Kamis, 17 September 2009

Rakyat = Pusat Politik

Dalam pembukaan UUD 1945 rakyat Indonesia telah bersepakat bahwa yang ingin diwujudkan ialah masyarakat yang adil dan makmur, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, berdasar pada sila-sila Pancasila dalam konteks bernegara yang utuh dan melalui permusyawaratan rakyat.

Selanjutnya, jika demikian halnya, tatanan politik mana yang dapat menjamin keberlangsungan tujuan yang diimpikan rakyat di atas? Jika secara sederhana demokrasi dijadikan landasan. Siapa yang dapat menjamin bahwa para pemegang otoritas akan selalu tanggap secara terus menerus terhadap aspirasi dan keinginan rakyatnya?

Tatanan politik demokratis menuntut tiga unsur pokok, diantaranya pertama, adanya peluang besar untuk kontestasi, kompetisi diantara para politisi. Kedua, adanya partisipasi warga negara dalam kompetisi tersebut dan ketiga, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat.

Hal ini berarti dalam demokrasi dimungkinkan adanya pelembagaan dan perbedaan pendapat serta pelibatan rakyat dalam kontes politik untuk menentukan satu yang layak. Semakin besar peluang tersebut kita dapat menyatakan bahwa rakyat makin demokratis. Hal inilah yang secara sederhana dapat menyimpulkan mengapa demokrasi dapat dianggap sebagai suatu tatanan politik yang terus tanggap terhadap preferensi dan keinginan audiensnya.

Namun demikian, untuk dapat menjamin hal tersebut terdapat beberapa prasyarat yang meski terpenuhi yakni diantaranya dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk merumuskan apa yang menjadi kepentingan mereka, mengaspirasikan kepentingan tersebut baik dilaksanakan secara individual atau kelompok dan akhirnya mengusahakan agar kepentingan tersebut dilibatkan dalam pengambilan keputusan (decesion making). Hal ini berkonsekuensi tidak terdapatnya diskriminasi atas rakyat, baik itu berdasarkan agama, suku, asal-usul dan pembeda lainnya.

Namun pada kenyataannya hal tersebut dapat terbentur jika lembaga-lembaga pemerintahan tidak dapat menjamin apa yang dikehendaki oleh rakyat, semisal kebebasan untuk berpendapat, berserikat, hak untuk dipilih dan memilih, hak untuk berkompetisi meraih dukungan suara, hingga terjaminnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, adil dan bertanggungjawab.

Memperjuangkan apa yang dicita-citakan selaku rakyat untuk hal tersebut di atas memang tidak mudah. Disinilah dituntut semacam "kompromi kepentingan" antara yang memerintah dan yang diperintah. Namun jika perbedaan kepentingan dirasa tidak dapat dikompromikan maka konsekuensi dari keadaan ini ialah semakin besar kemungkinan masing-masing pihak akan menolak memberi peluang terhadap pihak lain untuk berpartisipasi secara aktiv dalam menentukan proses pengambilan keputusan.

Cara berfikir ini menegaskan bahwa untuk menuju tatanan yang lebih baik dibutuhkan semacam sikap "saling menjamin" antar beragam kepentingan, baik itu pemerintah atau non pemerintah. Karena disadari atau tidak sikap arogan dari masing-masing pihak dapat menimbulkan semacam "biaya sosial" yang tidak sedikit. Artinya hal tersebut sekaligus menunjukkan adanya suatu "bergaining position" yang lebih mengedepankan tujuan jangka panjang yang lebih rasional, bukan hal yang bernafsu dan sim-salabim sekali jadi pada saat itu juga.

Disatu sisi, mengingat adanya beragam kepentingan yang lebih membuat rakyat semakin terombang-ambing dalam menentukan keputusan maka disini dibutuhkan sebuah komitmen, atau katakanlah semacam kebulatan suara dalam menentukan siapa yang akan didukung, tentunya hal ini didahului dengan pendalaman pokok permasalahan yang dapat memberikan jalan keluar disamping berbagai pertimbangan yang rasional dan menguntungkan.

Disisi lain, terkait dengan prilaku pemimpin. Rakyat telah banyak belajar disaat seorang pemimpin kehilangan respek dan penghargaan terhadap rakyat dan beralih menjadi sikap arogan disanalah peran kekuasaan yang melegitimasi lebih dominan. Memang dalam kenyataannya, tidak semua perilaku pemimpin tertuju kepada kepentingan materiil, hal ini tentunya akan kembali berpulang pada sejauh mana seorang pemimpin memandang dan mempertimbangkan "reputasi di hari depannya" yang selanjutnya dapat dijadikan dasar dalam mengelola tata kepemimpinannya.

Akhirnya, untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, strategi dan taktik apa yang akan ditempuh oleh kedua belah pihak? Tidak mudah memang, namun demikian perumusan citra dan tuntunan yang moderat, memandang perjuangan dan amanah sebagai cita-cita jangka panjang, intra generasi dan antar generasi, disamping kesediaan bermitra dan bekerjasama merupakan beberapa langkah awal yang dapat ditempuh.

Namun harus diakui pula bahwa hal tersebut hanya dapat terjadi melalui proses panjang dan perlahan, setahap demi setahap tentunya disertai pula dengan setumpuk transaksi dan negosiasi kepentingan, tetapi bukan untuk kepentingan jangka pendek dan sesaat.

Terlebih disaat-saat akan berlangsungnya Pilkada kali ini, dimana tekanan dirasa makin sangat berat dan hubungan antara politisi dan rakyat tidak lagi merupakan hubungan dua arah yang sehat, yang keadaan ini oleh Susan C Stokes -Guru Besar Ilmu Politik Universitas Chicago dan Direktur Chicago Center On Democracy, dalam Mandates And Democracy: Neolibrarism by Surprise in Latin America (2001) yang disadur dalam Eep Saefullah Fatah, diidentifikasi sebagai model Rent Seeking Modal Of Democracy, model demokrasi pencari rente, yang sebenarnya para politisi tidak berniat memperjuangkan kepentingan rakyat, akan tetapi lebih untuk mencari kekuasaan bagi keuntungan sempit dan kelompoknya, ciri dari keadaan ini yakni adanya institusi-institusi demokrasi yang bekerja dengan mengabaikan Responsiveness dan Revresentativness Government.

Dan oleh Guillermo O'Donell pada 1994 menyebut struktur politik domestik semacam itu sebagai Dellegative Democracy yang merupakan lawan dari Revresentative Democracy. Dalam Revresentative Democracy para politisi mendengar suara rakyat dan bekerja untuk rakyat tidak seperti Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu ala Delegative Democracy.

Disinilah setidaknya dibutuhkan adanya dua prasyarat untuk dapat menjamin calon pemimpin tidak berbuat demikian yakni pertama adanya kemauan pemimpin untuk beranjak ketahapan berikutnya yang lebih baik, walaupun banyak yang mencibirkan hal ini, karena banyak juga yang beranggapan bahwa hal tersebut sangat beresiko bahkan terhadap pemegang otoritas itu sendiri. Kedua, kemampuan sang pemimpin untuk melakukan "transaksi" yakni dengan memberikan "jaminan" timbal balik, bahwa apa yang menjadi "kontrak transaksi" dapat dilaksanakan.

Selaku rakyat, kita berharap agar perjalanan kedepan hendaknya dapat diisi dengan upaya-upaya yang lebih terarah dengan tetap memperhatikan situasi lapangan yang lebih riil, artinya proses menuju tatanan yang lebih baik tidak akan pernah mencapai titik akhir, terkecuali kita berani beranjak -baik secara retorik maupun praktek ke tatanan berikutnya di dalam membangun sistem dan meraih cita-cita yang diimpikan dengan lebih baik dan seharusnya.

Akhirnya mau dan mampukah kita beranjak ketatanan yang lebih baik, dengan ini kita tentu bersepakat seraya menganggukkan kepala bersama. Semoga!

0 Comments:

© Kontak : Herman_bismillah@Yahoo.co.id