Selasa, 20 Januari 2015

Zakat Lembaga dalam Perspektif Ekonomi Islam




Tulisan ini telah terbit pada Jurnal Kompetensi Fakultas Ekonomi Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Volume 12 Nomor 2 Tahun 2014. Hal. 19-23 ISSN: 1412-9450


Abstract
This lack of motivation can not be separated from the alms giving insight books of fiqh alms alms only discuss the issue in terms of the substance of the law without clearly expressed the urgency and purpose, especially the concept of social justice. Industry, entertainment and other services businesses farm income is much greater than the income level of farmers income as obligatory zakat profession, as well as classical fiqh. Institute is a legal entity that is recognized as an individual position in law that have serata rights obligations. Zakat charity institutions analogous to trade if engaged in trade, with agricultural charity if the field of production and assumed to be equal to the charity if the form of services profession. Zakat is not equal to the tax. Both are equally obligation will run but charity are tax deductible in accordance with Law No. 17 of 2000 on Tax.

Keywords; Zakat, Tax, Institutions, Islamic Economics


Abstrak
Rendahnya motivasi menunaikan zakat tidak lepas dari wawasan kitab-kitab fiqh zakat yang hanya membahas persoalan zakat dari segi substansi hukum tanpa mengemukakan secara jelas urgensi dan tujuannya terutama konsep keadilan sosial. Dunia industri, entertainment dan bisnis-bisnis jasa lainnya merupakan ladang penghasilan yang jauh lebih besar tingkat pendapatannya daripada pendapatan petani sebagai profesi wajib zakat, sebagaimana kitab fiqih klasik. Lembaga merupakan suatu badan hukum yang kedudukannya diakui seperti perseorangan dalam hukum yang memiliki hak serata kewajiban. Zakat lembaga dianalogikan dengan zakat perdagangan jika bergerak dibidang perdagangan, dengan zakat pertanian jika dibidang produksi dan diasumsikan sama dengan zakat profesi jika berbentuk jasa. Zakat tidak sama dengan pajak. Keduanya merupakan kewajiban yang sama-sama dijalankan akan tetapi zakat dapat dikurangkan dari pajak sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak.

Kata kunci; Zakat, Pajak, Lembaga, Ekonomi Islam


A.                Pendahuluan
Rendahnya motivasi menunaikan zakat selama ini tidak lepas dari wawasan kitab-kitab fiqh zakat yang hanya membahas persoalan zakat dari segi substansi hukumnya tanpa mengemukakan secara jelas urgensi dan tujuannya terutama konsep keadilan sosial. Sehingga konsep zakat belum dipahami secara utuh sebagai suatu yang mengandung berbagai nilai.[1]
Formalitas zakat menyisakan persoalan dalam hal penentuan harta kena zakat. Jika kita mengacu pada aturan fiqh klasik, maka harta yang wajib dizakati hanya logam mulia (emas dan perak), ternak (onta, sapi dan kambing), pertanian, perniagaan, barang tambang dan barang temuan. Padahal, dimasa kini banyak sumber-sumber penghasilan besar terdapat diluar sektor tersebut. Dunia industri, entertainment dan bisnis-bisnis jasa lainnya merupakan ladang penghasilan yang jauh lebih besar tingkat pendapatannya daripada pendapatan petani.[2] Sebagai contoh sebuah perusahaan yang pada hakikatnya mewakili pemilik modal atau saham yang menghasilkan keuntungan yang berlipat ternyata belum banyak disentuh dalam fiqh klasik, lalu bagaimana syariah melihat fenomena tersebut? Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi lebih jauh.

B.                 Zakat dalam Perspektif Fiqh dan Jenis serta Syarat Harta yang diZakatkan
Zakat menurut bahasa bermakna berkembang, bertambah dan berkah.[3] Menurut istilah fiqh berarti sejumlah harta yang diwajibkan Allah Swt untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak.[4] Diantara landasan kewajiban zakat berpijak pada dalil yang bersifat umum, seperti termakstub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 267 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” Juga firman Allah Swt dalam Q.S. At Taubah ayat 103 yang artinya “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….”.[5]
Disamping itu juga didukung oleh hadis riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik yang menyatakan “Janganlah digabungkan sesuatu yang terpisah dan jangan pula dipisahkan sesuatu yang tergabung (berserikat) karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi) maka keduanya harus dikembalikan (diperlakukan) secara sama”.
Terdapat beberapa jenis harta yang dizakatkan yakni:[6] emas dan perak, tanaman dan buah-buahan, hasil usaha dan hasil perut bumi termasuk binatang ternak. Adapun syarat-syarat harta kekayaan yang dikenai zakat adalah:[7] hak milik sempurna, produktif dan berkembang yakni kekayaan itu dapat atau berpotensi mendatangkan hasil, keuntungan atau pendapatan kepada pemiliknya, mencapai nisab yakni batas minimal kekayaan untuk dikenai zakat, kelebihan dari kebutuhan pokok dan sudah mencapai haul yakni sudah berlalu satu tahun. Ketentuan ini berlaku pada zakat emas dan perak, binatang ternak dan barang dagangan. Sedangkan pada hasil pertanian, harta karun, barang tambang tidak dikenai haul.
Dari uraian di atas maka dalam pembahasan selanjutnya mengenai zakat lembaga sangat terkait dengan jenis harta yang dizakatkan menyangkut hasil usaha dan syarat harta yang dikenai zakat menyangkut harta produktif dan berkembang.

C.                Zakat Lembaga dalam Ekonomi Islam
Lembaga merupakan suatu badan hukum yang kedudukannya diakui seperti perseorangan dalam hukum yang memiliki hak serata kewajiban.[8] Lembaga dapat dibedakan menjadi dua yakni: lembaga produktif yakni lembaga yang menghasilkan keuntungan (misal perusahaan) dan lembaga yang tidak menghasilkan keuntungan (misal lembaga pemerintahan). Karenanya dari klasifikasi tersebut jika dikaitkan dengan jenis dan syarat harta yang wajib dizakatkan, maka hanya lembaga yang menghasilkan keuntungan yang dikenai zakat.
Ulama kontemporer sepakat wajib mengeluarkan zakat dari tempat yang menghasilkan uang seperti toko, bangunan, perusahaan dan lain-lain. Alasannya bahwa tempat tersebut dianggap produktif dan menghasilkan keuntungan atau kekayaan yang melimpah selama harta itu bisa berkembang. Pada masa lalu zakat jenis ini tidak dikenal karena standar waktu itu adalah pada barang yang tidak produktif dan tidak diketahui bentuk mana yang merupakan penghasilan.[9]
Berdasarkan hal ini, keberadaan lembaga sebagai wadah usaha kemudian menjadi badan hukum atau syakhsiyyah i’tibariyyah. Sebab diantara individu itu kemudian timbul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk didalamnya kewajiban kepada Allah Swt dalam bentuk zakat. Namun diluar zakat lembaga, tiap individu juga wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan penghasilan dan nisabnya. Para ulama kontemporer menganalogikan zakat lembaga ini dengan zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah lembaga yang intinya berpijak pada kegiatan perdagangan (trading).
Secara umum berbagai bentuk dalam pola pembayaran dan perhitungan zakat mengacu pada pola pembayaran dan perhitungan zakat perdagangan. Adapun nisab zakat perdagangan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama adalah senilai nisab emas dan perak yakni 85 gram emas (pendapat paling mu’tabar) sedangkan tarifnya adalah 2,5% dari asset, bukan dari keuntungan. Landasan perhitungannya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal “Apabila telah sampai batas waktu membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang lalu hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki.”[10]
Perhitungan zakat lembaga tersebut dinilai dari seluruh penghasilan yang diperoleh selama satu tahun dikurangi semua jenis pembiayaan yang dilakukan. Misalnya biaya pemeliharaan, biaya penyusutan, dana pembelian peralatan, biaya promosi, gaji pegawai dan sebagainya. Jika perusahaan masih memiliki tanggungan utang pada pihak lain, maka cicilan pembayaran utang dimasukkan kedalam faktor pengurang penghasilan. Adakalanya sebuah perusahaan memiliki sejumlah utang yang harus dibayar dalam jangka waktu tertentu dan berkewajiban mengembalikannya secara tunai atau berkala. Cicilan yang harus dibayar setiap tahun itulah yang menjadi faktor pengurang. Piutang tidak termasuk perhitungan zakat karena pada hakikatnya kekayaan yang dipiutangkan (dipinjamkan) pada pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai harta yang wajib dibayar zakatnya. Piutang merupakan harta yang bukan sepenuhnya milik perusahaan karena berada ditangan orang lain sehingga perusahaan tidak bisa menguasai sepenuhnya serta tidak bisa menggunakan harta tersebut. Ketika piutang itu telah dibayar, barulah kewajiban zakat dikenakan. Apabila sisa penghasilan dikurangi semua biaya selama satu tahun memenuhi satu nishab, perusahaan mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.
Dari penjelasan di atas, maka pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporang keuangan (Neraca) dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metode perhitungan ini biasa disebut dengan metode sya’iyyah. Yang perlu diperhatikan dalam perhitungan zakat perusahaan adalah pentingnya melakukan berbagai koreksi atas nilai aktiva lancar dan kewajiban jangka pendek yang kemudian disesuaikan dengan ketentuan syariah. Seperti koreksi atas pendapatan bunga, dan pendapatan tidak halal (haram) serta pendapatan subhat lainnya. Sedangkan asset tetap tidak termasuk yang diperhitungkan ke dalam harta yang dikenakan zakat, karena asset tersebut tidak untuk diperjualbelikan. Zakatnya adalah selisih kali 2,5%.

D.                Perhitungan Zakat Lembaga atau Perusahaan
Zakat perusahaan atau lembaga hampir sama dengan zakat perdagangan. Bedanya dalam zakat perusahaan bersifat kolektif. Dengan kriteria sebagai berikut: (1) jika perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan maka perusahaan tersebut mengeluarkan harta seuai dengan aturan zakat perdagangan. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5%; (2) jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5% atau 10%. 5% untuk penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih. Jika dalam perusahaan tersebut ada penyertaan modal dari pegawai non muslim maka perhitungan zakat setelah dikurangi kepemilikan modal atau keuntungan dari pegawai non muslim.
Pola perhitungan zakat perusahaan, didasarkan pada laporan keuangan (Neraca) dengan dikurangi kewajiban atas aktiva lancar. Atau, seluruh harta (diluar aktiva tetap) ditambah keuntungan, dikurangi kewajiban berupa hutang dan kewajiban lainnya, sisanya jika mencapai nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar saham wajib mengeluarkan 2,5%. Pendapat tersebut sebagaimana disampaikan Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwaal (ada yang berpendapat zakat yang wajib dikeluarkan hanya dari keuntungan saja).
Sebagai contoh. PT XY adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang konveksi. Pada akhir tahun 2014 memiliki Neraca sebagai berikut:

Aktiva lancar:
K a s                                      Rp. 2.000.000,-
B a n k                                   Rp. 3.000.000,-
Piutang Dagang                     Rp. 5.000.000,-
Persediaan Bahan Baku         Rp. 3.000.000,-
Persediaan Bahan Jadi           Rp. 2.000.000,-
Total Aktiva Lancar            Rp. 15.000.000,-
Total Aktiva Tetap               Rp. 43.000.000,-
Total Aktiva                         Rp. 58.000.000,-


Berdasarkan data di atas, maka perhitungan zakatnya sebagai berikut: Aktiva Lancar – Utang Lancar = Rp. 15.000.000,- - missal Rp. 5.500.000,- = Rp. 9.500.000,- Jadi besarnya zakat yang dikeluarkana dalah 2,5% X Rp. 9.500.000,- = Rp.237.500,-

E.                 Zakat dan Pajak
Banyak orang berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekuensinya ketika seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki karakteristik berbeda. Jika dilihat secara cermat memang ada persamaan antara zakat dan pajak, namun disisi lain banyak juga perbedaannya.[11]
Berikut ini akan diuraikan tantang persamaan antara zakat dan pajak yakni: (1) bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi; (2) zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh Negara; (3) tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu di dunia; (4) dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yakni untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.


Tabel 1.
Perbedaan Antara Zakat dan Pajak

Perbedaan
Z a k a t
P a j a k
Nama berarti
Bersih, bertambah dan berkembang
Utang, pajak, upeti
Dasar hukum
Al Qur’an dan As Sunnah
UU suatu Negara
Nishab dan tarif
Ditentukan Allah Swt dan bersifat mutlak
Ditentukan oleh Negara dan bersifat relatif nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran Negara
Sifat
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek
Muslim
Semua warga Negara
Obyek alokasi penerima
Tetap 8 golongan (ashnaf)
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang dikenakan
Harta produktif
Semua harta
Motivasi pembayaran
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt dan ketakutan pada Negara dan sanksinya
Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
  Sumber: Data dioleh dari berbagai sumber.


Kaitannya dengan pembayaran pajak dan zakat sekaligus yang notabene keduanya merupakan kewajiban maka UU Pajak No. 17 Tahun 2000, pasal 9 huruf g dinyatakan bahwa zakat yang dibayarkan pada BAZ atau LAZ yang sah (yang terdaftar di dinas terkait) dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan dihitung sesuai dengan ketentuan syariah di atas yang selanjutnya dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan yang kena zakat adalah Rp. 100 juta, maka zakatnya adalah Rp. 2,5 juta, kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak.
Ketentuan dalam pasal ini sesuai dengan pasal 14 ayat 3 UU Pengelolaan Zakat. Pembayaran zakat yang lebih sedikit seperti dijelaskan dalam kedua pasal tersebut di atas merupakan akibat tidak langsung dari pengurangan oleh pembayaran zakat. Maksudnya, setelah dikurangi zakat, jumlah penghasilan yang akan dikenakan pajak akan berkurang sehingga dengan prosentase yang tetap, nilai pajaknya pun akan semakin kecil. Dengan adanya UU pajak No. 17 Tahun 2000 tersebut, maka biaya yang dikeluarkan untuk zakat menjadi factor pengurang bagi pembayaran pajak, sehingga biaya yang dikeluarkan wajib pajak untuk membayar pajak pun lebih sedikit dari semestinya.[12]

F.                 Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan: (1) harta yang berpotensi mendatangkan hasil, keuntungan atau pendapatan kepada pemiliknya dapat dikenai zakat seperti halnya lembaga yang produktif; (2) zakat lembaga dianalogikan dengan zakat perdagangan jika bergerak dibidang perdagangan, dengan zakat pertanian jika dibidang produksi dan diasumsikan sama dengan zakat profesi jika berbentuk jasa; (3) zakat tidak sama dengan pajak. Keduanya merupakan kewajiban yang sama-sama dijalankan akan tetapi zakat dapat dikurangkan dari pajak sesuai dengan UU Pajak No. 17 Tahun 2000, pasal 9 huruf g.

Daftar Pustaka
Anwar Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books. 2007.
Ahmad Wahyu Herdianto. “Peran Negara dalam Mengoptimalkan Zakat di Indonesia”. Jurnal Jurisdictie. Jurnal Hukum dan Syariah IAIN Raden Fatah Palembang. Volume 1 Nomor 2  Desember 2010.
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Manajemen Pengelolaan Zakat. Jakarta: Kemenag RI, 2005.
Gazi Inayah, Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak. Terj. Zainudin Adnan & Nailul Falah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003.
Johan Wahyu Wicaksono. “Zakat sebagai Salah Satu Instrumen Kebijakan Fiskal dan Implikasinya terhadap Pemerataan”. Jurnal Ekosiana. Jurnal Ekonomi Syariah STAI An Najah Surabaya. Volume 1 Nomor 1 Maret 2014.
Masdar F Mas’udi. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991)
M. Amin Rais. Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, Cet III. Bandung: Mizan, 1998.
Nuruddin Mhd Ali. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal ed.I. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Qadir, Abdurrahman, Zakat: Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: Grafindo Persada. 1998.
Saifuddin. “Optimalisasi Distribusi Dana Zakat: Upaya Distribusi Kekayaan (Studi Terhadap UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat)”. Jurnal Az Zarqa’. Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Volume 5 Nomor 2 Desember 2013.
Ugi Suharto. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Pusat Studi Zakat STIS Yogyakarta, 2004.
Yusuf al Qardawi, Hukum Zakat. Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa. 1998.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.





[1] Lihat Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Manajemen Pengelolaan Zakat. (Jakarta: Kemenag RI, 2005).
[2] Lihat Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). Lihat juga Saifuddin. “Optimalisasi Distribusi Dana Zakat: Upaya Distribusi Kekayaan (Studi Terhadap UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat)”. Jurnal Az Zarqa’. Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Volume 5 Nomor 2 Desember 2013, hal. 30-31.
[3] Lihat Ahmad Wahyu Herdianto. “Peran Negara dalam Mengoptimalkan Zakat di Indonesia”. Jurnal Jurisdictie. Jurnal Hukum dan Syariah IAIN Raden Fatah Palembang. Volume 1 Nomor 2  Desember 2010, hal. 12.
[4] Lihat Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998). Lihat juga M. Amin Rais. Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, Cet III. (Bandung: Mizan, 1998), hal. 130-131.
[5] Dalam al Qur’an, kata zakat disebut dalam bentuk ma’rifah (defenitif) sebanyak 30 kali, diantaranya 27 kali disebutkan satu ayat bersamaan dengan kewajiban shalat. Misalnya Q.S. al Baqarah ayat 83, Q.S. an Nisa’ ayat 99, Q.S. at Taubah ayat 5, 11, 18 dan 71, Q.S. Maryam ayat 31, 55, Q.S. al Anbiya’ ayat 73, Q.S. al Hajj ayat 41, Q.S. an Nur ayat 55, 56, Q.S. al Manl (27) ayat 3 dan Q.S. Lukman ayat 4. Untuk lebih jelasnya lihat Nuruddin Mhd Ali. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal ed.I. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), hal. 1.
[6] Anwar Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer.(Jakarta: RM Books, 2007), hal.58
[7] Ibid.
[9] Gazi Inayah, Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak. Terj. Zainudin Adnan & Nailul Falah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 116-117.
[10] Lihat Ugi Suharto. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Pusat Studi Zakat STIS Yogyakarta, 2004).
[11] Lihat Masdar F Mas’udi. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991)
[12] Lihat UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dan UU Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011. Lihat juga Johan Wahyu Wicaksono. “Zakat sebagai Salah Satu Instrumen Kebijakan Fiskal dan Implikasinya terhadap Pemerataan”. Jurnal Ekosiana. Jurnal Ekonomi Syariah STAI An Najah Surabaya. Volume 1 Nomor 1 Maret 2014, hal. 59.

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id