ia berkewajiban
memberikan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum. Apabila hukum yang
dihasilkan dari ijtihadnya itu tidak cocok
diterapkan pada objek hukum karena penerapan hukum itu membawa kemudaratan, maka mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai, sehingga kemudaratan bisa dihilangkan dan
kemaslahatan dapat tercapai. Teori inilah
yang dikenal dengan sebutan nazariyyah i’tibar al-ma’al.[55]
Oleh Tim Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta kemaslahatan ini didefinisikan sebagai segala bentuk keadaan, baik
material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai
mahluk yang paling mulia.[56]
Menurut Tim ini, dalam al-Qur’an maslahat banyak disebut dengan istilah
manfaat, atau manafi’, istilah lain
yang sering digunakan juga adalah hikmah,
huda, barakah yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah di dunia
maupun di akhirat, dengan demikian menurut Tim P3EI maslahat mengandung
pengertian kemanfaatan dunia dan akhirat.
Dari
beberapa pendapat para ahli ushul dan
ekonomi di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan maslahat adalah
perolehan kemanfaatan dan penolakan terhadap kesulitan terhadap hamba (terutama
manusia), dan hal itu dipandang sebagai tujuan dari pembentukan syariat. Namun
demikian al-Raysuni mengakui sangat
sulit memberikan definisi yang mendetail mengenai maslahat. Karena definisi ini juga akan
memberikan gambaran pola pikir orang yang
mengartikannya. Sebagian orang diejek sebagai seorang reformis hanya karena seringkali menganjurkan penggunaan
maslahat, aktivitas sosialnya juga banyak
dikritisi. Oleh karena itu untuk mendapat pemahaman yang benar dan tepat terhadap pengertian maslahat,
menurut al-Raysuni harus melihat dari berbagai
segi dan sudut pandang, yakni:[57] pertama, sebagai permulaan akan lebih baik jika melihat pengertian
maslahat secara sederhana dan universal,
yaitu dengan mengatakan bahwa maslahat adalah segala sesuatu yang mengandung
kebaikan dan manfaat bagi sekelompok manusia
dan juga individu. Kedua, selanjutnya dilihat dari sisi lain dan ditemukan
wajah lain dari maslahat yaitu mencegah mafsadat.
Oleh karena itu, dalam mencapai kemaslahatan harus dihindarkan segala kerusakan baik sebelum dan sesudahnya,
atau yang mengikut dan
menyertainya.
Ketiga, selanjutnya ditemukan
bahwa kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan bermanfaat bagi mereka ternyata sangat beragam bentuk dan
coraknya. juga akan temukan bahwa
maslahat dan mafsadat mempunyai tingkatan berbeda secara kualitas dan kuantitas. Keempat, maslahat bila dilihat dari sudut pandang waktu yang
panjang, ternyata karena perkembangan zaman dapat juga berubah menjadi sesuatu
yang merusak atau sebaliknya. Dan terakhir,
maslahat juga perlu dipandang dari
sisi keumumannya dan kekhususannya. Bisa
saja dianggap maslahat bagi orang-orang elit dan menjadi mafsadat bagi orang-orang awam.
Dari
penjelasan al-Raysuni tersebut dapat dipahami bahwa definisi yang beragam dari maslahat juga akan mengarah pada terdapatnya kontradiksi antar
kemaslahatan. Dengan kata lain, terdapat kemaslahatan yang kita yakini dan anggap benar, namun dalam perjalanannya justru menyingkirkan kemaslahatan lain, atau malah terjerumus dalam mafsadat.
Dalam kondisi ini, menurut al-Raysuni semua orang harus meletakkan ragam
pendapat tersebut pada porsinya
masing-masing, kemudian dianalisis dari segala sudut pandang yang telah disebutkan.
Baru akan diketahui maslahat yang harus didahulukan dan maslahat yang diahirkan. Menurut al-Raysuni, proses inilah yang akan
mengantarkan pada pengertian maslahat yang benar.[58]
Selanjutnya menurut Ramadhan al-Buthy, sebagaimana dikutip
oleh Imam Mustofa, terdapat beberapa kriteria maslahat yang harus dipegang oleh
seorang mujtahid, diantaranya adalah: (1) mempriorotaskan tujuan-tujuan syarak,
(2) tidak bertentangan dengan al-Qur’an, (3) tidak bertentangan dengan Sunnah,
(4) tidak bertentangan dengan prinsip qiyas, dan (5) memperhatikan kepentingan
umum yang lebih besar.[59] Dalam
hal ini nampak bahwa salah satu faktor
terjadinya perbedaan, tidak terkecuali dalam merumuskan konsep maslahat ini, adalah perbedaan dalam
menilai realitas yang oleh para fuqaha
diidentifikasi sebagai masalah umum atau dikenal dengan istilah tahqiqul
manath.[60]
Menilai Kinerja Pembangunan dalam Perspektif al-Maqasid
Dalam penjelasan
sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa hakikat al-maqasid dari segi substansi adalah kemaslahatan. Maslahat atau al-mashlahah berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat.[61]
Pandangan para ahli ushul tersebut di
atas setidaknya juga dapat dijadikan landasan berpijak bagi para ekonom untuk
menetukan kriteria kemaslahatan, meskipun untuk hal ini, kita tidak dapat
menarik garis yang tegas menyangkut perbedaan antara ulama ahli ushul disatu sisi dan ekonom disisi
lain, karena sering terjadi, bahwa seorang ekonom muslim juga berkedudukan
sebagai seorang ahli ushul, dan
demikian sebaliknya.
Al-Qur’an dan as-Sunnah
juga telah menetapkan beberapa variabel penting yang sangat menentukan
kesejahteraan atau kesengsaraan manusia. Ini misalnya dilakukan melalui suatu
hubungan sebab akibat pada sifat jika A maka B, dimana A merupakan norma atau
lembaga yang diperlukan, dan B merupakan kontribusi yang dapat diberikan A
kepada kesejahteraan semua mahluk hidup sekarang, maupun di masa yang akan
datang. Sama seperti upaya untuk menjelaskan fenomena sebelumnya menghasilkan
proposisi, teori-teori dan hukum-hukum, hubungan antara al-maqasid dan berbagai cara perilaku individu dan kelompok maupun
saringan, motivasi, restrukturisasi dan peranan pemerintah yang ditunjukkan di
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah juga dapat menghasilkan proposisi yang berharga.
Dan semua proposisi tersebut mesti diuji sehingga menghasilkan teori-teori dan
hukum-hukum.
Sesuai dengan diskusi
menyangkut al-maqasid pengayaan
keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan menjadi fokus dari semua upaya
manusia. Jadi manusia ini sendiri menjadi tujuan maupun cara, sangat
berhubungan dengan dan tergantung pada proses sebab akibat berantai. Realisasi
tujuan ini memperkuat cara dan lebih lanjut mengintensifkan realisasi tujuan.
Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah mengapa al-Syatibi dan para ulama
lainnya menempatkan keimanan, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan dalam suatu
urutan yang berbeda secara radikal dari ilmu ekonomi konvensional, dimana
keimanan tidak memiliki tempat dan jiwa, akal dan keturunan meskipun dianggap
penting dikesampingkan keruang variabel eksogen. Sehingga, itu tidak
mendapatkan perhatian yang layak.
Keimanan ditempatkan di
urutan pertama[62] karena memberikan cara
pandang dunia yang cenderung mempengaruhi keperibadian, yakni perilaku, gaya
hidup, selera dan preferensi manusia, dan sikap terhadap manusia, sumber daya
dan lingkungan. Ini sangat mempengaruhi sifat, kuantitas dan kualitas kebutuhan
materi maupun kebutuhan psikologi juga metode pemuasannya. Keyakinan ini
mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual,
meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial, dan mencegah berkembangnya anomie (suatu kondisi ketiadaan standar
moral).[63]
Tetapi, keimanan saja
tidak menghilangkan ketidakadilan sistem pasar. Akan menjadi tidak realistis
untuk mengasumsikan bahwa semua individu sadar secara moral pada masyarakat
manusia. Selanjutnya tiga tujuan lainnya (jiwa, akal dan keturunan) berhubungan
dengan manusia, yang kesejahteraannya merupakan tujuan utama dari syariah. Ini
mencakup kebutuhan fisik, moral, psikologi dan akal untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang.
Jadi dengan memasukkan
jiwa, akal dan keturunan dalam formulasi yang akan ditentukan, adalah mungkin
untuk menciptakan tingkat kepuasan atau kesejahteraan yang seimbang dari
berbagai kebutuhan manusia. Hal ini juga dapat membantu dalam menganalisa
variabel-variabel ekonomi penting, seperti misalnya konsumsi, tabungan dan
investasi, sedemikian rupa sehingga membantu mewujudkan kesejahteraan, yakni
sesuatu yang tidak dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional karena pengagungan
yang berlebihan terhadap pasar dan hasil-hasilnya.
Memang, sebagian orang
mungkin akan keberatan dengan mengatakan bahwa dimasukkannya keimanan,
kehidupan, akal dan keturunan akan menjadikan ilmu ekonomi pembanguanan dalam
Islam menjadi tidak dapat dikelola (unmanageable).
Menurut Chapra hal tersebut tidak meski demikian karena kepentingan utama dari
seorang ahli ekonomi bukan aspek-aspek transendental dalam keimanan, tetapi
lebih merupakan dampak dari sudut pandang dunia, nilai-nilai dan
lembaga-lembaganya terhadap individu dan masyarakat dan terhadap
variabel-variabel ekonomi.
Karena itu, beberapa
rekomendasi yang diberikan Chapra terkait dengan tugas yang perlu dilakukan
ilmu ekonomi Islam secara signifikan yakni mempelajari perilaku sebenarnya dari
individu dan kelompok, perusahaan dan pemerintah, menunjukkan jenis perilaku
yang diperlukan bagi pencapaian tujuan dan menjelaskan mengapa pranata ekonomi
yang berbeda berperilaku sebagaimana mereka lakukan, dan bukan dengan cara yang
seharusnya mereka lakukan serta menyarankan suatu strategi yang peraktis untuk
perubahan sosial ekonomi dan politik yakni suatu strategi yang dapat membantu mengarahkan
semua perilaku pemain di pasar mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya
sedekat mungkin dengan apa yang dibutuhkan bagi pencapain tujuan.[64]
Namun demikian juga akan
dipertimbangkan beberapa hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, obyek yang
tidak terlihat dan pertimbangan nilai yakni: pertama, sebagaimana yang dikatakan Chapra[65]
bahwa mungkin dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari al-Qur’an dan as-Sunnah
berhubungan dengan obyek yang tidak terlihat, seperti Allah, akhirat dan
ketenangan jiwa. Semua ini tidak dapat diamati dan oleh karena itu tidak dapat
menjadi dasar dari ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah sebuah argumentasi yang
sahih karena meskipun obyek-obyek ini tidak terlihat, dampaknya terhadap
perilaku manusia dari variabel-variabel ekonomi dapat diamati.
Kedua,
bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah memberikan norma-norma mengenai
bagaimana pranata ekonomi harus berperilaku dan kebijakan apa yang harus
digunakan untuk mewujudkan kerjasama yang dimaksudkan oleh Islam. Ketiga, dapat dikatakan bahwa
teori-teori yang diturunkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan literatur Islam
lainnya tidak selalu dapat diuji, karena besarnya kesejahteraan yang ada
sekarang ini di dunia Islam dan cara bagaimana seharusnya kaum muslim
berperilaku dan cara sebenarnya mereka berperilaku. Karena itu, pengujian
mungkin dilakukan dengan bantuan catatan sejarah di dalam masyarakat muslim
maupun masyarakat non muslim.
Dengan demikian
pembangunan secara otomatis didefinisikan oleh al-maqasid. Walaupun pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup
untuk mencapai kehidupan manusia yang baik (fallah).
Hal ini harus pula diikuti oleh peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan
spiritual setiap individu, keadilan, perilaku yang baik dan menurunnya tingkat
kejahatan. Sesuai dengan hal ini, syariah memberikan prioritas yang tinggi pada
peningkatan spiritualisme dan persaudaraan serta keadilan sosial ekonomi dalam
daftar al-maqasid. Namun demikian,
masalah sosial dan ekonomi akan masih merupakan impian manakala sumber-sumber
langka yang ada pada negara-negara muslim tidak dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia seluruhnya melalui pemberantasan kemiskinan, pemenuhan
kebutuhan umum dan penurunan ketidakseimbangan pendapatan dan kesejahteraan.
Tujuan dari pemenuhan kebutuhan inilah yang harus direalisasikan melalui
pembangunan kemampuan individu, kesempatan kerja dan kemandirian.[66]
Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pembangunan yang berorientasi pada manusia para ahli ekonomi Islam
telah sepakat bahwa al-maqasid dapat
dijadikan tolak ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan, karena itu untuk
formulasi dan pengembangan konsep al-maqasid
ini, beberapa indikator yang telah tersusun dalam konsep misalnya oleh UNDP
(United Nation Development Program)
dan pertimbangan-pertimbangan keagamaan, sosial dan budaya juga akan
dipertimbangkan untuk menentukan ketercapaian pengukuran dengan menggunakan
konsep al-maqasid.
Dari uraian di atas
dapat dinyatakan bahwa kemaslahatan dalam bingkai terwujudnya tujuan al-maqasid merupakan suatu konsep yang
sangat penting dalam studi ekonomi pembangunan yakni dalam menilai kinerja
pembangunan. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi sangat penting
manakala pengukuran kinerja pembangunan manusia hanya dilihat pada aspek
material belaka.
Kompleksitas masalah yang tidak dapat lagi diselesaikan
dengan menggunakan metode ushul konvensional yang telah sangat jauh tereduksi
dari bentuk dan format asalnya, maka dengan menggunakan pendekatan al-maqasid al-Syatibi diharapkan akan
dapat dirumuskan secara logis, humanis dan seimbang, karena itu menjadi perlu
juga untuk dilihat unsur-unsur substansial yang paling mendasar dari pendekatan
tersebut yang dapat dirumuskan menjadi rumusan yang sistematis dan aplikatif
dan sesuai untuk situasi masa kini. Jelas, hal ini berbeda dengan situasi
ketika al-Syatibi merumuskan pendekatannya itu.[67] Oleh karenanya usaha untuk menyusun indikator kinerja
pembangunan demi menjamin keadilan dan
kesejahteraan harus terus berjalan.
Nilai-Nilai
Kemaslahatan Dalam Merumuskan Kinerja Pembangunan
Sebenarnya pembahasan mengenai maslahat dalam merumuskan kinerja
pembangunan ekonomi dalam Islam bukanlah hal baru. Ia misalnya telah ada
bersamaan dengan berkembangnya kajian ushul fiqh. Persoalannya kemudian,
para ekonom konvensional atau Barat liberal tidak mengakui al-maqasid sebagai tujuan pembangunan, dalam kata lain
kurang mengakui peranan wahyu dan keimanan sebagai sebuah dasar ilmu
yang layak dipertahankan. Dan pada gilirannya diskursus pembangunan selanjutnya
tidak pernah memberi legitimasi segala bentuk pencapaian non-positivisme. Dalam
kondisi seperti ini akhirnya lahir banyak pemikir kritis yang mulai bersikap
bahkan menolak konsep pembangunan.
Al-Syatibi dan para pemikir muslim lainnya meletakkan iman di awal
daftar al-maqasid, karena dalam
persfektif Islam, iman adalah ramuan terpenting untuk kesejahteraan manusia.
Iman (baca: agama) meletakkan hubungan manusia pada suatu dasar yang tepat,
memungkinkan manusia dapat berinteraksi dengan sesama dalam suatu sikap yang
seimbang dan saling memperhatikan untuk membantu memantapkan kesejahteraan
seluruh manusia. Ia memberikan suatu filter moral untuk mengalokasikan dan
mendistribusikan sumber daya sesuai dengan aturan keadilan sosial-ekonomi dan
suatu sistem motivasi yang memberikan kekuatan yang langsung mengarah pada
tujuan pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.[68]
Tanpa memasukkan dimensi keimanan, tanpa memandang apakah
keputusan-keputusan tersebut terkait dengan urusan rumah tangga, bidang usaha,
pasar atau bidang lainnya tidak mungkin untuk merealisasikan efesiensi dan
keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya. Untuk mengurangi
ketidakseimbangan dan ketidakstabilan perekonomian secara makro, atau untuk
mengatasi kejahatan, percekcokan, dan berbagai gejala anomi yang berbeda.
Al-Syatibi selanjutnya meletakkan harta di akhir daftar al-maqasid hal ini dikarenakan ia bukan
merupakan tujuan itu sendiri, ia hanya sebuah alat, meskipun sangat penting dan
pokok dalam merealisasikan kesejahteraan. Jika harta benda adalah tujuan maka
ia akan mengarah pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan berdampak terhadap
lingkungan yang akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan manusia. Ketiga
tujuan yang lain (hidup, akal dan keturunan) terkait dengan manusia itu sendiri
yang kesejahteraannya merupakan tujuan utama syariah. Segala sesuatu yang
diperlukan untuk memperkaya ketiganya harus dianggap sebagai sebuah “kebutuhan”
dan segala sesuatu yang mungkin dilakukan untuk memantapkan pemenuhannya.[69]
Realisasi al-maqasid
juga membutuhkan sumber-sumber daya, yang pengumpulannya tidak mungkin
dilakukan tanpa menggunakan semacam realokasi. Tanpa realokasi, menyebabkan
terjadinya defisit keuangan, ekspansi kredit, dan utang eksternal yang menambah
tekanan pada inflasi neraca pembayaran, depresiasi mata uang dan beban jasa
utang.[70]
Jika realokasi yang diperlukan untuk mewujudkan al-maqasid tidak hanya dapat dihasilkan oleh operasi kekuatan pasar
atau perencanaan sentral, juga harus memiliki mekanisme filter yang disetujui
secara sosial. Menurut Chapra hal ini dapat diatasi oleh sebuah sistem moral,
dimana Islam telah memilikinya dan akan efektif jika hal tersebut diamalkan.[71]
Sistem moral tersebut terwujud dalam pengakuan bahwa manusia
adalah khalifah Allah di bumi, pengakuan terhadap kepentingan pribadi dan
keinginan mendapatkan keuntungan, persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi.
Untuk mewujudkan terealisasinya sistem moral tersebut dalam perekonomian, maka
dibutuhkan suatu uapaya untuk merestrukturisasi sistem ekonomi yang terkait
dengan: (1) transformasi faktor manusia dalam pembangunan untuk memungkinkan
memainkan peran yang aktif dan konstruktif; (2) mengurangi pemusatan dalam
kepemilikan alat-alat produksi; (3) menghilangkan atau meminimalkan konsumsi
yang sia-sia dan tidak perlu pada tingkat pribadi dan masyarakat agar sumber
tersebut disalurkan pada tujuan-tujuan sosial; (4) melakukan reorganisasi
investasi guna memungkinkan sistem produksi yang dapat memenuhi tuntutan
ekonomi berdasarkan kebutuhan, meningkatkan kesempatan untuk mandiri dan
pekerjaan serta memperluas surplus ekspor; (5) melakukan reformasi sistem
keuangan sesuai dengan ajaran Islam guna memungkinkan memainkan peranan penting
dalam perwujudan al-maqasid.[72]
Restrukturisasi seperti itu, tidak mungkin tanpa peran aktif dan
positif dari pemerintah, namun bukan dalam bentuk totalisme seperti dalam
sistem sosialisme. Peranan ini lebih merupakan peran komplementer, baik dalam
pengawasan maupun dalam menjaga kebebasan individu dan abolisi terhadap hak-hak
milik.[73]
Sebaliknya peranan ini juga harus diwujudkan dalam penciptaan lingkungan sehat
dan pembangunan lembaga-lembaga tepat fungsi, dan dapat menjamin kehidupan yang
lebih baik.
Syariah Islam pada dasarnya telah memberikan unsur yang penting
terkait dengan starategi dalam mewujudkan terciptanya tujuan al-maqasid, namun tidak mengungkapkan
langkah kebijakan yang rinci, hal ini memang harus dikembangkan, mungkin dengan
mengangkat pengalaman dari negara-negara lain terkait dengan kebijakan
tertentu, dengan tetap menjamin kontribusi positif pada perwujudan al-maqasid dan tidak mengakibatkan
peningkatan berlebihan terhadap klaim-klaim sumber daya, karena hal tersebut
dapat mengakibatkan ketimpangan. Kebijakan-kebijakan tersebut harus tetap
melalui mekanisme filter dari nilai Islam.
Disisi lain dalam diskursus pemikiran Islam terdapat anggapan
bahwa metodologi klasik kurang menghiraukan kemampuan manusia dalam merumuskan
konsep kemaslahatan walau untuk manusia itu sendiri. Konsekuensinya manusia
tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fiqh klasik,
kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf). Pemberhalaan
teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi klasik ini.
Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak
berkulminasi pada teks adalah ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh
cara pemecahan masalah.[74]
Karenanya bagi kelompok yang berpandangan pentingnya penyerapan
nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat, kondisi sosio-kultural dan historis yang
ada dalam suatu masyarakat harus menjadi pertimbangan pokok dalam memahami teks
dalam membaca kemaslahatan. Umat Islam harus berani mencari formula baru dalam
memahami teks dan terus mengembangkannya sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Pada dasarnya teks pasti memiliki hubungan yang erat dengan asbab al-nuzul juga
asbab al-wurud. Dengan tidak menghancurkan kebudayaan agama yang telah
ada, maka bentuk kebudayaan baru yang datang harus disofistikasikan berdasarkan
nilai-nilai luhur agama. Sebab, proses penerimaan wahyu dan penyebarannya
terhadap para sahabat serta generasi setelahnya berjalan secara dinamis, bukan
proses yang statis.[75]
Sebenarnya merumuskan konsep maslahat dalam menilai kinerja
pembangunan ekonomi bukanlah persoalan mudah. Asumsi ini setidaknya dapat
dilihat dari dua hal: Pertama,
kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan,
jangan sampai menimbulkan kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi,
strategi dan model pembangunan mutlak dilakukan. Ini adalah upaya agar sistem
poerekonomian yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan
sesuai dengan karakteristik hukum dan ide dasar sistem perekonomian nasional
yang dicita-citakan.
Sementara itu, melalui peran yang dimainkan oleh para ulama
melalui produk fiqih yang ada di Indonesia dan dapat dijumpai formulasinya
dalam kitab-kitab fikih klasik, konsepsi dan perumusan terhadap konsep
kemaslahatan banyak dibangun berdasarkan ‘urf Timur
Tengah. Atas dasar itulah ada bagian-bagian tertentu dari penafsiran konsep
maslahat yang mendapat sambutan kurang hangat dari masyarakat karena dianggap
kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Hasbi sebagaimana dikutip Syaukani
mengatakan bahwa seharusnya masyarakat muslim Indonesia mengambil mana yang
lebih cocok dengan nusa dan bangsa ini, yaitu syariat Islam yang dapat
menampung kemaslahatan masyarakat dan menjadi pendiri utama bagi pembangunan di
tanah air.[76]
Relativitas pemaknaan maslahat yang terjadi selama ini cenderung
menjadikan maslahat sebagai sebuah nilai yang diperebutkan. Pemikiran Islam
konservatif dan liberal seringkali mempertentangkan aplikasi maslahat.
Akibatnya, maslahat dijadikan alat legitimasi semua pemikiran yang mereka
kembangkan. Hal ini yang penulis anggap melatarbelakangi perlunya pemberian
batasan yang jelas tentang penggunaan maslahat sebagai sebuah dalil hukum dan
sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam perekonomian.
Batasan yang selama ini dijabarkan oleh para ulama, seperti
al-Syatibi menurut penulis berkaitan dengan maslahat dalam artian yang sangat
luas. Padahal sebagaimana diungkap Syaltut, maslahat sama seperti ijtihad yang
selalu berubah menyesuaikan kondisi waktu dan zaman.[77]
Itu artinya, batasan untuk maslahat juga perlu dibuat lebih spesifik sesuai
dengan kebutuhan dimana maslahat tersebut akan digunakan. Dalam konteks
Indonesia, maka batasan maslahat yang berbasis budaya Indonesia mutlak untuk
direalisasikan.
Usaha memberikan batasan maslahat dalam konteks Indonesia juga
telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Jaringan Islam Liberal
(JIL). MUI melalui fatwa kriteria maslahat, sedang JIL melalui pemikiran dan
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan maslahat. Hanya saja dalam pandangan
penulis, batasan yang diberikan keduanya masih belum merepresentasikan dialog
yang seimbang antara maslahat sebagai bagian dari hukum Islam dan kondisi
realitas Indonesia serta maslahat sebagai sebuah tujuan pembangunan dalam
ekonomi. Dan selama ini masih terkesan aspek hukum dalam perumusan kemaslahatan
sangat jauh bahkan berkorelasi negatif dengan pemahaman dalam hal konsepsi
pembangunan ekonomi yang diukur dengan pencapaian-pencapaian ekonometrik
positivistik. Padahal dalam konteks kinerja pembangunan hal tersebut ibarat
satu keeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Substansi nilai yang berasal
dari perumusan konsepsi maslahat hendaklah dirumuskan dengan tepat dan
disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.
Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman
suku bangsa tidak mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis. Untuk
mencapai tujuan proses-proses demokratisasi yang sedang dijalani, pluralisme
budaya harus digeser menjadi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme[78]
sebagaimana yang dikonsepsikan Parsudi Suparlan.[79]
Beranjak dari konsep Parsudi, sudah saatnya dilakukan penilaian atas berbagai
teori perubahan sosial dan pembangunan utama (mainstream social change and
development theories). Teori-teori tersebut lahir dan dibesarkan dalam
suasana Enlightenment dan modernitas di Eropa Barat dan Amerika Utara,
yang kemudian disebarkan ke berbagai belahan bumi, termasuk ke Indonesia
sebagai post-colonial reality.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di dunia sudah
masuk ke Nusantara sejak abad ketujuh,[80]
dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberikan sumbangsih bagi
keanekaragaman kebudayaan lokal. Islam tidak hanya hadir dalam bentuk tradisi
agung (great tradition) bahkan
memperkaya pluralitas dengan Islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang
pada gilirannya banyak melahirkan tradisitradisi kecil (little traditions). Berbagai warna Islam dari Aceh dan Melayu,
Jawa, Sunda, Sasak, Bugis dan sebagainya riuh rendah memberikan corak
kemajemukan. Dengan keragamannya, Islam berjasa bagi penciptaan landasan
kehidupan bersama dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam juga
menawarkan norma, sikap dan nilai yang dapat memperluas relasi damai diantara
komunitas-komunitas etnik.
Pluralitas pemaknaan maslahat dewasa ini dalam konteks kinerja
pembangunan ekonomi di Indonesia harus diletakkan pada porsi seperti ini.
Pemaknaan maslahat sebagai nilai universal merumuskan kinerja pembangunan
dengan demikian tidak bisa diserahkan pada perspektif apa yang dipahami dalam
konteks pertumbuhan ekonomi saja dengan mengabaikan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam ajaran kemaslahatan.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
yang telah peneliti lakukan, maka dapat peneliti simpulkan beberapa hal: pertama,
kegagalan teori-teori pembangunan yang di bangun dalam konsepsi Barat adalah
diakibatkan karena pendekatan yang digunakan secara parsial. Pendekatan ini
mengimplikasikan pada konsekuensi-konsekuensi logis yang kerap terabaikan,
yakni: (a) penekanan pada pertumbuhan yang mengabaikan distribusi berkeadilan,
hal ini diindikasikan pada kebijakan yang lebih menekankan pada akumulasi
kapital dengan orientasi pada pertumbuhan cepat; (b) tidak mencerminkan adanya
prioritas kebijakan, pembangunan satu sektor kerap kali mengakibatkan
pengabaian terhadap sektor lain; (c) tidak terdapat strategi yang menyentuh
masalah ekonomi secara langsung, seperti penanganan ketimpangan dengan
menerapkan trickle down effect; (d)
kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak seimbang, seperti pada konsep
dualisme ekonomi, sehingga sering menimbulkan ketidakmerataan dan
ketidakadilan. Hal ini mengindikasikan tidak adanya tujuan yang diarahkan pada
perwujudan al-maqasid.
Kedua,
dalam diskursus ekonomi Islam terdapat kajian yang menarik
menyangkut kemaslahatan, karena erat terkait dengan tujuan yang hendak
diwujudkan dalam pembangunan yakni maqasid
al-syariah, dimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menetapkan beberapa
variabel penting yang sangat menentukan kesejahteraan atau kesengsaraan
manusia. Dengan demikian pembangunan didefinisikan oleh al-maqasid yang meliputi aspek primer (daruriyat), sekunder (hajiyat)
dan tertier (tahsiniyat). Walaupun
pertumbuhan ekonomi penting, namun tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang
baik (fallah). Hal ini harus pula
diikuti oleh peningkatan ketenangan jiwa atau kesehatan spiritual setiap
individu, keadilan, perilaku yang baik dan menurunnya tingkat kejahatan. Sesuai
dengan hal ini, syariah memberikan prioritas yang tinggi pada peningkatan
spiritualisme, persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi dalam daftar al-maqasid. Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pembangunan yang berorientasi pada manusia para ahli ekonomi Islam
telah sepakat bahwa al-maqasid dapat
dijadikan tolak ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan, karena itu
kemaslahatan dalam bingkai terwujudnya al-maqasid
merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam studi ekonomi pembangunan
yakni dalam menilai kinerja pembangunan.
Salah satu pendekatan
yang digunakan dalam menilai kinerja pembangunan dalam perspektif Islam dengan
menggunakan analisis al-maqasid
adalah pendekatan kultural (cultural
approach) dalam bingkai antropologi pembangunan yang merupakan salah satu
pendekatan alternatif sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang
ekonomistis. Di Indonesia, pendekatan ini relatif baru, dan sampai saat ini
belum menemukan bentuknya. Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan
tidak sekadar melahirkan manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia
sebagai sebuah entitas yang utuh dengan seluruh dimensinya.
E. Daftar
Pustaka
A.A. Islahi. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Terj. H. Anshari Thayib. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
Abd. Moqshit
Ghazali, “Membangun Ushul Fiqh Alternatif”,
dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=470, diakses
pada 11 Februari 2008.
Abd. Salam
Arief. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita; Kajian
Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
al-Qardawi,
Yusuf. Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999.
al-Raysuni, Ahmad dan Jamal Barut,
Muhammad. Ijtihad Antara Teks, Realitas
dan Kemaslahatan Sosial. Terj. Ibnu Rusydi & Hayyin Muhdzar. Jakarta:
Erlangga, 2002.
Alwi, Syafaruddin. Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Kontribusi Bagi GBHN 1993. Dalam
buku Tantangan Pembangunan di Indonesia Beberapa Pandangan Kontemporer Dari
Dunia Kampus. Yogyakarta: UII Press, 1997.
Asmuni, M. Thaher, “Konsep Pembangunan Ekonomi Perspektif Ekonomi Islam”, dikutip dari www.msi-uii.net/headasp/katagori=rubrik&menu=ekonomi/
diakses 22 Oktober 2009
Asmuni,
“Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan
al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis”, dikutip dari www.yusdani.com.
di akses pada 22 Oktober 2009.
Asmuni.
“Studi Pemikiran al-Maqashid (Upaya
Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)”. Jurnal al-Mawarid. Edisi XIV
Tahun 2005.
Asmuni. Aktualisasi
Teori Maqasid as-Syatibi (Upaya Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam
Mengembangkan Produk Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah.
Yogyakarta: MSI & Safiria Insania Press, 2008.
Azis Dahlan, Abdul (ed), Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Azwar, A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi III. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Bakri,
A. Jaya. Konsep Maqasid Syari’ah
al-Syatibi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995.
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian
Kualitatif. Pemahaman Filosofis & Metodologis Kearah Penguasaan Model
Aplikasi. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003.
Chapra, M. Umer, The Future Of Economics: An Islamic Persfective. Jakarta: SEBI,
2001.
Chapra, M. Umer. “Strategi Pembangunan Ekonomi Di Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran
Islam”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Islam “Equilibrium” Volume 01 Nomor 1
Tahun 2005.
Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Islamisasi Ekonomi Kontemporer.
Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
Chulsum, Umi dan Novia, Windy. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya:
Kashiko, 2006.
Fazlurrahman. Islam. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.
Hamka Haq. al-Syathibi Aspek Aspek Teologis Konsep
Mashlahah Dalam Kitab al-Muwafaqat.
Jakarta: Erlangga, 2007.
Handayani, Sri. “Pengaruh Kinerja Karyawan Terhadap Perceived Service Quality Word Of
Mouth Recommendation Pada BPRS Kota Salatiga” Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol.
9, No. 2 Juli 2008.
Hartono, Arif. “Menelusuri Wacana Pembangunan”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian
Ekonomi Negara Berkembang. Volume 4 Nomor 1 Tahun 1999.
http://www.undp.or.id
di akses pada 20 Oktober 2009
Imam Mustofa. “Ijtihad Jaringan Islam Liberal Sebuah Upaya
Merekonstruksi Ushul Fiqih”. Jurnal Hukum
Islam “Al-Mawarid” edisi XV Tahun 2006
Imam
Syaukanie. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia &
Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
Isnawijayani. “Analisis Isi Film Ayat-Ayat Cinta Dalam Memasyarakatkan Pendidikan
Islam” Jurnal Pembangunan Manusia. Volume 7 Nomor 1 April Tahun 2009.
Jasser Auda
dengan Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic
Law a Systems Aproach. Herndon USA: IIIT,
2008.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran & Peradaban Islam. Yogyakarta: Book Publisher,
2007.
Kasenda, Peter. Bersahabat dengan Sejarah. Jakarta: FISIP,
Untag, 2006.
Klaus Krippendorff. Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi.
Jakarta: Rajawali Press, 1993.
M. Nur Kholis
Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Ma’ruf, Ahmad. “Analisis Kinerja Pembangunan Melalui Indeks
Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”, IESP Vol. 2 No.
1, April 2001.
Manan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Aditya Media, 1995.
Munandar, Aris.” Pembangunan Nasional,
Keadilan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat” Jurnal Universitas Paramadina Vol.2
No. 1, September 2002.
Nata,
Abudin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001.
Shiddiqi, Nouruzzaman. Fikih Indonesia; Penggagas & Gagasannya, Yogya: Pustaka Pelajar, 1997.
Salim, Agus. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002.
Sayuti,
Ali M. Metodologi Penelitian Agama:
Pendekatan Teori dan Praktek.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu
Studi). Yogyakarta: Andi Offset, 1992.
Subhilhar. “Etika Pembangunan: Kajian Alternatif Dalam Studi Pembanguan”.
Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Studi Pembangunan
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan,
20 September 2008.
Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial. Bandung: Al Fabeta. 2005.
Suharto, Edi. Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta, 2005.
Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Tulisan Keynote Address disajikan dalam Sesi Pleno I Simposium
Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju
Masyarakat Multikultural”, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
Tambunan, Tulus T.H. Transformasi Ekonomi di Indonesia Teori dan
Penemuan Empiris. Jakarta: Salemba Empat,
tt.
Tangdilintin,
Paulus. “Pembangunan Sosial: Respon Dinamis& Komprehensif Terhadap
Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta 1999.
Tim P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008.
Todaro, Michael P. Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar. Jakarta: Erlangga,
1998.
Todaro, Michael. Economic Development, Sixth Edition. England: Addison Wesley
Longman Limited, 1997.
Widodo. “Peningkatan Kinerja Organisasi Melalui Kualitas Strategi”. Jurnal
Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008
www.ui.ac.id
di akses pada 24 Desember 2009.
Yusdani “Menyimak Pemikiran Hukum Islam Satria
Effendi”.Jurnal Mawarid Edisi XVII. 2007.
Yusdani,
“Ijtihad dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al”,
dikutip dari www.yusdani.com,
di akses pada 22 Oktober 2009.
Yusdani. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi
Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi.
Yogyakarta: UII Press, 2000.
[1] Todaro,
Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi VI. Terj. Haris Munandar
(Jakarta: Erlangga, 1998), 16
[2] Ahmad
Ma’ruf, “Analisis Kinerja Pembangunan
Melalui Indeks Pembangunan Manusia: Studi Kasus pada 14 Kecamatan di DIY”,
IESP Vol. 2 No. 1, April 2001, 69-88.
[3] Misalnya
UNRISD (United Nation Research Institute
on Sosial Development) dengan 16 indikator sosial ekonomi, pada 1970 Morris
D. Morris memperkenalkan Physical Quality
of Life Index (PQLI). UNDP (United
Nation Development Program) dengan IPM atau Human Development Index pada 1990. Selain itu sejak 1995 UNDP
mengembangkan pula alat ukur yang ditujukan untuk menilai keberhasilan
pembangunan disuatu negara misalnya Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index/HPI) dan Indeks
Pembangunan Jender (Gender Development
Index/GDI). Todaro, Michael P. Pembangunan... 73-80
[4] Ahmad
Ma’ruf, “Analisis Kinerja ….,69-88
[5] Suharto,
Edi, Analisis Kebijakan Publik, Panduan
Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Al Fabeta. 2005),
15-16
[6] Agus
Salim. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan
Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002),
266
[7]
Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 380
[8] Chapra,
M. Umer, The Future Of Economics: An
Islamic Persfective. (Jakarta: SEBI, 2001), 124-125
[9]
Adiwarman A. Karim. Sejarah… 381
[10]
Nouruzzaman Shiddiqi, Fikih
Indonesia;…71
[11] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), 39
[12] Ali, M.
Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama:
Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 47
[13] Klaus
Krippendorff. Analisis Isi Pengantar
Teori dan Metodologi. Terj. Farid Wajidi (Jakarta: Rajawali Press, 1993),
15
[14]
Isnawijayani. “Analisis Isi Film
Ayat-Ayat Cinta Dalam Memasyarakatkan Pendidikan Islam” Jurnal Pembangunan
Manusia. Volume 7 Nomor 1 April Tahun 2009, 3
[15] Umi
Chulsum dan Windy Novia. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. (Surabaya: Kashiko, 2006), 381
[16] Sri
Handayani. “Pengaruh Kinerja Karyawan
Terhadap Perceived Service Quality Word Of Mouth Recommendation Pada BPRSUD
Kota Salatiga” Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008
[17] Widodo.
“Peningkatan Kinerja Organisasi Melalui
Kualitas Strategi”. Jurnal Ekonomi Bisnis. Vol. 9, No. 2 Juli 2008
[18] Michael
Todaro. Economic Development, Sixth
Edition. (England: Addison Wesley Longman Limited, 1997), 16
[19] Arif
Hartono. “Menelusuri Wacana Pembangunan”.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang. Volume 4 Nomor 1
Tahun 1999, 72
[20] Edi
Suharto. Analisis Kebijakan Publik
Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Bandung: Alfabeta,
2005), 16-22
[21]
Subhilhar. “Etika Pembangunan: Kajian
Alternatif Dalam Studi Pembanguan”. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap dalam Bidang Ilmu Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 20 September 2008, 4.
[22] http://www.undp.or.id di akses pada 20 Oktober
2009
[23] Peter Kasenda, Bersahabat dengan Sejarah (Jakarta:
FISIP Untag, 2006), 344-454.
[24] Lihat
Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi
Indonesia (Suatu Studi) (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 181.
[25] Arief
Budiman. Teori Pembangunan Dunia Ketiga
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), 25-31
[26] Tulus
T.H. Tambunan. Transformasi….1
[27] Syafaruddin
Alwi. Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan.
Kontribusi Bagi GBHN 1993. Dalam buku Tantangan Pembangunan di Indonesia
Beberapa Pandangan Kontemporer Dari Dunia Kampus. (Yogyakarta: UII Press,
1997), 281
[28] Aris Munandar. “Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1,
September 2002, 13
[29] Lihat
Paulus Tangdilintin, “Pembangunan Sosial: Respon Dinamis & Komprehensif
Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem Ekonomi Kerakyatan”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar FISIP UI, Jakarta 1999.
[30]
Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi
Indonesia Edisi II (Suatu Studi) (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), 115
[31]
Mubyarto. Ekonomi dan Keadilan Sosial.
(Yogyakarta: Aditya Media, 1995), 115
[32] Asmuni. Aktualisasi Teori Maqasid as-Syatibi (Upaya
Menemukan Landasan Nilai-Nilai Etis Religius dalam Mengembangkan Produk
Perbankan Syariah) dalam buku Amir Mu’allim. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah (Yogyakarta: MSI & Safiria
Insania Press, 2008), 140. Lihat juga
Jasser Auda dengan Maqasid
al-Syariah….2
[33]
Fazlurrahman. Islam. Terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), 140
[34] Abdul
Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi..1147
[35] Nasrun
Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: PT.
Gaya Media Pratama, 2007), 182-183.
[36]
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung, Diponegoro, 2003).
[37] Jaih
Mubarok. Metodologi..156-157
[38] Abdallah
M. al-husayn al-Amiri. Dekonstruksi Sumber….33
[39] Imam Nawawi, Hadis ‘Arbain
al-Nawawi, hadis ke-32 dalam software Hadits Arba'in AnNawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil
‘Ied versi 0.1
[40]
Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas
Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), 6-7
[41] Abdul
Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi..hal.
1147. Lihat juga M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
83-84
[42] Amir
Mu’allim. “Maqashid al-Syariah”.
Jurnal al-Mawarid Edisi VI Desember 1997. 5-6
[43] Lihat
Jaribah bin Ahmad al-Haritsi. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab. Terj.
Asmuni Solihan Z. (Jakarta: Khalifa, 2006), 259-262
[44] Amir
Mu’allim. “Maqashid ..5-6.
[45] Asmuni. Aktualisasi…141
[46] Abdul
Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi… 1111
[47] Asafri
Jaya Bakri. Konsep Maqasid syaro’ah
Menurut al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 63-64. Lihat juga Asmuni Studi Pemikiran al-Maqashid (Upaya
Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik yang Dinamis)….11-12.
[48] Hamka
Haq. al-Syathibi Aspek.. 83
[49] Yusdani
“Menyimak…., 6
[50] Asmuni, “Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al-Maqosid Menuju Ijtihad yang Dinamis”, dikutip dari www.yusdani.com.
di akses pada 22 Oktober 2009.
[51] Hamka
Haq. al-Syathibi Aspek...83
[52] Yusdani. Peranan
Kepentingan Umum Dalam Reakltualisasi Hukum; Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin al-Thufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 31.
[53] Jasser Auda dengan Maqasid al-Syariah…
20-21
[54] Yusuf al-Qardawi, Pedoman
Bernegara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), 256-260.
[55] Yusdani, “Ijtihad dan Nazariyyah I'tibar Al-Ma'al”,
dikutip dari www.yusdani.com,
di akses pada 22
Oktober 2009.
[56] Lihat
Tim P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 5
[57] Ahmad
al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut. Ijtihad
Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial. Terj. Ibnu Rusydi &
Hayyin Muhdzar (Jakarta: Erlangga, 2002), 18-20
[58] Ibid. 21
[59] Imam
Mustofa. “Ijtihad …77.
[60] Ibid. 43
[61] Abdul
Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam.
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), 1143.
[62]
Al-Syatibi selanjutnya menekankan bahwa: “kepentingan keimanan (dien) lebih penting dari pada kehidupan
duniawi” Lihat Adiwarman A. Karim. Sejarah…
380.
[63] Chapra,
M. Umer, The Future,…125
[64] Ibid. 132-133
[65] Ibid. 143
[66] M. Umer
Chapra. “Strategi Pembangunan Ekonomi Di
Negara-Negara Muslim: Persfektif Ajaran Islam”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi
Islam “Equilibrium” Volume 01 Nomor 1 Tahun 2005. 2.
[67] Asmuni. Aktualisasi Teori Maqsid as-Syatibi (Upaya
Menemukan Landasan Nilai Etis Religius Dalam Mengembangkan Produk Perbankan
Syariah). Lihat Menjawab Keraguan
Berekonomi Syariah (Yogyakarta: MSI UII & Penerbit Safiria Insania
Press, 2008), 145
[68] M. Umer
Chapra. Islam dan Tantangan Ekonomi.
Islamisasi Ekonomi Kontemporer. (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 9
[69] Ibid. 10
[70] M. Umer
Chapra. Strategi…6
[71] Ibid. 7
[72] Ibid. 7-8
[73] A.A.
Islahi. Konsepsi …106
[74] Abd.
Moqshit Ghazali, “Membangun Ushul Fiqh
Alternatif”, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=470,
diakses pada 11 Februari 2008.
[75] M. Nur
Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005), 56.
[76] Imam
Syaukanie. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia &
Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), 92-93.
[77] Abd.
Salam Arief. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita;
Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut. (Yogyakarta: Lesfi, 2003),
155
[78] Akar
kata multkulturalisme menurut Parsudi adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikultiuralisme dibentuk
dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran atau paham). Secara hakiki, dalam kata
itu terkandung pengakuan
akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya
yang unik
[79] Lihat
Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat
Indonesia yang Multikultural”. Tulisan Keynote
Address disajikan dalam Simposium
Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju
Masyarakat Multikultural”, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
[80] M. Abdul
Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 326