Produk perbankan syariah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni: Pertama, produk penyaluran dana (financing); Kedua, produk penghimpunan dana (funding); Ketiga, produk jasa (services).[1] Pada produk penyaluran dana ada beberapa kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaan, baik dengan prinsip bagi hasil maupun dengan akad pelengkap. Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan prinsip sewa untuk mendapatkan jasa. Untuk prinsip bagi hasil digunakan sebagai usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa sekaligus. Menurut undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbangkan syariah yang dimaksudkan dengan pembiyaan adalah penyediaan dana atau tagihan dapat dibedakan menjadi lima bagian yang memiliki persamaan dengan hal tersebut:[2] Pertama, transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; Kedua, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijara; Ketiga, transaksi dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istihsan; Keempat, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; Kelima, transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijaraah untuk transaksi multijasa.
Produk yang termasuk dalam prinsip jual beli antara lain bai’ murabahah, bai’ as salam, dan bai’ al istishna. Produk dengan prinsip sewa yaitu al ijarah, serta produk dengan prinsip bagi hasil adalah mudharabah dan musyarakah. Disamping jumlah cabang yang dimiliki oleh bank syariah sebagai cerminan kemampuan menjangkau pasar, produk-produk syariah yang ditawarkan juga memegang peranan penting dalam keberhasilan persaingan antar bank syariah.[3] Lebih lanjut ditegaskan oleh Muhammad, mengenai para pengusaha kecil lebih yang mendambakan system pembiayaan dengan system bagi hasil, karena dirasa lebih sesuai dengan siklus usaha menengah kecil. Dengan mngembangkan system pembiayaan mudharabah dan musyarakah agar portofolio pembiayaan tidak terlalu didominasi oleh murhabahah (bai bithaman ajil). dimaksudkan dalam pembiayaan tidak menuntut jaminan atau agunan yang memberatkan. Ini dapat diselesaikan dengan pengembangan produk pembiayaan system ijarah wal murhabahah, yaitu barang dimanfaatkan oleh nasabah sementara kepemilikannya pada bank.[4]
Mengenai hal di atas hampir semua bank syariah didunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah. Karna system murabahah lebih cepat dan mudah dimengerti oleh masyarakat pada umumnya, yang kebanyakan mereka telah mengenal bunga system bagi hasil.
Prospek perkembangan produk bank syariah masih terbuka lebar, jika bank syariah melakukan kajian mendalam terhadap perkembangan produk baru dan lebih inovatif dalam membuat produk-produk baru yang customized bagi customers. Pemahaman produk dan pengetahuan syariah yang kuat dan harus dimiliki oleh setiap insan diperbankan syariah dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan produk bank syariah. Minimnya pengetahuan mengenai aspek fiqh dalam perbankan syariah menjadi salah satu kendala dalam pengembangan produk di bank syariah.
Berdasarkan perkembangan perbankan secara nasional ada kecenderungan ke depan trennya adalah kepeminjaman konsumen. Disisi lain pemberian pinjaman kepada kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM) mejadi pilihan karena dapat mengurangi resiko kemacetan kredit yang disebabkan debitur-debitur besar. Masih ada kendala dalam pemberian pinjaman kepada UKM karena biasanya struktur keuangan dan ketersediaan jaminan dari kelompok ini masih belum terlalu baik, yang disebabkan besarnya prsentase pembiayaan bank syariah terhadap UKM diduga karena dibanding bank konvensional, lembaga ini lebih mengutamakan kelayakan usaha ketimbang anggunan, sehingga sektor perbankan nasional juga cenderung untuk tidak memberikan pinjaman pada kelompok ini. Tidak menjadi masalah jika bank dapat memberikan arahan dan dorongan bagi sektor ini untuk pengembangannya kedepan, karena bank syariah akan mendorong perekonomian disektor riil pada kelompok UKM.[5]
Perkembangan produk bank syariah lainnya baru-baru ini juga akan dimunculkan charge card sejenis dengan debit card pada bank konvensional, kemudahan ini juga merupakan salah satu inovasi yang dilakukan dalam pengembangan produk bank syariah saat ini yang akan menjadi daya tarik bagi calon nasabah bank syariah dengan adanya kemudahan ini. Prospek pengambangan produk dana pihak ketiga juga dapat dilakukan dengan meluncurkan produk-produk kombinasi seperti tabungan pendidikan dibandingkan dengan asuransi syariah bagi masyarakat yang ingin menginvestasikan dana untuk pendidikan anak mereka.
Tidak terlepas dari pengembangan produk bank syariah, yang menjadi sorotan saat ini adalah pengetahuan akan produk, pengetahuan syariah dan ilmu fiqih yang melandasinya dan harus dimiliki oleh setiap insan perbankan syariah saat ini dan ke depan. Bank syariah ditanah air ditanah air mendapatkan pijakan yang kuat setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983, hal ini dikarenakan sejak diberlakukannya keleluasaan penentuan suku tingkat suku bunga (nol persen) dengan kata lain peniadaan bunga. Dan dibangunnya kantor-kantor bank baru di indonsia tercatat pada tahun 1988 dengan pengeluaran pakto.[6] Dengan demikian posisi perbankan syariah semakin terarah tujuan pengembangannya terbukti dengan ditetapkannya UU Perbangkan No. 21 tahun 2008.
Perkembangan produk perbankan syariah di Indonesia jika dicermati akan menarik karena dampak perkembangan bank syariah di Indonesia sudah menampakkan tanda-tanda perkembangannya saat ini. Namun di sisi lain perkembangan bank syariah menuntut perbankan syariah untuk selalu melakukan pengembangan dan inovasi atas produk-produk bank syariah sehingga dapat memenuhi kebutuhan nasabah yang akan datang. Tidak hanya pendanaan yang dibutuhkan bank syariah namun dari sisi penyaluran pembiayaan yang dilakukan haruslah tepat dan selektif, supaya tidak terjadi kemacetan pada penyaluran pembiayaan oleh bank syariah. Menarik dan kompetitif adalah hal yang diinginkan oleh konsumen untuk memilih produk yang mereka sukai.
Memang untuk memasyarakatkan produk-produk perbankan syariah terlebih produk-produk hasil inovasi, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Tariqullah Khan sebagaimana yang dikutip Edi Suandy Hamid secara sistematik menunjukkan beberapa aspek yang menyebabkan pentingnya ekonomi Islam, termasuk perbankan syariah disebarluaskan dan kendalanya, yakni:[7] Pertama, masih terbatasnya penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan perekonomian kita sehari-hari. Ini terjadi karena terbatasnya ahli syariah yang memahami dan mendalami ilmu ekonomi, dan terbatasnya ekonom muslim yang mendalami syariah. padahal pengajaran dan pengkajian ekonomi Islam menuntut adanya individu yang berkeahlian pada kedua bidang itu. Kedua, ekonom-ekonom muslim dewasa ini lebih akrab dengan teori ekonomi konvensional, walaupun sebenarnya prinsip-prinsip ajaran ekonomi Islam sudah lebih dulu muncul dibanding ekonomi modern saat ini. Diabaikannya kontribusi ekonomi Islam ini agaknya berkaitan dengan kurangnya upaya pemasyarakatan ekonomi Islam. Ketiga, lembaga-lembaga keuangan yang eksis dan berkembang dewasa ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Tanpa dukungan institusi keuangan yang islami untuk membuktikan model-model ekonomi Islam, maka perkembangan ekonomi Islam akan menjadi sulit.
Dalam operasional perbankan syariah misalnya, kita ambil salah satu contoh yang terkait dengan inovasi ini. Inovasi produk, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya adalah menjadi kunci perbankan syariah untuk lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan sistem perbankan syariah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syariah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif dan memberikan kemudahan transaksi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah, sebab inovasi memiliki peran penting di tengah pasar yang kompetitif. Karena itu industri perbankan syariah harus dapat terus melakukan inovasi-inovasi baru. Produk-produk bank syariah yang ada sekarang cenderung statis, hanya terbatas di tabungan, deposito, giro, pembiayaan murabahah, mudharabah, syirkah, dan itu sangat sedikit sekali. Untuk itulah perbankan syariah harus mengembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syariah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syariah menghadapi kebutuhan masyarakat modern yang semakin kompleks.
Harus dicatat, melakukan inovasi produk bukan hanya dengan meniru atau merujuk produk-produk yang sudah dipraktekkan di luar negeri. Inovasi produk juga dapat dilakukan dengan menggali dan mengembangkan secara kreatif konsep-konsep fiqh muamalah kontemporer dengan menggunakan ilmu ushul fiqh, qawaid fiqh, tarikh tasyri’ dan falsafahnya, serta dan ilmu maqashid syariah. Metode Ijtihad insya’iy dan ijtihad intiqa’iy sebagaimana yang ditawarkan Yusuf al Qaradhawy sangat diperlukan dalam melakukan inovasi produk.
Dari berbagai survey, juga ujian perbankan syariah yang dilakukan terhadap karyawan bank syariah serta mengkaji kurikulum dalam fakultas ekonomi atau fakultas syariah di PTN dan PTS belakangan ini, dapat disimpulkan betapa minimnya tingkat pengetahuan SDM perbankan syariah tentang konsep inovasi produk perbankan syariah.
Meskipun saat ini sudah banyak kuliah S2 (program pascasarjana) ekonomi dan perbankan Islam di Indonesia, namun tingkat kajian dan silabusnya masih tingkat dasar atau intermediate, dengan rujukan utama buku Muhammad Syafi’iy Antonio dan Adiwarman Karim serta buku Muhammad, sehingga kajian produknya belum pada tingkat advance. Padahal saat ini sudah banyak literatur terkini (terbitan 2007-2011) tentang inovasi produk dari luar negeri. Setidaknya terdapat lebih dari seratusan buku-buku fiqh muamalah kontemporer untuk level advance yang bisa memperkaya produk bank syariah.
Silabus fiqh muamalah kontemporer pada level advance ini seharusnya sudah diajarkan di program pasasarjana ekonomi Islam, namun karena sebagian besar in put mahasiswa berasal dari ekonomi konvensional, maka secara terpaksa kajian fiqh muamalahnya pada level intermediate. Fiqh muamalah komtemporer pada level advance ini hanya bisa diajarkan jika, mahasiswa sudah memahami fiqh muamalah klasik dengan baik ditambah ushul fiqh dan qawaid fiqh klasik.
Latar belakang keilmuan para mahasiswa pascasarjana yang umumnya berasal dari S1 non ekonomi Islam, mengakibatkan mereka masih awam dalam fiqh muamalah, ilmu ushul fiqh keuangan dan qawaid fiqh ekonomi. Padahal untuk melakukan inovasi produk mesti mengkaji fiqh muamalah kontemporer level advance. Fiqh Muamalah kontemporer tingkat advance hanya bisa diberikan kepada mereka yang sudah pernah mempalajari fiqh muamalah, ushul fiqh dan qawaid fiqh ekonomi.
Seharusnya, mata kuliah fiqh muamalah di pascasarjana di bagi kepada 3 bagian, pertama matrikulasi, intermediate dan fiqh muamalah kontemporer untuk tingkat advance. Jadi, jangan berharap banyak dari lulusan pascasarjana Ekonomi Islam untuk melakukan inovasi produk, jika yang diajarkan masih fiqh muamalah klasik dan tingkat intermediate. Jika di pascaarjana saja, masalahnya seperti itu, bayangkan, bagaimana pula dengan yang program sarjana (S1) atau kemampuan inovasi para bankir syariah yang belum kuliah pascasarjana ekonomi syariah dan belum training tingkat advance. Rendahnya tingkat studi fiqh muamalah di Indonesia, karena belum ada buku-buku berbahasa Indonesia yang berisi fiqh muamalah kontemporer yang memenuhi standar untuk pengembangan inovasi produk. Selain itu, keterbatasan dosen yang memahami praktek keuangan modern dan fiqh muamalah sekaligus.
Di UIN, IAIN, STAIN, banyak dosen fiqh muamalah, umumnya hanya memahami fiqh muamalah klasik dan sedikit kontemporer, tanpa memahami praktek perbankan dan keuangan secara baik dan memadai, seperti praktek L/C, pembiyaan rekening koran, line facility, multi jasa, repo surat berharga, anjak piutang (factoring), foreign exchange, Islamic treasury investment, islamic swap, hedging, bahkan praktek bank garansi dan pembiayaan take over pun kadang tidak dipahami dengan baik. Para ahli syariah hanya dapat memahami itu semua jika mereka mengikuiti training atau workshop sistem perbankan.
[1] Nur Rianto Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2010). hal. 33.
[2] Ibid., hal. 42.
[3] Ibid., hal.43-47.
[4] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: AMP YKPN, 2002). hal. 437-438.
[5] Amir Machmud, Bank Syariah…hal. 98-99.
[6] Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah, Mudarabah Dalam Wacana Fiqih dan Praktek dalam Ekonomi Modern, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS, 2003). hal. 17-18.
[7] Ibid.