Tulisan
ini telah terbit pada Jurnal Kompetensi Fakultas
Ekonomi Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Volume
12 Nomor 2 Tahun 2014. Hal. 19-23 ISSN: 1412-9450
Abstract
This lack of motivation can not be separated from the alms giving insight
books of fiqh alms alms only discuss the issue in terms of the substance of the
law without clearly expressed the urgency and purpose, especially the concept
of social justice. Industry, entertainment and other services businesses farm
income is much greater than the income level of farmers income as obligatory
zakat profession, as well as classical fiqh. Institute is a legal entity that
is recognized as an individual position in law that have serata rights
obligations. Zakat charity institutions analogous to trade if engaged in trade,
with agricultural charity if the field of production and assumed to be equal to
the charity if the form of services profession. Zakat is not equal to the tax.
Both are equally obligation will run but charity are tax deductible in
accordance with Law No. 17 of 2000 on Tax.
Keywords; Zakat, Tax, Institutions, Islamic Economics
Abstrak
Rendahnya motivasi menunaikan zakat
tidak lepas dari wawasan kitab-kitab fiqh zakat yang hanya membahas persoalan
zakat dari segi substansi hukum tanpa mengemukakan secara jelas urgensi dan
tujuannya terutama konsep keadilan sosial. Dunia industri, entertainment
dan bisnis-bisnis jasa lainnya merupakan ladang penghasilan yang jauh lebih
besar tingkat pendapatannya daripada pendapatan petani sebagai profesi wajib
zakat, sebagaimana kitab fiqih klasik. Lembaga merupakan suatu badan hukum yang
kedudukannya diakui seperti perseorangan dalam hukum yang memiliki hak serata kewajiban.
Zakat lembaga dianalogikan dengan zakat perdagangan jika bergerak dibidang
perdagangan, dengan zakat pertanian jika dibidang produksi dan diasumsikan sama
dengan zakat profesi jika berbentuk jasa. Zakat tidak sama dengan pajak.
Keduanya merupakan kewajiban yang sama-sama dijalankan akan tetapi zakat dapat
dikurangkan dari pajak sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak.
Kata kunci; Zakat, Pajak, Lembaga, Ekonomi Islam
A.
Pendahuluan
Rendahnya
motivasi menunaikan zakat selama ini tidak lepas dari wawasan kitab-kitab fiqh
zakat yang hanya membahas persoalan zakat dari segi substansi hukumnya tanpa
mengemukakan secara jelas urgensi dan tujuannya terutama konsep keadilan sosial.
Sehingga konsep zakat belum dipahami secara utuh sebagai suatu yang mengandung
berbagai nilai.[1]
Formalitas
zakat menyisakan persoalan dalam hal penentuan harta kena zakat. Jika kita
mengacu pada aturan fiqh klasik, maka harta yang wajib dizakati hanya logam
mulia (emas dan perak), ternak (onta, sapi dan kambing), pertanian, perniagaan,
barang tambang dan barang temuan. Padahal, dimasa kini banyak sumber-sumber
penghasilan besar terdapat diluar sektor tersebut. Dunia industri, entertainment
dan bisnis-bisnis jasa lainnya merupakan ladang penghasilan yang jauh lebih
besar tingkat pendapatannya daripada pendapatan petani.[2]
Sebagai contoh sebuah perusahaan yang pada hakikatnya mewakili pemilik modal
atau saham yang menghasilkan keuntungan yang berlipat ternyata belum banyak
disentuh dalam fiqh klasik, lalu bagaimana syariah melihat fenomena tersebut?
Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi lebih jauh.
B.
Zakat
dalam Perspektif Fiqh dan Jenis serta Syarat Harta yang diZakatkan
Zakat
menurut bahasa bermakna berkembang, bertambah dan berkah.[3]
Menurut istilah fiqh berarti sejumlah harta yang diwajibkan Allah Swt untuk
diserahkan kepada orang-orang yang berhak.[4]
Diantara landasan kewajiban zakat berpijak pada dalil yang bersifat umum,
seperti termakstub dalam Q.S. Al Baqarah ayat 267 yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik…” Juga firman Allah Swt dalam Q.S. At Taubah ayat 103
yang artinya “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka….”.[5]
Disamping
itu juga didukung oleh hadis riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik yang
menyatakan “Janganlah digabungkan sesuatu yang terpisah dan jangan pula
dipisahkan sesuatu yang tergabung (berserikat) karena takut mengeluarkan zakat.
Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat
(berkongsi) maka keduanya harus dikembalikan (diperlakukan) secara sama”.
Terdapat
beberapa jenis harta yang dizakatkan yakni:[6]
emas dan perak, tanaman dan buah-buahan, hasil usaha dan hasil perut bumi
termasuk binatang ternak. Adapun syarat-syarat harta kekayaan yang dikenai
zakat adalah:[7]
hak milik sempurna, produktif dan berkembang yakni kekayaan itu dapat atau
berpotensi mendatangkan hasil, keuntungan atau pendapatan kepada pemiliknya,
mencapai nisab yakni batas minimal kekayaan untuk dikenai zakat,
kelebihan dari kebutuhan pokok dan sudah mencapai haul yakni sudah
berlalu satu tahun. Ketentuan ini berlaku pada zakat emas dan perak, binatang
ternak dan barang dagangan. Sedangkan pada hasil pertanian, harta karun, barang
tambang tidak dikenai haul.
Dari uraian di
atas maka dalam pembahasan selanjutnya mengenai zakat lembaga sangat terkait
dengan jenis harta yang dizakatkan menyangkut hasil usaha dan syarat harta yang
dikenai zakat menyangkut harta produktif dan berkembang.
C.
Zakat
Lembaga dalam Ekonomi Islam
Lembaga
merupakan suatu badan hukum yang kedudukannya diakui seperti perseorangan dalam
hukum yang memiliki hak serata kewajiban.[8]
Lembaga dapat dibedakan menjadi dua yakni: lembaga produktif yakni lembaga yang
menghasilkan keuntungan (misal perusahaan) dan lembaga yang tidak menghasilkan
keuntungan (misal lembaga pemerintahan). Karenanya dari klasifikasi tersebut
jika dikaitkan dengan jenis dan syarat harta yang wajib dizakatkan, maka hanya
lembaga yang menghasilkan keuntungan yang dikenai zakat.
Ulama
kontemporer sepakat wajib mengeluarkan zakat dari tempat yang menghasilkan uang
seperti toko, bangunan, perusahaan dan lain-lain. Alasannya bahwa tempat
tersebut dianggap produktif dan menghasilkan keuntungan atau kekayaan yang
melimpah selama harta itu bisa berkembang. Pada masa lalu zakat jenis ini tidak
dikenal karena standar waktu itu adalah pada barang yang tidak produktif dan
tidak diketahui bentuk mana yang merupakan penghasilan.[9]
Berdasarkan
hal ini, keberadaan lembaga sebagai wadah usaha kemudian menjadi badan hukum
atau syakhsiyyah i’tibariyyah. Sebab
diantara individu itu kemudian timbul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan
dengan pihak luar, dan menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirpun
dinikmati bersama, termasuk didalamnya kewajiban kepada Allah Swt dalam bentuk
zakat. Namun diluar zakat lembaga, tiap individu juga wajib mengeluarkan zakat
sesuai dengan penghasilan dan nisabnya. Para ulama kontemporer
menganalogikan zakat lembaga ini dengan zakat perdagangan, karena dipandang
dari aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah lembaga yang intinya berpijak pada
kegiatan perdagangan (trading).
Secara
umum berbagai bentuk dalam pola pembayaran dan perhitungan zakat mengacu pada
pola pembayaran dan perhitungan zakat perdagangan. Adapun nisab zakat
perdagangan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama adalah senilai nisab
emas dan perak yakni 85 gram emas (pendapat paling mu’tabar) sedangkan
tarifnya adalah 2,5% dari asset, bukan dari keuntungan. Landasan perhitungannya
adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal “Apabila
telah sampai batas waktu membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki
baik uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian
nilailah dengan nilai uang lalu hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas
apa yang engkau miliki.”[10]
Perhitungan
zakat lembaga tersebut dinilai dari seluruh penghasilan yang diperoleh selama
satu tahun dikurangi semua jenis pembiayaan yang dilakukan. Misalnya biaya
pemeliharaan, biaya penyusutan, dana pembelian peralatan, biaya promosi, gaji
pegawai dan sebagainya. Jika perusahaan masih memiliki tanggungan utang pada
pihak lain, maka cicilan pembayaran utang dimasukkan kedalam faktor pengurang
penghasilan. Adakalanya sebuah perusahaan memiliki sejumlah utang yang harus
dibayar dalam jangka waktu tertentu dan berkewajiban mengembalikannya secara
tunai atau berkala. Cicilan yang harus dibayar setiap tahun itulah yang menjadi
faktor pengurang. Piutang tidak termasuk perhitungan zakat karena pada
hakikatnya kekayaan yang dipiutangkan (dipinjamkan) pada pihak lain tidak
memenuhi syarat sebagai harta yang wajib dibayar zakatnya. Piutang merupakan
harta yang bukan sepenuhnya milik perusahaan karena berada ditangan orang lain
sehingga perusahaan tidak bisa menguasai sepenuhnya serta tidak bisa
menggunakan harta tersebut. Ketika piutang itu telah dibayar, barulah kewajiban
zakat dikenakan. Apabila sisa penghasilan dikurangi semua biaya selama satu
tahun memenuhi satu nishab, perusahaan mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.
Dari
penjelasan di atas, maka pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada
laporang keuangan (Neraca) dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva
lancar. Metode perhitungan ini biasa disebut dengan metode sya’iyyah. Yang perlu diperhatikan dalam perhitungan zakat
perusahaan adalah pentingnya melakukan berbagai koreksi atas nilai aktiva lancar
dan kewajiban jangka pendek yang kemudian disesuaikan dengan ketentuan syariah.
Seperti koreksi atas pendapatan bunga, dan pendapatan tidak halal (haram) serta
pendapatan subhat lainnya. Sedangkan asset tetap tidak termasuk yang
diperhitungkan ke dalam harta yang dikenakan zakat, karena asset tersebut tidak
untuk diperjualbelikan. Zakatnya adalah selisih kali 2,5%.
D.
Perhitungan
Zakat Lembaga atau Perusahaan
Zakat perusahaan
atau lembaga hampir sama dengan zakat perdagangan. Bedanya dalam zakat
perusahaan bersifat kolektif. Dengan kriteria sebagai berikut: (1) jika
perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan maka perusahaan tersebut
mengeluarkan harta seuai dengan aturan zakat perdagangan. Kadar zakat yang
dikeluarkan sebesar 2,5%; (2) jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang
produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau
pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan
sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5%
atau 10%. 5% untuk penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih. Jika
dalam perusahaan tersebut ada penyertaan modal dari pegawai non muslim maka
perhitungan zakat setelah dikurangi kepemilikan modal atau keuntungan dari
pegawai non muslim.
Pola perhitungan
zakat perusahaan, didasarkan pada laporan keuangan (Neraca) dengan dikurangi
kewajiban atas aktiva lancar. Atau, seluruh harta (diluar aktiva tetap)
ditambah keuntungan, dikurangi kewajiban berupa hutang dan kewajiban lainnya,
sisanya jika mencapai nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar
saham wajib mengeluarkan 2,5%. Pendapat tersebut sebagaimana disampaikan Abu
Ubaid dalam kitab Al-Amwaal (ada yang berpendapat zakat yang wajib dikeluarkan
hanya dari keuntungan saja).
Sebagai contoh.
PT XY adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang konveksi. Pada akhir
tahun 2014 memiliki Neraca sebagai berikut:
Aktiva
lancar:
K a s
Rp.
2.000.000,-
B a n
k Rp.
3.000.000,-
Piutang
Dagang Rp. 5.000.000,-
Persediaan
Bahan Baku Rp. 3.000.000,-
Persediaan
Bahan Jadi Rp. 2.000.000,-
Total
Aktiva Lancar Rp. 15.000.000,-
Total
Aktiva Tetap Rp. 43.000.000,-
Total
Aktiva Rp. 58.000.000,-
Berdasarkan data
di atas, maka perhitungan zakatnya sebagai berikut: Aktiva Lancar – Utang
Lancar = Rp. 15.000.000,- - missal Rp. 5.500.000,- = Rp. 9.500.000,- Jadi
besarnya zakat yang dikeluarkana dalah 2,5% X Rp. 9.500.000,- = Rp.237.500,-
E.
Zakat
dan Pajak
Banyak orang
berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekuensinya ketika
seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara
sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif
dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki
karakteristik berbeda. Jika dilihat secara cermat memang ada persamaan antara
zakat dan pajak, namun disisi lain banyak juga perbedaannya.[11]
Berikut ini akan
diuraikan tantang persamaan antara zakat dan pajak yakni: (1) bersifat wajib
dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena
sanksi; (2) zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai
efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam,
zakat dan pajak dikelola oleh Negara; (3) tidak ada ketentuan memperoleh
imbalan materi tertentu di dunia; (4) dari sisi tujuan ada kesamaan antara
keduanya yakni untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan
yang terdapat di masyarakat.
Tabel
1.
Perbedaan
Antara Zakat dan Pajak
Perbedaan
|
Z a k a t
|
P a j a k
|
Nama berarti
|
Bersih,
bertambah dan berkembang
|
Utang, pajak,
upeti
|
Dasar hukum
|
Al Qur’an dan
As Sunnah
|
UU suatu
Negara
|
Nishab dan tarif
|
Ditentukan Allah
Swt dan bersifat mutlak
|
Ditentukan
oleh Negara dan bersifat relatif nishab zakat memiliki ukuran tetap
sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran Negara
|
Sifat
|
Kewajiban
bersifat tetap dan terus menerus
|
Kewajiban
sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
|
Subyek
|
Muslim
|
Semua warga
Negara
|
Obyek alokasi penerima
|
Tetap 8
golongan (ashnaf)
|
Untuk dana
pembangunan dan anggaran rutin
|
Harta yang dikenakan
|
Harta
produktif
|
Semua harta
|
Motivasi pembayaran
|
Keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah Swt dan ketakutan pada Negara dan sanksinya
|
Ada pembayaran
pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan
hal ini tidak terjadi pada zakat
|
Sumber: Data
dioleh dari berbagai sumber.
Kaitannya dengan
pembayaran pajak dan zakat sekaligus yang notabene keduanya merupakan kewajiban
maka UU Pajak No. 17 Tahun 2000, pasal 9 huruf g dinyatakan bahwa zakat yang
dibayarkan pada BAZ atau LAZ yang sah (yang terdaftar di dinas terkait) dapat
menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan dihitung sesuai
dengan ketentuan syariah di atas yang selanjutnya dikurangkan atas penghasilan
kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan yang kena zakat adalah Rp. 100
juta, maka zakatnya adalah Rp. 2,5 juta, kemudian nilai tersebut dikurangi atas
penghasilan kena pajak.
Ketentuan dalam
pasal ini sesuai dengan pasal 14 ayat 3 UU Pengelolaan Zakat. Pembayaran zakat
yang lebih sedikit seperti dijelaskan dalam kedua pasal tersebut di atas
merupakan akibat tidak langsung dari pengurangan oleh pembayaran zakat.
Maksudnya, setelah dikurangi zakat, jumlah penghasilan yang akan dikenakan
pajak akan berkurang sehingga dengan prosentase yang tetap, nilai pajaknya pun
akan semakin kecil. Dengan adanya UU pajak No. 17 Tahun 2000 tersebut, maka
biaya yang dikeluarkan untuk zakat menjadi factor pengurang bagi pembayaran
pajak, sehingga biaya yang dikeluarkan wajib pajak untuk membayar pajak pun
lebih sedikit dari semestinya.[12]
F.
Penutup
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan: (1) harta yang berpotensi mendatangkan hasil,
keuntungan atau pendapatan kepada pemiliknya dapat dikenai zakat seperti halnya
lembaga yang produktif; (2) zakat lembaga dianalogikan dengan zakat perdagangan
jika bergerak dibidang perdagangan, dengan zakat pertanian jika dibidang
produksi dan diasumsikan sama dengan zakat profesi jika berbentuk jasa; (3)
zakat tidak sama dengan pajak. Keduanya merupakan kewajiban yang sama-sama
dijalankan akan tetapi zakat dapat dikurangkan dari pajak sesuai dengan UU
Pajak No. 17 Tahun 2000, pasal 9 huruf g.
Daftar
Pustaka
Anwar Syamsul, Studi Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: RM Books. 2007.
Ahmad Wahyu Herdianto. “Peran Negara
dalam Mengoptimalkan Zakat di Indonesia”. Jurnal Jurisdictie. Jurnal
Hukum dan Syariah IAIN Raden Fatah Palembang. Volume 1 Nomor 2 Desember 2010.
Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Manajemen
Pengelolaan Zakat. Jakarta: Kemenag RI, 2005.
Gazi Inayah, Teori Komprehensip
tentang Zakat dan Pajak. Terj. Zainudin Adnan & Nailul Falah.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003.
Johan Wahyu Wicaksono. “Zakat sebagai
Salah Satu Instrumen Kebijakan Fiskal dan Implikasinya terhadap Pemerataan”. Jurnal
Ekosiana. Jurnal Ekonomi Syariah STAI An Najah Surabaya. Volume 1 Nomor 1
Maret 2014.
Masdar F Mas’udi. Agama Keadilan:
Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991)
M. Amin Rais. Tauhid Sosial, Formula
Menggempur Kesenjangan, Cet III. Bandung: Mizan, 1998.
Nuruddin Mhd Ali. Zakat sebagai
Instrumen dalam Kebijakan Fiskal ed.I. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Qadir, Abdurrahman, Zakat: Dalam
Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: Grafindo Persada. 1998.
Saifuddin. “Optimalisasi Distribusi Dana
Zakat: Upaya Distribusi Kekayaan (Studi Terhadap UU No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat)”. Jurnal Az Zarqa’. Jurusan Muamalat Fakultas Syariah
dan Hukum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Volume 5 Nomor 2 Desember 2013.
Ugi Suharto. Keuangan Publik Islam:
Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Pusat Studi Zakat STIS
Yogyakarta, 2004.
Yusuf al Qardawi, Hukum Zakat.
Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa. 1998.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
[1] Lihat Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Manajemen
Pengelolaan Zakat. (Jakarta: Kemenag RI, 2005).
[2] Lihat Yusuf Qardhawi,
Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). Lihat juga
Saifuddin. “Optimalisasi Distribusi Dana Zakat: Upaya Distribusi Kekayaan
(Studi Terhadap UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat)”. Jurnal Az
Zarqa’. Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Volume 5 Nomor 2 Desember 2013, hal. 30-31.
[3] Lihat Ahmad Wahyu
Herdianto. “Peran Negara dalam Mengoptimalkan Zakat di Indonesia”. Jurnal
Jurisdictie. Jurnal Hukum dan Syariah IAIN Raden Fatah Palembang. Volume 1
Nomor 2 Desember 2010, hal. 12.
[4]
Lihat Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta:
UI Press, 1998). Lihat juga M. Amin Rais. Tauhid Sosial, Formula Menggempur
Kesenjangan, Cet III. (Bandung: Mizan, 1998), hal. 130-131.
[5] Dalam al Qur’an, kata
zakat disebut dalam bentuk ma’rifah (defenitif) sebanyak 30 kali,
diantaranya 27 kali disebutkan satu ayat bersamaan dengan kewajiban shalat.
Misalnya Q.S. al Baqarah ayat 83, Q.S. an Nisa’ ayat 99, Q.S. at Taubah ayat 5,
11, 18 dan 71, Q.S. Maryam ayat 31, 55, Q.S. al Anbiya’ ayat 73, Q.S. al Hajj
ayat 41, Q.S. an Nur ayat 55, 56, Q.S. al Manl (27) ayat 3 dan Q.S. Lukman ayat
4. Untuk lebih jelasnya lihat Nuruddin Mhd Ali. Zakat sebagai Instrumen
dalam Kebijakan Fiskal ed.I. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), hal. 1.
[6] Anwar Syamsul, Studi
Hukum Islam Kontemporer.(Jakarta: RM Books, 2007), hal.58
[7] Ibid.
[8] http://ekonomisyariah.org/does/detail_cara.php?idkatagori=7
diakses pada 04 November 2014.
[9] Gazi Inayah, Teori
Komprehensip tentang Zakat dan Pajak. Terj. Zainudin Adnan & Nailul
Falah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 116-117.
[10] Lihat Ugi Suharto. Keuangan
Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Pusat Studi
Zakat STIS Yogyakarta, 2004).
[11] Lihat Masdar F
Mas’udi. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991)
[12] Lihat UU Pajak No. 17
Tahun 2000 dan UU Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011. Lihat juga Johan Wahyu
Wicaksono. “Zakat sebagai Salah Satu Instrumen Kebijakan Fiskal dan
Implikasinya terhadap Pemerataan”. Jurnal Ekosiana. Jurnal Ekonomi
Syariah STAI An Najah Surabaya. Volume 1 Nomor 1 Maret 2014, hal. 59.