Dari bab
sebelumnya kita telah mengenal adanya beberapa jenis risiko yang antara lain
adalah risiko kredit (credit risk),
risiko likuiditas (liquidity risk),
dan risiko tingkat bunga (interest rate
risk). Disamping itu kita juga mengenal adanya risiko nilai tukar valuta
asing (foreign exchange rate risk), dan
risiko operasional (operational risk).
Berbagai jenis risiko itu juga dapat dibedakan atas dua kelompok besar yaitu: (1) Risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang
diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro,
seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah,
perubahan situasi pasar, situasi krisis atau resesi, dan sebagainya yang berdampak
pada kondisi ekonomi secara umum; dan (2)
Risiko yang tidak sistematis (unsystematic
risk), yaitu risiko yang unik, yang melekat pada suatu perusahaan atau
bisnis tertentu saja.
Perbankan Islam
juga berpotensi menghadapi risiko-risiko tersebut, kecuali risiko tingkat
bunga, karena Perbankan Islam tidak akan berurusan dengan bunga.
1.
Risiko kredit
Risiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh
kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau
investasi yang sedang dilakukannya.
Penyebab utama terjadinya risiko kredit adalah terlalu
mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu
dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit
kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang
dibiayainya.
Risiko ini akan semakin nampak ketika perekonomian
dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengakibatkan berkurang-nya
penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajiban membayar hutang-hutangnya. Hal ini semakin diperberat dengan
meningkatnya tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank
tidak memperoleh hasil yang memadai, karena jaminan yang ada tidak sebanding
dengan besarnya kredit yang diberikannya. Dan tentu saja bank akan mengalami
kesulitan likuiditas yang berat, jika ia mempunyai kredit macet yang cukup
besar.
Risiko
kredit muncul manakala bank tidak dapat memperoleh kembali tagihannya atas
pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utama dari risiko
ini adalah penilaian kredit yang kurang cermat dan lemahnya antisipasi terhadap
berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Risiko
ini dapat ditekan dengan cara memberikan batas wewenang keputusan kredit bagi
setiap aparat perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (autorize limit) dan batas jumlah (pagu) kredit yang dapat diberikan
pada usaha atau perusahaan tertentu (credit
line limit), serta melakukan diversifikasi.
2. Risiko
likuiditas
2.1. Risiko likuiditas
Pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, baik
yang besar maupun yang kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya,
melainkan lebih kepada ketidakmampuan bank memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash
flow) dengan segera dan dengan biaya
yang sesuai. Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnisnya
sehari-hari, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan
nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan
investasi menarik dan menguntungkan.
Likuiditas
yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu
kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena
akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.
Risiko
likuiditas muncul manakala bank mengalami ketidak-mampuan untuk memenuhi
kebutuhan dana (cash flow) dengan
segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan transaksi
sehari-hari maupun untuk memenuhi kebutuhan dana yang mendesak.
Besar-kecilnya risiko ini banyak ditentukan oleh :
q kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow) berdasarkan prediksi
pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana-dana, termasuk mencermati tingkat
fluktuasi dana-dana (volatility of
funds);
q Ketepatan dalam mengatur struktur dana-dana
termasuk kecukupan dana-dana non PLS;
q Ketersediaan aset yang siap dikonversikan
menjadi kas; dan
q Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar
bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.
3. Risiko
Nilai Tukar Valuta Asing
Risiko
nilai tukar valuta asing (foreign
exchange rate risk) timbul apabila bank mengambil posisi terbuka (open position). Di saat bank berada pada
posisi beli (overbought position / long
position), kerugian akan terjadi bila nilai tukar mata uang lokal (currency base) cenderung naik (menguat),
dan sebaliknya pada saat bank berada pada posisi jual (oversold position / short position), kerugian akan terjadi apabila
mata uang lokal cenderung turun (melemah).
Risiko
nilai tukar valuta asing ini dapat ditekan dengan cara membatasi atau
memperkecil posisi, atau bahkan dapat dihindari sama sekali bila bank selalu
mengambil posisi squaire.
Bagi Perbankan Islam, pada umumnya lebih mampu
menghindari risiko nilai tukar valuta asing, karena mereka dituntut untuk
mematuhi norma-norma syariah yang antara lain adalah:
q Bank Islam hanya melakukan transaksi
komersil dan tidak akan pernah melakukan transaksi arbitrage;
q Bank Islam hanya akan melakukan pertukaran
valuta asing secara tunai;
q Bank Islam tidak melakukan short selling; dan
q Bank Islam tidak akan pelakukan pertukaran
tanpa penyerahan (non delivery trading).
4. Risiko
Operasional
Menurut
definisi Basle Committee,
risiko operasional adalah risiko akibat dari kurangnya (deficiencies) sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang
akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Risiko ini berkaitan dengan
kesalahan manusiawi (human error), kegagalan
sistem, dan ketidakcukupan prosedur dan kontrol.
Dalam
definisi ini kita jumpai semua komponen yang relevan dengan risiko operasional
yaitu:
1. Sistim informasi;
2. Pengawasan Internal;
3. Kesalahan manusiawi (human error);
4. Kegagalan sistem; dan
5. Ketidakcukupan prosedur dan
kontrol.
Pangeran
Muhammed Al Faisal
menyatakan bahwa khususnya bagi Bank Islam, yang sangat diperlukan adalah: good governance, transparancy, and
accounting standard.
British
Banker Association dalam tahun 1997 melaporkan bahwa 69% (enam puluh sembilan
persen) responden menyatakan bahwa risiko operasional lebih penting daripada
risiko pasar dan risiko kredit.
Manajemen
operasional merupakan area dimana industri-industri, sektor-sektor yang penting,
dan para kompetitor betul-betul berkemauan untuk membagi informasi dan ide-ide.
Setiap industri, sebagai lembaga individu, untuk mencapai sukses memerlukan
lingkungan dan ekonomi yang stabil. Salah satu faktor yang dapat mengganggu
adalah kegagalan bank. Bila kegagalan itu ternyata adalah akibat dari kelemahan
kontrol operasional, maka akibatnya adalah kepercayaan nasabah dan reputasi
industri bisa hancur.
Adalah
tidak mudah untuk menerapkan manajemen risiko dari nol. Untungnya ada model
yang dapat dicontoh. Kelompok industri lain mempunyai metode pengelolaan risiko
operasional yang sangat mapan, layak dan teruji. Industri penerbangan, industri petrokimia dan
industri militer adalah contoh eksponen-eksponen ahli dalam manajemen risiko
operasional. Lembaga-lembaga keuangan dapat mengadopsi model ini untuk memenuhi
kebutuhannya.
Beberapa
terms yang sering digunakan dalam
manajemen risiko operasional adalah sebagai berikut:
Hazard: kondisi
yang potensial menyebabkan terjadinya kerugian atau kerusakan
Exposure: Sumber-sumber
yang besar kemungkinannya diakibatkan oleh even yang sudah terjadi, lembur atau
pengulangan kejadian yang sama.
Probability:
kemungkinan bahwa suatu even akan terjadi.
Risk: kemungkinan
kerugian dari hazard, diperhitungkan
dari kemungkinan dan kehebatan kerugian selama periode tertentu.
Risk
control:
Tindakan yang dirancang untuk mengurangi risiko,
seperti perubahan prosedur, perbaikan fasilitas, supervisi ekstra dan
sebagainya.
Risk
management:
pengambilan keputusan yang rasional dalam keseluruhan
proses penanganan risiko, termasuk risk
assessment, sebagaimana tindakan untuk membangun dan menerapkan
pilihan-pilihan kontrol risiko.
Gambling: pengambilan
keputusan risiko tanpa assessment
yang rasional atau prudent atau
keterlibatan manajemen risiko.
Sebagai
perbandingan, Angkatan Udara Amerika Serikat (US Air Force) menggunakan
enam tahap proses yang jelas dan sederhana. Mereka berargumentasi bahwa lembaga
atau organisasi lain yang menggunakan lima tahap proses, hanyalah mengkombinasikan
dua dari enam tahap proses mereka. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
(1)
Mengidentifikasi hazard
Mempertimbangkan semua aspek dari situasi saat ini dan
yang akan datang, lingkungan dan masalah yang secara historis diketahui. Dalam mengidentifikasi hazard, pengalaman tidak dapat terlalu
diandalkan. Ini adalah alat yang paling efektif yang tersedia.
Pengidentifikasian hazard harus
didekati secara bersama karena tidak seorangpun yang dapat melakukannya sendiri
dengan sukses. “Pikirkanlah kesalahan yang dapat terjadi, sekecil apapun
kemungkinannya”.
(2) Menaksir
risiko
Berdasarkan
hasil identifikasi hazard, tahap
berikutnya adalah menganalisis risiko yang terkait, bagaimana dan seberapa
besar kemungkinannya. Angkatan Udara Amerika Serikat percaya, bahwa tahap ini
adalah merupakan inti dari program manajemen risiko. Kesuksesan tahap ini
tergantung pada kualitas analisa risiko dan biaya.
·
Apa hasil
terbaik ?
·
Apa hasil
yang paling mungkin ? dan
·
Bagaimana
kemungkinannya masing-masing ?
Ketiga pertanyaan tersebut masing-masing harus
mendapat perhatian yang cukup. Analisa dapat dilakukan secara kuantitatif
ataupun secara kualitatif, tergantung pada situasi (waktu, biaya dan
kapabilitas).
Konsep
penting lainnya, adalah interaksi. Interaksi terjadi bila dua buah hazard atau lebih terjadi bersama-sama
sekaligus. Misalnya situasi dimana pengawasan internal lemah terjadi pada
ketidak-jujuran yang terjadi dalam suatu lingkungan. Pengalaman dan pikiran
jernih merupakan jalan terbaik untuk menaksir interaksi secara konsisten.
(3) Menganalisa
kadar pengawasan risiko
Angkatan
Udara Amerika Serikat menggunakan risk
assessment matrix untuk membangun kadar pengawasan yang diperlukan. Matrix
mengkombinasikan berat-ringannya beban risiko dan kemungkinan hazard sampai lima level. Level-level
risiko atau taksiran risiko operasional ini menjelaskan semua dampak dari semua
hazard yang terkait dengan operasi.
1)
Sangat
tinggi (extremely high)
: kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan operasi
2)
Tinggi (high) :
kehilangan kemampuan untuk memenuhi persyaratan standar operasi
3)
Sedang (medium):
turunnya kemampuan dalam pemenuhan persyaratan standar operasi
4)
Rendah (low): Tidak
(sedikit) berdampak pada penyelesaian operasi
5)
Sangat
rendah (residual risk):
risiko tersisa setelah dilakukan usaha pengurangan risiko.
Level-level risiko yang diperoleh dari matrix yang
digunakan itu adalah fleksibel dan bervariasi antara perusahaan yang satu
dengan perusahaan yang lain, tergantung pada sifat dasar dari operasi dan
kemauan perusahaan untuk menerima risiko. Hal ini harus diformulasikan dalam
bentuk kebijakan tertulis oleh setiap bank. Walaupun demikian ada aturan yang
keras dan cepat, yang harus diterapkan yaitu:
bila tidak
dapat mengontrol risiko – hindarkanlah !
Ada
empat tahap dalam menganalisa kadar pengawasan risiko yaitu :
I.
Membangun
pengawasan risiko
Yaitu
kadar pengawasan yang harus dibangun untuk mengeliminasi hazard dan mengurangi risiko. Begitu pengawasan risiko dibangun,
maka risiko dievaluasi sampai risiko dapat dikurangi, sampai pada level dimana
manfaatnya lebih banyak daripada biaya potensial.
II.
Mengidentifikasi
pengawasan risiko
Pembangunan
pengawasan risiko diawali dengan pengambilan tingkat risiko yang ditentukan
sebelumnya dan mengidentifikasi sebanyak mungkin pilihan pengawasan risiko yang
mungkin diambil bagi semua hazard
yang melampaui tingkat risiko yang bisa diterima.
III.
Menentukan
efektifitas risiko
Setelah
identifikasi pilihan pengawasan risiko, proses berikutnya adalah menentukan
efek dari setiap pengawasan yang berkaitan dengan hazard.
IV.
Memilih
pengawasan risiko
Pengawasan
yang terbaik adalah yang konsisten dengan tujuan operasional dan penggunaan
sumber daya yang tersedia secara optimal.
(4) Membuat
Keputusan Pengawasan Risiko
Keputusan
pengelolaan risiko harus dibuat secara dini dalam tahap penyusunan perencanaan.
Hal ini lebih mudah diintegrasikan dalam suatu operasi daripada mencoba
menyelipkannya pada tahap akhir. Keputusan yang demikian dibuat setelah
menganalisa secara hati-hati semua aspek operasi. Proses analisa tersebut harus
logis melalui konsultasi dengan semua unsur atau pihak yang relevan.
Pada
dasarnya tahap ini harus dilakukan oleh kelompok manajemen senior yang
bertanggung jawab atas strategi pengelolaan risiko.
(5) Menerapkan
Pengawasan
Setelah
keputusan diambil, tahap berikutnya adalah menerapkan pengawasan. Ini adalah
tahap dimana manfaat dari persiapan dan pemikiran yang hati-hati menjadi jelas.
Dalam
rangka mencapai kesuksesan dalam penerapan pengawasan, haruslah ditemukan
kebutuhan mutlak untuk mendapatkan satu pendekatan menyeluruh terhadap risiko
operasional, dan kebijakan umum harus dipertahankan dengan ketat untuk
memastikan integritas.
Manajemen pada semua level harus diberikan wewenang
untuk mengkomunikasikan semua
standar yang diperlukan kepada staf mereka dan kemudian menerapkannya dalam
wilayah tanggung jawab mereka. Manajemen tidak boleh menganggap bahwa staf
mereka tahu ataupun mengerti pengawasan yang ditentukan. Konsekuensinya, setiap
pernyataan yang berhubungan dengan manajemen risiko harus jelas, praktis dan
disosialisasikan.
(6) Supervisi
dan evaluasi
Setiap
program manajemen risiko, baik risiko operasional, risiko pasar atau risiko
kredit, harus secara berkesinambungan (continue)
di-review dan di-update. Risiko operasional adalah
dinamis dan terus-menerus berubah, lebih dari risiko pasar dan risiko kredit.
Program tersebut tidak dapat hanya ditulis sebagai doktrin lalu dilupakan.
Adalah
tanggung jawab manajemen untuk memastikan bahwa standar minimum telah diikuti
dan standar maksimum dicapai semaksimal mungkin. Bila menemukan sesuatu yang
tidak direncanakan, maka program tersebut harus diberhentikan dan dievaluasi.
Itulah proses
yang telah dilakukan oleh Militer Amerika Serikat, dan dapat dipakai oleh tipe
organisasi lain yang berbeda dalam menghadapi isu manajemen risiko operasional.
Lembaga keuangan dapat belajar dari pengalaman mereka, dan pengalaman dari yang
lain.
Dr. Paul Dorey
dari Barclays Bank
menyatakan, bahwa manajemen risiko bukan hanya sekedar kemungkinan (probability), tetapi juga masalah
informasi atau kekurangan informasi.
Mereka percaya,
bahwa bagaimanapun proses dipilih untuk menerapkan strategi pengelolaan risiko,
dimana ada tiga elemen yang merupakan kunci sukses penciptaan dan penerapannya,
yaitu:
Budaya (culture)
Apakah Pengurus
(the Board of Directors) dan manajemen senior dari lembaga keuangan menerima
dan secara aktif memelihara tanggung
jawab dalam manajemen risiko.
Apakah mereka
sebagai tim bekerja sama dan mendemonstrasikan penerimaan tanggung jawab itu.
Informasi
Apakah institusi
keuangan telah memformulasikan prosedur untuk memperoleh informasi secara
sentral, terkoordinir dan memungkinkan kelompok manajemen membuat
keputusan-keputusan yang diketahui secara baik tentang bagaimana mereka
mengelola risiko operasional.
Tindakan
Apakah
keputusan-keputusan pengawasan diambil secara cepat dan secara meyakinkan, dan
penerapannya diawasi dengan ketat dan tertib.
Tidak ada
seorangpun dapat membantu menciptakan ketiga faktor tersebut. Hal ini harus
diputuskan atau diciptakan oleh manajemen dari masing-masing institusi.
*****