Pendahuluan
Melalui ketundukan kepada Allah SWT, manusia dapat mencapai kedamaian dan tujuan hidupnya. Islam sebagai sebuah agama yang berasal dari Allah SWT dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang sehat atau sebagai sebuah keadaan yang alamiah sebagaimana ketika pertama kali Allah menciptakan manusia dan alam semesta. Seluruh alam semesta adalah manifestasi dari kehendak Allah yang tampak dalam penciptaan langit dan bumi, pada peredaran malam dan siang dan pada pergantian hari yang satu mendahului hari yang lain serta dalam keanekaragaman sosial dan budaya dan keanekaragaman flora dan fauna dalam jagad raya ini.
Sejak awal penciptaannya, manusia dibekali dengan akal pikiran untuk mengetahui dan memahami. Allah SWT menganugrahkan pula kesadaran akan kebebasan, pengingkaran atau ketaatan atas pranata sosialnya, dan dari kesadaran inilah yang akan melahirkan dan mengembangkan kultur kemanusiaan.
Di dalam tiap penciptaan terhadap alam semesta, umat Muslim meyakini terdapat keindahan, keharmonisan dan keteraturan yang hakiki. Segala yang diciptakan oleh Allah SWT dalam alam raya ini adalah untuk dimanfaatkan dan dinikmati oleh manusia guna mencapai derajat kedekatannya dengan Sang Pencipta. Selain itu fungsi penciptaan alam semesta adalah agar manusia menyempurnakan amanah Allah yang telah disanggupinya. Amanah tersebut adalah berupa kepribadian, kesadaran, kehedak bebas (free will) dan pengetahuan yang telah dianugrahkan Allah kepada manusia, disamping mengemban amanah Allah untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi (khalifatullah fi al-ardhi). Hal inilah yang setidaknya mesti dibuktikan oleh manusia, yakni tentang bagaimana manusia itu mengemban amanah tersebut melalui berbagai macam ujian yang akan diterimanya.
Bagi manusia Muslim, Islam lebih merupakan suatu proses keyakinan dalam aksi-aksi yang dinamis dari pada hanya merupakan suatu kondisi kehidupan dan keyakinan yang statis dan deterministik. Pola dasar kehendak Allah dimanifestasikan dalam keseluruhan tata kehidupan dan dalam proses sejarah yang terus bergulir. Kehendak Allah ditunjukkan oleh ayat-ayat kauliyah dan kauniyah. Manusia yang tetap bertahan dalam cara, jalan dan pesan Allah ini adalah anshar Allah, auliya Allah dan hizb Allah. Manusia seperti inilah yang layak menerima amanah Allah sebagai khalifah Allah, baik secara individu, berbangsa maupun berperadaban.
Masyarakat meski ditegakkan atas ketetapan hati para pendukungnya untuk tetap bertahan dalam cara, jalan dan pesan Allah, baik melalui ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah sebagai perwujudan suatu kultur dan peradaban yang sehat dan berakar kokoh dalam proses kesejarahan, sekaligus dalam wujud tampilnya kerahmatan di dalam tatanan dan susunan masyarakat itu sendiri, yakni suatu masyarakat dengan kepribadian Islami pula.
Dalam konteks hubungan sosial, al-Qur’an memberi dasar kepada manusia tentang sikap saling menghargai hak-hak pribadi satu dengan yang lain terhadap berbagai bentuk peraturan, dan pelarangan-pelarangan yang berlaku dalam masyarakat. Setiap individu memandang dirinya bertanggungjawab dan memiliki kewajiban kepada masyarakatnya dan di atas landasan nilai spiritual mengembangkan sikap saling menghormati satu dengan yang lain.
Sistem sosial dan teknologi modern yang diciptakan manusia saat ini dalam aplikasinya disamping mendatangkan manfaat yang besar, ternyata mendatangkan kerugian dan kerusakan yang dalam jangka panjang, justru kerugian yang ditimbulkan tidak sebanding dengan manfaat atau keuntungan yang di dapat. Menyadari akan hal ini, kini kita kembali harus belajar pada niali-niali keagamaan tentang berbagai kearifannya al-Qur’an dan Sunnah memperlakukan lingkungan alam, sosial dan ekonominya sehingga yang dengannya akan tercipta keharmonisan dalam kehidupan, pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhaninya.Terkait dengan hal itu, dalam dekade terakhir ini, dunia Islam nampaknya sedang mengalami perubahan-perubahan pesat dan penting. Terdapat usaha-usaha serius yang tidak dapat diabaikan menyangkut reaktualisasi pemikiran-pemikiran Islam dalam konteks kekinian masyarakat Muslim.
Disisi lain, Islamisasi adalah suatu fenomena sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan yang berupaya menawarkan sebuah alternatif -jika tidak mau dikatakan sebagai suatu solusi- yang koheren terhadap sistem yang dibangun diluar sistem Islami. Upaya-upaya bagi alternatif seperti ini dengan demikian melibatkan usaha-usaha untuk melakukan re-definisi terhadap perspektif-perspektif ideologis, seraya diimbangi dengan upaya melakukan rekonstruksi dalam institusi-institusi kerakyatan, keuangan dan perekonomian secara umum. Upaya-upaya ini bukannya tidak meninggalkan tantangan tersendiri, malah terdapat anggapan bahwa pembangunan politik dan perubahan ekonomi hanya dapat dilaksanakan sejauh mengikuti ketentuan yang telah lazim digunakan dalam dunia Barat, dan tetap mengacu pada perspektif-perspektif ideologisnya.
Indonesia sendiri saat ini tengah berusaha memulihkan sistem perekonomian untuk selanjutnya bangkit dari gejolak krisis ekonomi yang berkepanjangan, dari krisis moneter hingga krisis global. Salah satu solusi yang dilirik oleh pemerintah yakni dengan jalan mengembangkan sistem perekonomian syariah.
Langkah ini ternyata cukup teruji dan tangguh dalam menghadapi krisis-krisis ekonomi yang berkepanjangan, ini setidaknya disebabkan oleh sistem perekonomian yang digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat suku bunga perbankan yang mendorong timbulnya inflasi (cost push inflation). Rencana jangka panjang pemerintah dalam mengembangkan perbankan dan perekonomian syariah di sambut dengan antusias oleh kalangan bisnis di Indonesia, terbukti dengan banyaknya bank-bank umum syariah, BPRS dan kantor-kantor cabang syariah dari bank-bank konvensional. Menjamurnya transaksi-transaksi syariah di Indonesia merupakan tolak ukur keberhasilan dari nilai-nilai Islam dalam manajemen terinstruktur secara baik dan profesioanl terutama transaksi-transaki perbankan syariah.
Di Indonesia, saat ini kita patut bersyukur bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dengan semua ketentuan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Edaran Bank Indonesia, Pemerintah telah memberi peluang berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah berdasarkan sistem bagi hasil. Selanjutnya perkembangan perbankan syariah mulai marak ditanah air setelah disahkannya UU No. 10 tahun 1998 yang sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No.72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas dalam UU ini memperbolehkan bank umum yang melaksanakan kegiatan secara konvensional agar dapat pula melakukan kegiatan atau usaha berdasarkan prinsip syariah, dengan mendirikan kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru dan dengan melalui peng-ubah-an kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Disamping itu dengan telah berlakunya UU No. 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya Pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional.
Hasilnya, sebagian umat Islam di Indonesia mulai memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk mendirikan lembaga-lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan pegadaian.
Karena itu, untuk mengetahui konsep syariah lembaga keuangan, khususnya perbankan syariah maka agar pembahasan yang dilakukan dalam makalah ini bisa lebih terfokus, maka pemakalah akan memberikan batasan dalam menguraikan beberapa permasalahan yang akan dikaji yakni menyangkut Islam dan cakupannya, identifikasi transaksi terlarang, dan implikasi konsep syariah dalam lembaga perekonomian islam. Selanjutnya pembahasan pada makalah ini akan ditutup dengan hidangan penutup.
I s l a m
Menurut keyakinan Islam yang bersumber dari wahyu, alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan ciptakan Allah, tidak maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia (ma qabla hayati al-dunya), adalah Allah swt. Allah adalah Dzat yang menciptakan alam semesta ini. Menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah. Manusia hidup dalam kurun waktu tertentu kemudian mati, dan akan kembali kepada-Nya (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un). Ibadah secara bahasa artinya taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum -inilah yang dimaksud oleh ayat 56 dari surah al-Dzariaat- adalah mentaati segala ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah berarti tiap kegiatan ritual sebagai pelaksanaan syariat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Khaliqnya, seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya (ibadah mahdah).
Dalam Islam juga diyakini bahwa suatu saat nanti akan terjadi hari kiamat (yaumu al-qiyamah) sebagai yakni akhir dari semua kehidupan. Setelah itu manusia akan dibangkitkan kembali, di hisab (diperhitungkan) oleh Allah segala amal perbuatannya selama hidup di dunia, dan berdasarkan timbangan amalnya itu manusia akan ditempatkan di surga atau neraka. Oleh karena itu, kehidupan dunia yang sangat sementara ini bagi seorang Muslim sangat penting. Ia bukan hanya sekadar kehidupan, namun -seperti yang dijelaskan Rasulullah- ia merupakan tempat bertanam untuk dituai hasilnya di akhirat (al-dunya mazra’atu al-akhirah). Keimanan kepada Allah dan ketundukan kepada syariat-Nya merupakan pintu satu-satunya untuk menggapai kebahagiaan yang kekal di akhirat. Maka, syariat dalam kehidupan seorang Muslim bersifat sentral. Ia bukan hanya dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah untuknya, tapi secara operasional juga merupakan pemecah problema kehidupan manusia (mu’alajah li masyakili hayati al-insani) dalam setiap aspek.
Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat, damai, tunduk, pasrah dan berserah diri. Obyek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam semesta, yakni Allah. Dengan demikian, Islam berarti penyerahan diri pada Allah, sebagaimana tercantum dalam Q.S. Ali imran ayat 19 yang artinya “sesungguhnya agama yang diridhai()di sisi Allah adalah Islam… ”
Islam memandang bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan kehidupannya, karena setelah kehidupan di dunia masih ada lagi kehidupan akhirat yang abadi lagi kekal. Karenanya nasib seseorang sangat ditentukan oleh perilakunya di dunia sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya “dunia adalah merupakan ladang untuk akhirat” disinilah manusia dituntut untuk bahagia dunia dan akhirat. Konsekuensi dari hal ini yakni adalah hubungan dengan manusia dan hubungan dengan Allah meski dibimbing oleh suatu cara hidup yang membimbing keseluruhan aspek kehidupan manusia.
Karenanya untuk memberi gambaran yang jelas menyangkut hal ini, Islam dalam perspektif ini memiliki tiga aspek utama yakni aqidah yang merupakan ikatan perjanjian yang kokoh yang tertanam jauh di dalam lubuk hati sanubari manusia. Akidah ini merupakan suatu bentuk pengakuan/persaksian secara sadar mengenai keyakinan, keimanan dan kepercayaan bahwa ada suatu Dzat Yang Esa yang telah menciptakan seluruh alam beserta isinya. Dzat ini adalah Allah, Tuhan langit dan bumi.
Aspek kedua yakni syariah yakni berupa peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum Muslimin agar mematuhinya dan syariah ini diambil oleh kaum Muslimin yang berfungsi sebgai penghubung di antaranya dengan Allah dan dengan manusia. Dalam aspek syariah ini tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan, namun demikian terkait dengan hal ini para ulama telah merumuskan suatu kaidah yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibadah dan hukum asal muamalah. Hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjuknya dalam al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan hukum asal muamalah menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan Sunah. Dengan demikian sesungguhnya terdapat lapangan yang sangat luas dalam hal muamalah ini. Yang diperlukan hanyalah mengidentifikasi mana hal-hal yang dilarang dan mana hal-hal yang diperbolehkan dan selanjutnya dikembangkan. Dengan catatan bahwa “kreativitas ini tidak dilakukan oleh sembarang orang”.
Ketika para ulama berusaha untuk menafsirkan dan memahami syariah yang berisi peritah dan larangan Allah SWT, mereka mendapati bahwa menurut kepastiannya, perintah dan larangan itu (yakni hokum taklifi) dapat digolongkan menjadi dua, yakni yang sifatnya pasti dan tidak pasti. Perintah yang pasti disebut wajib, sedangkan larangan yang pasti disebut haram. Perintah yang tidak pasti disebut sunnah (mandub), dan larangan yang tidak pasti disebut makruh. Disamping perintah dan larangan Allah SWT juga memberikan pilihan (takhyir) yang disebut mubah (yakni tidak dilarang dan tidak diperintahkan). Jadi secara umum, ada lima hokum syara’ yang dikenal dalam fiqih Islam, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Kehidupan dunia juga tidaklah berdiri sendiri. Ia mempunyai hubungan dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelumnya ada dua yakni: Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalq) dimana alam semesta, manusia dan kehidupan ini diciptakan oleh Allah. Allahlah dzat yang berada di balik semua makhluk-Nya. Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Dalam al-Qur’an surah al-A’raaf ayat 74 disebutkan (artinya): “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Hak memerintah pada Allah terwujud dalam bentuk perintah untuk alam semesta (al-amru al-kawni) berupa ketentuan-ketentuan yang mengatur bekerjanya alam semesta ini, dan perintah hukum syara’ (al-amru al-tasyri’i) berupa hukum syariah yang mengatur peri kehidupan manusia dalam semua aspeknya. Jadi, jelas sekali bahwa Allah tidaklah sekadar menciptakan, tapi juga menetapkan aturan berupa sunnatullah (atau nizhamu al-wujud) dan nizamu al-hayah (sistem kehidupan) yang harus diikuti oleh manusia berupa serangkaian perintah dan larangan yang termaktub dalam wahyu Allah berupa al-Qur’an dan al-Hadis yang disampaikan kepada Rasulullah saw. Serangkaian perintah dan larangan inilah yang disebut sebagai syariah.
Aspek ketiga yakni akhlak (etika) yang kerap kali disebut sebagai ihsan (yang berarti baik). Ketiga aspek ini terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Jika kita ibaratkan sebagai bangunan keagamaan maka kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya, karena iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah mewujudkan akhlak yang buruk. Disisi lain, tegaknya bangunan keagamaan ini tidak akan tegak tanpa tiang-tiang penyangga, yakni Islam. Hal ini berarti iman itu menuntut pengamalan. Panduan pengamalan ini diberikan oleh syariat (Islam), yang jika dilaksanakan dengan baik akan membuahkan akhlak yang baik pula.
Hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada setelah kehidupan dunia ada dua yakni: Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur), yaitu bahwa Allah akan membangkitkan manusia dari kubur dan akan mengumpulkannya di padang mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah), yaitu bahwa Allah tidak sekadar membangkitkan manusia dan mengumpulkannya di padang mahsyar, tapi juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap semua amal manusia tatkala hidup di dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak. Yang beriman disebut mukmin, yang tidak disebut kafir. Bila beriman, dilihat apakah ia ketika hidup di dunia tunduk melaksanakan syariah atau tidak. Yang tunduk disebut atau muttaqien (orang yang bertaqwa). Sementara yang mengabaikan syariah (melakukan yang dilarang atau mengabaikan yang diwajibkan) disebut fasiqien (pelaku maksiyat).
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dengan demikian suatu sistem hidup (millah, din) dari ajaran Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama yang berhubungan dengan ibadah khususnya yang mengandung hubungan dimensi vertikal. Sedangkan yang kedua yang berhubungan dengan permasalahan hubungan antar sesama mahluk (muamalat). Kedua sub-sistem ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena keduanya merupakan komplementer satu dengan yang lainnya. Jika keduanya dipisahkan maka manusia akan mendapatkan kehinaan.
Muamalah berarti hubungan-hubungan yang tercipta antara pergaulan dua mahluk atau lebih. Dalam pergaulan sesama manusia, kita dapat membatasi ini menjadi dua jalur besar, yaitu muamalah maaliyah (hubungan yang berkaitan dengan masalah harta, ekonomi dll) dan muamalah ghairu maaliyah (yang bukan harta, seperti pernikahan, hukum, politik dll). Dengan menggunakan kerangka muamalah maaliyah dan beberapa perangkat ide-ide lembaga perekonomian modern, kita dapat berusaha memilah sejumlah segmen dari sejarah kehidupan Rasulullah SAW untuk menemukan konsep-konsep pembaharuan dan pola pembangunan yang ia laksanakan dalam bidang keuangan dan perekonomian.
Dan yang patut diperhatikan terkait dengan pengagungan pemikiran perekonomian yang mendominasi masa kini, yakni sesungguhnya ilmu ekonomi bukanlah kebenaran yang pasti dan bukan pula sesuatu yang abadi. Pemikiran yang berkembang sekitar lembaga perekonomian hanyalah paham yang selalu berubah dan mungkin suatu saat akan disanggah. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang selalu mengalami renovasi dari masa ke masa.
Identifikasi Transaksi Terlarang
Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Sedangkan secara terminologi syariah berartiperaturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin, agar mematuhinya. Namun demikan fakta menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi manusia terus berkembang, karena itulah para ulama merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibdah dan hukum asal muamalah.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjukknya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu, masalah-masalah ibadah telah diatur dengan rinci tata caranya, sehingga tidak dibolehkan lagi melakukan penambahan dan/atau perubahan (bid’ah). Singkatnya, tidak ada kreatifitas dalam masalah-masalah ibadah. Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram),kemudian menghindarinya. Selain yang haram, dapat dilakukan kreatifitas (ijtihad) dan terus-menerus mengakomodasikannya dalam berbagai bidang yang terjadi di masyarakat.
Terkait dengan transaksi, mka hal ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul yang sebelumnya belum dikenal dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalal al-Qur’an dan Hadis yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena faktor-faktor: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram zatnya adalah transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Misalnya minuman keras, bangkai (selain bangkai ikan dan belalang), daging babi dan lainnya. Jadi transaksi minuman keras adalah haram, meskipun akad jual-belinya sah.
Sedangkan transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram selain zatnya yakni karena transaksi tersebut melanggar prinsip ”an taraddin minkum” yakni tadlis dan prinsip ”la tazhlimuna wa la tuzlamun” yakni ikhtikar, bai’ najasy, gharar dan riba. Transaksi yang melanggar kedua prinsip tersebut yakni:
a. Tadlis
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus memiliki informasi yang sama (complate information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada satu pihak yang tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain hal inilah yang disebut sebagai tadlis. Tadlis ini dapat terjadi pada empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
Contoh tadlis dalam kuantitas adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya. Dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga pasar. Sedangkan bentuk tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah petani buah yang menjual buah diluar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa ia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.
b. Rekayasan Pasar dalam Supply (ikhtikar)
Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itulah ada yang menyamakan ikhtikar ini dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar. Demikian pula tidak setiap penimbunan adalah ikhtikar, misalnya BULOG yang melakukan penimbunan beras bertujuan untuk menjaga kestabilan harga dan pasokan.
Ikhtikar terjadi jiak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar; (b) menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan; (c) mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen a dan b dilakukan.
c. Rekayasa Pasar dalam Demand (bai’ najasy)
Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen/pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi, misalnya dalam bursa saham, bursa valas dan lain-lain. Cara ayng ditempuh dapat bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, hingga benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk ramai-ramai membeli saham atau mata uang tertentu. Jika harga telah naik hingga level yang diinginkan, maka pelaku akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham atau mata uang yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Rekayasa pasar inilah yang dikenal dengan bai’ najasy.
d. Taghrir (gharar)
Dalam ilmu fiqih gharar adalah suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak ada kepastian, baik ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan dalam akad tersebut. Taghrir atau disebut juga gharar adalah situasi dimana terjadi incomplate information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan. Gharar terjadi jika kita mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain).
Sebagaimana dalam tadlis, maka gharar dapat juga terjadi dalam empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Dalam dalam kuantitas terjadi dalam kasus ijon. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian mengenai berapa kuantitas buah yang dijual. Contoh gharar dalam kualitas adalah peternak yang menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian dalam hal kualitas objek transaksi, karena tidak ada jaminan anak hewan tersebut akan lahir dengans ehat tanpa cacat dan dengan spesifikasi kualitas tertentu. Gharar dalam harga terjadi bila harga yang tidak disepakati dengan jelas. Sedangkan contoh gharar dalam waktu penyerahan adalah bila seseorang menjual barangnya yang hilang, dalam kasus ini terjadi ketidakpastian mengenai waktu penyerahan, karena si penjual dan pembeli sama-sama tidak mengetahui kapan barang tersebut akan ditemukan kembali.
e. Riba
Dalam perkembangan kontemporer dewasa ini, para ulama memetakan riba ke dalam beberapa klasifikasi untuk lebih mudah mengidentifikasinya, yakni: riba fadl, riba nasiah dan riba atau jahiliyah.
a. Riba Fadl
Riba fadl sering disebut riba buyu’ yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semacam ini mengandung gharar, yakni ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihaklain.
Dalam konteks perbankan riba fadl sering terjadi dalam transaksi jual beli valas (valuta asing) yang tidak dilakukan secara tunai (spot).
b. Riba Nasiah
Riba nasiah sering juga disebut riba duyun yakni riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal inimengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.
Riba nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi untung (al ghunmu) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman). Untung dan hasil usaha muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam setiap bisnis selalu dihadapkan kepada dua pilihan, yakni kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang belum pasti inilah yang terjadi dalam riba nasiah, yakni terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat tidakpasti (uncertain) menjadi pasti (certain).
Dalam mekanisme bunga yang dipraktekkan oleh perbankan konvensional selalu terintegrasi dengan masalah waktu, yang dikenal dengan time value of money dimana uang yang diinvestasikan pada saat ini harus menghasilkan dan bertambah pada waktu yang akan datang dari waktu sebelumnya. Teori tersebut tentu tidak tepat, karena dalam investasi dihadapkan pada probability risk and return. Dalam perbankan konvensional, riba nasiah ini dapat ditemui dalampembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro dan lainnya. Dengan demikian mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidakpasti, karena itulah diharamkan.
c. Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman dari waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena melanggar kaidah ”Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Member pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, transaksi yang dari awal diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi trnasaksi yang bermotif bisnis. Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Dari ketiga jenis riba ini, dapat diidentifikasi bahwa praktek bunga yang ada dalam perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, riba nasiah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabuangan, deposito dan giro. Sedangkan riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Dari klasifikasi riba di atas terdapat beberapa alternative ikhtiar yang diharapkan dapat mengantisipasi umat Islam, khususnya para praktisi bisnis tidak terjerumus pada riba. Dan sejumlah sintesa anti riba berikut mencoba mengungkap tipe riba serta faktor penyebabnya dan akad-akad yang dapat diterapkan sebagai antisipasi.
Tabel 1 Ikhtisar Riba
Tipe Riba Faktor Penyebab Cara Menghilangkan Faktor Penyebab
Riba Fadl (riba buyu’) Gharar (uncertain to both parties) Kedua belah pihak harus memastikan faktor berikut: (1) kuantitas (2) kualitas (3) harga, dan (4) waktu penyerahan.
Riba Nasi’ah (riba duyun) Al ghunmu bi la ghurmi,
al kharaj bi la dhaman
(return tanpa resiko, pendapatan tanpa biaya) Kedua belah pihak membuat kontrak yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin tidak adanya pihak manapun yang mendapatkan return tanpa menanggung resiko, atau menikmati pendapatan tanpa menanggung biaya.
Riba Jahiliyah Kullu qardin jarra manfa’ah fahuwa riba
(memberi pinjaman sukarela secara komersil, karena setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba) Jangan mengambil manfaat apapun dari akad/transaksi kebaikan (tabarru’). Kalaupun ingin mengambil manfaat maka gunakan akad bisnis (tijarah) bukan akad kebaikan (tabarru’).
Sumber: Adiwarman Karim (2004:38)
f. Risywah (Suap)
Risywah berasal dari bahasa Arab yang berarti sogokan, bujukan, suap atau kadang disebut uang pelicin. Suap ini merupakan penyakit sosial yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat, meskipun diketahui bahwa hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran islam.
Larangan risywah antara lain karena dua alasan yakni: (1) dari segi pelaksanaannya, pemberian dan penerimaan suap tidak mengandung unsur ikhlas karena dilakukan dnegan alasan-alasan tertentu yang tidak dibenarkan. Penyuap menghendaki agar keinginannya dipenuhi, sedangkan penerima suap secara diam-diam atau terang-terangan menunjukkan niatnya untuk meluluskan keinginan menyuap, atau paling tidak, tidak mampu lagi menerapkan amar ma’ruf nahyi munkar karena terikat pemberian dari penyuap; (2) dari segi tujuannya, pemberian suap dilakukan untuk tujuan yang melanggar aturan agama, sebab membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Yang dikehendaki dalam suap adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Syarak melarang risywah sebagaimana melarang pengambilan sesuatu dengan cara yang bathil.
Selanjutnya faktor yang lain yang menyebabkan keharaman dalam bertransaksi adalah disebabkan karena ketidakabsahan atau kurang lengkapnya akad. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkapa akdnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini, yakni: (1) rukun dan syarat tidak terpenuhi; (2) terjadi ta’alluq; dan (3) terjadi ”two in one”
1. Rukun dan syarat tidak terpenuhi;
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi, misalnya ada penjual dan ada pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli maka jual beli tidak akan ada. Pada umumnya, rukun dalammuamalah dalam bidang ekonomi ada tiga yakni: pelaku, objek dan ijab-kabul.
Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual beli), penyewa-pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upah-mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku maka transaksi dipastikan tidak ada.
Objek transaksi dari semua akad di atas dapat berupa barang atau jasa. Dalam akad jual beli motor, maka objek transaksinya adalah motor, demikian dalam akad-akad yang lain. Ijab-kabul atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad atau bertransaksi. Tanpa ijab-kabul mustahilpula transaksi akan terjadi.
Terkait dengan kesepakatan ini, maka akad dapat menjadi batal jika terdapat kesalahan/kekeliruan objek, adanya paksaan (ikrah) dan adanya penipuan (tadlis). Dan jika ketiga rukun tersebut di atas terpenuhi, maka transaksi yang dilakukan sah. Namun jika rukun tersebut di atas tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih) maka transaksi menjadi batal.
Selain rukun, faktor yang harus ada agar akad menjadi sah/lengkap adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Misalnya orang yang bertransaksi harus cakap hukum (mukallaf). Menurut Mazhab Hanafi jika rukun sudah terpebuhi, namun syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidaklengkap dan transaksi tersebut menjadi rusak (fasid).
Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Dilain pihak, keberadaan syarat tidak boleh menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, menggugurkan rukun, bertentangan dengan rukun dan mencegah berlakunya rukun.
2. Terjadi ta’alluq;
Ta’alluq terjadi jika kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua.
Misalnya A menjual barang X seharga Rp. 100 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada A secara tunai Rp. 90 juta. Transaksi ini haram, karena terdapat persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A. Dalam kasus ini, disyaratkan bahwa akad pertama berlaku efektif bila akad kedua dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya rukun.
3. Terjadi ”two in one
Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan atau akad mana yang berlaku.
Two in one terjadi jika semua dari ketiga faktor berikut terpenuhi, yakni: objek sama, pelaku sama da jangka waktu sama.
Jika satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah. Contoh dari two in one adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini, terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku. Akad beli atau akad sewa. Karena itulah akad sewa-beli ini diharamkan.
Uraian di atas setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai identifikasi transaksi yang dilarang dalam lembaga perekonomian Islam, dan gambaran bahwa perekonomian kapitalis dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya memperkenalkan praktek perekonomian Islam, sebagaimana kaidah Maa laa yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib (sesuatu yang harus ada untuk mempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan). Masalah lembaga perekonomian adalah bab muamalah, maka selama ia memberikan perbaikan kehidupan umat manusia maka wajib dijalankan dengan sesuai kaidah Islam.
Selanjutnya untuk mendukung penjelasan tersebut di atas akan diuraikan implikasi konsep syariah dalam lembaga perekonomian Islam.
Iimplikasi Konsep Syariah Dalam Lembaga Perekonomian Islam.
Kajian utama dalam studi lembaga perekonomian Islam adalah hubungan mahluk antara manusia dengan pencipta-Nya, manusia dengan manusia dan manusia terhadap lingkungannya. Kelangsungan hidup suatu mahluk hidup sangat bergantung kepada keberadaan mahluk hidup lainnya dan sumber daya alam yang ada disekitarnya untuk keperluan pangan, perlindungan, pertumbuhan, perkembangbiakan dan sebagainya. Oleh karena itu dalam studi lembaga perekonomian Islam perhatian utama ditujukan pada bagaimana lembaga perekonomian dapat berjalan secara adil dan membawa kemaslahatan bagi manusia.
Manusia dalam hidupnya tidak cukup hanya memperhatikan materi, energi dan informasi. Dalam kehidupan modern materi, energi dan informasi tersebut selalu diukur dengan uang, sehingga dengannya peran uang selalu menjadi dominan. Meskipun lembaga perekonomian penting, akhirnya ia bukan menjadi satu-satunya masukan dalam mengambil setiap keputusan mengenai permasalahan ekonomi baik secara makro maupun dalam skala mikro. Masukan lain yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemecahan permasalahan perekonomian adalah ekonomi itu sendiri, teknologi, hukum, politik dan sosial budaya, serta etika dan faktor keagamaan (masalah identifikasi transaksi yang dilarang) itu sendiri yang berakar dalam masyarakat.
Kini manusia telah mencapai suatu fase (titik balik) dimana kepada manusia dihadapkan berbagai pilihan, bagaimana manusia berbuat untuk memecahkan masalah perekonomiannya yang akan datang, apakah akan lebih buruk. Manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus hidup di atas bumi yang daya dukungnya telah banyak berkurang jika dibandingkan dengan daya dukung bumi terhadap masa-masa sebelumnya, ini jika dikaji dalam sisi sumber daya alamnya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, penebangan hutan, efek rumah kaca, pencemaran air, tanah dan udara, tentunya hal ini akan berbanding lurus dengan meningkatnya permintaan akan sumber daya alam yang tidak sedikit jumlahnya. Jika manusia tidak menentukan sikap dan sifatnya yang tepat, maka akan terjadi penurunan secara terus menerus kemampuan bumi dalam menyangga kehidupan. Yang jelas generasi yang akan datang akan menerima warisan yang sangat menyedihkan, lahan yang kurang produktif karena pemanfaatan yang kurang memperhatikan azas-azas lingkungan, kurangnya keanekaragaman akibat seleksi tidak terkendali, kurangnya ruang untuk bergerak, pilihan yang lebih sedikit dan penduduk yang semakin banyak, disamping karena faktor pendistribusian kekayaan yang tidak adil lainnya, atau dengan kata lain telah tampak kerakusan dalam perekonomian manusia.
Selanjutnya, jika kita ibaratkan Islam sebagai sebuah bangunan keagamaan, maka ekonomi Islam dengan lembaga perekonomiannya dapat juga kita ibaratkan sebagai sebuah bangunan ekonomi, karenanya untuk membentuk bangunan, kita membutuhkan adanya landasan, tiang dan atap, kita juga membutuhkan komitmen para pekerja untuk membentuk bangunan itu, dibutuhkan komitmen untuk membangun semua aspek yang terkait dengan bangunan itu, terkait dengan hal tersebut, dalam membangun tentu tidak dapat lepas dari unsur manusia secara keseluruhan, disamping kerangka dan landasannyapun harus kokoh, kuat dan jelas.
Umer Chapra, menjelaskan adanya lima dasar filosofis yang melandasi terbentuknya bangunan sistem ekonomi Islam yakni: Pertama tauhid, yang akan meletakkan dasar-dasar hubungan antara Allah selaku khaliq (Pencipta) dengan manusia selaku mahluk dan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Kedua, rububiyah, yang menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya yang akan mengatur model dan bentuk pembangunan sistem ekonomi Islam. Ketiga, khilafah, yang menjelaskan status dan peran manusia, sebagai wakil Allah dimuka bumi. Keempat, tazkiyah yang merupakan misi utama utusan Allah adalah untuk menyucikan manusia dalam hubungannnya dengan Allah, sesama manusia dan alam lingkungan. Terakhir yakni falah yang merupakan hasil dan tazkiyah yakni merupakan kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat
Jika di atas kita telah mengungkap dasar-dasar filosofis sistem ekonomi Islam menurut Chapra, selanjutnya kita akan menengok masalah tiangnya. Tiang-tiang sistem perekonomian Islam menurut Mannan ada tiga yakni: Pertama adanya pengakuan akan multiownership. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama (syirkah) dan kepemilikan negara, hal ini tentu akan sangat berbeda dengan konsep sistem ekonomi kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan pribadi atau konsep sistem ekonomi sosialis klasik yang hanya mengakui kepemilikan bersama oleh sekelompok orang (komunal) atau oleh negara.
Kebebasan ber-ekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syari'ah dengan kaedah "al ashlu fi al-muamalah al-ibadah". Lembaga perekonomian ialah persoalan manusia yang selalu berkembang seiring dinamika zaman, karenanya dibutuhkan pemikiran baru untuk memecahkan berbagai permasalahan terkait dengannya dan ijtihad untuk bidang ini sangat diperlukan, bukankah Rasulullah saw telah bersabda yang artinya "Kamu lebih tahu urusan duniamu"? dengan demikian, bidang muamalah ini akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat.
Berikutnya menyangkut keadilan sosial (sosial justice) yang berbeda, dengan donasi atau charity dalam ekonomi konvensional, dalam konsep ekonomi Islam bahkan rizki halal yang kita dapatkan dengan jerih payahpun diyakini terdapat hak orang lain, dengan lain kata bukan kita yang berbaik hati memberi donasi, namun ia bukan hak kita, ia hak orang lain. Terakhir, atapnya ialah akhlakul karimah atau yang lebih populer disebut dengan etika ekonomi.
Selanjutnya jika kita melihat aplikasi sejarah ekonominya, kehidupan orang-orang pra-Islam diwarnai dengan tajamnya stratafikasi sosial dengan berbagai implikasi psikologis yang menyertainya. Ada sejumlah kecil anggota masyarakat yang memiliki semua akses kekuatan, ekonomi, politik, intelektual dan juga religio¬kultural. Berbagai sisi kelebihan tersebut jalin-menjalin yang pada gilirannya menempatkan sekelompok kecil orang tersebut pada posisi yang sangat penting dengan semua hak istimewa yang dimilikinya. Sedangkan sejumlah besar lainnya berada pada posisi yang sangat kontras. Mereka hampir tidak memiliki akses kekuatan apapun, termasuk kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, serta hak-hak perdatanya yang sangat mendasar. Mereka adalah orang-orang miskin dan budak-budak belian yang secara turun-temurun mewarisi kodrat hidupnya tanpa menyadari hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Nabi Muhammad lahir untuk melakukan berbagai perubahan radikal dan meyeluruh, untuk mereformasi secara total kehidupan manusia yang penuh dengan ketimpangan itu. Agama yang diajarkan membawa aspirasi dan ide tentang tauhid, demokrasi (politik) dan keadilan sosial (ekonomi). Sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan sosial saat itu, Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan teladan-teladan nyata melalui sunah-nya.
Sebagai suatu cita (ideals) ajaran Islam telah sempurna disampaikan oleh Nabi kepada umatnya. Namun dalam konteks implikasi lebih lanjut pokok-pokok ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah sistematisasi dan interpretasi-¬interpretasi baru guna menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat, sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Teks-teks keagamaan (al-Nushush al-Syar’iyyah) memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan perekonomian, baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu sharih). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash tersebut lebih pada ajaran-ajaran atau pesan-pesan moral universalnya, sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi. Banyak ayat al-Qur'an dan Sunah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan dalam bidang lembaga perekonomian yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai-nilai dalam lembaga perekonomian.
Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya. Serta pandangan dunia (weltanschaung) Islam yang secara keseluruhan berhubungan erat dengan konsep teologi dan eskatologi. Diantara ajaran-ajaran pokok tersebut misalnya adalah bahwa posisi manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah Allah, dengan membawa amanat-Nya, untuk menciptakan kemakmuran dan kesajahteraan. Manusia tidak boleh takut kepada alam. Karena alam ini justru diciptakan untuk “melayani” kepentingan mereka. Mereka tidak boleh duduk pasif, namun harus aktif berusaha dan bekerja. Mereka harus mencari bagian rizki yang halal. Dalam berusaha mereka harus mengindahkan nilai kejujuran, atas dasar suka rela tanpa paksaan, dan berusaha dan bekerja dalam bidang-bidang yang dibolehkan syariat dan bukan yang bathil. Meskipun mereka bebas mendapatkan dan memiliki setiap hasil jerih-payahnya, namun mereka juga harus memperhatikan fungsi sosial harta hasil usahanya itu demi kebaikan orang-orang yang nasibnya kurang beruntung. Mereka juga harus hemat dan efesien dalam membelanjakan hartanya, dan sebagainya.
Dalam hal ini, Afzalur Rahman dalam “Muhammad Sang Pedagang” juga menekankan bahwa Islam menekankan betul etos ekonomi untuk berusaha dan memperoleh keuntungan. Muslim didorong untuk memperoleh karunia Tuhan (rezeki dari hasil perniagaan) di muka bumi. Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis menunjukkan hal tersebut. (misalnya dapat dilihat pada Q.S. 28:7). Kewajiban dalam Islam semacam zakat, shadaqah, waqaf, qurban, dan juga haji secara implisit memerintahkan kaum muslim untuk menjadi “orang kaya”. Karena mereka yang mempunyai kelebihan kekayaan sajalah yang dapat menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut.
Terhadap pesan-pesan al-Qur’an tersebut dan juga yang ada dalam hadis atau Sunah rasul, perlu ada interpretasi dan konseptualisasi ke dalam bentuk ajaran yang sistematis sehingga akan lebih mudah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh siapa saja. Dengan demikian ajaran-ajaran luhur tersebut tidak lagi hanya merupakan himbauan moral tapi menjadi suatu sistem tatanan hidup yang dihayati sebagai way of life dan rule of game yang dipatuhi. Dengan cara itulah ajaran agama akan benar-benar membawa dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan manusia, lahir dan bathin.
Penutup
Sebagai penutup uraian-uraian terdahulu dari tulisan ini, perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama, Islam berarti penyerahan diri pada Allah, sebagaimana tercantum dalam Q.S. Ali imran ayat 19 yang artinya “sesungguhnya agama yang diridhai()di sisi Allah adalah Islam… ”. Islam memiliki tiga aspek utama yakni aqidah yang merupakan ikatan perjanjian yang kokoh yang tertanam jauh di dalam lubuk hati sanubari manusia. Aspek kedua yakni syariah yakni berupa peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum Muslimin agar mematuhinya dan syariah ini diambil oleh kaum Muslimin yang berfungsi sebgai penghubung di antaranya dengan Allah dan dengan manusia. Aspek ketiga yakni akhlak (etika) yang kerap kali disebut sebagai ihsan (yang berarti baik). Ketiga aspek ini terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Jika kita ibaratkan sebagai bangunan keagamaan maka kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya, karena iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah mewujudkan akhlak yang buruk. Disisi lain, tegaknya bangunan keagamaan ini tidak akan tegak tanpa tiang-tiang penyangga, yakni Islam.
Kedua, para ulama merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariat yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibdah dan hukum asal muamalah. Hukum asal ibadah menyatakan bahwa segala sesuatunya dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjukknya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itu, masalah-masalah ibadah telah diatur dengan rinci tata caranya, sehingga tidak dibolehkan lagi melakukan penambahan dan/atau perubahan (bid’ah). Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang (haram), kemudian menghindarinya. Selain yang haram, dapat dilakukan kreatifitas (ijtihad) dan terus-menerus mengakomodasikannya dalam berbagai bidang yang terjadi di masyarakat.
Ketiga, penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya. Transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram zatnya adalah transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Sedangkan transaksi yang tergolong ke dalam transaksi yang haram selain zatnya yakni karena transaksi tersebut melanggar prinsip ”an taraddin minkum” yakni tadlis dan prinsip ”la tazhlimuna wa la tuzlamun” yakni ikhtikar, bai’ najasy, gharar dan riba.
Keempat, faktor lain yang menyebabkan keharaman dalam bertransaksi adalah disebabkan karena ketidakabsahan atau kurang lengkapnya akad. Yang diakibatkan oleh tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor: (1) rukun dan syarat tidak terpenuhi; (2) terjadi ta’alluq; dan (3) terjadi ”two in one.
Kelima, kebebasan ber-ekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syari'ah dengan kaedah "al ashlu fi al-muamalah al-ibadah dan sangat banyak ayat al-Qur'an dan Sunah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan dalam bidang lembaga perekonomian yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai-nilai dalam lembaga perekonomian.
Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya. Serta pandangan dunia (weltanschaung) Islam yang secara keseluruhan berhubungan erat dengan konsep teologi dan eskatologi. Diantara ajaran-ajaran pokok tersebut misalnya adalah bahwa posisi manusia di bumi ini adalah sebagai khalifah Allah, dengan membawa amanat-Nya, untuk menciptakan kemakmuran dan kesajahteraan. Manusia tidak boleh takut kepada alam. Karena alam ini justru diciptakan untuk “melayani” kepentingan mereka. Mereka tidak boleh duduk pasif, namun harus aktif berusaha dan bekerja. Mereka harus mencari bagian rizki yang halal. Dalam berusaha mereka harus mengindahkan nilai kejujuran, atas dasar suka rela tanpa paksaan, dan berusaha dan bekerja dalam bidang-bidang yang dibolehkan syariat dan bukan yang bathil. Meskipun mereka bebas mendapatkan dan memiliki setiap hasil jerih-payahnya, namun mereka juga harus memperhatikan fungsi sosial harta hasil usahanya itu demi kebaikan orang-orang yang nasibnya kurang beruntung. Mereka juga harus hemat dan efesien dalam membelanjakan hartanya, dan sebagainya.
Kepustakaan
Muhamad. 2005. Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: EKONISIA.
Nasrun Haroen. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Muhamad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Ismail Yusanto. Paradigma Sistem Ekonomi Islam. Makalah ditulis pada 01 Juni 2004
Depag RI 2003. Al Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro
Abdul Wahhab Khallaf. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Terj. Faiz el Muttaqien. Jakarta: Pustaka Amani.
Abdul M Mannan, 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf
Fazlurrahman, 1994. Islam, cet.II, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka
Abdul Hamid. 1999. SDM Yang Produktif Pendekatan al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Gema Insani Press.
Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edy Suandi Hamid Makalah. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangannya, disampaikan Dalam Studium Generale Program Pasca Sarjana FIAI MSI UII di Yogyakarta, 13 September 2008
Habib Nazir dan Muhammad Hasanudin. 2008. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Bandung: Kafa Publishing.
AM. Saefuddin dkk, 1985. dalam Konsep Islam dalam Pembangunan Masyarakat., Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M
Javed Ansari. 1985. Gerakan Islamisasi Sebuah Pengantar dalam Konsep Islam dalam Pembangunan Masyarakat., Islamisasi Ekonomi Suatu Sketsa Evaluasi dan Prosfek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: PLP2M.
Umer M Chapra. 2001. The Future Of Economics: An Islamic Perspective. Terj. Amdiar Amir, dkk Jakarta: Shari’ah Economics & Banking Institute.