Jumat, 16 Juli 2010

Mikrophone Masjid Juga Perlu Diatur

Pada suatu sore, disebuah kumpulan jama’ah pengajian dimasjid Jami’ Praya. Baru saja muadzin masjid jami’ hendak mengangkat tangan untuk memulai adzan, tiba-tiba sudah terdengar gaung yang amat keras, merdu sekaligus indah…Allah Akbar……Allah Akbar….

Adzan itu, entah dilantunkan oleh siapa dan dari mana, seluruh jama’ah terbuai dibuatnya, namun Tuan Guru Lopan yang duduk di saf agak depan, tersenyum. Seraya menoleh dan berkata kepada para jama’ah, beliau berbisik “sudahlah nak” dan akhirnya suara ajaib itupun mendadak makin kecil dan akhirnya menghilang.

Sahibul hikayat berkata, suara muadzin itu adalah seorang murid Tuan Guru Lopan di Desa Pujut, dari masjid sebuah dusun kecil, suara adzannya terdengar sampai kota praya, Masjid Jami’ praya. Ah anda ini cerita ngelantur! Tentang kebenaran cerita ini anda bebas percaya atau tidak, tetapi setiap pelajaran yang baik, ada baiknya juga kalau kita ambil.[1]

Kata Cak Nun begini, orang arab itu kalau adzan terlalu pragmatis, tidak terlalu berorientasi pada keindahan, kemerduan. Jika anda pernah menonton film The Messenger of God yang mengungkapkan bagaimana sahabat Rasulullah saw Bilal beradzan? Satu hal bahwa orang semacam Tuan Guru Lopan itu sangat memandang penting estetika, apalagi para Sunan kalijaga itu, kita tahu bahwa mereka juga menggunakan wayang sebagai media dakwah, adzanpun semestinya sedemikian rupa.

Akhirnya tidak disalahkan juga jika muncullah ‘kritik’ terhadap adzan, kritik artinya membaca, mempelajari apa yang kurang teliti kita pelajari, mengkaji kembali. Bagaimana suara adzan di musholla atau dimasjid anda? Sehebat (merdu, menarik atau indah) suara adzan dimasjid Agung Praya kah? Atau suara adzan dimasjid Raya Mataram, atau malah masjid Al Akbar di Masbagik atau malah sudah setara dengan suara adzan Syeikh Mahmud Al-Khusyairi.

Nabi Muhammad saw mengatakan, kewajiban (agama) terhapus dari tiga manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun), demikian pula bagi anak kecil hingga balighnya. Selama masih tidur seorang tidak terbebani kewajiban apapun. Allah swt sendiri telah menyediakan “mekanisme” pengaturan bangun dan tidurnya manusia, yakni dalam bentuk metabolism dalam tubuh kita sendiri. Jadi tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur dengan suara adzan keras-keras, kecuali ada sebab yang sah menurut agama yang dikenal dengan ‘illat.[2]

Misalnya ada ustad yang mengetuk pintu kamar para santri di pesantren pada sepertiga malam untuk membangunkan para santri untuk bangun solat malam, ‘illatnya untuk menumbuhkan kebiasaan bangunsolat malam dan bangun pagi para santri selama mereka masih berada dibawah tanggung jawabnya dipesantren. Suami membangunkan istri atau sebaliknya istri membangunkan suami untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat. Bukankah para orang tua harus menjadi teladan bagi para anak-anaknya?

Tetapi ‘illat tidak dapat dipukul rata, harus ada penjagaan bagi mereka yang tidak terkena kewajiban : orang tua jompo yang memerlukan tidur pulas, wanita haid jelas tidak terkena kewajiban sembahyang, anak-anak yang masih belum akil baligh atau masih balita, orang yang baru pulih dari penyakit kronis dan lainnya.

Apalagi jika suara adzan ditambah dengan teknologi seruan bersuara keras dimalam buta ditambah lagi hanya dengan menggunakan kaset! Sedangkan pengurus masjid atau mushollanya sendiri malah tentram tertidur dan bermimpi. Sering kali jika saya mendengar alunan adzan disana sini, keras tapi tak enak didengar telinga. Saya jadi berfikir dan merenung, jikalau keadaannya begini terus, bagaimana orang akan tergugah memeluk islam?

Sebagai penganut agama Islam, kita sering membangga-banggakan bahwa Islam itu agama rahmatan lil ‘alamin. Tidak hanya rahmat bagi pemeluknya, tapi juga bagi non muslim, bahkan rahmat bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Kita juga sering membangga-banggakan, bahwa Islam itu agama tertib, segalanya ada aturannya. Mulai dari bangun tidur, masuk kamar mandi, makan-minum, keluar rumah, naik kendaraan dan sampai tidur kembali, ada aturannya serta ada pula do’anya. Namun sayang, citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin dan agama yang punya aturan tata tertib, belum sepenuhnya tercermin dalam prilaku pemeluknya. Salah satu diantaranya dalam pengunaan pengeras suara (mikropon) masjid yang sering dikeluhkan warga sekitar masjid, karena merasa terganggu dengan suara dari mikropon masjid yang tidak tertib

Bukan hanya kalangan non muslim, kaum muslimin juga banyak yang merasa terganggu dengan penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib tersebut. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di dalam bukunya Tuhan Tidak Perlu di Bela ‘memprotes’ penggunaan mikropon masjid yang tidak tertib itu dalam tulisan berjudul “Islam Kaset dengan Kebisingannya”. Dalam tulisannya itu, mantan presiden yang juga mantan Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama itu mengingatkan, berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau, termasuk di tengah malam saat orang tidur lelap. Seruan yang disetel dengan suara keras itu dapat mengganggu orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, wanita haid yang tidak terkena wajib sembahyang, juga anak-anak yang belum akil baligh.[3]

Banyak pula kritikan terpendam karena takut dituduh anti Islam. Mereka melontarkan kritik secara terbatas terhadap penggunaan mikropon masjid. Seorang rekan yang beristrikan mu’alaf keturunan Tionghoa dan tinggal di dekat masjid mengungkapkan, bahwa istrinya terpaksa membeli penutup kuping agar tidak terganggu dengan berbagai seruan dari masjid. Sementara rekan non muslim yang juga tinggal di dekat masjid bercerita, bahwa dia pernah memutus kabel mikropon masjid karena istirahatnya terganggu. Tindakan nekad rekan ini nyaris mengundang bencana, rumahnya hendak dibakar massa. Karena itu, perlu adanya pembatasan dan pengaturan agar penggunaan mikropon masjid tidak dijadikan cemoohan oleh musuh-musuh Islam, bahwa Islam itu agama berisik dan tidak mengenal tata tertib. Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan tempat pembinaan hubungan antar ummat (muammalah).

Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid sesuai dengan anjuran Departemen Agama sebagai mana tertuang dalam buku: “Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar”. Pembatasan dan pengaturan penggunaan mikropon masjid juga telah ada aturannya berupa Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang “Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla”. Instruksi yang ditandatangani Dirjen Bimas Islam Drs. H. Kafrawi MA tanggal 17 Juli 1978 itu, mengacu kepada Keputusan-keputusan Lokakarya Pembinaan Peri Kehidupan Beragama Islam (P2A) tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla yang diadakan di Jakarta tanggal 28 – 29 Mai 1978.[4]

Dari buku “Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar” dan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor 101/1978 beserta lampirannya, jelas adanya keharusan mengatur penggunaan mikropon masjid dan mushalla. Sekjen DMI H. Natsir Zubaidi menjabarkan salah satu bentuk pengaturan mikropon masjid tersebut dengan membagi dua suara, yakni keluar dan kedalam masjid. Berdasarkan pembagian tersebut, diatur kapan dan untuk apa suara mikropon masjid ditujukan keluar masjid dan kedalam masjid.

Mungkin karena kurang sosialisasi, adanya ketentuan pengaturan penggunaan mikropon masjid sebagaimana tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam dan buku petunjuk Departemen Agama, kurang diperhatikan oleh pengurus masjid dan mushalla. Bahkan pejabat setingkat kepala seksi di Kantor Depag terkadang tidak mengetahui adanya pengaturan penggunaan mikropon masjid melalui Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut.

Dalam al-Qur’an juga telah ada petunjuk dan larangan bersuara keras dalam berdo’a, sebagaimana sering kita dengar dari suara yang keluar dari mikropon masjid. Dalam surat al-A’raf ayat 55 Allah SWT berfirman yang artinya “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang meampaui batas”.[5]

Jangankan berzikir dan berdo’a, dalam melakukan takbir pun Nabi Muhammad SAW melarang kita bersuara keras. Hal itu dapat dilihat dalam hadis yang diriwayatkan Muttafaq Alaih: “Kami berangkat bersama Rasulullah SAW, maka tatkala kami telah dekat ke Madinah, maka bertakbirlah Nabi dan bertakbirlah manusia, serta mereka mengeraskan suara mereka. Maka berkata Rasulullah SAW: Hai manusia sesungghnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada diantara kamu dan di antara leher kendaraan kamu” .[6]

Mengacu kepada ayat al-Qur’an, hadis Nabi SAW, serta instruksi Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, dalam pelaksanaan shalat, ceramah agama dan lain sebagainya, penggunaan suara dari mikropon masjid seharusnya diarahkan kedalam masjid. Sedangkan suara keluar masjid hanya untuk azan dan pemberitahuan bahwa akan diselenggarakannya suatu kegiatan, misalnya pengajian serta pengumuman penting lainnya.

Di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah tidak pernah kedengaran suara keluar dari mikropon masjid kecuali untuk seruan azan. Demikian pula halnya di sejumlah masjid lainya di Timur Tengah, suara yang keluar dari mikropon masjid hanya azan dan seruan penting lainnya dalam waktu yang terbatas.

Pembatasan penggunaan suara keluar melalui mikropon masjid perlu menjadi perhatian kita semua, khususnya pengurus masjid. Kita harus ingat bahwa udara itu merupakan hak publik, bukan hanya hak kaum muslimin, tapi juga hak non muslim dan hak seluruh makhluk Allah SWT. Karena itu mikropon masjid tidak boleh dipergunakan seenaknya.

P u s t a k a

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2000)

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta. 1993

Departemen Agama RI. Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar. Jakarta.

Hermansyah. Dakwah Menuju Islam Kaffah (Yogyakarta: Star Book Publishing, 2009)

Imam Az Zubaidi, Ringkasan Hadist Shahih al-Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).

Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla

Keputusan-keputusan Lokakarya Pembinaan Peri Kehidupan Beragama Islam (P2A) tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla yang diadakan di Jakarta tanggal 28 – 29 Mai 1978



[1] Lihat Hermansyah. Dakwah Menuju Islam Kaffah (Yogyakarta: Star Book Publishing, 2009), hal. 65

[2] Lihat Imam Az Zubaidi, Ringkasan Hadist Shahih al-Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).

[3] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2000)

[4] Lihat Departemen Agama RI. Pola Pembinaan Kegiatan Kemasjidan dan Profil Masjid, Mushalla dan Langgar. Jakarta. Lihat juga Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla lihat juga Keputusan-keputusan Lokakarya Pembinaan Peri Kehidupan Beragama Islam (P2A) tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla yang diadakan di Jakarta tanggal 28 – 29 Mai 1978

[5] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta. 1993

[6] Imam Az Zubaidi, Ringkasan..

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id